07 November 2011

Bantuan Kapal dan Konflik Perebutan Wilayah

31.10.2011 10:14

Bantuan Kapal dan Konflik Perebutan Wilayah

http://www.sinarharapan.co.id/content/read/bantuan-kapal-dan-konflik-perebutan-wilayah/ 

Penulis : Suhana*  
(foto:dok/ist)
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) berencana mengalihkan sebagian anggaran program 1.000 kapal nelayan berbobot mati di atas 30 gross ton (GT) untuk pengadaan kapal yang berukuran lebih kecil.
Hal itu guna merespons keputusan rapat kerja Komisi IV DPR, yang mendesak pemerintah mengevaluasi kembali program pengadaan 100 kapal periode 2010-2014 agar lebih berguna bagi nelayan kecil.
Rencana pemerintah untuk menurunkan ukuran kapal bantuan bagi nelayan hendaknya dicermati secara hati-hati, apakah dengan diberikannya bantuan kapal yang lebih kecil nelayan akan semakin sejahtera atau bahkan sebaliknya.
Pemerintah perlu membuka kembali data dalam 10 tahun terakhir ini terkait kasus-kasus perebutan wilayah tangkap antarnelayan kecil di perairan Indonesia, yang sangat tinggi.
Misalnya awal Mei 2005 di Perairan Kecamatan Bantan, Kabupaten Bengkalis, telah terjadi pertikaian antarnelayan dalam perebutan wilayah tangkapan ikan. Pertikaian tersebut telah mengakibatkan sembilan kapal nelayan habis terbakar (Kompas, 4 Mei 2005).
Akar permasalahan berbagai pertikaian perebutan wilayah tangkap tersebut lebih didominasi oleh semakin menurunnya sumber daya ikan di wilayah perairan Indonesia dan belum terkendalinya jumlah kapal dan nelayan kecil di perairan Indonesia.
Dengan demikian, apabila sekarang ini KKP mau menambah jumlah kapal kecil di wilayah perairan Indonesia, penulis khawatir program tersebut akan semakin memperkeruh masalah perebutan wilayah tangkap di perairan Indonesia.
Kebijakan Tanggung
Sejauh ini, sejumlah kebijakan demi mengatasi masalah perebutan wilayah tangkap antarnelayan kecil di perairan Indonesia sudah dicoba pemerintah. Namun akibat perencanaan yang tidak matang, kebijakan-kebijakan tersebut gagal di tengah jalan.
Misalnya pada periode pemerintahan Megawati, pemerintah mencanangkan program transmigrasi nelayan Pantai Utara Jawa ke wilayah perairan di Kawasan Timur Indonesia (KTI) guna menghindari kelebihan nelayan di perairan Pantai Utara Jawa.
Namun, karena tidak ada perencanaan yang matang, program trasmigrasi nelayan tersebut terkesan tak lebih hanya “mentransmigrasikan” kemiskinan nelayan dari Pulau Jawa ke wilayah perairan lain.
Saat ini pemerintah mencanangkan program restrukturisasi kapal milik nelayan kecil diganti dengan kapal-kapal di atas 30 GT, dengan harapan para nelayan kecil tersebut dapat mengakses wilayah perairan ZEEI dan laut lepas.
Namun, karena belum ada perencanaan yang matang, keberadaan program tersebut kini menimbulkan berbagai masalah di lapangan dan terancam gagal.
Hal itu tercermin dari empat indikator. Pertama, berdasarkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) 2011 terhadap realisasi anggaran KKP tahun anggaran 2010 tercatat adanya beberapa satuan kerja (satker) pada Tugas Pembantuan, dalam hal ini pemerintah daerah kabupaten/kota, yang tidak merealisasikan anggaran untuk pengadaan kapal di atas 30 GT.
Berdasarkan laporan BPK tersebut, berarti pelaksanaan bantuan kapal untuk restrukturisasi kapal nelayan tidak dibuat dengan perencanaan yang matang.
Kedua, KKP sebagai penggagas program tersebut jelas belum memahami karakteristik para nelayan kecil dan kondisi sumber daya ikan di perairan Indonesia.
Karakteristik nelayan kecil berbeda dengan karakter nelayan yang menggunakan kapal di atas 30 GT, mulai dari perilaku menangkap ikan sampai pada penguasaan teknologi yang ada di kapal jelas sangat jauh berbeda.
Akibatnya, dengan waktu yang sangat mepet tersebut sangat tidak masuk akal apabila pemerintah dapat mengubah karakteristik nelayan kecil menjadi nelayan dengan kapal 30 GT tersebut. Apalagi tidak diikuti dengan program-program adaptasi nelayan kecil tersebut menjadi nelayan besar.
Terkait dengan kondisi sumber daya ikan di perairan Indonesia, saat ini kondisi penangkapan di laut pertumbuhannya sudah mulai terbatas, mengingat sudah mulai banyak kawasan perairan yang fully-exploited maupun mengalami over fishing seperti yang telah dilaporkan Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan dalam hasil evaluasinya tahun 2006.
Namun, walaupun kondisi sudah kritis, sampai saat ini Menteri Kelautan dan Perikanan belum menjalankan amanat UU No 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, yang secara tegas mengamanatkan agar segera menyusun keputusan menteri terkait rencana pengelolaan perikanan nasional (Pasal 7).
Ketiga, seandainya saja benar kapal tersebut diberikan kepada para nelayan kecil, penulis yakin hal itu malah akan makin menjerumuskan nelayan terhadap ketergantungan kepada para tengkulak. Biaya pengoperasian kapal di atas 30 GT sangat besar, bisa mencapai puluhan juta rupiah sekali trip.
Apalagi, BBM yang dipakai untuk kapal ikan di atas 30 GT dikenakan harga nonsubsidi (harga industri). Pertanyaannya: darimana para nelayan kecil mendapat biaya operasional kapal tersebut kalau bukan dari para tengkulak? Terlebih pihak perbankan pun belum mau mengucurkan kredit modal untuk para nelayan.
Ujung-ujungnya, kapal-kapal itu akan berganti pemilik ke para tengkulak. Kalau hal itu sampai terjadi, jelas bantuan kapal akan semakin menjerumuskan para nelayan kecil pada praktik-praktik yang melanggar hukum.
Keempat, pascapelaksanaan bantuan kapal 30 GT tersebut, produksi perikanan tangkap dipastikan tidak bakal meningkat signifikan. Bahkan laporan audit BPK (2011) menunjukkan bahwa dari total produksi perikanan nasional tahun 2010, 50,55 persen disumbangkan perikanan budi daya.
Artinya, peran perikanan tangkap terlihat semakin menurun dalam kontribusi terhadap produksi perikanan nasional. Ini sesuai dengan kondisi sumber daya perikanan tangkap tersebut.
Selain itu, kesejahteraan nelayan tidak meningkat signifikan, bahkan cenderung menurun. Hal ini tercermin dari terus menurunnya nilai tukar nelayan.
Data Badan Pusat Statistik (2011) terlihat bahwa rata-rata nilai tukar nelayan nasional per September 2011 tercatat hanya mencapai 103,80, atau menurun jika dibandingkan tahun 2009 yang nilainya mencapai 105,05.
Harus Matang
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, KKP perlu kembali mematangkan perencanaan restrukturisasi kapal nelayan tersebut. Pengalihan bantuan kapal 30 GT menjadi kapal-kapal yang berukuran lebih kecil tidak akan menyelesaikan masalah nelayan dan pengelolaan sumber daya ikan di lapangan.
Seandainya program tersebut dilaksanakan, penulis melihat hanya menyelesaikan tekanan politik saja, sementara masalah perebutan sumber daya ikan antarnelayan Indonesia akan semakin parah. Ini karena kapal-kapal kecil akan semakin menumpuk di wilayah pesisir Indonesia, sementara kondisi sumber daya ikan terus menurun.
Karena itu, KKP sebelum melanjutkan program restrukturisasi kapal tersebut hendaknya mematangkan lebih dahulu perencanaan program tersebut.
Selain itu, KKP hendaknya segera menyusun keputusan menteri terkait rencana pengelolaan perikanan nasional, sebagaimana diamanatkan dalam UU Perikanan. Ini dimaksudkan agar program bantuan kapal tersebut dapat disesuaikan dengan kondisi sumber daya ikan nasional.
Program-program bimbingan adaptasi dari nelayan kecil (pantai) menjadi nelayan besar (ZEE dan laut lepas) juga perlu dikedepankan guna menjaga kesuksesan program tersebut. Dukungan perbankan jgua diharapkan. Ini dimaksudkan agar ketergantungan nelayan terhadap para tengkulak akan semakin menurun.
Alhasil, tanpa adanya perencanaan yang matang, program bantuan kapal akan berujung pada krisis sumber daya ikan, konflik, dan kemiskinan nelayan, serta semakin menjamurnya praktik korupsi.
*Penulis adalah Kepala Riset Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim.

sumber : http://www.sinarharapan.co.id/content/read/bantuan-kapal-dan-konflik-perebutan-wilayah/

24 September 2011

Negara Kelautan Pengimpor 1,8 Juta Ton Garam

Penulis : Suhana*   
(foto:dok/ist)
Sebulan lebih masalah garam nasional menjadi perbincangan publik, baik di media massa maupun dalam forum-forum diskusi lainnya, seperti di pertemuan focus group discussion (FGD) kantor Sinar Harapan pekan lalu.
Kisruh garam diawali dengan banjirnya garam impor legal maupun ilegal di awal 2011. Akibatnya harga garam petani anjlok. Garam impor memang sangat menekan para petani garam nasional, karena di beberapa sentra garam saat ini sedang panen raya.
Akan tetapi pada 2010 harus diakui garam impor sangat diperlukan untuk memenuhi konsumsi garam nasional. Proses produksi garam yang masih mengandalkan proses alami dari panas sinar matahari telah menjadi kendala ketika cuaca buruk, seperti yang terjadi sepanjang 2010.
Produksi garam nasional pada 2010 hanya mencapai 30.000 ton, sehingga pemerintah mengimpor lebih dari 2,1 juta ton guna memenuhi kebutuhan nasional. Rata-rata impor garam nasional setiap tahunnya mencapai 1,8 juta ton (UN Comtrade 2010).
Kisruh garam impor terjadi karena pemerintah tidak konsisten dan tegas menerapkan Surat Keputusan Menperindag No 360/MPP/Kep/5/2004 yang mengatur tentang (1) kewajiban bagi industri yang mengimpor garam (importir terdaftar garam) untuk membeli 50 persen kebutuhannya dari garam lokal terlebih dahulu, (2) dilarang mengimpor garam pada masa tertentu (satu bulan sebelum panen, selama panen, dan dua bulan setelah panen garam rakyat), serta dilarang mengimpor garam bila harga garam rakyat terlalu rendah (di bawah Rp 145.000 per ton untuk mutu K1, Rp 100.000 per ton untuk K2, dan Rp 70.000 untuk K3). Kenyataan di lapangan, SK Menperindag tersebut tak laku.
Mutu Rendah
Sebagian besar masyarakat mempertanyakan kenapa Indonesia yang lautnya luas masih mengimpor garam. Seharusnya para pemangku kepentingan (baca: pemerintah) sadar hal itu dan membuat kebijakan pergaraman nasional yang baik.
Catatan penulis menunjukkan tingginya impor garam disebabkan oleh, pertama, produksi garam nasional 100 persen masih mengandalkan panas matahari. Proses produksi garam nasional yang masih sangat tradisional tersebut menjadi pemicu rendahnya produksi garam nasional.
Sampai saat ini tidak dikembangkan teknologi tepat guna dan ekonomis yang dapat diaplikasikan oleh para petambak garam. Akibatnya, produksi garam nasional masih sangat tergantung pada kondisi cuaca, kalau panas matahari cukup, produksi garam meningkat dan sebaliknya.
Penulis menilai pemerintah tidak serius membenahi proses produksi garam nasional. Seharusnya sejak lama pemerintah dan perguruan tinggi dapat mengembangkan berbagai teknologi tepat guna dan ekonomis bagi para petani garam, namun hal itu hanya berhenti di angan-angan. Bahkan ketika ditanyakan pada kalangan perguruan tinggi dan pemerintah: adakah ahli garam di Indonesia? Jawabannya, banyak yang tidak tahu siapa ahli garam yang ada di negara bahari ini.
Kedua, garam yang diproduksi petambak tradisional kualitasnya rendah, sehingga para pengusaha lebih menyukai garam impor yang berkualitas tinggi namun harganya murah.
Secara hukum ekonomi perilaku pengusaha garam nasional tersebut dapat dibenarkan. Meskipun demikian, tanpa adanya pembinaan yang baik terhadap para petambak garam nasional agar mutu produksi mereka meningkat, sama saja dengan membiarkan mereka terus terpuruk.
Perlu Kebijakan Tuntas
Ada tiga hal pokok yang sering menjadi masalah bagi petani garam, yaitu harga, mutu, dan distribusi produk. Kalau kita lihat saat ini, penentuan harga garam di tingkat petani lebih banyak ditentukan pada mekanisme pasar, walaupun dalam SK Menperindag Tahun 2004 telah ditentukan patokan harga di tingkat titik pengepul (collecting point) di sentra-sentra garam rakyat.
Penentuan harga dalam realisasinya belum dilaksanakan, tidak dilakukan secara konsisten dan konsekuen meskipun telah ditetapkan dan diatur keputusan pemerintah.
Belum adanya standardisasi mutu yang baku dan disepakati pemangku kepentingan terkait, setidak-tidaknya oleh petani garam dan pihak produsen garam olahan, sangat merugikan petani.
Selama ini penentuan mutu oleh produsen secara sepihak berdasarkan hasil visualisasi produk. Petani garam tidak mengetahui secara pasti spesifiksi teknis kelas mutu dan harga yang berlaku. Keterbatasan akses informasi dimanfaatkan produsen dalam penentuan mutu produk garam petani.
Sementara itu, upaya untuk meningkatkan mutu dan jumlah garam rakyat yang diproduksi juga mengalami banyak kendala, antara lain makin buruknya mutu air laut sebagai bahan baku pembuatan garam, makin sempit dan kecilnya petak-petak ladang garam karena kepemilikan per orang/penguasaan lahan yang terbatas, bersaing dengan penggunaan lahan yang lebih produktif, lamanya musim hujan dan tingginya curah hujan pada waktu tertentu, dan makin tingginya biaya produksi di saat harga garam rakyat jatuh.
Berdasarkan hal tersebut, kisruh garam impor ini hendaknya dijadikan pintu masuk untuk memperbaiki kebijakan pergaraman nasional yang saat ini masih sangat amburadul. Perlu ada kebijakan yang tuntas guna memperbaiki kondisi pergaraman dan kesejahteraan petani garam nasional.
Petani garam tidak hanya memerlukan kucuran anggaran bantuan modal saja, tetapi perlu juga didukung kebijakan lainnya seperti perbaikan kualitas perairan laut nasional sebagai bahan baku para petani garam.
Selain itu juga peran perguruan tinggi dan lembaga-lembaga riset milik pemerintah lainnya perlu dioptimalkan guna menghasilkan teknologi-teknologi tepat guna dan ekonomis dalam mendukung produksi garam nasional.
Alhasil, tanpa adanya kebijakan yang tuntas, yang melibatkan semua sektor, penulis khawatir kisruh garam impor ini hanya akan berakhir tanpa ada perbaikan yang berarti bagi para petani garam nasional. Dengan begitu, garam impor akan terus menghantui para petani garam nasional.
*Penulis adalah Kepala Riset Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim.

Sumber : http://www.sinarharapan.co.id/content/read/negara-kelautan-pengimpor-18-juta-ton-garam/

06 Juni 2011

Pekerja Asing Distop

Kompas, 6 Juni 2011 | 03.31 WIB

Pekerja Asing Distop

Jakarta, Kompas - Kementerian Kelautan dan Perikanan mulai menghentikan rekomendasi penggunaan tenaga kerja asing bagi kapal perikanan Indonesia. Penghentian tenaga kerja asing diberlakukan bagi semua kapal ikan baik yang mengajukan izin baru maupun perpanjangan izin.

Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Dedy Sutisna, Sabtu (4/6) di Jakarta, mengemukakan, salah satu syarat penerbitan ataupun perpanjangan surat izin penangkapan ikan maupun surat izin kapal pengangkut ikan adalah tidak mempekerjakan tenaga kerja asing.

Menurut Dedy, ketentuan tentang penghentian rekomendasi tenaga kerja asing mulai diterapkan Maret 2011. Adapun regulasi terkait penghentian tersebut sedang dirumuskan dalam revisi Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12 Tahun 2008 tentang Usaha Perikanan Tangkap.

”Secara bertahap, pemerintah menghentikan penggunaan tenaga kerja asing di kapal perikanan,” kata Dedy.

Pemilik Perusahaan Perikanan Harini Group, Harini Nalendra, menilai, tenaga kerja Indonesia sesungguhnya memiliki keunggulan bekerja di kapal ikan, bahkan hingga tingkat internasional. Ia mencontohkan, di kapal-kapal ikan Jepang, jumlah tenaga kerja Indonesia dibandingkan dengan Jepang saat ini berbanding 4 : 1.

Meski demikian, kendala yang masih perlu dibenahi adalah sertifikasi yang mumpuni agar tenaga kerja memiliki akreditasi yang diakui internasional.

Kepala Riset Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim Suhana mengemukakan, jumlah tenaga kerja asing di kapal ikan di Laut Arafura hingga kini hampir 100 persen dari total awak kapal. Dibutuhkan kepastian implementasi di lapangan melalui pendaratan seluruh hasil tangkapan kapal perikanan di pelabuhan Indonesia seperti yang diamanatkan oleh UU Perikanan.

”Selama hasil tangkapan tidak didaratkan di pelabuhan-pelabuhan nasional, sulit untuk dapat mengontrol tenaga kerja asing,” ujar Suhana.

Terkait dengan hal itu, aparat pengawasan KKP juga perlu mendorong inspeksi ke kapal perikanan di tengah laut sehingga dapat dikontrol apakah tenaga kerja di kapal perikanan asing atau tidak. (LKT)

04 Juni 2011

Dominasi Tenaga Kerja Asing Masih Tinggi

Kompas, 4 Juni 2011 | 05.22 WIB

Dominasi Tenaga Kerja Asing Masih Tinggi

Jakarta, Kompas - Dominasi tenaga kerja asing dalam sektor perikanan di Indonesia masih tinggi. Sejak Oktober 2010 sampai Maret 2011, jumlah tenaga kerja asing mencapai 1.199 orang.

Berdasarkan temuan Badan Pemeriksa Keuangan tahun 2010, jumlah tenaga kerja asing di kapal perikanan masih di atas 70 persen. Padahal, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan mensyaratkan maksimal 30 persen.

Kepala Riset Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim Suhana, di Jakarta, Jumat (3/6), menilai, dominasi tenaga kerja asing merupakan dampak dari ketidakkonsistenan pemerintah dalam menjalankan Undang-Undang Perikanan. Selain itu, mengurangi peluang tenaga kerja nasional di sektor perikanan.

Suhana mencontohkan, apabila 200 kapal ikan mempekerjakan 30 anak buah kapal, kapal itu dapat menyerap 6.000 tenaga kerja nasional. Minimnya penyerapan tenaga kerja dalam negeri itu kontradiktif dengan upaya pemerintah mengembangkan sekolah perikanan nasional. ”Pemerintah perlu tegas mendorong penyerapan tenaga kerja perikanan dalam negeri,” kata Suhana.

Kondisi itu diperburuk dengan banyaknya kapal ikan asing di perairan Indonesia. Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan, jumlah usaha penangkapan ikan yang dicabut karena tidak berizin dan melanggar hingga Mei 2011 mencapai 217 unit.

Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad mengakui, sebagian hasil tangkapan ikan di perairan Indonesia tidak didaratkan di Indonesia, tetapi dibawa langsung ke luar negeri.

Akibatnya, pasokan ikan dalam negeri kurang sehingga Indonesia beberapa kali mengimpor ikan. Kapal berbobot mati di atas 30 ton yang dimiliki pengusaha Indonesia kurang dari 2 persen dari total kapal yang beroperasi. Selebihnya milik pengusaha asing. (LKT)

30 Mei 2011

Bertumpu pada Revolusi Biru

Sektor Kelautan | Peningkatan Impor Dipicu Berlakunya ACFTA
Bertumpu pada Revolusi Biru
Tooltip
ANTARA

Hingga saat ini, revolusi biru masih terus gencar digaungkan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Fadel Muhammad. Dalam pandangan Fadel, perubahan paradigma pembangunan dari daratan ke lautan itu perlu terus didorong dan dijadikan mainstream pembangunan nasional karena banyak masyarakat Indonesia yang tinggal di pesisir.

"Presiden juga sudah menyatakan dukungan mengenai pembangunan kelautan tersebut," ujar dia di Jakarta, Jumat (27/5).

Demi merealisasikan pembangunan kelautan tersebut, KKP membuat sejumlah program. Bersamaan dengan acara peluncuran Indonesia’s Blue Revolution, kemarin, Fadel menjanjikan adanya terobosan dan strategi baru pembangunan kelautan. Terobosan yang dimaksud ialah merevitalisasi sumber-sumber pertumbuhan ekonomi sekaligus menciptakan sumber pertumbuhan ekonomi baru di bidang kelautan dan perikanan.

Selama ini, sumber pertumbuhan berasal dari perikanan tangkap, perikanan budi daya, wisata bahari, pertambangan, transportasi laut, dan pengembangan jasa kelautan. Berdasarkan Pusat Data Statistik dan Informasi KKP, diketahui kontribusi produk domestik bruto sektor perikanan tahun 2010 mencapai 3,1 persen, dan ditargetkan meningkat menjadi 3,5 persen pada tahun ini.

Selain PDB, nilai ekspor ditargetkan meningkat tahun ini, yakni bisa mencapai 3,2 miliar dollar AS. Hingga akhir 2010, nilai ekspor perikanan diperkirakan 2,79 miliar dollar AS atau meningkat dari realisasi tahun sebelumnya yang mencapai 2,46 miliar dollar AS. Pihak KKP juga menargetkan adanya peningkatan produksi perikanan. Apabila rata-rata produksi perikanan nasional selama ini mencapai 6,4 juta ton per tahun, pada 2011 produksi ditargetkan meningkat 20 hingga 30 persen setelah pembangunan sekitar 24 minapolitan.


Belum Terealisasi

Menanggapi program revolusi biru KKP, Kepala Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim (P2KM) Suhana menyatakan program itu belum sepenuhnya terealisasi. Dia juga menilai kebijakan yang diambil pemerintah tidak konsisten.

"Pada awalnya, perikanan budi daya dan minapolitan yang fokus kegiatan untuk mendorong revolusi biru, namun program-programnya sampai saat ini belum berjalan. Tahun ini fokus kebijakan berubah dengan mendorong perikanan tangkap. Jika kebijakannya tidak konsisten, maka akan sulit mencapai target pembangunan perikanan," tandas Suhana.

Suhana juga menyoroti pembangunan perikanan pada triwulan I-2011 yang dipandangnya belum ada perbaikan signifikan dibanding dengan periode yang sama tahun lalu. Hal itu, tambah dia, didasarkan pada beberapa indikator, seperti meningkatnya laju impor, tidak berkembangnya industri perikanan, serta kesejahteraan nelayan yang tidak kunjung membaik.

Masih buruknya tingkat kesejahteraan nelayan dibenarkan pula oleh Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Yussuf Solichien. Menurut dia, pembangunan perikanan belum mampu mendongkrak taraf hidup nelayan.

"Kenyataannya nelayan masih jauh dari sejahtera, bahkan 90 persen dari mereka tidak sekolah dan hanya lulus sekolah dasar. Kondisi itu ironis karena tidak sesuai dengan amanat UUD terkait perlindungan pemerintah terhadap rakyat," paparnya.

Sementara itu, peningkatan laju impor, jelas Suhana, bisa dilihat dari pencapaian periode Januari hingga Februari 2011 yang mencapai 71,12 juta dollar AS. Kenaikan laju impor selama periode itu mencapai 54,68 persen. Padahal, pada periode yang sama tahun sebelumnya, peningkatan impor hanya 32,23 persen.

Suhana menyatakan peningkatan laju impor itu dipicu oleh berlakunya ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA). Peningkatan impor itu, tambahnya, tidak berdampak pada peningkatan kapasitas industri perikanan. Data Bank Indonesia (2011) menunjukkan rata-rata kapasitas industri perikanan yang terpakai pada triwulan I-2011 adalah 68,82 persen. Hal itu menunjukkan impor produk perikanan yang masuk ke Indonesia tidak digunakan untuk bahan baku, tetapi justru dominan untuk dikonsumsi.

Lebih lanjut, Suhana menuturkan tingginya laju impor ikan dan produk perikanan pada 2011 diduga berdampak terhadap penurunan pendapatan nelayan nasional. Hal itu dikarenakan konsumen lebih memilih ikan impor yang harganya cenderung lebih murah ketimbang ikan hasil produksi nelayan dan pembudi daya ikan nasional. aan/E-2


Sumber : http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/63323

25 Mei 2011

Sektor Perikanan Didominasi Asing

Sektor Perikanan Didominasi Asing

Kompas, Rabu 25 Mei 2011

Jakarta, Kompas - Investasi sektor perikanan saat ini didominasi asing. Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal, selama triwulan I-2011, total investasi di sektor perikanan mencapai 1,2 juta dollar AS atau sekitar Rp 10,28 miliar dan seluruhnya merupakan investasi asing.

Kepala Riset Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim Suhana, Selasa (24/5) di Jakarta, mengemukakan, penguasaan investor asing dalam sektor perikanan menunjukkan minat investor dalam negeri belum membaik sejak triwulan II-2009. Tahun 2010, investasi perikanan juga didominasi asing.

Dominasi asing di sektor perikanan itu juga tecermin dari tingginya laju impor ikan serta belum berkembangnya industri perikanan nasional. Untuk itu, diperlukan terobosan agar kebijakan perikanan mengedepankan kemajuan usaha dalam negeri dan bukan kepentingan asing.

”Rendahnya minat investor dalam negeri di sektor perikanan perlu segera diantisipasi pemerintah agar ekonomi perikanan dapat tumbuh dengan kekuatan nasional,” kata Suhana.

Hal senada dikemukakan Ketua Umum Gabungan Asosiasi Pengusaha Perikanan Indonesia Herwindo. Dominasi asing di sektor perikanan masih sangat besar, antara lain dari banyaknya bahan baku yang diekspor, sedangkan pasokan ke industri pengolahan lokal minim. Akibatnya, Indonesia bergantung impor bahan baku.

Ia menambahkan, unit pengolahan ikan hingga kini belum efektif menggandeng armada kapal perikanan untuk pasokan bahan baku. Sebagian pengusaha penangkapan ikan mengeluhkan harga ikan di tingkat unit pengolah ikan yang rendah.

Data Badan Pusat Statistik (2011) menunjukkan, nilai impor ikan dan produk perikanan bulan Januari-Februari 2011 sebesar 71,12 juta dollar AS, atau melonjak dibandingkan periode yang sama tahun 2010 sebesar 32,23 juta dollar AS. Sementara itu, nilai ekspor produk perikanan Januari-Februari tahun 2011 berkisar 320,71 juta dollar AS, atau tumbuh 15,17 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2010. (LKT/MHF)

16 Mei 2011

Pembangunan Perikanan Lamban

Pembangunan Perikanan Lamban


Koran Jakarta, Senin, 16 Mei 2011



JAKARTA – Pemerintah mengakui pembangunan sektor perikanan untuk triwulan pertama 2011 agak lamban. Beberapa indikator menunjukkan program pemberdayaan nelayan tidak menggunakan perencanaan yang matang. Dampaknya, tidak ada perbaikan signifi kan dalam peningkatan kesejahteraan nelayan.

“Pembangunan perikanan triwulan pertama 2011 menunjukkan belum ada perbaikan signifikan jika dibandingka periode yang sama tahun lalu, beberapa indikator menunjukkan laju impor meningkat, industri perikanan tidak berkembang, dan kesejahteraan nelayan tidak kunjung membaik,” kata Kepala Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim (P2KM) Suhana kepada Koran Jakarta, Minggu (15/5) Suhana menerangkan dari sisi impor triwulan pertama 2011, nilai impor periode Januari-Februari tercatat 71,12 juta dollar AS atau naik 54,68 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2010 yang tercatat hanya 32,23 persen.

Di saat bersamaan nilai ekspor produk perikanan Januari-Februar 2011 hanya naik 15,17 persen dibandingkan tahun lalu dari 272,05 juta dollar AS menjadi 320,71 juta dolar AS. Melonjaknya impor produk ikan dipicu pemberlakuan perdagangan bebas AC-FTA.
aan/E-12

04 Mei 2011

Lebih dari 400 Kilometer Pantai Indonesia Alami Erosi

Kompas, 4 Mei 2011 | 04.10 WIB

Lebih dari 400 Kilometer Pantai Indonesia Alami Erosi

Jakarta, Kompas - Perusakan ekologi pantai oleh manusia yang diperparah imbas cuaca ekstrem membuat lebih dari 400 kilometer pesisir Indonesia di 100 lebih lokasi di 17 provinsi terancam erosi pantai. Wilayah terparah adalah pesisir utara Jawa, seluruh pesisir Bali, pesisir timur Lampung, dan pesisir Sumatera Barat.

”Erosi dipicu oleh arus sejajar pantai yang dibangkitkan oleh gelombang,” kata Direktur Pesisir dan Lautan Kementerian Kelautan dan Perikanan Subandono Diposaptono, Selasa (3/5) di Jakarta. Menurut dia, erosi membuat banyak pantai di Indonesia tergerus, bukan karena abrasi. Abrasi pantai adalah pelapukan batuan pantai akibat peristiwa geologis atau hantaman gelombang.

Subandono menilai, ulah manusia merupakan penyumbang terbesar kerusakan pesisir, bukan cuaca ekstrem ataupun pemanasan global. Tindakan manusia yang merusak itu antara lain berupa penebangan hutan bakau, penambangan terumbu karang dan pasir pantai, serta pembangunan bangunan yang menjorok ke laut dan reklamasi pantai yang serampangan.

Terumbu karang, pasir pantai, dan hutan bakau memiliki fungsi sebagai benteng alami pesisir karena mampu meredam kekuatan gelombang. Adapun bangunan yang menjorok ke laut dan reklamasi tanpa memerhatikan sel sedimen atau keseragaman kondisi fisik di lokasi tertentu akan menyebabkan erosi pada satu bagian pantai dan sedimentasi pada bagian pantai yang lain.

”Tiap ada bangunan menjorok ke laut sepanjang 1 kilometer, tingkat kerusakan di darat mencapai 5 km-10 km,” ucapnya.

Cuaca ekstrem yang terjadi akhir-akhir ini membuat permukaan laut makin naik dan tinggi gelombang naik. Gelombang yang menerpa wilayah pesisir yang sudah tererosi semakin besar. Hal itu karena gelombang awal melintasi wilayah laut yang dalam akibat tidak ada benteng penahan gelombang.

Kepala Riset Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim Suhana menambahkan, tidak tertanganinya erosi pantai merupakan buah pengabaian sistem tata ruang wilayah pesisir. Akibatnya, struktur ekologis wilayah pesisir terganggu dan berdampak pada masyarakat pesisir.

”Hutan bakau sebagai benteng alam tak bisa digantikan dengan bangunan apa pun,” katanya.

Tata ruang wilayah pesisir memiliki dua aspek yang harus diperhatikan, yaitu aspek dari darat dan laut. Kalaupun tata ruang wilayah pesisir diperhatikan, umumnya masih terkonsentrasi pada aspek darat dan abai dengan aspek laut, terutama persoalan gelombang dan arus.

”Kerusakan daratan dipastikan akan merusak wilayah pesisir. Namun, kerusakan pesisir juga banyak dipicu oleh persoalan dari laut,” kata Suhana.

Subandono menyatakan, solusi terbaik untuk mengurangi dampak erosi pantai adalah mengembalikan kondisi wilayah itu sama dengan aslinya. Jika erosi dipicu oleh penebangan hutan bakau, maka harus dihijaukan kembali. Bila erosi akibat hilangnya terumbu karang, maka karang harus dihidupkan kembali.

”Pembangunan tembok atau tanggul hanya akan memindahkan masalah,” ujarnya.

Hutan bakau berguna sebagai penyerap karbon dan limbah beracun serta tempat pemijahan ikan. Adapun terumbu karang tempat habitat ikan. (MZW)

30 April 2011

Ekonomi Perikanan, CAFTA dan MEA 2015

Sumber : Sinar Harapan, 30.04.2011 10:06

Ekonomi Perikanan, CAFTA, dan MEA 2015

Penulis : Suhana*



Oleh karena itu, sangat wajar apabila diimplementasikan CAFTA, Indonesia tidak siap menghadapi gempuran produksi China, termasuk serbuan ikan impor dari China. Hal yang sama akan terjadi pada MEA 2015 apabila pemerintah tidak mempersiapkan secara sistematis MEA 2015.

Pembangunan ekonomi perikanan tahun 2010 merupakan periode yang berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, karena dimulainya kesepakatan perdagangan bebas antara China dan ASEAN (Free Trade Agremeent China–ASEAN (CAFTA).

Sektor perikanan menjadi tonggak kembalinya kekuatan asing.(foto:dok/ist)

Sebagai dampak dari tidak adanya persiapan dan perencanaan yang sistematis tahun-tahun sebelumnya, implementasi CAFTA di sektor perikanan menjadi tonggak kembalinya kekuatan asing dalam menguasai sektor perikanan.

Hal ini ditunjukkan dengan tiga indikator, yaitu pertama meningkatnya investasi asing di sektor perikanan. Data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM 2011) menunjukkan bahwa investasi asing (PMA) tahun 2010 meningkat 71,67 persen dibandingkan dengan tahun 2009, yaitu dari US$ 5,1 juta tahun 2009 meningkat menjadi US$ 18 juta tahun 2010.

Hal yang berbeda terjadi pada penanaman modal dalam negeri (PMDN). Data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM 2011) menunjukkan bahwa PMDN tahun 2010 turun Rp 23,7 miliar dibandingkan dengan tahun 2009, di mana pada 2010 investasi dalam negeri hanya mencapai Rp 1 miliar, sementara tahun 2009 investasi dalam negeri mencapai Rp 24,7 miliar.

Menurunnya investasi dalam negeri dan meningkatnya investasi asing di sektor perikanan sejalan dengan tidak konsistennya kebijakan yang dikeluarkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan. Kalau kita kembali melihat dorongan pemangku kepentingan sektor perikanan sejak 2007 untuk membatasi kepentingan asing di sektor perikanan sangat tinggi, puncaknya ketika Menteri Kelautan dan Perikanan mengesahkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen-KP) No 5 Tahun 2008 tentang izin usaha perikanan tangkap.

 Dipertegas kembali dengan disahkannya revisi UU No 31 Tahun 2004 tentang Perikanan menjadi UU No 45 Tahun 2009 tentang Perikanan pada masa akhir periode Pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu jilid I dan DPR periode 2004-2009. Pada kedua peraturan perundang-undangan tersebut kepentingan asing di sektor perikanan sangat diperketat dan lebih mendorong keterlibatan nelayan, pembudi daya ikan, investor dalam negeri, dan pengusaha ikan nasional.

Akibatnya, investasi asing pada sektor perikanan tahun 2008 dan 2009 menurun drastis, dan minat investasi dalam negeri cenderung meningkat. Data BKPM (2011) menunjukkan bahwa PMA tahun 2007 mencapai US$ 24,7 juta dan menurun drastis pada 2008 hanya mencapai US$ 2,4 juta dan akhir 2009 kembali meningkat menjadi US$ 5,1 juta. Sementara itu, pascakeluarnya Permen KP No 5 Tahun 2008 minat investasi dalam negeri mulai tumbuh. Data BKPM (2011) menunjukkan bahwa PMDN tahun 2007 hanya sebesar Rp 3,1 miliar menjadi Rp 24,7 miliar pada 2009.

Namun demikian, memasuki periode Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II, (Permen-KP) No 5 Tahun 2008 tentang izin usaha perikanan tangkap diupayakan untuk direvisi kembali dengan memasukkan kepentingan asing. Draf Revisi Permen KP No 5 Tahun 2008 Pasal 2 Ayat (1) poin d menyebutkan bahwa jenis usaha perikanan tangkap meliputi penangkapan ikan terpadu.

Sementara itu, dalam Pasal 36 Ayat 2 disebutkan bahwa usaha perikanan tangkap terpadu dilaksanakan oleh (1) usaha perikanan tangkap terpadu dengan fasilitas penanaman modal dalam negeri dan (2) usaha perikanan tangkap terpadu dengan fasilitas penanaman modal asing.

Sementara itu, dalam Pasal 37 Ayat 1 disebutkan perusahaan perikanan dengan fasilitas penanaman modal asing wajib membangun dan/atau memiliki sekurang-kurangnya unit pengolahan ikan (UPI) serta menggunakan tenaga kerja berkewarganegaraan Indonesia sesuai ketentuan yang berlaku.

Berdasarkan beberapa ayat dalam Draf Revisi Permen KP No 5 Tahun 2008 tersebut jelas sarat dengan kepentingan pengusaha asing dalam mengeksploitasi sumber daya ikan di Indonesia. Apalagi fasilitas penanaman modal asing dalam draf permen kelautan dan perikanan tersebut diberikan peluang untuk langsung mengekspor ikan langsung ke luar negeri, karena hanya diwajibkan membangun beberapa unit pengolahan ikan saja di dalam negeri.

Padahal, dalam Permen KP No 5 Tahun 2008 sudah jelas bahwa 100 persen hasil tangkapan harus diolah di dalam negeri. Walaupun implementasi Permen KP No 5 Tahun 2008 tersebut sampai saat ini belum optimal.

Kedua, besarnya laju pertumbuhan impor ikan nasional. Data UN-Comtrade (2011) menunjukkan bahwa laju pertumbuhan nilai impor ikan dan produk perikanan Indonesia tahun 2010 meningkat tajam sebesar 31,13 persen dibandingkan 2009. Sementara itu, laju pertumbuhan nilai ekspor ikan dan produk perikanan Indonesia tahun 2010 hanya meningkat sebesar 15,18 persen dibandingkan tahun 2009.

Pascaimplementasi CAFTA, ikan impor dari China sangat mendominasi ikan impor yang masuk ke Indonesia, yaitu mencapai 38,41 persen dari total impor ikan Indonesia (UN-Comtrade 2011).

Tingginya laju impor ikan dari China telah berdampak terhadap penurunan nilai Indeks Spesialisasi Perdagangan (ISP) ikan dan produk perikanan Indonesia ke China. Sementara nilai ekspor ikan dari Indonesia ke China tahun 2010 cenderung menurun sehingga neraca perdagangan ikan dan produk perikanan Indonesia menjadi negatif. Fenomena seperti ini sebenarnya sudah terjadi sejak 2009, namun pada 2010 ini terus mengalami penurunan.

Dalam periode 1996-2008, nilai ISP ikan dan produk perikanan Indonesia ke China masih bernilai positif dengan nilai rata-rata sebesar 0,75 (UN Comtrade 2011). Artinya bahwa pada periode 1996-2008 sebenarnya ekspor ikan Indonesia ke China sudah menuju tingkat kematangan.

Namun, memasuki tahun 2009 dan 2010 perdagangan ikan dan produk perikanan Indonesia terus mengalami penurunan yang drastis seiring dengan terus meningkatnya laju impor ikan dan produk perikanan dari China ke Indonesia. Oleh sebab itu, apabila kondisi tersebut tidak ditanggulangi secara cepat dan tepat, dikhawatirkan daya saing ikan dan produk perikanan Indonesia ke China akan semakin terpuruk.

Ketiga, tidak berkembangnya industri pengolahan ikan nasional. Tingginya laju impor tahun 2010 ternyata tidak berdampak nyata terhadap peningkatan kapasitas industri perikanan yang terpakai.

Data Bank Indonesia (2011) menunjukkan bahwa rata-rata kapasitas industri perikanan yang terpakai mengalami penurunan menjadi 71,76 persen dari sebelumnya (2009) yang tercatat sebesar 74,05 persen. Hal ini menunjukkan bahwa ikan dan produk perikanan yang masuk ke Indonesia bukan merupakan sumber bahan baku bagi industri pengolahan perikanan nasional, tetapi lebih didominasi oleh ikan dan produk perikanan yang siap konsumsi.

Ketiga indikator tersebut terlihat berjalan secara sistematis sehingga berkuasanya kembali kekuatan asing di sektor perikanan berlangsung secara cepat. Alhasil, apabila kondisi tersebut tidak mengalami perubahan maka tidak menutup kemungkinan MEA 2015 akan semakin mengancam kelestarian sumber daya ikan, pendapatan perikanan nasional, penyerapan tenaga kerja perikanan dan kesejahteraan nelayan serta pembudi daya ikan.

*Penulis adalah Kepala Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim

25 April 2011

Info Buku




Segera terbit buku berjudul :
Ekonomi Politik Kebijakan Kelautan Indonesia.
Penulis Suhana.

Nantikan kabar selanjutnya...

Ribuan Ton Ikan Impor Diloloskan

Senin,
25 April 2011

Ribuan Ton Ikan Impor Diloloskan

Jakarta, Kompas - Ribuan ton ikan impor ilegal, yang ditahan di pelabuhan perikanan dan bandar udara, dilepaskan ke dalam negeri. Pelepasan ikan impor itu dilakukan setelah mendapat izin dari Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Berdasarkan data Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan, hingga akhir pekan lalu, total produk perikanan impor yang tidak diizinkan masuk sebanyak 12.060.506 kilogram (12.060 ton) atau 245 kontainer. Dari jumlah ikan impor yang ditolak tersebut, sejumlah 2.360.000 kg (2.360 ton) ikan dilepaskan ke dalam negeri setelah mendapat izin dari Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (P2HP) Kementerian Kelautan dan Perikanan Victor Nikijuluw, menjelaskan, izin impor ikan tersebut diberikan untuk kepentingan pengolahan ikan, kebutuhan umpan, serta ikan yang tidak bisa diproduksi di dalam negeri. ”Kami bukan melarang impor ikan, tetapi mengelola impor,” ujar Victor.

Terhitung sejak Maret 2011, Kementerian Kelautan dan Perikanan menahan ribuan ton ikan beku impor di lima pelabuhan perikanan dan satu bandar udara. Penahanan ikan impor dilakukan karena tidak memiliki izin impor hasil perikanan yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal P2HP KKP sesuai dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 17 Tahun 2010.

Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad pernah menyatakan, tidak ada toleransi dan kompromi terhadap produk ikan impor yang tidak punya izin. Ribuan ton ikan impor yang tidak memiliki izin itu akan segera dipulangkan ke negara asal (Kompas, 21/3). Ikan impor ilegal yang ditolak dan sudah dipulangkan atau diekspor ulang ke negara asal hingga Kamis pekan lalu mencapai 4.172.950 kg (4.172 ton) atau 152 kontainer. Ikan impor ilegal yang dalam proses pemulangan ke negara asal sebanyak 2.399.049 kg (2.399 ton).

Kebutuhan industri

Secara terpisah, Kepala Riset Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim Suhana menilai, ikan impor yang tidak memiliki izin seharusnya dipulangkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Suhana menambahkan, pemerintah seharusnya mengeluarkan data terkait berapa kebutuhan bahan baku industri pengolahan nasional dan berapa persen yang harus disuplai dari impor. Hal ini diperlukan guna menghindari impor ikan ilegal yang mengatasnamakan kebutuhan industri pengolahan.

Berdasarkan data survei BI, kapasitas terpakai industri pengolahan pada 2010 jumlahnya cenderung menurun dibandingkan tahun 2009. Padahal, impor ikan meningkat tajam sampai di atas 31 persen. Kapasitas industri yang terpakai pada industri perikanan tahun 2010 rata-rata sekitar 71 persen, sementara tahun 2009 tercatat rata-rata di atas 74 persen.

Menurut Victor Nikijuluw, pihaknya sedang menghitung dan mengevaluasi kebutuhan riil impor ikan. Hingga saat ini, pengajuan izin impor ikan ke KKP sudah mencapai tiga juta ton per tahun. Permintaan izin impor didominasi untuk ikan kembung dan layang. ”Kebutuhan impor ikan sangat bergantung pada produksi dalam negeri. Penghitungan kebutuhan impor akan dievaluasi setiap enam bulan,” ujar Victor.

Menurut Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu, prinsip utama impor perikanan adalah, pertama, keamanan dan kesehatan produk. Kedua, pemenuhan syarat-syarat yang telah ditentukan. (LKT)


Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2011/04/25/03502315/ribuan.ton.ikan.impor.diloloskan

22 Februari 2011

Swasembada Garam 2015


Pemerintah melalui kementerian kelautan dan perikanan sudah mencanangkan swasembada garam tahun 2015. Hal ini didorong oleh kondisi yang menunjukan bahwa sebaga negara kepulauan indonesia sampai saat ini merupakan negara pengimpor garam. Selain itu juga kondisi petambak garam di indonesia terlihat belum mengalami peningkatan dari tahun-ketahun. Hal ini seiring dengan harga garam dari petambak nasional yang tidak mengalami peningkatan yang berarti, bahkan yang terjadi dibeberapa daerah diperparah lagi dengan rendahnya kualitas garam hasil produksi petambak nasional. Untuk mewujudkan swasembada garam di Indonesia bukan permasalahan yang mudah.
Tantangan utamanya adalah kondisi cuaca, hasil studi penulis (2010) di kabupaten pamekasan jawa timur, menunjukan bahwa para petambak garam di kabupaten pamekasan sepanjang tahun 2010 tidak melakukan aktivitas penggaraman dikarenakan terjadinya hujan sepanjang tahun 2010 di wilayah tersebut.
Menurut catatan para petambak, normalnya para petambak dalam setahun bisa melakukan aktivitas penggaraman selama 6 bulan dan dalam 1 bulan biasanya bisa panen garam sekitar 2-4 kali panen. Artinya dalam setahun mereka dapat melakukan panen sekitar 12-24 kali panen. Akan tetapi sepanjang tahun 2010 ternyata mereka tidak satu kalipun melakukan panen garam. Inilah tantangan utama yang perlu dipertimbangkan oleh pemerintah dalam mencanangkan program swasembada garam tahun 2015. Pemerintah perlu bekerjasama dengan badan meteorologi dan geofisika dalam menentukan wilayah-wilayah yang dapat dijadikan lokasi penggaraman yang ideal, artinya musim penghujannya lebih rendah dibandingkan musim kemarau. Sebagai negara tropis pertimbangan musim dalam menentukan lokasi penggararam nasional guna mencapai target swasembada garam 2015 menjadi keharusan.
Selain faktor cuaca, faktor lain yang perlu mendapatkan perhatian adalah masalah pencemaran perairan. Kita ketahui bahwa di beberapa wilayah perairan indonesia diduga sudah mengalami pencemaran yang akut. Faktor pencemaran perairan ini akan sangat menentukan kualitas garam yang di produksi, misalnya apabila di suatu perairan tersebut sudah tercemar timbal, maka secara logika garam yang diproduksi akan mengandung timbal juga, karena timbal tidak ikut menguap seperti air, timbal akan terikat di kristal-kristal garam yang diproduksi oleh para petambak garam. Dengan demikian apabila garam tersebut dikonsumsi oleh manusia, maka dengan sendirinya akan terkena dampaknya, seperti gangguang kesehatan. Berdasarkan hal tersebut survey kualitas perairan di lokasi penggaraman menjadi suatu kebutuhan yang mendesak, agar produksi garam nasional terlindung dari zat pencemar yang dapat merugikan masyarakat.

Bersambung .........

07 Februari 2011

Impor Ikan Bakal Melonjak

Impor Ikan Bakal Melonjak

Senin, 07 Februari 2011
Sektor Perikanan , Produksi Anjlok Akibat Mahalnya Biaya Operasi

JAKARTA – Tingginya biaya produksi dan terbatasnya pasokan bahan bakar minyak (BBM) memicu mahalnya harga produk ikan di dalam negeri sehingga sulit bersaing dengan produk impor. Akibatnya, impor produk ikan tahun ini diprediksi bakal mengalami lonjakan. “Saat ini, ikan dan produk perikanan impor mulai mengancam hasil tangkapan nelayan dan pembudi daya ikan. Produk kita kalah bersaing karena dari sisi biaya produksi lebih mahal dibandingkan dengan negara asia lain,” kata Kepala Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim Suhana kepada Koran Jakarta, Minggu (6/2).

Berdasarkan data PBB/UN Comtrade, hingga akhir 2010, Indonesia masuk tujuh besar negara importir ikan terbesar di Asia. Urutan pertama ditempati China dengan volume impor 47 persen, Thailand 12 persen, Vietnam delapan persen, Jepang delapan persen, Malaysia delapan persen, Korea Selatan lima persen, dan Indonesia empat persen. Suhana memprediksi peta perdagangan ikan dan produk perikanan akan terus berubah, dan impor ikan yang dilakukan Indonesia akan melonjak jika tidak ada langkah-langkah serius dari pemerintah.

Sampai saat ini, pemerintah masih memilih impor saat terjadi paceklik untuk menjaga pasokan dan tidak menyelamatkan hasil produksi nelayan dan pembudi daya ikan saat produksi melimpah. “KKP harus melindungi produk ikan dalam negeri dari masuknya ikan dan produk ikan impor. Distribusi perdagangan ikan antarwilayah perlu diperbaiki sehingga tidak terjadi penumpukan di sentra perikanan. Langkah itu perlu sehingga produk pembudi daya bisa terserap,” ungkapnya. Selain itu, kata Suhana, KKP perlu menyiapkan langkah konkret untuk menekan biaya produksi.

Pasalnya, saat ini, pembudi daya dan nelayan tangkap masih berkutat pada persoalan mahalnya harga pakan serta terbatasnya pasokan BBM. Kepedulian Pemerintah Menurut Wakil Ketua Komisi IV DPR Herman Khaeron, kepedulian pemerintah terhadap nelayan tangkap dan budi daya ikan domestik masih minim. Ia menyatakan jika persoalan mahalnya harga pakan tidak mampu diselesaikan pemerintah, angka impor ikan dan produk ikan berpotensi melonjak. “Jika masalah harga pakan tidak teratasi, daya saing produk ikan dalam negeri akan lemah dan impor ikan akan terus meningkat. Pakan ikan itu 40 persen dari biaya produksi pembudi daya,” jelasnya.

Kondisi itu berakibat pada perbedaan harga produk ikan dalam negeri dibandingkan impor. Ia mencontohkan saat ini harga jual lele di dalam negeri 10 ribu-11 ribu rupiah per kilogram, sedangkan lele impor dari Malaysia hanya 7.500 rupiah per kilogram. Murahnya harga lele dari Malasysia, kata Herman, dipicu oleh murahnya biaya produksi dan dukungan pemerintah terhadap pembudi daya. Selain didukung subsidi, pemerintah Malaysia melindungi pasar domestiknya dengan pengenaan bea masuk yang kompetitif. Dari kondisi itu, kata Herman, KKP perlu melakukan langkah perlindungan bagi pembudi daya, di antaranya memberikan subsidi pakan untuk menekan ongkos produksi.

Cuaca Buruk

Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (P2HP) Martani Husaeni mengakui terjadinya lonjakan harga ikan laut disebabkan minimnya produksi ikan darat serta minimnya hasil tangkapan ikan karena banyak nelayan tidak melaut. Berdasarkan data dari KKP, 473.983 nelayan di 41 kabupaten/ kota tidak bisa melaut karena cuaca buruk. Untuk mengurangi dampak sosial, menurut Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad, pemerintah akan mempercepat penyaluran bantuan sosial bagi para nelayan. Bantuan tersebut dikeluarkan karena terdapat sekitar 457 ribu nelayan di 20 provinsi yang tidak bisa melaut akibat cuaca buruk.

Percepatan pencairan dana bansos bagi nelayan akan dilakukan tanpa menunggu prosedur yang berbelit-belit dalam pencairan dana. Dana bansos yang dapat digunakan dalam APBN 2011 sebesar 540 miliar rupiah dalam bentuk dana dekonsentrasi. Dana itu ada dalam pos anggaran Kementerian Sosial.
aan/ito/E-12


Sumber : http://www.koran-jakarta.com/berita-detail.php?id=74647

Lampiran


Saatnya Mewujudkan Negara Kepulauan Indonesia

"UUD 1945 Pasal 25E telah mengamantkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang"
”Untuk membangun Indonesia menjadi negara besar, negara kuat, negara makmur, negara damai yang merupakan National Building bagi negara Indonesia, maka negara dapat menjadi kuat jika dapat menguasai lautan. Untuk menguasai lautan, kita harus menguasai armada yang seimbang.” (Pidato Bung Karno yang disampaikan dalam National Maritime Convention I tahun 1963)