15 Desember 2010

Jurnal Transisi Edisi Volume 6 No 2 Tahun 2010

Cover Jurnal Transisi Edisi Volume 6 No 2 Tahun 2010

Jurnal Transisi diterbitkan oleh Institutte Strengthening Transition Society Studies (In-Trans Institute), yaitu lembaga non profit, non partisan dan idependen yang mempunyai fokus pada penguatan demokrasi di tingkat lokal guna terwujudnya tatanan masyarakat yang berkualitas dan memiliki kesadaran kritis menuju perubahan sosial yang berkeadilan melalui riset dan analisis pelaksanaan kebijakan pembangunan di daerah dan melakukan peningkatan kapasitas sosial bagi masyarakat serta melakukan publikasi hasil riset dan pengalaman lapangan.
Dalam edisi ini, saya diminta untuk menulis tentang kebijakan ekonomi kelautan dan perikanan. Judul tulisan saya dalam edisi khusus kelautan ini adalah "Redesain Kebijakan Ekonomi Kelautan dan Perikanan untuk Kesejahteraan Rakyat dan Kelestarian sumberdaya".

Salam

Suhana

23 Agustus 2010

Malaysia di Balik Insiden Perairan Bintan

Harian Sinar Harapan, Senin, 23 Agustus 2010 13:04

Malaysia di Balik Insiden Perairan Bintan

OLEH: SUHANA


Seminggu terakhir ini bangsa Indonesia dikejutkan dengan insiden penangkapan tiga aparat Pengawas Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Tanjung Balai Karimun, Provinsi Riau, di perairan Tanjung Berakit, Pulau Bintan, oleh Marine Police Malaysia.

Insinden tersebut menyita perhatian masyarakat Indonesia, termasuk media masa.
Kita patut berterima kasih pada semua media masa atas laporannya tersebut, karena telah mengingatkan bangsa ini bahwa kita masih punya masalah perbatasan dengan Malaysia di perairan Bintan.
Kalau kita cermati secara mendalam, insiden perairan Bintan merupakan salah satu strategi “licik” Malaysia untuk mengklaim perairan Bintan sebagai wilayah kedaulatannya yang sampai saat ini perundi­ngannya masih mengalami kebuntuan. Sebelumnya, pemerintah Malaysia pernah mengklaim wilayah perairan tersebut merupakan wilayah kedaulatannya dengan me­ngeluarkan peta, namun pemerintah Indonesia sudah melayangkan penolakan atas peta tersebut.
Meski demikian, upaya Malaysia untuk mengklaim perairan tersebut ternyata tidak berhenti sampai di situ, mereka terus melakukan berbagai upaya untuk menunjukkan bahwa perairan tersebut masuk ke dalam kedaulatan mereka. Saat ini, pemerintah Malaysia memanfaatkan kelengahan pengawasan pencurian ikan oleh aparat Indonesia di wilayah perairan perbatasan.
Kita tahu bahwa jumlah hari operasi Kapal Pengawas Kelautan dan Perikanan tahun 2010 ini mengalami penurunan dari 180 hari menjadi 100 hari, akibatnya, pengawasan pencurian ikan di perairan Indonesia menjadi lengah. Dengan begitu, tidak heran kalau aktivitas pencurian ikan di perairan Indonesia saat ini cenderung meningkat. Data Kementerian Kelautan dan Perikanan (2010) menunjukkan bahwa sampai akhir juni 2010 tercatat dari 116 kapal ikan ilegal yang tertangkap kapal pengawas perikanan, 112 di antaranya merupakan kapal ikan asing, termasuk kapal Malaysia. Berkurangnya hari operasi kapal pengawas tersebut merupakan dampak kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan yang merealokasi anggaran di Kementerian Kelautan dan Perikanan Tahun 2010.

Tim Diplomasi Indonesia
Penulis menduga bahwa lima kapal nelayan yang melakukan pencurian ikan di wilayah perairan Bintan tersebut sengaja disuruh oleh pemerintah Malaysia untuk menangkap ikan di wilayah tersebut. Hal ini dimaksudkan apabila tidak ada tindakan protes dari aparat Indonesia, mereka dapat mengkalim bahwa perairan tersebut merupakan wilayah kedaulatannya.
Dugaan tersebut dikuatkan dengan cepatnya Marine Police Malaysia mengadang kapal Pengawas Kelautan dan Perikanan yang menangkap para nelayan yang sedang mencuri ikan tersebut. Yang akhirnya tiga aparat Pengawas Kelautan dan Perikanan Indonesia turut ditahan oleh Marine Police Malaysia. Meskipun begitu, hasil diplomasi singkat antara pemerintah Indonesia dengan Malaysia memutuskan untuk melakukan barter antara tiga aparat Pengawas Kelautan dan Perikanan RI dengan tujuh nelayan yang ditahan aparat Indonesia.
Sebenarnya, “barter” tiga aparat Pengawasan Kelautan dan Perikanan dengan tujuh nelayan Malaysia yang ditahan oleh aparat Indonesia merupakan salah satu bentuk kekalahan Tim Diplomasi Indonesia dan kemenangan bagi pemerintah Malaysia. Dengan adanya barter tersebut, secara tidak langsung pemerintah Malaysia ingin menunjukkan pada dunia internasional bahwa sebenarnya ketujuh nelayan Malaysia tersebut melakukan penangkapan ikan di wilayah perairan Malaysia. Hal ini ditunjukkan dengan tidak adanya proses hukum sesuai peraturan perundang-unda­ngan Indonesia yang mengatur masalah pencurian ikan. Inilah kesalahan serius yang dilakukan Tim Diplomasi Indonesia dalam penyelesaian masalah tersebut. Seharusnya, Pemerintah Indonesia melakukan protes diplomatik terhadap pemerintah Malaysia atas insiden penangkapan tiga aparat Pengawasan Kelautan dan Perikanan oleh Marine Police Malaysia dan mempro­ses menurut hukum yang berlaku terhadap tujuh nelayan Malaysia yang tertangkap.
Kalau kita cermati secara detail, strategi pemerintah Malaysia dalam berupaya mengklaim perairan Bintan sebagai wilayah kedaulatannya tersebut, merupakan strategi lama yang pernah mereka lakukan dalam memenangi kasus perebutan Pulau Sipadan dan Ligitan tahun 2002. Kalau kita lihat kembali dokumen perebutan Pulau Sipadan dan Ligitan, perundingan Indonesia dan Malaysia waktu itu me­ngalami hal yang sama, yaitu kebuntuan. Akhirnya, waktu itu disepakati bahwa sampai belum adanya keputusan tetap tentang kepemilikan kedua pulau tersebut, maka statusnya disepakati status quo. Meski demikian, dalam kondisi status quo tersebut pemerintah Malaysia telah memanfaatkan kelengahan Pemerintah Indonesia atas pengawasan terhadap kedua pulau tersebut dengan cara memberikan izin untuk membuat berbagai sarana wisata di kedua pulau tersebut. Upaya pemerintah Malaysia tersebut berhasil dilakukan karena tidak ada protes dari pemerintah Indonesia.
Dalam Sidang Mahkamah Internasional tahun 2002, Mahkamah Internasional sempat memutuskan bahwa pemerintah Indonesia dan Malaysia tidak berhak atas Pulau Ligitan dan Sipadan berdasarkan traktat. Mahkamah selanjutnya mempertimbangkan pertanyaan apakah Indonesia atau Malaysia dapat memiliki hak kepemilikan (title) atas pulau-pulau sengketa berdasarkan effectivites (penguasaan efektif) yang diajukan mereka.
Dalam kaitan ini, Mahkamah menentukan apakah klaim kedaulatan para pihak berdasarkan kegiatan-kegiatan yang membuktikan adanya suatu tindakan nyata, pelaksanaan kewenangan secara terus-menerus terhadap kedua pulau, antara lain mi­salnya (adanya) iktikad dan keinginan untuk bertindak sebagai perwujudan kedaulatan. Berdasarkan effectivites (penguasaan efektif) tersebut, maka pada tanggal 17 Desember 2002 Mahkamah Internasional mengakui pe­nguasaan efektif yang telah dilakukan oleh pemerintah Malaysia atas Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan, dan selama penguasaan efektif tersebut tidak ada gugatan atau protes dari pemerintah Indonesia.

Tingkatkan Pengawasan
Berdasarkan hal tersebut, pemerintah Indonesia perlu lebih waspada terhadap berbagai upaya pemerintah Malaysia dalam mengkalim wilayahnya di wilayah perairan perbatasan. Sampai saat ini, perundingan perbatasan laut antara Indonesia dengan Malaysia masih menyimpan permasalahan di empat kawasan yang masih membutuhkan pembahasan untuk mencapai suatu kesepakatan, yaitu Selat Malaka untuk penentuan batas ZEE, Selat Malaka Bagian Selatan untuk penentuan batas Laut Teritorial, Laut China Selatan untuk penentuan batas Laut Teritorial dan ZEE, dan Laut Sulawesi untuk penentuan batas Laut Teritorial, ZEE dan Landas Kontinen.
Selain empat kawasan tersebut di atas, masih ada satu kawasan batas laut yang harus dibicarakan antara Indonesia, Malaysia, dan Singapura, yaitu wilayah laut di sekitar Pulau Batu Puteh atau Pedra Branca yang terletak di sebelah utara Pulau Bintan, lokasi insiden penangkapan tiga aparat Pengawas Kelautan dan Perikanan Indonesia oleh kapal patroli Marine Police Malaysia pada tanggal 13 Agustus 2010.
Oleh sebab itu, pemerintah Indonesia perlu terus meningkatkan upaya kehadiran kapal pengawas–TNI AL, Kapal Pengawas Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta Kapal Patroli Kepolisian–di perairan perbatasan Indonesia, khususnya dengan perbatasan Malaysia. Selain itu juga, pemerintah Indonesia perlu terus menekan negara-negara tetangga yang belum menyepakati beriktikad baik dalam menyepakati batas wilayah dengan Indonesia, seperti Singapura dan Malaysia.
Bentuk penekanan tersebut dapat dilakukan melalui pe­ninjauan kembali berbagai program kerja sama antara Indonesia dengan negara tetangga, seperti dua program konservasi laut regional yang melibatkan Indonesia dan Malaysia (Sulu Sulawesi Marine Ecoregion/SSME dan Coral Triangle Initiative/CTI). Kedua program tersebut hendaknya dihentikan sementara sampai ada kesepahaman batas wilayah di laut antara Indonesia dan Malaysia.
Kita harus paham bahwa di sekitar wilayah dua program konservasi laut tersebut (Sulu Sulawesi Marine Ecoregion/SSME dan Coral Triangle Initiative/CTI) ada blok ambalat yang menjadi incaran Malaysia pasca-Pulau Sipadan dan Ligitan menjadi milik Malaysia. Oleh sebab itu, penulis mengusulkan agar permasalahan penyelesaian batas wilayah ini harus menjadi prasyarat keberlanjutan dua program konservasi tersebut. Alhasil, tanpa adanya upaya yang lebih tegas dan komprehensif, dikhawatirkan keutuhan NKRI akan terganggu.

Penulis adalah Kepala Riset Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim.

16 Agustus 2010

Men-KP Jangan Abaikan “Illegal Fishing”

Harian Umum, Sinar Harapan, Jumat, 13 Agustus 2010 12:54

Men-KP Jangan Abaikan “Illegal Fishing”

OLEH: SUHANA


Illegal fishing merupakan kejahatan perikanan yang sudah terorganisasi secara matang, mulai di tingkat nasional sampai internasional.

Bahkan, Organisasi Pangan Internasional (FAO) telah menempatkan illegal fishing sebagai kejahatan perikanan yang perlu mendapatkan perhatian serius. Sejak tahun 1992, FAO telah memprakarsai pembentukan suatu tata laksana perikanan yang bertanggung jawab, salah satunya memberantas praktik illegal fishing.
Prakarsa FAO tersebut lahir melalui Deklarasi Cancun tahun 1992 pada International Conference on Responsible Fishing. Pascadeklarasi Cancun, berbagai kebijakan internasional untuk memberantas kejahatan perikanan ini banyak dibentuk. Inisiatif FAO tersebut telah banyak mendapat sambutan baik dari seluruh negara, termasuk Indonesia. Bahkan, Uni Eropa sejak awal tahun 2010 ini telah menerapkan aturan semua produk perikanan yang masuk ke pasar Uni Eropa harus bebas dari praktik Illegal-Unreported-Unregulated (IUU) Fishing. Penerapan kebijakan tersebut telah berdampak pada beberapa perusahaan perikanan Indonesia saat ini. Menurut catatan Asosiasi Pengusaha Pengolahan dan Pemasaran Produk Perikanan Indonesia, pascapemberlakuan aturan Uni Eropa tersebut, ada 15 kapal perikanan Indonesia yang hasil tangkapannya ditolak pasar Uni Eropa karena diduga melakukan praktik pencurian ikan.
Meskipun demikian, di tengah-tengah dunia yang tengah memerangi kejahatan perikanan ini, Kementerian Kelautan dan Perikanan yang sejak awal berdiri bernama Departemen Eksplorasi Laut sampai Departemen Kelautan dan Perikanan Kabinet Indonesia Bersatu Jilid I sangat konsen terhadap pemberantasan kejahatan perikanan, tiba-tiba saat ini upaya untuk memerangi praktik illegal fishing ini mengalami penurunan yang sangat signifikan. Hal ini dapat ditunjukkan dengan kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan (Men-KP) Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II yang mengurangi Hari Operasi Kapal Pengawas Perikanan dari 180 hari menjadi 100 hari.
Pengurangan hari operasi tersebut merupakan dampak dari adanya kebijakan realokasi anggaran di Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2010 untuk mengembangkan budi daya perikanan. Meskipun begitu, ternyata kebijakan realokasi anggaran tersebut saat ini menimbulkan masalah serius bagi keberlangsungan ekonomi dan sumber daya perikanan nasional ke depan.
Pengurangan hari operasi pengawasan ini akan memicu semakin maraknya praktik pencurian ikan di perairan Indonesia. Data Kementerian Kelautan dan Perikanan (2010) menunjukkan bahwa tren kapal perikanan asing yang masuk secara ilegal ke perairan Indonesia sejak Januari sampai Juni 2010 cenderung meningkat. Mereka telah memanfaatkan kelengahan pemerintah Indonesia dalam mengawasi perairan indonesia. Hal ini dapat dilihat dari jumlah kapal ikan asing yang tertangkap, yang sampai akhir Juni 2010 tercatat dari 116 kapal ikan ilegal yang tertangkap kapal pengawas perikanan, 112 di antaranya merupakan kapal ikan asing.
Bahkan, Harian Kompas (7/7/2010) memperkirakan praktik pencurian ikan oleh kapal asing akan meningkat pada bulan Juli-Agustus ini. Prediksi tersebut bukan tanpa dasar. Berbagai hasil riset menunjukkan ikan tuna yang menjadi target utama kapal ikan asing di wilayah ZEEI pada Mei-Agustus berada di kedalaman antara 80-140 meter di bawah permukaan air laut. Artinya, pada bulan-bulan tersebut sangat cocok untuk melakukan penangkapan ikan tuna, karena tidak memerlukan upaya yang sangat besar. Karena pada bulan-bulan lainnya ikan tuna berada pada kedalaman di bawah 140 meter di bawah permukaan air laut, sehingga memerlukan upaya yang besar untuk menangkapnya.
Selain itu juga, kalau melihat data FAO (2001), diperkirakan kerugian Indonesia dari perikanan ilegal tersebut mencapai sekitar US$ 4 miliar. Kalau kita lihat dari perkembangan harga ikan rata-rata setiap tahunnya berkisar US$ 1.000-US$ 2.000 per ton ikan, maka apabila kita asumsikan harga ikan rata-rata sebesar US$ 1.000 per ton, jumlah ikan yang dicuri mencapai sekitar 4 juta ton per tahun. Sementara itu, apabila harga ikan rata-rata diasumsikan sekitar US$ 2.000 per ton, maka jumlah ikan yang dicuri sekitar 2 juta ton per tahun.
Lebih lanjut lagi, apabila kita asumsikan rata-rata tonase kapal ilegal yang menangkap ikan di perairan Indonesia mencapai 200 ton dan setiap tahunnya melakukan empat kali trip penangkapan, maka jumlah kapal ilegal per tahun mencapai 2.500-5.000 kapal.
Atas dasar hal tersebut, hendaknya Men-KP dapat menyadari pentingnya upaya serius untuk memberantas praktik kejahatan perikanan di perairan Indonesia. Hal ini selain akan berdampak terhadap kelestarian sumberdaya ikan, juga berdampak pada nasib ekspor produk ikan nasional dan keberlangsungan program minapolitan yang dijadikan program andalan Men-KP.

Minapolitan
Penanganan illegal fishing secara komprehensif akan mendukung target pemerintah dalam program minapolitan. Hal ini didasarkan pada masih tingginya ketergantungan pengembangan budi daya ikan terhadap hasil tangkapan nelayan di laut. Apalagi, sampai saat ini pemerintah dan pembudi daya ikan nasional belum dapat menemukan alternatif pakan ikan selain bersumber dari ikan rucah hasil tangkapan nelayan. Hasil penelitian Daniel Pauly (2006), untuk menghasilkan 1 kg daging ikan kerapu (atau ikan karnivora lainnya), bisa membutuhkan 5-10 kg ikan rucah/small pelagic hasil tangkapan nelayan.
Berdasarkan hal tersebut, sangat tepat jika dalam mendukung program minapolitan, Men-KP memperbaiki dan meningkatkan upaya pengawasan dan pengendalian kejahatan perikanan yang telah menguras banyak sumber daya ikan di perairan Indonesia oleh kapal asing dan kapal perikanan nasional. Men-KP hendaknya mengembalikan Hari Operasi Kapal Pengawas Perikanan menjadi 180 hari.
Selain itu, hendaknya Men-KP merumuskan langkah-langlah komprehensif dalam menangani illegal fishing. Ada beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian khusus, yaitu pertama, peningkatan kesadaran dan kerja sama antarseluruh pemangku kepentingan perikanan dan kelautan nasional dalam pemberantasan praktik illegal fishing. Hal ini perlu dilakukan karena illegal fishing selama ini banyak dilakukan oleh pemangku kepentingan perikanan itu sendiri, termasuk pemerintah dan pengusaha perikanan. Hal mendesak yang perlu dilakukan adalah memberantas KKN dalam pengurusan izin penangkapan ikan.
Kedua, peningkatan peran Indonesia dalam kerja sama pengelolaan perikanan regional. Dengan meningkatkan peran ini, Indonesia dapat meminta negara lain untuk memberlakukan sanksi bagi kapal yang menangkap ikan secara ilegal di perairan Indonesia. Data KKP (2010) menunjukkan bahwa sepanjang periode Januari-Juni 2010, kapal ikan asing yang melakukan pencurian ikan di perairan Indonesia didominasi oleh Malaysia, Vietnam, Thailand, RRC, dan Filipina. Dengan menerapkan kebijakan anti-illegal fishing secara regional, upaya pencurian ikan oleh kapal asing dapat ditekan serendah mungkin. Kerja sama ini juga dapat diterapkan dalam konteks untuk menekan biaya operasional MCS, sehingga joint operation untuk VMS (Vessel Monitoring Systems), misalnya, dapat dilakukan.
Menurut hemat penulis, pemberantasan illegal fishing di perairan Indonesia saat ini tidak bisa ditawar-tawar lagi. Artinya, pemerintah dan para pemangku kepentingan perikanan dan kelautan lainnya perlu bekerja sama untuk memberantasnya. Karena apabila hal ini tidak secepatnya dilakukan, maka program minapolitan hanya akan menjadi jargon seperti program-program sebelumnya, yaitu Protekan 2003, Gerbang Mina Bahari, dan Revitalisasi Perikanan. Sudah saatnya potensi sumber daya ikan di perairan Indonesia dimanfaatkan secara penuh oleh masyarakat Indonesia sendiri.

Penulis adalah Kepala Riset Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim.

Sumber : http://www.sinarharapan.co.id/cetak/berita/back_to/indeks-lalu/read/men-kp-jangan-abaikan-illegal-fishing/?tx_ttnews[years]=2010&tx_ttnews[months]=08&tx_ttnews[days]=13&cHash=088b9da33a

23 Juli 2010

Nelayan Dialihkan ke Budidaya

Nelayan Dialihkan ke Budidaya

Masyarakat Perlu Diberi Pemahaman soal Perubahan Iklim


JAKARTA, KOMPAS - Guna mengantisipasi gangguan cuaca dan dampak perubahan iklim, nelayan diarahkan untuk beralih profesi ke perikanan budidaya. Saat ini Kementerian Kelautan dan Perikanan menginventarisasi wilayah tangkapan ikan yang terkena dampak cuaca ekstrem.

Hal itu dikemukakan Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad di Jakarta, Selasa (20/7). Ia mengemukakan, perikanan budidaya merupakan instrumen mata pencarian alternatif bagi nelayan karena perubahan iklim dan alam tidak bisa dilawan. Budidaya laut yang diarahkan bagi nelayan antara lain ikan kerapu dan rumput laut

Dari Kementerian Pertanian, Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Tanaman Pangan sekaligus Kepala Balitbang Pertanian Gatot Irianto mengatakan, perubahan iklim tak hanya berdampak buruk. Masih banyak petani di be-lahan daerah lain yang diuntungkan karena mereka bisa menikmati kenaikan harga produk pertanian meski tidak terlalu besar.

Manfaatkan teluk

Perikanan budidaya, ujar Fadel, dapat dilakukan dengan memanfaatkan teluk dan perairan yang terlindung agar tidak terganggu gelombang tinggi.

Kini sedang disiapkan tenaga penyuluh perikanan untuk mengubah pola pikir dan menggiring nelayan beralih ke budidaya. "Ini tugas berat karena mereka (nelayan) belum terbiasa," ujarnya

Kepala Badan Riset Kelautan dan Perikanan Gellwynn Jusuf mengemukakan, tingginya gelombang di sejumlah perairan Indonesia disebabkan beberapa faktor, di antaranya badai Coson di Filipina. Akibat perubahan iklim, kini intensitas badai ditengarai terus meningkat.

Upaya jangka pendek

Fadel mengatakan, upaya jangka pendek adalah dengan menyalurkan dana bantuan tanggap darurat nelayan di Kementerian Sosial senilai Rp 200 miliar. Bantuan itu berupa beras dan kebutuhan pokok senilai Rp 200.000-Rp 300.000 per nelayan serta mengoptimalkan asuransi kecelakaan bagi nelayan.

Namun, Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil Sudirman Saad mengemukakan, "Bencana (paceklik) ini sangat lokal

sehingga masih bisa ditangani pemerintah daerah," ujarnya Bantuan itu berupa penyaluran beras dari pemerintah. Dicadangkan 100 ton di setiap kabupaten/kota dan 200 ton di setiap provinsi.

Kepala Riset Pusat Kajian Sumber Daya Kelautan dan Peradaban Maritim Suhana mengemukakan, upaya adaptasi dengan mengalihkan profesi nelayan tak akan mengatasi masalah.

Faktanya, tidak mudah mengubah kebiasaan nelayan. Sebaliknya, merosotnya aktivitas melaut nelayan justru menjadi peluang maraknya pencurian ikan oleh kapal-kapal besar. "Yang perlu dilakukan pemerintah adalah memperkuat kemampuan nelayan, bukan menghentikan aktivitas mereka," ujar Suhana.

Sementara itu, Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan Riza Damanik menegaskan, untuk menolong nelayan, ada prasyarat, yaitu, pertama, harus ada sistem pengamanan bagi nelayan yang berbasis ekosistem, misalnya nelayan kawasan perairan Laut Jawa bagian selatan. "Harus melepaskan belenggu sektoral dan administratif. Sifatnya konsorsium nelayan," ujarnya. Yang kedua adalah trans- paransi dan akuntabilitas pengambilan keputusan. Keduanya bisa dilakukan tanpa perlu menunggu dana.

Pemahaman masyarakat

Koordinator Isu Hutan dan Iklim World Wide Fund for Nature Indonesia Iwan Wibisono di sela-sela semiloka Media Massa dalam Mendukung Konservasi, di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, kemarin, menegaskan, pemerintah harus mulai membangun pemahaman masyarakat terkait perubahan iklim agar mereka segera bisa beradaptasi karena gejala perubahan iklim mulai tampak, seperti gagal panen akibat hujan yang masih turun.

"Pemerintah harus menetapkan apakah ini (cuaca ekstrem) terjadi karena perubahan iklim. Kalau memang itu yang terjadi, seharusnya ada langkah-langkah yang disiapkan guna membangun kesiapan masyarakat untuk beradaptasi," ujarnya

Pemahaman itu berarti meningkatkan kapasitas masyarakat menghadapi perubahan lingkungan beserta dampaknya agar kerugian bisa diminimalisasi.

Menurut Iwan, yang dilakukan pemerintah saat ini bersifat sporadis sehingga tak mengena Padahal, isu perubahan iklim amatnyata dan sulit dipahami. "Bagi masyarakat, perubahan iklim adalah hal baru sehingga perlu dikomunikasikan dengan bahasa yang mudah dipahami. Pendekatannya juga harus pendekatan kultural," katanya

Kumpady Widen, dosen pascasarjana Universitas Palangkaraya, mengatakan, isu perubahan iklim belum sampai ke masyarakat pedalaman. Kalaupun ada informasi, biasanya hanya sampai ke tingkat kepala desa Masyarakat sendiri belum menganggap isu itu penting karena masyarakat Dayak bukan pembaca Tradisi mereka adalah tradisi bertutur. "Padahal, bahasa terkait perubahan iklim masih terlalu ilmiah sehingga sulit dipahami meski dampaknya saat ini sudah dirasakan," ujarnya

Kumpady juga meminta agar masyarakat Dayak diberikan kesempatan menerapkan hukum adat terkait upaya menjaga lingkungan. Selama ini, akibat intervensi pemerintah, kepala adat cenderung takut menerapkan hukum adat secara optimal.

Tantangan bersama


Di bidang pertanian, menurut Gatot Irianto, untuk komoditas padi, hujan berkepanjangan pada musim kemarau ternyata sangatmenguntungkan. Jutaan lahan tadah hujan bisa dimanfaatkan, yang biasanya tak bisa dilakukan. Memang untuk jenis komoditas tertentu, seperti kedelai, ada banyak kendala karena curah hujan tinggi dan terus-menerus akan menghambat pertumbuhan.

Kementerian Pertanian, kata Gatot, telah menyusun peta jalan strategi menghadapi perubahan iklim global. Rencana itu di antaranya berupa pengembangan infrastruktur, terutama jaringan irigasi, untuk mengurangi risiko banjir dan kekeringan, peningkatan kapasitas petani pada pemahaman soal perubahan iklim, dan penerapan teknologi adaptasi serta mitigasi. Ini disertai pengembangan sistem informasi peringatan dini bencana banjir dan kekeringan serta kalender tanaman.

Langkah adaptasi, tegas Gatot, difokuskan pada aplikasi teknologi adaptif, seperti penyesuaian pola tanam, penggunaan varietas unggul yang adaptif terhadap kekeringan, genangan/banjir, salinitas, dan umur pendek, misalnya varietas Inpari dan Inpago. Juga akan dikembangkan sistem penyuluhan serta sistem asuransi pertanian akibat risiko iklim dan diversifikasi pangan.

O.KT/WER/MAS/ISW)
Sumber : Kompas 21 Juli 2010,hal.1

13 Juli 2010

Permendagri No 30 Tahun 2010 tentang Pedoman Pengelolaan sumberdaya di wilayah laut

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI

NOMOR 30 TAHUN 2010

TENTANG

PEDOMAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA DI WILAYAH LAUT

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI DALAM NEGERI,

Menimbang

:

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, perlu menetapkan Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang Pengelolaan Sumber Daya di Wilayah Laut;




Mengingat

:

1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3298);

2. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4738);

3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916);

4. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);

5. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 89, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4741);

6. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan Tatacara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 21, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4817);






MEMUTUSKAN:




Menetapkan

:

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA DI WILAYAH LAUT.






BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

1. Pengelolaan sumber daya laut adalah segala upaya mengoptimalkan manfaat sumber daya laut.

2. Sumber daya laut adalah unsur hayati, non hayati yang terdapat di wilayah laut dan dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia.

3. Wilayah laut adalah ruang laut yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan/atau aspek fungsional yang diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan untuk provinsi paling jauh 12 (duabelas) mil laut dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi untuk kabupaten/kota termasuk wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

4. Eksplorasi adalah kegiatan atau penyelidikan potensi kekayaan sumber daya laut yang pelaksanaannya didasarkan pada kondisi lingkungannya.

5. Eksploitasi adalah kegiatan atau usaha pemanfaatan sumber daya laut yang pelaksanaannya harus didasarkan pada daya dukung lingkungannya.

6. Kawasan konservasi adalah bagian tertentu wilayah laut yang mempunyai ciri khas sebagai satu kesatuan ekosistem yang dilindungi, dilestarikan yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk mewujudkan pengelolaan secara berkelanjutan.

7. Penataan ruang laut adalah proses penetapan ruang/kawasan yang didasarkan pada sumber daya yang ada di wilayah laut.

8. Nelayan tradisional adalah masyarakat yang mata pencaharian sehari-hari mengeksploitasi sumber daya laut yang dilakukan secara turun temurun dengan menggunakan bahan dan peralatan tradisional.

9. Masyarakat pesisir adalah masyarakat desa/kelurahan yang tinggal di sepanjang daerah wilayah pesisir yang dipengaruhi oleh kompleksitas, aktifitas dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan laut.

10. Organisasi kemasyarakatan bidang kelautan, yang selanjutnya disebut ormas kelautan, adalah organisasi non pemerintah bervisi kebangsaaan yang dibentuk oleh warga negara Indonesia secara sukarela yang terdaftar di pemerintah daerah setempat serta bukan organisasi sayap partai yang kegiatannya memajukan kehidupan sosial ekonomi masyarakat nelayan, melestarikan potensi sumber daya laut dan mengembangkan pengetahuan serta keterampilan masyarakat nelayan yang menggantungkan hidupnya pada sumber daya laut.

11. Pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk mendorong, memotivasi dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimiliki serta berupaya mengembangkan kapasitas masyarakat untuk meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat desa/kelurahan pesisir sehingga mampu menemukenali potensi yang ada dan mendayagunakannya secara optimum, partisipatif untuk kemakmuran serta kesejahteraan bersama yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan.

12. Pemangku kepentingan adalah para pengguna yang mempunyai kepentingan langsung dalam pemanfaatan sumber daya laut seperti nelayan tradisional, masyarakat pesisir, organisasi kemasyarakatan bidang kelautan, nelayan modern, pembudidaya, pengusaha pariwisata, dan pengusaha perikanan.

13. Adaptasi adalah berbagai tindakan penyesuaian terhadap dampak perubahan iklim.

14. Mitigasi adalah berbagai tindakan aktif untuk mengantisipasi dampak perubahan iklim.

BAB II

KEWENANGAN PENGELOLAAN

Pasal 2

(1) Daerah berwenang mengelola sumber daya di wilayah laut sesuai kewenangannya.

(2) Kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan untuk provinsi dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi untuk kabupaten/kota.

Pasal 3

Pengelolaan sumber daya di wilayah laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 meliputi:

a. eksplorasi;

b. eksploitasi;

c. konservasi;

d. adaptasi dan perubahan iklim;

e. pengaturan administratif;

f. pengaturan tata ruang;

g. pengelolaan kekayaan laut;

h. penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah; dan

i. ikut serta dalam pemeliharaan keamanan dan kedaulatan negara.

BAB III

PERENCANAAN

Pasal 4

(1) Pemerintahan daerah menyusun perencanaan pengelolaan sumber daya di wilayah laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 sesuai kewenangannya yang terdiri atas:

a. rencana strategis;

b. rencana zonasi;

c. rencana pengelolaan; dan

d. rencana aksi.

(2) Penyusunan perencanaan pengelolaan sumber daya di wilayah laut oleh provinsi memperhatikan perencanaan pengelolaan sumber daya di wilayah laut kabupaten/kota yang berada dalam wilayahnya.

(3) Penyusunan perencanaan pengelolaan sumber daya di wilayah laut oleh provinsi dan kabupaten/kota memperhatikan perencanaan pengelolaan sumber daya di wilayah laut provinsi dan kabupaten/kota yang berbatasan.

(4) Penyusunan perencanaan pengelolaan sumber daya di wilayah laut yang menjadi kewenangan pemerintah untuk kepentingan nasional, mengikutsertakan pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota.

(5) Penyusunan perencaaan pengelolaan sumber daya di wilayah laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) dikoordinasikan oleh Menteri Dalam Negeri.

Pasal 5

(1) Rencana strategis dan rencana zonasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a dan huruf b dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah.

(2) Rencana strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat visi, misi, dan arah pembangunan daerah di bidang pengelolaan sumber daya di wilayah laut.

(3) Rencana zonasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memuat kawasan:

a. pemanfaatan umum;

b. konservasi;

c. strategis nasional tertentu; dan

d. alur laut.

(4) Penyusunan rencana zonasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan memperhatikan:

a. potensi yang ada di wilayah laut; dan

b. kawasan konservasi yang ditetapkan oleh pemerintah.

Pasal 6

Rencana pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah.

Pasal 7

Rencana aksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d dituangkan dalam Rencana Kerja Pembangunan Daerah.

Pasal 8

Penyusunan perencanaan pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 7 berpedoman pada peraturan perundang-undangan.

Pasal 9

(1) Penyusunan perencanaan pengelolaan sumber daya di wilayah laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 didasarkan atas data dan informasi.

(2) Gubernur dan bupati/walikota melakukan inventarisasi data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. potensi sumber daya yang ada;

b. potensi sumber daya yang telah dimanfaatkan dan daya dukungnya;

c. potensi sumber daya yang belum dimanfaatkan dan daya dukungnya; dan

d. badan hukum yang diberi izin atau rekomendasi pemanfaatan sumber daya.

Pasal 10

(1) Gubernur dan Bupati/Walikota menyusun rencana penataan ruang laut di wilayahnya dengan berpedoman pada rencana zonasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3).

(2) Rencana penataan ruang laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian dari Rencana Tata Ruang Wilayah provinsi dan kabupaten/kota ditetapkan dengan peraturan daerah.

Pasal 11

(1) Penyusunan rencana penataan ruang laut di wilayah laut oleh provinsi memperhatikan rencana penataan ruang laut kabupaten/kota yang berada dalam wilayahnya.

(2) Penyusunan rencana penataan ruang laut oleh provinsi dan kabupaten/kota memperhatikan rencana penataan ruang laut provinsi dan kabupaten/kota yang berbatasan.

(3) Penyusunan rencana penataan ruang laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dikoordinasikan dengan kementerian/LPNK terkait.

BAB IV

PENGELOLAAN

Bagian Kesatu

Eksplorasi

Pasal 12

(1) Pemerintah Daerah dapat melakukan eksplorasi terhadap sumber daya di wilayah laut sesuai dengan kewenangannya.

(2) Setiap orang dan badan hukum dapat melakukan eksplorasi setelah memperoleh izin dari kepala daerah.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara memperoleh izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan peraturan kepala daerah.

Pasal 13

(1) Setiap orang dan badan hukum yang akan melakukan eskplorasi sumber daya di wilayah laut yang menjadi kewenangan pemerintah, yang berada di wilayah laut kewenangan pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota harus memperoleh izin dari pemerintah.

(2) Setiap orang dan badan hukum yang telah mendapat izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus melapor kepada Gubernur atau Bupati/Walikota.

(3) Gubernur dan bupati/walikota melakukan pemantauan terhadap kegiatan yang dilakukan oleh pihak yang telah mendapatkan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Bagian Kedua

Eksploitasi

Pasal 14

(1) Pemerintah Daerah dapat melakukan eksploitasi terhadap sumber daya di wilayah laut sesuai dengan kewenangannya.

(2) Setiap orang dan badan hukum dapat melakukan eksploitasi setelah memperoleh izin dari kepala daerah.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara memperoleh izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan peraturan kepala daerah.

Pasal 15

(1) Setiap orang dan badan hukum yang akan melakukan eksploitasi sumber daya di wilayah laut yang menjadi kewenangan pemerintah, yang berada di wilayah laut kewenangan pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota harus memperoleh izin dari pemerintah.

(2) Setiap orang dan badan hukum yang telah mendapat izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus melapor kepada Gubernur atau Bupati/Walikota.

(3) Gubernur dan bupati/walikota melakukan pemantauan terhadap kegiatan yang dilakukan oleh pihak yang telah mendapatkan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Bagian Ketiga

Konservasi

Pasal 16

(1) Gubernur dan Bupati/Walikota dapat menetapkan bagian tertentu wilayah lautnya sebagai kawasan konservasi.

(2) Penetapan kawasan konservasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada peraturan perundang-undangan.

Pasal 17

Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota serta pemangku kepentingan berkewajiban untuk mengawasi dan melindungi kawasan konservasi yang ditetapkan oleh pemerintah dan berada di wilayah laut sesuai dengan kewenangannya.

Bagian Keempat

Adaptasi Dan Mitigasi Perubahan Iklim

Pasal 18

Pemerintah Daerah dalam menyusun perencanaan pengelolaan sumber daya di wilayah laut, wajib memasukkan materi yang memuat upaya adaptasi dan mitigasi dampak perubahan iklim.

Pasal 19

Adaptasi dan mitigasi perubahan iklim dilakukan dengan melibatkan Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat.

Pasal 20

Penyelenggaraan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dilaksanakan dengan memperhatikan aspek:

a. sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat;

b. kelestarian lingungan hidup;

c. kemanfaatan dan efektivitas; serta

d. lingkup luas wilayah.


Bagian Kelima

Pengelolaan Kekayaan Laut

Pasal 21

(1) Pemerintah Daerah dapat melakukan pengelolaan kekayaan laut sesuai dengan kewenangannya.

(2) Pengelolaan kekayaan laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan di kawasan:

a. pemanfaatan umum;

b. konservasi; dan

c. alur laut.

(3) Pengelolaan kekayaan laut sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf c, dilakukan secara terbatas sesuai peraturan perundang-undangan.

Pasal 22

(1) Setiap orang dan badan hukum dapat melakukan pengelolaan kekayaan laut setelah memperoleh izin dari kepala daerah.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara memperoleh izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan peraturan kepala daerah.

Pasal 23

(1) Setiap orang dan badan hukum yang akan melakukan pengelolaan kekayaan laut yang menjadi kewenangan pemerintah, yang berada di wilayah laut kewenangan pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota harus memperoleh izin dari pemerintah.

(2) Setiap orang dan badan hukum yang telah mendapat izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus melapor kepada Gubernur atau Bupati/Walikota.

(3) Gubernur dan bupati/walikota melakukan pemantauan terhadap kegiatan yang dilakukan oleh pihak yang telah mendapatkan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 24

Nelayan tradisional dikecualikan dari izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22.

Pasal 25

Setiap orang dan badan hukum yang melakukan kegiatan penangkapan ikan di wilayah laut provinsi dan kabupaten/kota dengan menggunakan kapal penangkap ikan, ukuran kapal yang diperbolehkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Keenam

Penegakan Hukum

Pasal 26

(1) Pemerintah daerah melakukan penegakan hukum terhadap peraturan yang diterbitkan oleh daerah dan/atau peraturan yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah.

(2) Setiap orang yang mengetahui terjadinya pelanggaran dan/atau perbuatan pidana terhadap kewenangan pemerintah dan pemerintah daerah yang berada di wilayah laut berkewajiban melaporkan kepada aparat yang berwenang atau pemerintah daerah.

Bagian Ketujuh

Pemeliharaan Keamanan dan Pertahanan Kedaulatan Negara

Pasal 27

(1) Gubernur dan Bupati/Walikota serta setiap warga negara ikut serta dalam pemeliharaan keamanan dan pertahanan kedaulatan negara di wilayah laut sesuai kewenangannya.

(2) Pelaksanaan keamanan dan pertahanan kedaulatan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB V

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

Pasal 28

(1) Gubernur dan Bupati/Walikota dalam melakukan pengelolaan sumber daya di wilayah laut harus melakukan pemberdayaan terhadap:

a. nelayan tradisional dan masyarakat pesisir;

b. organisasi masyarakat bidang kelautan; dan

c. lembaga kemasyarakatan.

(2) Pemberdayaan terhadap nelayan tradisional dan masyarakat pesisir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan melalui kegiatan:

a. sosialisasi kebijakan pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota mengenai kebijakan pengelolaan sumber daya di wilayah laut;

b. bimbingan, pelatihan dalam penggunaan teknologi tepat guna, penangkapan dan pengawetan hasil tangkapan ikan serta pendampingan terhadap kegiatan budi daya;

c. memfasilitasi pembentukan koperasi nelayan yang bergerak dalam penyediaan sarana penangkapan ikan/budi daya, pemasaran, dan simpan pinjam; dan

d. memfasilitasi dengan pihak perbankan, koperasi, dan pengusaha ikan dalam penyediaan permodalan atau pemberian kredit, pengadaan sarana penangkapan ikan dan budi daya serta pemasaran hasil penangkapan ikan dan budi daya.

(3) Pemberdayaan terhadap organisasi masyarakat bidang kelautan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dilakukan melalui kegiatan:

a. sosialisasi kebijakan pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota mengenai pengelolaan sumber daya di wilayah laut.

b. bimbingan dan pelatihan dalam penggunaan teknologi tepat guna, pengawetan ikan, dan budi daya serta tata cara pembentukan koperasi; dan

c. sosialisasi kebijakan dan tata cara pemeliharaan keamanan dan pertahanan kedaulatan negara di wilayah laut.

BAB VI

PERAN SERTA MASYARAKAT

Pasal 29

(1) Pemerintah daerah mengikutsertakan masyarakat dan pemangku kepentingan dalam setiap kegiatan perencanaan dan pengelolaan sumber daya di wilayah laut.

(2) Pemerintah daerah, badan hukum, dan individu yang melakukan pengelolaan sumber daya di wilayah laut memperhatikan hukum adat dan kebiasaan yang berlaku pada masyarakat setempat.

BAB VII

PENDANAAN

Pasal 30

Biaya penyusunan dokumen rencana dan pengelolaan sumber daya di wilayah laut dapat bersumber dari:

a. APBN;

b. APBD Provinsi;

c. APBD Kabupaten/Kota; dan

d. sumber lainnya yang sah dan tidak mengikat.

BAB VIII

PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Pasal 31

(1) Menteri Dalam Negeri melakukan pembinaan dan pengawasan atas pengelolaan sumber daya di wilayah laut yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota.

(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. percepatan penyusunan perencanaan dan pengelolaan sumber daya di wilayah laut;

b. pemberdayaan nelayan tradisional dan masyarakat pesisir; dan

c. pemberdayaan organisasi kemasyarakatan bidang kelautan.

(3) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pelaksanaan:

a. percepatan penyusunan perencanaan dan pengelolaan sumber daya di wilayah laut;

b. pemberdayaan nelayan tradisional dan masyarakat pesisir; dan

c. pemberdayaan organisasi kemasyarakatan bidang kelautan

BAB IX

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 32

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 15 April 2010

MENTERI DALAM NEGERI,




ttd




GAMAWAN FAUZI


BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 193

Saatnya Mewujudkan Negara Kepulauan Indonesia

"UUD 1945 Pasal 25E telah mengamantkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang"
”Untuk membangun Indonesia menjadi negara besar, negara kuat, negara makmur, negara damai yang merupakan National Building bagi negara Indonesia, maka negara dapat menjadi kuat jika dapat menguasai lautan. Untuk menguasai lautan, kita harus menguasai armada yang seimbang.” (Pidato Bung Karno yang disampaikan dalam National Maritime Convention I tahun 1963)