10 Agustus 2009

NASIONALISME DI TAPAL BATAS

Menguji "Kreativitas" di Aceh

Senin, 10 Agustus 2009 | 03:00 WIB

Mahdi Muhammad dan Sidik Pramono

Ketua Badan Pengembangan Perkebunan Aceh (BPPA) Rustam Effendi pusing. Dana hibah Rp 1 triliun dari salah satu lembaga swasta dari Malaysia, untuk pengembangan kelapa sawit di Aceh, tidak kunjung cair. Nota kesepahaman yang akan dibuat antara pemerintah Aceh dan lembaga asal Malaysia itu tidak bisa ditandatangani hingga saat ini.

Alhasil, lembaga ini belum bisa melaksanakan program kerjanya untuk membangun perkebunan, terutama kelapa sawit. Padahal, rencananya, lembaga itu akan mengelola 150.000 hektar kebun sawit yang akan dibagikan kepada ribuan mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka.

Setali tiga uang yang dialami Iwan Gayo, mantan motor pembentukan Provinsi Aceh Leuser Antara yang kini Ketua Komite Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal Aceh (KP2DTA). Dana operasional lembaga yang dibentuk dengan peraturan gubernur ini nol. Juga tak punya kewenangan untuk mengajukan program kerja. Kerja pertamanya mendata kembali daerah-daerah yang tertinggal dan keluarga berkategori miskin.

Menurut Iwan Gayo, pendataan ulang penting karena selama ini data demografi masyarakat dari lembaga lain, seperti Badan Pusat Statistik Aceh atau Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi NAD, sulit dipercaya.

Namun, tiga tahun setelah masyarakat Aceh memiliki pemerintahan sendiri, dipilih langsung pada pemilihan kepala daerah tahun 2006, kerja lembaga-lembaga itu tak terdengar.

Setelah dilantik menjadi gubernur, Irwandi Yusuf membentuk beberapa lembaga baru. BPPA, KP2DTA, ataupun tim asistensi gubernur merupakan lembaga-lembaga baru yang dibentuk untuk membantu pemerintah Aceh melalui masa transisi menjelang berakhirnya tugas Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD-Nias. Kedua lembaga itu tidak mendapatkan bantuan dana operasional dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh karena tugas lembaga itu mirip dengan lembaga struktural yang sudah ada, yaitu Bappeda provinsi, dan Dinas Kehutanan Perkebunan Provinsi NAD.

Beruntung, tim asistensi gubernur Aceh mendapatkan jatah dana dari Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP), yang bersumber dari Program Transformasi Pemerintahan Aceh. Dengan 51 personel, lembaga pemikir ini semula diharapkan bisa bersanding dengan lembaga struktural pemerintah yang ada untuk membantu proses transisi pasca-BRR. Pembentukan tim asistensi di tingkat provinsi juga diikuti pembentukan tim asistensi bagi bupati dan wali kota di 23 kabupaten/kota di semua wilayah Aceh. Namun, tidak semuanya berkinerja bagus.

Bobolnya kas Pemerintah Kabupaten Aceh Utara senilai Rp 220 miliar, dan salah satu tersangkanya anggota tim asistensi Bupati Aceh Utara, menurut dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Mawardi Ismail menunjukkan bentuk kinerja buruk tim asistensi di daerah.

Salah satu yang acap dikeluhkan soal penyelenggaraan pemerintahan di Aceh adalah belum tuntasnya peraturan pelaksanaan yang diamanatkan UU Nomor 11 Tahun 2006 mengenai Pemerintahan Aceh. Misalnya, Kepala Badan Pengelola Kawasan Bebas Sabang T Syaiful Ahmad mengatakan, ketiadaan peraturan peralihan pengelolaan aset dari PT Pelindo II kepada lembaganya untuk mengelola pelabuhan Sabang menjadi salah satu penghambat pengembangan perekonomian kawasan ini. Ketiadaan peraturan peralihan membuat calon investor pelabuhan Sabang mundur.

Merujuk surat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada Ketua DPR, Maret 2009, baru 2 peraturan pelaksanaan UU No 11/2006 yang telah ditetapkan, dan masih tersisa 10 peraturan pelaksanaan lainnya.

Ketua Tim Pemantau Pelaksanaan UU Pemerintahan Aceh Ferry Mursyidan Baldan mengakui, tiga tahun perjalanan UU Pemerintahan Aceh, pelaksanaannya belum mencapai tujuan. Di antara penyebabnya adalah harmonisasi penyelenggara pemerintahan pusat, Provinsi Aceh, dan kabupaten/kota.

Pemerintah pusat juga terlambat menelurkan peraturan pemerintah sebagai pelaksanaan UU Pemerintahan Aceh (UU PA). Jajaran pemerintah pusat mesti memahami kondisi psikopolitik masyarakat Aceh dengan kebijakan khususnya. Keterlambatan itu karena sebagian jajaran pemerintah pusat menerapkan kebijakan sektoral tidak dengan mengacu kepada UU PA. Keterlambatan tersebut menimbulkan pertanyaan mengenai kesungguhan pemerintah pusat.

Pihak Aceh pun mesti menuntaskan penyusunan Rencana Pembangunan Aceh untuk 20 tahun mendatang dengan prioritas infrastruktur, pengembangan ekonomi rakyat, kemiskinan, pendidikan, dan kesehatan sebagaimana diamanatkan UU PA. Perlu diintensifkan komunikasi antara jajaran pemerintah pusat dan Pemerintah Aceh berikut kabupaten/kota untuk mengurangi ketidakpercayaan antarpihak.

Menurut Mawardi, meski masih ada peraturan turunan yang masih menjadi utang pemerintah pusat terhadap Aceh, tidak berarti Pemprov NAD tidak bisa bergerak dengan leluasa. Beberapa kewenangan dalam UU PA, tanpa aturan penjelasan pun, sudah bisa dilaksanakan oleh Pemprov NAD.

Misalnya aturan kawasan pelabuhan bebas Sabang. Pasal-pasal dalam UU PA sudah memberi cukup kewenangan bagi Dewan Kawasan Sabang (Pemprov NAD, Pemerintah Kabupaten Aceh Besar, dan Pemerintah Kota Sabang), serta Badan Pengelola Kawasan Pelabuhan Bebas Sabang untuk membuat peraturan serta perizinan.

Menurut pakar ekonomi Unsyiah, Nazamuddin Basyah Said, UU PA sebagai UU yang memberikan ruang kreasi sangat besar kepada masyarakat dan pemerintah di Aceh harus dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran masyarakat.

Dana APBD NAD tahun 2009 senilai Rp 9,7 triliun, menurut Nazamuddin, bisa digunakan untuk membangun proyek strategis. ”Untuk membangun Aceh dibutuhkan kreativitas orang Aceh. Pengusaha yang sebagian besar kontraktor jangan hanya menunggu turunnya dana proyek pemerintah. Pengusaha swasta sudah saatnya menjadi lokomotif pembangunan di wilayahnya. Pemerintah setempat hanya menyediakan regulasi untuk kemudahan berusaha dan payung hukumnya agar segala sesuatu tertata,” ujarnya.

Sumber : http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/10/03004858/menguji.kreativitas.di.aceh

Tidak ada komentar:

Saatnya Mewujudkan Negara Kepulauan Indonesia

"UUD 1945 Pasal 25E telah mengamantkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang"
”Untuk membangun Indonesia menjadi negara besar, negara kuat, negara makmur, negara damai yang merupakan National Building bagi negara Indonesia, maka negara dapat menjadi kuat jika dapat menguasai lautan. Untuk menguasai lautan, kita harus menguasai armada yang seimbang.” (Pidato Bung Karno yang disampaikan dalam National Maritime Convention I tahun 1963)