27 Juli 2009

”Cluster” Perikanan Tangkap Bisa Picu Konflik

Sinar Harapan, Selasa 14. of Juli 2009 14:30


Detail Berita

Jakarta – Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) sangat serius mewujudkan rencana pembentukan cluster usaha perikanan tangkap.
Namun, kebijakan tersebut dinilai hanya memberi banyak ekses negatif bagi perikanan tangkap.
Hal itu ditegaskan Ketua Umum Gabungan Pengusaha Perikanan Indonesia (Gappindo) Herwindo, Sekjen Masyarakat Perikanan Nusantara (MPN) A Jauzi, dan Kepala Riset Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim (PK2PM) Suhana, yang dihubungi terpisah, Selasa (14/7).
Rencana pengembangan usaha perikanan tangkap berbasis cluster di Laut China Selatan dan Laut Arafuru mengacu pada Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 05 Tahun 2008 tentang Usaha Perikanan Tangkap, Pasal 74. Kawasan cluster ditetapkan berdasarkan batasan koordinat daerah penangkapan ikan.
Herwindo menegaskan, kebijakan itu tidak mungkin dilaksanakan pengusaha karena syaratnya berat. Syarat itu yaitu, antara lain, pelaku usaha harus menyetor uang dalam jumlah tertentu, mengumpulkan pengusaha lain untuk bergabung dalam konsorsium, mempunyai Unit Pengolahan Ikan (UPI) dan melakukan kemitraan dengan nelayan.
“Dengan persyaratan itu, pengusaha sulit melaksanakannya, kalaupun ada yang sanggup akan sangat sedikit yang bisa,” tegas Herwindo.
Dia mengingatkan, jika kemudian DKP memaksakan kebijakan cluster itu hanya kepada segelintir pelaku usaha akan menimbulkan keirian kepada pelaku usaha lain. Ini dinilainya akan berpotensi menimbulkan konflik.
Selain itu, Herwindo juga mengingatkan pemberian hak eksklusif bagi kelompok usaha tertentu untuk mengelola kawasan laut pada ordinat tertentu bisa menimbulkan monopoli. Hal itu melanggar UU No 5 Tahun 1999 tentang Prinsip Persaingan Usaha yang Sehat.
Herwindo mengingatkan agar DKP tidak terburu-buru menerapkan sistem cluster, harus melalui pembahasan yang mendalam dengan melibatkan pelaku usaha.
Dia juga mempertanyakan tujuan DKP untuk menerapkan sistem cluster untuk memperbesar PNBP dan mengatasi illegal fishing.
“Terjadi salah persepsi kalau tujuannya untuk memperbesar PNBP. Sedangkan untuk mengatasi illegal fishing bisa mengecek dari VMS,” jelas Herwindo.
Jauzi juga menyebutkan kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah seharusnya menciptakan efisiensi dalam dunia usaha. “Jangan sampai suatu kebijakan menimbulkan friksi di lapangan,” tegasnya.

Kepentingan Pengusaha
Sementara itu, Suhana menilai cluster usaha perikanan tangkap hanya mengakomodasi kepentingan segelintir pengusaha. Dia menekankan cluster akan memicu persaingan tidak sehat antara sesama pelaku usaha.
DKP juga dinilai tidak menunjukkan keberpihakan pada nelayan dengan memberi hak pengelolaan laut secara mutlak kepada kelompok usaha tertentu.
Sebab, nelayan tidak akan pernah bisa bersaing dengan pengusaha besar yang memiliki armada kapal tangkap berukuran besar. Armada kapal penangkapan ikan 60% adalah armada kecil. “Saya yakin dengan kebijakan cluster nelayan kecil akan tersingkir,” tegasnya.
Ditegaskan, tujuan DKP untuk mengatasi illegal fishing bisa dilakukan dengan moratorium penangkapan ikan. Karena hasil riset menunjukkan di Laut Arafuru dan Laut China Selatan telah terjadi eksploitasi berlebihan.
(naomi siagian)

Sumber : http://www.sinarharapan.co.id/berita/read/cluster-perikanan-tangkap-bisa-picu-konflik/suhana/

20 Juli 2009

“Menangkap Ikan pun Dikapling”

Headline Ekonomi
Sektor Kelautan | Proporsi itu Tidak Menguntungkan bagi Nelayan Kecil

Koran Jakarta, Rabu, 15 Juli 2009 01:35 WIB

Pengelolaan perikanan tangkap akan dilakukan secara klaster dengan batasan wilayah sebesar koordinat daerah penangkapan ikan. Pemberlakuan klaster ini mulai 2010.

Pengelolaan perikanan tangkap akan dilakukan secara klaster dengan batasan wilayah sebesar koordinat daerah penangkapan ikan. Pemberlakuan klaster ini mulai 2010.

Kebijakan sektor kelautan dan perikanan semakin memihak kepada pemodal besar, sementara nelayan kecil terus termarginalkan. Contoh teranyar adalah rencana realisasi Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 5/2008 tentang Usaha Perikanan Tangkap.

Mengacu pada ketentuan Pasal 74 dalam beleid itu, pengelolaan perikanan tangkap akan dilakukan secara klaster dengan batasan wilayah sebesar koordinat daerah penangkapan ikan. Pemberlakuan klaster ini mulai 2010. Pengelolannya secara ekslusif diberikan pada pihak tertentu dengan sistem tender. Artinya, pengelolaan perikanan akan semakin dikotak-kotakkan dan nelayan kecil yang umumnya tidak memiliki izin di wilayah koordinat tersebut akan semakin tersingkirkan.

Sistem klaster perikanan tangkap akan diterapkan di 11 wilayah pengelolaan perikanan (WPP). Dirjen Perikanan Tangkap DKP Dedi Heryadi Sutisna mengabarkan penerapan klaster perikanan tangkap masih menunggu hasil kajian ilmiah. “Sebelum diterapkan akan dilakukan uji coba,” tegasnya di Jakarta, Minggu (12/7).

Zonasi perikanan tangkap akan diterapkan mulai dari pinggir pantai sampai melampaui Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) atau di atas 12 mil laut. “Penetapan klaster atau pengaplingan kawasan perairan akan mendorong pengawasan sumber daya ikan, peningkatan kesejahteraan nelayan, keuntungan pengusaha, maupun pendapatan negara,” ujar Dedi.

Area WPP itu adalah Selat Malaka dan Laut Andaman; Samudra Hindia sebelah barat Sumatera dan Selat Sunda; Samudra Hindia sebelah selatan Jawa hingga sebelah selatan Nusa Tenggara, Laut Sawu, dan Laut Timor bagian barat; Selat Karimata, Laut Natuna, dan Laut China Selatan; Laut Jawa; Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores, dan Laut Bali; Laut Sulawesi dan sebelah utara Pulau Halmahera; Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Seram, dan Teluk Berau; Laut Banda; Teluk Cendrawasih dan Samudra Pasifik; Laut Aru, Laut Arafuru, dan Laut Timor sebelah timur.

Dedi menegaskan aturan baru itu sebenarnya memberikan kesempatan berusaha kepada pelaku usaha perikanan tangkap secara lebih adil, yaitu dengan dilakukan pembatasan jangka waktu berlakunya SIUP yang sebelumnya berlaku selama perusahaan menjalankan usahanya, menjadi selama 30 tahun dan dapat diperpanjang.

Dijelaskannya, SIUP yang selama ini identik dengan pembagian alokasi menjadi tidak dikuasai oleh pelaku usaha tertentu, akan tetapi dapat diberikan kepada pelaku usaha yang lain. Selain itu, jangka waktu realisasi SIUP juga dibatasi. “Dengan demikian, diharapkan tidak ada lagi SIUP atau alokasi yang idle,” kata Dedi.

Di samping itu, pelaksanaan pengawasan terhadap illegal fishing juga diharapkan akan lebih efektif karena berada dalam pengawasan pemerintah daerah yang bersangkutan. “Kewajiban untuk melaporkan ikan hasil tangkapan yang tidak harus didaratkan kepada pengawas periakanan setempat kan diatur di permennya,” terang dia.

Tidak Menguntungkan

Direktur Pengawasan dan Pengendalian Sumber Daya Kelautan dan Perikanan DKP Aji Sularso menambahkan pemberian hak pengelolaan kawasan penangkapan ikan pada pihak tertentu tetap mewajibkan keterlibatan armada dan nelayan lokal dalam pengelolaannya.

Dia menjelaskan pengelola klaster perikanan tangkap terdiri dari armada inti berkapasitas di atas 30 GT berkisar 75 persen. “Adapun armada lokal dengan kapasitas di bawah 30 GT sekitar 25 persen,” tuturnya.

Namun, Kepala Riset Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim Suhana menilai proporsi itu tidak menguntungkan bagi nelayan kecil. Pasalnya, struktur dan komposisi armada perikanan tangkap nasional masih didominasi armada skala kecil (< 30 GT).

“Jumlahnya sekitar 99,04 persen. Artinya bahwa sampai saat ini armada perikanan nasional sebagian besar masih beroperasi di sekitar perairan pesisir, sehingga dikhawatirkan dengan diterapkannya sistem perikanan klaster nasib para nelayan kecil tersebut akan semakin termarginalkan,” tegasnya.

Menurut dia, jika kondisi semacam ini tetap dipertahankan dalam proses pembangunan ekonomi perikanan, maka yang terjadi adalah menguatnya hegemoni pemilik modal besar dan birokrasi lokal.

Adapun guru besar Fakultas Perikanan dan Kelautan IPB Rokhmin Dahuri menegaskan pengavlingan laut ini berbahaya karena pengusaha yang memenangi tender belum diketahui track record-nya.

“Pemenang tender kemungkinan besar akan memberikan kesempatan pada teman-temannya untuk melakukan eksploitasi besar-besaran sementara nelayan tradisional tidak diberikan kesempatan. Aturan yang mewajibkan pembangunan industri pengolahan juga berpotensi dilanggar,” tuturnya.

Sementara Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan Riza Damanik berpendapat pembentukan klaster perikanan tangkap mencederai semangat desentralisasi pengelolaan sumberdaya perikanan, prinsip-prinsip keberlanjutan dan keadilan perikanan.

“Proses mengatasi illegal fishing juga akan semakin sulit dilakukan. Menyusul tersisihnya peran negara dan partisipasi aktif nelayan dalam mengelola sumber daya laut,” kata Riza. ims/lha/E-8

Sumber: http://www.koran- jakarta.com/ ver02/detail- news.php? id=13155&&idkat=53

Bantuan Kapal Nelayan yang Terkapar

14 Juli 2009

INFO BUKU : CODE OF PRACTICE FOR FISH AND FISHERY PRODUCTS

CODE OF PRACTICE FOR FISH AND FISHERY PRODUCTS
First edition


World Health Organization
Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO)
Rome 2009


TABLE OF CONTENT
PREFACE
INTRODUCTION

Section 1: Scope
Section 2: Definitions
Section 3: Prerequisite programme
Section 4: General considerations for the handling of fresh fish, shellfish and other aquatic invertebrates
Section 5: Hazard analysis and critical control point (haccp) and defect action point (dap) analysis
Section 6: Aquaculture production
Section 7: Live and raw bivalve molluscs
Section 8: Processing of fresh, frozen and minced fish
Section 9: Processing of frozen surimi
Section 10: Processing of quick-frozen coated fish products
Section 11: Processing of salted and dried salted fish
Section 12: Smoked fish
Section 13a: Lobsters
Section 13b: Crabs
Section 14: Processing of shrimps and prawns
Section 15: Processing of cephalopods
Section 16: Processing of canned fish, shellfish and other aquatic invertebrates
Section 17: Transportation
Section 18: Retail
Annex 1: Potential hazards associated with fresh fish, shellfish and other aquatic invertebrates
APPENDIXES


BAGI YANG BERMINAT SILAHKAN MENDOWNLOAD LANGSUNG DI ALAMAT DIBAWAH INI


http://www.fao.org/docrep/011/a1553e/a1553e00.htm

Apabila tidak berhasil silahkan hubungi email : suhanaipb@gmail.com

Terima kasih

Suhana

11 Juli 2009

Utamakan Membangun Daerah Perbatasan

Sinar Harapan, Kamis, 09 Juli 2009 14:37


OLEH: AT PARUNTU

Lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan serta upaya Malaysia mengklaim kawasan perairan Ambalat serta ditemukannya pemindahan patok perbatasan darat oleh masyarakat perbatasan sehingga jauh masuk ke wilayah Indonesia, kemudian ditanami pohon sawit, adalah indikasi bahwa kawasan perbatasan mengandung banyak potensi konflik apabila tidak diambil langkah-langkah konkret dengan membangunnya.
Wilayah Indonesia berbatasan darat dengan Malaysia di Kalimantan Barat (Kalbar) dan Kalimantan Timur (Kaltim), dan di Papua dengan Papua Nugini (PNG). Sementara itu, perbatasan laut Indonesia dengan Malaysia ada di Selat Malaka dan Laut China Selatan, serta perbatasan laut dengan Thailand di Selat Malaka dan Laut Andaman.
Selain itu, perbatasan laut Indonesia dengan Australia ada di selatan Pulau Tanimbar dan Pulau Timor; perbatasan laut dengan India di Samudra Hindia; perbatasan laut dengan Vietnam, PNG, dan Kepulauan Palau dengan Filipina. Kesemua perbatasan laut dengan negara tetangga telah ditandatangani perjanjiannya, secara yurisdiksi daerah dasar laut dan tanah di bawahnya adalah yuridiksi eksklusif Indonesia.

Membangun di Darat
Penulis mengusulkan sejumlah langkah untuk mengamankan wilayah perbatasan darat, yakni: pertama, penegasan perbatasan dengan membuat patok yang sulit dibongkar yang sudah disetujui kedua negara dalam komite perbatasan/General Border Committee yang bersidang setahun sekali, dipimpin Menteri Pertahanan (Menhan) Republik Indonesia (RI) dan Menhan Malaysia, serta Menhan RI dan Menhan PNG.
Kedua, TNI melaksanakan pengawasan dalam bentuk pengecekan langsung patok, apakah terjadi kerusakan, serta diperbaiki atau dilaporkan pada sidang GBC.
Ketiga, pilih kampung yang terdekat, kurang lebih 20-30 km dari perbatasan negara tetangga kemudian dibangun sarana dasar sosial, seperti sekolah dasar hingga sekolah kejuruan, puskesmas, serta pasar bagi rakyat.
Dengan demikian rakyat dapat menjual hasil pertanian serta mendapatkan kebutuhan pokok, dan para tokoh koperasi pemerintah daerah (pemda) setempat diajukan ke daerah perkembangan perbatasan.
Keempat, membuat jalan dengan aspal Buton yang menghubungkan dengan titik perbatasan negara tetangga dilengkapi dengan pos imigrasi serta pos Bea dan Cukai serta unsur keamanan pos polisi. Militer dengan kekuatan kecil digilir menempati barak yang tersedia di kampung yang dikembangkan.
Selanjutnya, ruas jalan ditarik ke belakang menghubungkan dengan kecamatan terdekat yang merupakan titik sentra ekonomi bagi masyarakat di perbatasan dan titik aju penugasan aparat keamanan untuk daerah perbatasan. Di tempat ini dibuat helipad, bila perlu dibuat air strip untuk didarati pesawat kecil seperti di Papua.
Kelima, dirikan stasiun relay untuk TV, radio, dan telepon nirkabel.

Bangun Daerah
Perbatasan Laut
Konsekuensi RI sebagai satu negara kepulauan terbesar di dunia maka tercatat 11.000 pulau yang belum diberi nama serta 16.000 pulau yang tidak ada penghuninya. Mengapa hal ini terjadi, ada beberapa kemungkinan, antara lain: 1) jarak yang jauh untuk dijangkau dengan transportasi laut/udara, 2) tidak tersedia air bersih, dan 3) kendala cuaca.
Bagaimana agar pulau-pulau itu tidak lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)? Jawaban paling gampang adalah dijaga dan ada patroli TNI. Padahal, Alutsista yang dimiliki TNI tidak memadai lagi. Pada sisi lain nilai kekayaan laut kita tak terhingga yang dicuri, akibat ketidakmampuan TNI menghadirkan kekuatan di laut perbatasan.
Belajar dari proses pengadilan di Mahkamah Internasional dengan lepasnya Sipadan dan Ligitan adalah pembelaan Malaysia dengan dalil effective occupation, yaitu Malaysia menggunakan pulau tersebut sebagai tempat pariwisata serta melakukan kegiatan lainnya. Padahal, sejak 1969 pulau tersebut menjadi status quo pemilikan RI-Malaysia yang 33 tahun kemudian pada 17 Desember 2002 menjadi kedaulatan Malaysia.
Strategi tunda pihak Malaysia berhasil, dan kini wilayah perairan Ambalat tidak boleh lepas juga dengan cara Malaysia menggunakan gun boat diplomacy. Kemudian, strategi tunda untuk penyelesaian yang sudah dimulai sejak perundingan 2005. Potensi pulau terluar yang merupakan bagian dari kedaulatan RI berpeluang seperti Sipadan-Ligitan sebagai daerah pariwisata atau tempat berlindung nelayan menghadapi cuaca yang tidak bersahabat, seperti tingginya gelombang ataupun kerusakan mesin.
Namun, bagi pulau terluar yang berdekatan dengan negara tetangga, beberapa hal yang memerlukan perhatian pemerintah 1) bangun landasan pesawat yang dapat didarati pesawat kecil, 2) bangun sarana jalan yang mengitari pulau tersebut guna menarik pariwisata dalam/luar negeri, 3) bangun sarana sosial puskesmas, SD, dan sekolah kejuruan, 4) bangun pasar setempat; bangun stasiun relay penyiaran dan telekomunikasi, 5) bangun fasilitas air bersih/sumur dalam, 6) bagi pulau-pulau terluar yang tidak punya potensi wisata kita bangun tugu yang besar model pintu gerbang, bertuliskan “Selamat Datang di Indonesia/Welcome to Indonesia”
Bagaimana pun pengaturan lalu lintas damai diketahui negara sahabat, yakni ALKI 1 sampai 3. Jadi bagi kapal asing yang melintasi laut teritorial dengan tidak melalui ALKI adalah kapal yang menyalahi aturan sehingga dapat ditangkap kapal patroli polisi serta kapal Bea Cukai, kapal Departemen Kelautan Perikanan, serta kapal perang RI.
Kelemahan kita adalah banyak kapal yang ditangkap tidak diproses sesuai hukum, padahal bila perlu ditenggelamkan bila mencoba melarikan diri. Di sinilah letak maraknya pencurian ikan, padahal apabila kita urut cara penginderaan, yang dilakukan angkatan udara (AU) serta angkatan laut (AL) yang melihat pelanggaran di laut segera didekati, kemudian diusir keluar atau didekati kapal perang yang sedang berpatroli dekat sasaran.
Kejadian pada 1998, di mana pesawat TNI AU berhasil mengusir kapal perang Prancis untuk melanjutkan perjalanannya dari Selat Sunda serta mendekati kapal perang Amerika Serikat (AS) di Laut Ambon untuk melanjutkan perjalanan dan tidak boleh berhenti, sesuai ketentuan UNCLOS 1982.
Pada sisi lain, kita manfaatkan nelayan untuk temuan dini kehadiran kapal asing yang tidak berlayar di ALKI. Temuan dilaporkan kepada polisi serta pos AL yang ada di darat dengan memberikan laporan jelas. Bentuk laporan disebut SALUTE, yakni Size-banyak kapal, Activity-kegiatan yang dilihat Location-lokasi, Uniform–pakaian, Time-waktu melihat dan Equipment–perlengkapan.
Contoh, laporan nelayan dengan radio ke induk/radio pantai dan diteruskan ke pos polisi serta pos AL: saya kapten kapal Andi melihat (S) 2 kapal tangkap ikan (A) sedang menarik jaring trawl (L) berada di sekitar Pulau Miangas (U) mereka berpakaian sebagaimana ABK penangkap ikan/kapal perang (T) tanggal 8 Juli jam 21.00 (E) perlengkapan menggunakan trwal/kapal yang bongkar muat di laut.
Apabila nelayan dapat menggunakan cara pelaporan dengan baik, kapal pencuri ikan akan jera apabila ditindaklanjuti aparat keamanan. Pola seperti ini diterapkan China ketika kapal nelayannya memergoki kehadiran kapal peneliti AL AS di sekitar perairan Pulau Hainan serta peran nelayan Vietnam melaporkan kekuatan laut AS di Vietnam Selatan.
Persoalannya, dalam debat capres beberapa waktu lalu soal membangun perbatasan ini disinggung, namun apa yang akan mereka lakukan bila hal ini terganjal di DPR menyangkut anggaran? Apakah pembangunan perbatasan hanya dibebankan kepada daerah, dibantu pemerintah pusat, atau menjadi proyek pemerintah pusat?
Apabila dilaksanakan oleh pemerintah pusat, ditugaskan di kementerian apa?

Penulis beberapa kali menjadi anggota Delegasi RI pada Sidang General Border Committtee.

Sumber : http://www.sinarharapan.co.id/cetak/detail-cetak/article/utamakan-membangun-daerah-perbatasan/

10 Juli 2009

Penetapan Kluster Usaha Perikanan Tangkap Dikecam

Jumat, 10 Juli 2009 | 03:51 WIB

Jakarta, Kompas - Rencana pemerintah membentuk kluster usaha perikanan tangkap di Laut Arafura dan China Selatan dikecam sejumlah pihak. Pembentukan kluster itu dinilai rawan menimbulkan praktik monopoli dan mematikan ruang gerak nelayan kecil.

Mulai 2010 pemerintah akan membentuk kluster wilayah penangkapan ikan di Laut China Selatan dan Arafura, dengan pemberian hak pengelolaan kluster kepada pihak tertentu.

Ketua Masyarakat Perikanan Nusantara (MPN) Shidiq Moeslim, di Jakarta, Kamis (9/7), berpendapat, membuat kapling-kapling wilayah penangkapan ikan akan membuka peluang penguasaan daerah tangkapan oleh segelintir pelaku usaha besar yang memiliki sarana dan armada tangkap yang lengkap. Namun, di sisi lain, ruang gerak usaha nelayan lokal akan makin sempit.

”Pemberlakuan kluster mengancam keberlangsungan sumber daya ikan dan menempatkan nelayan kecil semakin terpinggirkan,” ujar Shidiq.

Hal senada dikemukakan guru besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor (IPB) Daniel Monintja. Pemerintah, kata Daniel, agar mempertimbangkan kembali secara matang dampak penetapan kluster penangkapan ikan terhadap usaha kecil di wilayah itu.

Rencana pengembangan usaha perikanan tangkap berbasis kluster di Laut China Selatan mengacu pada Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 05/ 2008 tentang Usaha Perikanan Tangkap, Pasal 74. Kawasan kluster ditetapkan berdasarkan batasan koordinat daerah penangkapan ikan.

Direktur Pengembangan Usaha Penangkapan Ikan (PUPI) Departemen Kelautan dan Perikanan Anang Noegroho menegaskan, hak eksklusif pengelolaan ke pihak tertentu tidak akan mengesampingkan hak ekonomi dan sosial masyarakat.

Pengelola kluster perikanan tangkap ditentukan melalui tender. Pengelolaan dapat dilakukan bersama oleh pemerintah dan swasta, atau swasta dan masyarakat. Pengelola kluster perikanan tangkap wajib mengukur potensi sumber daya ikan, reproduksi, dan memperhitungkan volume tangkapan bagi perikanan yang berkelanjutan.

Pemberlakuan kluster perikanan, lanjut Anang, akan memberikan pemasukan berupa pendapatan negara bukan pajak (PNBP). Saat ini sedang dikaji penerapan usaha penangkapan berbasis kawasan, yang dijadwalkan selesai Oktober 2009.

Shidiq mengingatkan, penguasaan kawasan tangkap secara eksklusif akan menyulitkan pemerintah melakukan pengawasan perairan. Apalagi, penangkapan ikan di perairan Laut Arafura saat ini sudah berlebihan (overfishing).

Pemerintah seharusnya berkonsentrasi mengatasi hal itu, dengan menertibkan perizinan tangkapan dan pengawasan perairan. ”Ketimbang membuka peluang bagi bentuk usaha monopoli baru dan legalitas penjarahan ikan,” ujarnya. (LKT)

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/07/10/03510749/penetapan.kluster.usaha.perikanan.tangkap.dikecam.

09 Juli 2009

Industri perikanan krisis bahan baku

Penangkapan ikan secara ilegal masih marak

JAKARTA: Industri pengolahan perikanan dunia terancam kekurangan bahan baku menyusul maraknya penangkapan ikan yang berlebihan (over fishing) di sejumlah kawasan.

?Jika itu terjadi, industri ini akan ambruk. Sebab tidak lagi mendapatkan pasokan bahan baku berupa ikan segar. Industri-industri pengolahan perikanan di banyak negara, sudah mulai kesulitan beroperasi akibat kurangnya bahan baku,? tutur ekonom sumber daya perikanan dari IPB, Akhmad Fauzi, di Jakarta, Selasa.

Dia mengusulkan kendati kejadian itu akan terjadi pada 2048, Indonesia mengatasi itu. Perikanan Indonesia memerlukan pilar-pilar yang kokoh guna menyokong sektor kelautan dan perikanan agar dapat terus berjalan, salah satunya dengan sistem klaster.

Namun, ia menjelaskan bahwa sebelum membuat klaster, Indonesia perlu tahu berapa besar sumber daya ikan yang dapat diproduksi.

Menurut dia, maximum sustainable yield (MSY) perikanan Indonesia 6,4 juta ton per tahun dan dari perhitungannya, standing stock (stok ikan yang tersedia) diperkirakan dapat mencapai 20 juta ton. ?Berdasarkan standing stock itu jumlah klaster dapat dibagi-bagi,? ujar dia.

Jumlah kapal ilegal fishing yang dirampas untuk negara 2004-2008
Provinsi Tahun
2004 2005 2006 2007 2008
Sumatra 16 23 91 5 12
Jawa 1 - 8 - -
Kalimantan 8 11 4 - -
Sulawesi - - 1 - -
Maluku-Papua - 2 2 24 -
Sumber: DKP

Dia juga mengatakan [untuk mengantisipasi ancaman itu] mesti ada pencatatan yang jelas soal berapa besar sumber daya ikan yang diproduksi setiap tahunnya. ?Termasuk cadangan perikanan di Indonesia,? ujarnya.

Sementara itu, Ketua Umum Masyarakat Perikanan Nusantara (MPN) Shidiq Moeslim mengakui kondisi perikanan tangkap di Indonesia dalam kondisi sangat memprihatinkan. ?Titik terparah dan perlu mendapatkan perhatian adalah penangkapan ikan di sekitar perairan Natuna, Laut Jawa, dan Laut Arafura,? ujarnya.

Dia menjelaskan masyarakat nelayan dan pengusaha yang bergerak di perikanan telah mengamati dan merasakan fenomena berkurangnya hasil tangkapan ini sejak lama. Shidiq menyatakan sangat wajar jika nelayan tidak juga sejahtera karena hasil tangkapan ikan tidak pernah lebih dari 2 kilogram.

Praktik ilegal

Dirjen Pengawasan dan Pengendalian Sumber Daya Kelautan Perikanan (P2SDKP) Aji Sularso menuturkan fenomena penangkapan ikan berlebih itu merupakan tanda begitu maraknya praktik illegal, unreported, unregulated (IUU) fishing di Tanah Air.

?Sampai saat ini, masih begitu banyak praktik penangkapan ikan ilegal oleh kapal yang terbukti tidak memiliki surat izin penangkapan ikan (SIPI),? ungkapnya.

Dia menyatakan jika 3.700 unit kapal berbobot di atas 30 gross ton (GT) yang membawa izin resmi sudah membuat tangkapan ikan menurun, apalagi ditambah dengan kapal bekas asing ilegal yang berbobot 100 GT. ?Jelas saja akan berdampak besar terhadap hasil tangkapan,? katanya.

Oleh karena itu, kata Aji, pemerintah memprogramkan untuk menyelesaikan masalah di sektor perikanan dengan program klaster. Dengan demikian, katanya, maka beberapa masalah yang masih belum terselesaikan a.l. mendesak dikeluarkannya pembatasan izin tangkap termasuk di dalamnya penetapan kuota tangkap.

Masalah ini, katanya, melebar pada upaya pemberian insentif dan pemberian hak pengelolaan kelompok atau klaster. Sistem ini, kata Aji, sebagai upaya agar laut Indonesia tidak dijadikan akses terbuka. (diena.lestari@bisnis.co.id)

Oleh Diena Lestari
Bisnis Indonesia

Sumber : http://www.bisnis.com/servlet/page?_pageid=127&_dad=portal30&_schema=PORTAL30&vnw_lang_id=2&ptopik=A29&cdate=09-JUL-2009&inw_id=683632

RI bangun klaster perikanan & kelapa sawit

Potensi sumber daya lebih terjamin

JAKARTA: Pemerintah akan membangun klaster industri perikanan dan kelapa sawit di sejumlah daerah guna mendorong kinerja sektor itu.

Hal itu dikemukakan oleh Dirjen Perkebunan Departemen Pertanian Achmad Mangga Barani dan Dirjen Pengawasan dan Pengendalian Sumber Daya Kelautan Perikanan (P2SDKP) Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) Aji Sularso di Jakarta, kemarin.

Klaster industri hilir kelapa sawit terpadu, kata Achmad Mangga Barani, akan dibangun pada 2011 di perkebunan kelapa sawit Sei Mangkei, Kabupaten Simalungun, Sumatra Utara dan kawasan ekonomi Maloi, Kutai Timur, Kalimantan Timur.

Tahap pertama, klaster kelapa sawit di Sei Mangkei akan mampu menghasilkan 400.000 ton crude palm oil [CPO]. ?Butuh waktu 2 tahun membangunnya. Sekarang masih ditender,? kata Achmad Mangga Barani seusai acara peluncuran buku Perkebunan Dalam Lintasan Zaman di Departemen Pertanian, kemarin.

Total ekspor produk perikanan
Tahun Nilai
2006 US$2,10 miliar
2007 US$2,26 miliar
2008 US$2,56 miliar
Sumber: DKP

Volume ekspor CPO dan turunannya (juta ton)
Tujuan 2008 Januari-Maret 2009
India 5,395 1,254
Eropa 2,876 0,771
China 1,696 0,575
Bangladesh 0,479 0,195
Pakistan 0,402 0,052
Negara lainnya 3,322 0,486
Total 14,17 3,382
Sumber: Gapki, 2009

Pembangunan industri kelapa sawit di Sei Mangkei ini, kini dalam tahap pemerataan areal. Pemilihan Sei Mangkei sebagai salah satu kawasan industri hilir terintegrasi karena dekat dengan pelabuhan Kuala Tanjung yang berada di tengah sentra produksi bahan baku kelapa sawit a.l. milik PTPN III, PTPN IV, dan kebun-kebun swasta.

Industri yang akan dibangun di kawasan ini, bukan hanya minyak kelapa sawit melainkan juga oleochemical, biodiesel, surfactant dan energi dan lain-lain. ?Industri hilir mendukung kebijakan pemerintah yang memerintahkan seluruh PTPN agar mengembangkan pengolahan sawit mulai dari CPO hingga turunan-turunannya,? ungkap Achmad.

Sebelumnya beberapa investor luar negeri asing, terutama dari China datang mengunjungi kawasan tersebut dan menginginkan kerja sama dengan PTPN III. Dalam kunjungannya pada 8 Mei 2009, Lu Bao Min, dan rekan-rekannya dari Zhe Jiang Forestry Development Co. Ltd di Beijing mengungkapkan keseriusannya bekerja sama dengan PTPN III dalam membangun kawasan Sei Mangkei itu.

Klaster perikanan

Sementara itu, DKP memprogramkan penerapan sistem klaster sebagai upaya membatasi proses penangkapan ikan yang tidak terkendali.

Dirjen Pengawasan dan Pengendalian Sumber Daya Kelautan Perikanan (P2SDKP) DKP Aji Sularso mengakui program yang direncanakan oleh pemerintah ini untuk menyelesaikan masalah di sektor perikanan.

Saat ini beberapa titik perairan Indonesia yakni perairan Natuna, Arafura, dan Laut Jawa terjadi penangkapan ikan yang sangat tinggi. maximum sustainable yield (MSY) atau hasil maksimal yang menjaga kondisi berkesinambungan Indonesia mencapai 6,4 juta ton per tahun. Pada 2007, MSY Indonesia mencapai 4,97 juta ton, jumlah itu belum ditambah dengan penangkapan secara ilegal dari kapal-kapal tidak berizin. (erwin.tambunan@bisnis. co.id/diena.lestari@bisnis.co.id)

Oleh Erwin Tambunan & Diena Lestari
Bisnis Indonesia

Sumber : http://www.bisnis.com/servlet/page?_pageid=127&_dad=portal30&_schema=PORTAL30&vnw_lang_id=2&ptopik=A16&cdate=08-JUL-2009&inw_id=683449

" DKP Tawarkan Penangkapan Ikan Sistem Klaster "

Rabu, 08 Juli 2009 01:53 WIB
Posting by : warso

JAKARTA , Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) menawarkan penggunaan sistem klaster guna mengatasi penangkapan ikan berlebih (over fishing).

JAKARTA , Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) menawarkan penggunaan sistem klaster guna mengatasi penangkapan ikan berlebih (over fishing).

Dengan sistem klaster, jaminan ketersediaan sumber daya ikan semakin jelas karena setiap tahun akan ada evaluasi berdasarkan hasil tangkapan. ”Klaster juga bertujuan untuk tidak menjadikan laut sebagai open access,” ujar Dirjen Pengawasan dan Pengendalian Sumber Daya Kelautan Perikanan (P2SDKP) Aji Sularso di Jakarta, Selasa (7/7).

Dia menolak sistem klaster disebut sebagai monopoli. ”Karena siapa yang berhak mengelola klaster dapat ditetapkan melalui tender,” tegasnya.

Namun, para pengusaha perikanan mengaku keberatan dengan klaster ini. ”Visi dan misi dari pembuatan klaster ini harus jelas,” kata Ketua Umum Masyarakat Perikanan Nusantara (MPN), Shidiq Moeslim. Dia menyarankan DKP agar melakukan kajian terhadap beberapa model klaster sehingga terpilih klaster perikanan yang paling tepat bagi Indonesia.

Sementara itu, pengelola Jogja Fish Market mengeluhkan sepinya pengunjung. Wigiharto, Manager Sumber Daya Manusia dan Area Publik Jogja Fish Market, mengatakan dalam satu bulan pasar ikan segar yang berdiri sejak 2005 itu hanya menjual 5 ton ikan.

”Jika dibandingkan kebutuhan warga Yogyakarta yang mengonsumsi ikan lele saja dalam sehari menghabiskan 14 ton ikan lele, penjualan itu termasuk sangat sedikit,” tuturnya.

Kepala Seksi Pengembangan Objek dan Daya Wisata Dinas Pariwisata Seni dan Budaya Yogyakarta Bisri Romli mengakui tidak ada promosi khusus untuk pasar ikan tersebut karena tidak ada pembagian kewenangan dengan dinas terkait. “Untuk Jogja Fish Market, seharusnya pihak pengelola, yaitu PT Bumi Harapan Umat, melakukan promosi sendiri dengan gencar,” jelasnya. (YK/Ant/N-1)

sumber : http://www.koran-jakarta.com/ver02/detail-news.php?idkat=31&&id=12601

PENGUSAHA KEBERATAN KLASTER PERIKANAN BERBENTUK BADAN USAHA

formatnews - Jakarta, 7/7: PENGUSAHA perikanan merasa keberatan dengan klaster perikanan yang ditawarkan berbentuk badan usaha yang ditawarkan Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP).

"Perikanan tangkap berbasis klaster, kita setuju, ini sangat baik. Tapi visi dan misi dari pembuatan klaster ini harus jelas," kata Ketua Umum Masyarakat Perikanan Nusantara (MPN), Shidiq Moeslim, kepada ANTARA usai diskusi Pengelolaan Perikanan Tangkap dengan Pendekatan Klaster di Jakarta, Selasa.

Ia menegaskan bahwa bagi pengusaha perikanan klaster merupakan hal baik jika mampu menimbulkan efisiensi dan nilai tambah, serta tidak disalah gunakan.

Untuk itu, ia menyarankan agar DKP mempersiapkannya sistem klaster ini secara matang, dengan melakukan kajian terhadap beberapa model klaster sehingga terpilih klaster perikanan yang paling tepat bagi Indonesia.

"Klaster ini kan sebenarnya cara berpikir terpadu untuk mendapatkan nilai tambah yang lebih tinggi bagi kumpulan usaha, jadi tidak bisa berupa badan usaha dengan fasilitas khusus," tegas Shidiq.

Ia sangat tidak setuju jika klaster yang dimaksud oleh DKP adalah sebuah klaster yang merupakan badan usaha, dimana pengelolanya terpilih berdasarkan tender.

Cara terbaik untuk membuat klaster perikanan menurut dia adalah pemerintah menyediakan tempat strategis ditambah dengan infrastruktur dan fasilitas yang memadai. "Sama halnya dengan toko, kalau strategis lokasinya pembeli akan datang sendiri kan".

Dengan pemerintah memberikan fasilitas lengkap seperti akses jalan yang baik, air bersih, pelabuhan, bank, koperasi, sekolah perikanan,` cool strage `, hingga perizinan satu pintu, menurut Shidiq, secara otomatis para pengusaha produk olahan, nelayan, pengusaha pakan ternak, pembudidaya, akan tertarik masuk ke dalam klaster.

"Biarkan pemangku kepentingan di sektor ini berkembang sendiri membuat sebuah klaster, tidak perlu dibagi-bagi," ujar dia.

Terkait dengan pembiayaan untuk membangun sebuah klaster perikanan, menurut Shidiq, pemerintah tidak perlu mengeluarkan modal untuk pengusaha, karena yang dibutuhkan hanya lah fasilitas dan infrastruktur yang mendukung berdiri dan berkembangnya sebuah klaster.

"Saya yakin investor pun akan otomatis masuk sendiri jika lokasi tepat, fasilitas, dan infrastruktur jelas," ujar dia.*ant*im*

Sumber : http://formatnews.com/?act=view&newsid=24196&cat=115

03 Juli 2009

Pangasius Market Report - July 2009

Outlook positive for pangasius

During the first months of 2009 pangasius was under pressure, as Russia and Egypt banned imports. In addition, negative press coverage in Italy and Germany scared consumers away from buying of pangasius. All over the world, local fishermen are complaining that the fish from Viet Nam is creating unwanted competition by undercutting prices substantially. At the moment, it is probably the only fillet on offer in Europe below EUR 10.00/kg. On the other hand, because of low prices paid to pangasius farmers in 2008, the area devoted to breeding has been reduced.

In the Mekong Delta, the country’s major pangasius breeding region, the area devoted to breeding the fish was reduced by 600 hectares, to 5 240 hectares at the end of last year. In provinces that are leading producers of pangasius, such as An Giang and Dong Thap, 30% of the ponds are lying unused after farmers suffered losses because of oversupply last year.

As a result of the reduction in supply, prices were moving upwards in the opening months of the year, both in Viet Nam and in the European market. This price hike came to a stop in May 2009, as competing species report declining price levels. Prices of pangasius at the origin started to decline sharply.

After 10 years of developing pangasius breeding and processing, the fish is exported to 107 countries and territories. Viet Nam plans to produce between 1.3 million tonnes and 1.5 million tonnes, and export USD 1.5 billion worth of the pangasius products in 2009. Last year, the Mekong Delta produced 1.2 million tonnes and exported 633 000 tonnes of pangasius products worth USD 1.4 billion.

In the first four months of this year, Viet Nam earned USD 375 million from exporting 163 000 tonnes of pangasius, a slight decrease compared with the same period last year. In terns of quantity, exports were more or less stable. The main export recipient was the EU with 65 000 tonnes, or 40% of the total. Within the EU, Spain is reportedly the major importer of pangasius from Viet Nam, reporting a 10% increase in its imports. In the present economic situation, the Spanish consumer prefers the relatively cheap pangasius fillet over more expensive traditional products.

The distribution of benefits in the value chain for pangasius, from the small scale fish farmer in Viet Nam, to processing in relatively large processing companies, to finally being offered for sale in the European market is quite informative. Of the final sales price of EUR 7.00/kg, 10% goes to fish farmer, 10% to the fish collector, 20% to the processor, 20% to the trader and the remaining 40% to the retailer.


Exports resume in major markets

Egypt has affirmed its official resumption of granting permits for Vietnamese pangasius to be exported to Egypt. Recently, incorrect information about Vietnamese pangasius was published in Egyptian newspapers, implying that pangasius was unsafe for consumers. The misinformation resulted in negative perceptions by Egyptian consumers, forcing the Egyptian Embassy in Hanoi to halt temporarily the granting of permits to local traders to export pangasius to Egypt. Egypt is the sixth most important market for pangasius and imported some 26 600 tonnes in 2008.

Viet Nam plans to export 100 000 tonnes of pangasius to Russia this year, after that country lifted an import ban in April 2009. Last year 118 000 tonnes of the fish were shipped to Russia before pangasius imports were prohibited in late December 2008. It was put in place after some shipments of Vietnamese seafood were found to be contaminated with banned chemicals. Russian authorities also claimed that Vietnamese exporters progressively lowered prices to compete with one another, hurting Russian importers. Russian authorities have now fixed a minimum price of RUB 78/kg (USD 2.30/kg) a kilogram. Violators will be fined USD 50 000 and banned from importing Vietnamese seafood.

At the end of June 2009, Viet Nam had exported over 10 000 tonnes of tra and basa fish at USD 3.10/kg to Russia since 25 April 2009 when Russia officially reopened its market to Vietnamese fish. In July alone, another 15 000 tonnes of fish are expected to be shipped to Russia, as a number of Russian importers asked for more of tra and basa from Viet Nam in the form of both packaged fillet and whole fish. Apart from Russia, demand from many other foreign importers such as East European, African and American countries are strong.

In May 2009 the New Zealand Federation of Commercial Fishermen attacked a government move to allow the import of catfish from Viet Nam, saying it could dominate the fish and chips trade and ruin the local industry. The market for New Zealand's hoki dropped by 90% when Vietnamese catfish imports were allowed into Australia,

US imports of catfish (including pangasius) declined somewhat in the first three months of the year: some 11 500 tonnes were imported during the first quarter of 2009, 7% less than in the same period of 2008. While Viet Nam, the top exporter of catfish to the US market reported a modest increase in exports, Chinese catfish exports dropped sharply, probably in reaction to more strict sanitary controls by US inspectors.


New standard for pangasius

On 29 April 2009 Global GAP, announced its new pangasius and tilapia standards, which were published after having been tested on fish farms. The development of the pangasius standard started in Viet Nam, the main producing country. Supported by German Technical Cooperation (GTZ), the working group presented a first draft proposal to GlobalGAP. The draft standard was subject to trial audits on six farms and stakeholder consultation.

The US International Trade Commission announced in June 2009 that it would keep the tariff on frozen fillets of Vietnamese catfish, known in the US as 'basa' and 'tra,' afraid that lifting the duty would harm the domestic catfish industry within a 'reasonably foreseeable time.' This decision did not come as a surprise. At present, Vietnamese exporters are more concerned with an upcoming decision as to whether to reclassify basa and tra as catfish under the US farm bill. This would mean more severe testing for antibiotics.

Prices of pangasius likely to increase further

The decline in production of pangasius in Viet Nam will result in a substantial shortages in raw material, and , at least in the near future, a substantial increase in price. The economic crisis in Spain, which is having negative implications for many other fish species, will result in more demand for pangasius, well known as a relatively cheap fish. In the US market, the situation might become difficult if basa and tra were classified as catfish.



Report prepared by Helga Josupeit
FAO GLOBEFISH 2009

http://www.globefish.org/dynamisk.php4?id=4740

Abrasi Kian Parah

Kompas, Jumat, 3 Juli 2009 | 04:01 WIB

Slawi, Kompas - Abrasi di pantai utara Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, kian parah. Dalam tiga bulan, garis pantai terkikis sekitar 30 meter. Selain itu, abrasi mengakibatkan kerusakan tambak dan tanaman bakau muda.

Abrasi di Kabupaten Tegal terjadi di Kecamatan Kramat dan Surodadi. Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia Kabupaten Tegal Warnadi, Kamis (2/7), mengatakan, abrasi terparah terjadi di Desa Kramat, Maribaya, dan Munjungagung, Kecamatan Kramat, sepanjang tiga kilometer.

Sepanjang musim angin timur, April-Juni 2009, lebar daratan yang hilang mencapai lima hingga 30 meter. ”Di Kramat, lebar pantai yang hilang mencapai 30 meter, sedangkan di Munjungagung sekitar lima meter,” katanya.

Perbedaan itu, menurut Warnadi, karena pengaruh bentuk pantai dan keberadaan tanaman keras di pantai. Di tepi pantai Munjungagung ada tanaman cemara laut yang berfungsi menahan empasan ombak.

Di pantai Kramat yang berbentuk teluk, ada tanaman bakau, tetapi masih berusia satu hingga empat tahun karena itu bakau rusak diterjang ombak.

Menurut Warnadi, dari 40.000 tanaman bakau yang ditanam setahun lalu, kini 30 persen rusak. Selain itu, lima petak tambak dan gubuk milik petani rusak akibat pantai terkikis.

Ratim (50), petani tambak di Desa Kramat, mengatakan, hantaman ombak besar juga mengakibatkan saluran air yang menjadi penghubung laut dengan sungai di wilayah itu hancur. Kerusakan itu membuat aliran air di sungai tidak lancar sehingga ikan di tambak mati.

Kerusakan tambak menyebabkan petani kehilangan sumber penghasilan. Menurut Ratim, ia kehilangan 1,5 petak tambak senilai Rp 100 juta. Selain itu, ia kehilangan kesempatan mendapatkan untung dari budidaya bandeng Rp 5 juta per panen.

Tiap tahun

Menurut Warnadi, sebenarnya abrasi sudah terjadi sejak lama dan berlangsung hampir setiap tahun. Biasanya, kondisi itu terjadi setiap musim ombak besar, yaitu saat musim angin barat (November-Januari) dan musim angin timur (April hingga Juni). Selama lima tahun terakhir, lebar pantai yang hilang mencapai sekitar 200 meter.

Warnadi berharap, pemerintah serius menangani persoalan tersebut. Pembangunan pemecah gelombang seperti yang dilakukan selama ini justru akan memperparah abrasi di daerah sekitarnya.

”Kalau ada groin (bangunan pemecah gelombang), wilayah di sebelahnya justru terkena abrasi makin parah karena ombak terpecah ke sekitarnya,” kata Warnadi.

Upaya yang harus dilakukan adalah menghijaukan kawasan pantai. Namun, ia sadar, upaya itu membutuhkan waktu lama.

Kepala Badan Lingkungan Hidup Pemkab Tegal Khofifah mengatakan, pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk mengatasi abrasi. Hal itu di antaranya dengan membangun sabuk pantai di Desa Bojongsana dan Suradadi, Kecamatan Suradadi, yang merupakan daerah permukiman.

Pemerintah bersama masyarakat juga melakukan penghijauan dengan menanam bibit bakau. ”Warga Suradadi menanam pohon waru di sekitar pantai. Adapun warga Kramat menanam bakau,” katanya.

Pemerintah mengimbau masyarakat untuk menjaga kelestarian tanaman tersebut dan tidak menebangnya untuk kayu bakar. Saat ini dari 27 kilometer panjang pantai di Kabupaten Tegal, sekitar 12 kilometer di antaranya mengalami abrasi. (WIE)

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/07/03/04014376/abrasi.kian.parah

02 Juli 2009

Koperasi Nelayan Masih Tertinggal

Kompas, Kamis, 2 Juli 2009 | 03:47 WIB

Jakarta, Kompas - Keberadaan koperasi perikanan dan nelayan yang diharapkan menjadi penopang kegiatan ekonomi nelayan dan masyarakat pesisir semakin tertinggal. Jumlah koperasi perikanan yang aktif saat ini hanya 700 unit dari total 1.200 unit koperasi.

Sekretaris Jenderal Induk Koperasi Perikanan Indonesia (IKPI) Hardadi Lukito, di Bali, Rabu (1/7), mengemukakan, penyebab tersendatnya koperasi, antara lain, adalah minimnya permodalan dan kegiatan yang cenderung stagnan.

Koperasi nelayan yang disebut Koperasi Unit Desa (KUD) Mina seharusnya menjalankan fungsi pelelangan ikan atau mengelola tempat pelelangan ikan (TPI) sebagai bagian dari unit koperasi. Namun, KUD Mina di luar Jawa umumnya tidak berkembang sehingga tidak mampu menggerakkan TPI. Sementara itu, sebagian bangunan TPI yang dibangun pemerintah belum optimal.

”Sebagian bangunan TPI yang dibangun pemerintah sering kali tidak sesuai dengan kebutuhan dan lokasi pendaratan ikan sehingga akhirnya tidak berfungsi,” ujar Lukito.

Tidak berfungsinya KUD Mina dan TPI di sejumlah wilayah menyebabkan operasional nelayan dan pemasaran ikan mengandalkan tengkulak dan pedagang pengumpul. Belum berdayanya peran koperasi menyebabkan sulit memutus rantai ketergantungan terhadap tengkulak.

Peneliti Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Muhammad Nadjib, mengemukakan, koperasi kerap terganjal persoalan internal, yakni kesenjangan kepentingan antara pengurus koperasi dan nelayan yang dinaunginya.

Kepengurusan koperasi, ujar Nadjib, masih didominasi oleh pedagang pengumpul atau pengusaha kapal. Perbedaan kepentingan itu adalah nelayan menjual hasil dengan harga setinggi-tingginya, sedangkan pedagang atau juragan cenderung menekan harga.

”Timbul jarak dan kesenjangan antara nelayan dan pengurus. Akibatnya, organisasi koperasi tidak mengakar pada anggotanya dan posisi tawar nelayan kecil menjadi rendah,” ujarnya.

Sementara itu, sejumlah koperasi yang masih aktif mengalami kesulitan dalam membangun jaringan dengan perbankan. Citra buruk kredibilitas SDM koperasi dan manajemen keuangan yang tidak tertata menuai keraguan perbankan dalam menyalurkan permodalan lewat koperasi. (LKT)

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/07/02/03474783/koperasi.nelayan.masih.tertinggal

Saatnya Mewujudkan Negara Kepulauan Indonesia

"UUD 1945 Pasal 25E telah mengamantkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang"
”Untuk membangun Indonesia menjadi negara besar, negara kuat, negara makmur, negara damai yang merupakan National Building bagi negara Indonesia, maka negara dapat menjadi kuat jika dapat menguasai lautan. Untuk menguasai lautan, kita harus menguasai armada yang seimbang.” (Pidato Bung Karno yang disampaikan dalam National Maritime Convention I tahun 1963)