13 Agustus 2009

NASIONALISME DI TAPAL BATAS : Meraih Kemandirian

Mereka yang Ingin Meraih Kemandirian
Kamis, 13 Agustus 2009 | 02:57 WIB

C Wahyu Haryo dan Hariadi Saptono

Minggu (1/2) pukul 05.00 menjadi momentum ”kemerdekaan” bagi Juliana (19).

Gadis asal Kecamatan Meliau, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, itu bersama Herlina (18), rekannya sesama tenaga kerja Indonesia (TKI), melarikan diri dari rumah Alusni, majikannya di Bintulu, Sarawak, Malaysia.

Juliana dan Herlina hari itu berhasil lolos dan sampai di Kantor Konsulat Indonesia. Namun, usaha Juliana menuntut upah dari majikannya dengan menunggu tujuh bulan di kantor itu tidak memberi hasil. Sebulan terakhir, berkat bantuan lembaga swadaya masyarakat Lembaga Anak Bangsa (LAB), Juliana diambil dan ditampung di shelter milik LAB di Desa Entikong, beberapa ratus meter dari Pos Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB) Entikong yang berbatasan dengan Kuching, Sarawak.

Pemandangan kawasan pintu gerbang PPLB Entikong nyaris tak berubah dalam 10 tahun terakhir. Sambil menyeruput kopi susu, atau minuman kaleng es melon buatan Malaysia, kerumunan lelaki muda berjaket dan membawa tas ransel itu sibuk mengobrol sambil menimang-nimang paspor. Mereka berlomba masuk ke Malaysia. Pukul lima sore, menjelang pintu PPLB tutup, warung berangsur sunyi....

Juliana masih menunggu keadilan. Namun, prosesnya berbelit-belit dan ia pesimistis berhasil. ”Masih ada puluhan TKI yang ditampung di konsulat kita, tetapi proses membebaskan mereka keluar dari Malaysia sepertinya sulit sekali,” kata Ny Arsinah Sumetro, Koordinator LAB. LAB juga membuat lumbung belajar untuk siswa putus sekolah dengan memberi keterampilan komputer, salon, kerajinan, dan menjahit. Ada pula kegiatan pendidikan anak usia dini.

Juliana dan Arsinah menjelaskan, seorang TKI yang telah selamat sampai kantor konsulat tidak serta-merta merdeka karena biasanya akan dipersulit oleh pihak Malaysia untuk kembali ke Indonesia, apalagi jika izin masuknya bermasalah.

Namun, aksi pelarian itu memerdekakan Juliana. Sebab, selama lima setengah tahun bekerja di Malaysia, ia diperlakukan dengan sewenang-wenang.

Saat masuk, umurnya yang 13 tahun dipalsukan menjadi 26 tahun. Hampir tiap hari ia dicaci dan dipukul majikannya, tak diberi makan. Selama lima tahun, ia dikurung di dalam rumah, tak pernah boleh ke luar rumah.

”Hanya dua setengah tahun saya diberi upah total 550 ringgit Malaysia, tidak sesuai janji 800 ringgit per bulan. Tiga tahun terakhir, saya malah tak diberi upah,” ucap Juliana, 6 Agustus lalu.

Juliana dan Arsinah bisa menyebut lima atau enam pedagang manusia yang sampai kini tetap beroperasi di perbatasan Kalbar, seperti Bjr, St, Nht, Ud, dan Mursid yang kini ditahan polisi. Yang mengherankan, aparat keamanan tak juga menindak para pedagang manusia itu meski para korban melaporkannya.

Nasib Yunita (17) dan Lia Waroka (17), dua rekan Juliana yang juga ditampung di shelter itu, lebih baik. Keduanya urung menjadi korban perdagangan perempuan ke Malaysia setelah Kepolisian Sektor Entikong menangkap Mursid, agen yang hendak menyelundupkan mereka melewati PPLB Entikong.

Lia dan Yunita, yang kemudian juga ditampung selama dua minggu di kantor LAB, menunggu sidang kasus mereka sebagai korban trafficking.

Yunita, anak ketiga dari delapan bersaudara asal Pemangkat, Kabupaten Sambas, Kalbar, hanya lulus SD dan selama enam tahun terakhir membantu orangtuanya menoreh getah karet. Lia, anak keempat dari 12 bersaudara asal Kartiasa, Kabupaten Sambas, putus sekolah saat kelas II SMP dan sempat bekerja di kedai kopi di Pemangkat selama dua tahun dengan upah Rp 500.000 per bulan. Sedangkan Juliana, sulung dari dua bersaudara, dibawa dua agen pencari tenaga kerja, Nurhayati dan Banjar, saat ia masih duduk di kelas II SMPN 2 Sanggau. Ia mengaku ditipu pencari tenaga kerja.

Kisah tiga anak perempuan ini adalah gambaran sebagian remaja Kalbar dari keluarga tak mampu. Kedai-kedai sepanjang jalur Pontianak-Sangau yang berdebu dan hari-hari ini bercuaca terik menyengat umumnya dilayani enam-tujuh gadis belia, lulusan SD atau SMP dari desa-desa sekitarnya. Pemandangan serupa muncul di kedai- kedai di Kabupaten Sambas di ujung barat Kalbar, Bengkayang, Sintang, dan Kapuas Hulu. Di Pontianak lebih mencolok lagi.

Para gadis remaja ini—rata- rata berparas cantik—umumnya lulusan SMP dan kurang keterampilan, dan kedai atau pelayan toko menjadi kesempatan pertama mereka sekadar bisa mandiri. Lia, misalnya, sudah berpenghasilan Rp 500.000 di kedai, tetapi ingin ke Malaysia hanya untuk mencari 250 ringgit per bulan (sekitar Rp 650.000).

Beban persoalan tenaga kerja di Kalbar tidak ringan. Jumlah TKI bermasalah yang dideportasi lewat PPLB Entikong pada periode Januari-Oktober mencapai 2.038 orang. Dari jumlah itu, sekitar 70 persen dari Kalbar dan lebih spesifik lagi 40 persen dari Kabupaten Sambas. Tercatat 154.058 penganggur terbuka tahun 2008, atau sekitar 7,7 persen dari angkatan kerja Kalbar yang berjumlah 1.989.298 orang.

Di Desa Melenggang, Kecamatan Sekayam, Kabupaten Sanggau, kami bertemu puluhan warga tua dan muda hilir-mudik siang dan petang berkubang di penggalan aliran sungai, mendulang emas. Ketiadaan pekerjaan, pendidikan rendah—rata-rata SMP—mendorong mereka turun ke kali bekas penambang besar yang menggunakan merkuri untuk mengolah emas. Maka, di pedalaman Kalbar itu, air sungai dan air bersih pun hancur tercemar. ”Tapi mau pilih apa? Tidak ada kerja di sini. Mendulang emaslah tiap hari gadis-gadis cantik tu,” ujar Mak Nyiam (62), pemilik toko kelontong di Desa Melenggang.

”Hampir semua anak di sini mendulang emas sepulang sekolah. Sehari mereka paling hanya mendapat hasil beberapa miligram emas,” kata Kepala Desa Balai Karangan Nimus Mulyadi, kelahiran Melenggang.

Beruntung ada inisiatif sejumlah pihak. Lembaga Pengkajian dan Pendidikan Mata Pencaharian (LPPMP) memberi beasiswa penuh bagi 26 anak putus sekolah di perbatasan Entikong untuk belajar di SMP Taruna Mandiri di Kabupaten Malang Jatim. ”Pendidikan siswa di perbatasan harus diperhatikan benar. Kalau tidak ada yang peduli, jangan salahkan mereka kalau tidak sekolah atau malah bekerja di Malaysia,” kata Ketua LPPMP Ishaq Maulana.

”Bagi warga perbatasan, NKRI adalah harga mati. Namun, jika perbatasan tidak diurus, yang bisa digeser tidak hanya tanah, tetapi juga warganya pindah ke negeri seberang,” kata Raden Thalib, tokoh masyarakat Entikong.

Sumber : http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/13/02575791/mereka.yang.ingin.meraih.kemandirian.

1 komentar:

Gio Ve mengatakan...

Just to complete Your interesting report, I invite You to see in my site a great collection of views of borders (Perbatasan negara).
http://www.pillandia.blogspot.com
Helping text in Bahasa Indonesia too.
Best wishes from Italy!

Saatnya Mewujudkan Negara Kepulauan Indonesia

"UUD 1945 Pasal 25E telah mengamantkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang"
”Untuk membangun Indonesia menjadi negara besar, negara kuat, negara makmur, negara damai yang merupakan National Building bagi negara Indonesia, maka negara dapat menjadi kuat jika dapat menguasai lautan. Untuk menguasai lautan, kita harus menguasai armada yang seimbang.” (Pidato Bung Karno yang disampaikan dalam National Maritime Convention I tahun 1963)