27 Februari 2008

Menyoal Masa Depan Ekonomi Kepulauan

Sumber : http://www.dewanmaritim.dkp.go.id/yopi/index.php?p=3&id=29012008am1018

50 tahun sudah sejak Perdana Menteri Djoeanda mendeklarasikan konsep Negara Kepulauan. Namun demikian sampai saat ini arti penting dari negara kepulauan itu belum dapat terwujud secara nyata di lapangan, terutama nasib ekonomi masyarakat kepulauan. 13 Desember 1957, Ir. Djuanda mengeluarkan sebuah deklarasi yang secara politik mengklaim negara kepulauan.

Dengan deklarasi ini secara substansial memberikan inspirasi tentang Wawasan Nusantara yang mencakup komponen kesatuan ekonomi, kesatuan wilayah dan kesatuan politik. Namun demikian, bagi masyarakat di pulau kecil yang terpencil, laut masih terasa sebagai pemisah antar pulau, padahal semangat Deklarasi Djoeanda yang menjadi dasar peringatan Hari Nusantara tersebut telah menjadikan laut sebagai pemersatu antar pulau bukan sebagai pemisah antar pulau. Namun demikian, pada kenyataannya pembangunan yang berjalan selama ini belum dapat menyentuh masyarakat di daerahdaerah pulau kecil yang terpencil.

Pengalaman penulis yang sempat meneliti masalah ekonomi dan kearifan lokal masyarakat pesisir dalam memanfaatkan dan mengelola sumberdaya kelautan di sebuah desa terpencil, yaitu Desa Lermatang dan Desa Autubun kepulauan Tanimbar Kabupaten Maluku Tenggara Barat, melihat realitas kehidupan masyarakat yang relatif masih jauh tertinggal dari wilayah lainnya di Indonesia. Padahal kedua desa tersebut memiliki potensi sumberdaya kelautan yang sangat potensial dan letaknya pun tidak jauh dari Saumlaki Ibukota Kabupaten Maluku Tenggara Barat.

Dalam delapan tahun terakhir memang perhatian pemerintah terhadap pengembangan pulau pulau kecil sangat besar, bahkan saking semangatnya kadang-kadang strategi pengembangan pulau kecil yang ditawarkan oleh pemerintah menimbulkan pertentangan dari masyarakat. Misalnya rencana pemerintah menyewakan pulau kecil kepada para investor asing telah banyak menimbulkan pertentangan dari masyarakat, karena dianggap penyewaan pulau kecil akan mengancam keutuhan NKRI.

Perhatian serius pemerintah tersebut juga dapat dilihat dari hadirnya UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pembangunan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Namun demikian, semangat yang tinggi tersebut ternyata belum didukung oleh semangat keberpihakan kepada masyarakat kecil, nasionalisme dan pemahaman yang mendalam dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil, sehingga undang-undang tersebut lahir penuh dengan kontroversial. Misalnya, konsep pemberian HP-3 kepada perorangan atau pihak swasta dan dapat diperjualbelikan pada akhirnya tidak menutup kemungkinan kepemilikan HP-3 akan bertumpuk pada satu pengusaha saja. Artinya bahwa kesempatan masyarakat kecil dalam memanfaatkan sumberdaya yang ada di wilayah pesisir akan semakin terpinggirkan.

Padahal seperti diketahui bahwa perairan di wilayah pesisir merupakan tempat utama bagi aktivitas masyarakat kecil, terutama nelayan tradisional. Bahkan yang tak kalah kontroversial lagi dengan adanya undang-undang tersebut pengertian wilayah pesisir mengalami perubahan secara signifikan. Kalau para akademisi selama ini menyakini bahwa yang dimaksud dengan wilayah pesisir tersebut merupakan wilayah yang masih dapat pengaruh daratan dan laut. Namun demikian dalam undang-undang tersebut wilayah pesisir luasnya berubah menjadi sampai diatas 12 mil laut ke arah laut yang sangat jauh dari pengaruh daratan. Masih banyak kontroversial lain dari keberadaan undangundang tersebut, sehingga perlu mendapatkan perhatian serius sebelum benar-benar dijalankan dalam pembangunan pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia.

Berdasarkan kondisi tersebut maka dalam memperingati Hari Nusantara ini semua stakeholders kelautan mulai dari pemerintah, masyarakat, swasta dan para akademisi perlu bahu-membahu dalam memperhatikan nasib masyarakat kepulauan. Perlu adanya kesatuan komitmen politik dari para penentu kebijakan dalam mengedepankan pembangunan kelautan dan perikanan pada pembangunan ekonomi Indonesia berbasiskan kepulauan.

Beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian dalam upaya melakukan pembangunan ekonomi masyarakat kepulauan, yaitu pertama, reorientasi arah pembangunan di pulau kecil. Selama ini alam berpikir masyarakat dan pemerintah yang berpusat di daratan luas tentu sangat berbeda dengan masyarakat di pulau-pulau kecil, tetapi perbedaan itu tidak dianggap ada. Jangankan Pemerintah Pusat, konsepsi kebanyakan Bupati tentang fasilitas publik tetap saja terutama berupa jalan mulus, walaupun kawasannya mencakup pulau pulau kecil. Pulau-pulau kecil tidak dikelola sebagai lingkungan yang menghadap ke laut (waterfront) sehingga sarana transportasi laut termasuk pelabuhan diutamakan. Sebaliknya, justru jalan yang akan merusak hutan dalam pulau digunakan sebagai indikator kemajuan. Berdasarkan hal tersebut maka perlu ada reorientasi pembangunan di pulau-pulau kecil dari orientasi daratan menjadi orientasi maritim.

Hal ini diperlukan agar masyarakat di pulau-pulau kecil lebih mengenal daerahnya sendiri, yang sebagian besar merupakan lautan. Kedua, pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat di pulau-pulau kecil. Hal ini dimaksudkan agar kebutuhan dasar masyarakat di pulau-pulau kecil setara dengan rata-rata masyarakat Indonesia lainnya.

Ketiga, peningkatan kemampuan masyarakat yang berada di pulau-pulau kecil agar dapat mengembangkan potensi yang ada dalam masyarakat maupun lingkungan alamnya sehingga dapat meningkatkan kualitas hidupnya sesuai harapannya.

Masyarakat nelayan di pesisir dan pulau-pulau kecil, misalnya, membutuhkan pendidikan yang memungkinkan mereka berhitung dagang dan keterampilan melaut, termasuk memanfaatkan teknologi penangkapan ikan, konservasi kawasan laut, termasuk berhubungan dengan dunia luar. Bisa jadi warga pulau kecil dengan potensi wisata laut justru memerlukan pendidikan surfing di Bali, melanjutkan ke Hawaii. Lalu mereka bisa kembali dan menggunakan keahliannya untuk mengembangkan wisata surfing di pulau-pulau ini. Jadi tidak perlu cari pendidikan itu harus ke Jawa. Keempat, peningkatan kerjasama antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota maupun pemerintah yang lebih bawah serta semua komponen masyarakat lainnya untuk memajukan masyarakat di pulau pulau kecil sesuai dengan semangat kesetiakawanan sosial yang melembaga dan berkesinambungan.

Kelima, peningkatan keterhubungan fisik (melalui prasarana perhubungan) maupun maya (melalui prasarana telekomunikasi) antara daerah tertinggal dengan daerah-daerah lain sehingga memudahkan masyarakat untuk berinteraksi sehingga terwujud kohesi sosial yang tinggi. Prasarana dan sarana perhubungan yang perlu diutamakan di pulau-pulau kecil adalah sarana perhubungan laut, mulai dari kapal sampai pelabuhan.

Dus, pembangunan ekonomi kepulauan, khususnya di pulau-pulau saat ini sudah merupakan kebutuhan yang mendesak. Hal ini disebabkan selain untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat juga untuk menjaga keutuhan wilayah NKRI.

Oleh Suhana PKSPL IPB

(Maritim Indonesia)

Fisheries and global climate change

Impacts of climate change
Impacts of climate change
Courtesy of NOAA/J.Everett

Issue

The ocean varies naturally The primary source of food from the oceans is from capture fisheries and aquaculture. The biological productivity which fisheries exploit varies from place to place and over time in relation to oceanographic conditions which change naturally, from year to year and seasonally. Some natural fluctuations are less frequent, changing only after decades. In addition, the oceanic environment is affected by long-term global climate change caused by both natural processes and human impacts, such as the emission of greenhouse gasses. Any effects of such climate change on fisheries will occur in a sector already characterized on a global scale by full utilization, overcapacity of usage and sharp conflicts between fleets and among competing uses of marine ecosystems. Climate change impacts are likely to exacerbate existing stresses on marine fish stocks, notably fishing pressure, diminishing wetlands and nursery areas, pollution, and UV-B radiation. The effectiveness of actions to sustain fisheries depends on our capacity to distinguish among these stresses and other causes of change. This capacity is insufficient and, although the effects of environmental variability are increasingly recognized, the contribution of climate change to such variability is not yet clear.

Natural variation obscures global change and both affect fisheries development and management outcomes. An overarching concern is that society will not recognize the effects of climate change because the natural variability of the marine environment and fisheries production is so great. Only in the last few years has it become clear that there are climate patterns of a decadal scale that affect production on an ocean basin scale, perhaps even globally for some species. Will global climate affect the frequency of these natural oscillations or change their magnitude? Presently there is no answer. However, society has the opportunity to monitor environmental changes and learn about their effects, so that better production forecasts can be made for fisheries managers.

Potential effects Scenarios developed by the Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) forecast - with indications of "confidence" levels - the following effects:

  • Globally, saltwater fisheries production is hypothesized to be about the same, or significantly higher, if resource management deficiencies are corrected. Also, globally, freshwater fisheries and aquaculture at mid-to-higher latitudes could benefit from climate change. Medium Confidence
  • Local shifts in production centres and mixes of species in marine and fresh waters are expected as ecosystems are displaced geographically and changed internally. High Confidence
  • Positive effects such as longer growing seasons, lower natural winter mortality and faster growth rates in higher latitudes may be offset by negative factors such as a changing climate that alters established reproductive patterns, migration routes, and ecosystem relationships. High Confidence
  • Changes in abundance are likely to be more pronounced near major ecosystem boundaries. The rate of climate change may prove a major determinant of the abundance and distribution of new populations. Rapid change due to physical forcing will usually favour production of smaller, low-priced, opportunistic species that discharge large numbers of eggs over long periods. High Confidence
  • There are no compelling data to suggest a confluence of climate-change impacts that would affect global production in either direction.
  • Marine stocks that reproduce in freshwater (e.g. salmon) or require reduced estuarine salinity will be affected by changes in temperatures and the amount and timing of precipitation and on species tolerances. High Confidence
  • Where ecosystem dominances are changing, economic values can be expected to fall until long-term stability (i.e. at about present amounts of variability) is reached. Medium Confidence
  • Subsistence and other small-scale fishers who lack mobility and alternatives, and are often the most dependent on specific fisheries, will suffer disproportionately from changes. Medium Confidence
  • Because natural variability is so greatly relative to global change, and the time horizon on capital replacement (e.g. ships and plants) is so short, impacts on fisheries can be easily overstated, and there will likely be relatively small economic and food supply consequences so long as no major fish stocks collapse. Medium Confidence
  • The sensitivity to global change will vary between fisheries. The most affected will be fisheries in small rivers and lakes, in regions with larger temperature and precipitation change and on anadromous species. They will be followed by fisheries within Exclusive Economic Zones, particularly where rigid access regulations reduce the mobility of fishers and their capacity to adjust to fluctuations in stock distribution and abundance, fisheries in large rivers and lakes, fisheries in estuaries (particularly where there are species without migration or spawn dispersal) and in the high seas.

More specifically for fisheries, climate change-related warming may result in:

  • longer growing seasons and increased rates of biological processes - and often of production;
  • greater risk of oxygen depletion;
  • species shift to more tolerant of warmer and perhaps less-oxygenated waters;
  • redeployment or re-design and relocation of coastal facilities;
  • coastal cultures may need to consider the impacts of sea-level rise on facilities and the freeing of contaminants from nearby waste sites;
  • changes in precipitation, freshwater flows, and lake levels;
  • introduction of new disease organisms or exotic or undesired species;
  • establishment of compensating mechanisms or intervention strategies;
  • a longer season for production and maintenance; and,
  • modification of aquaculture systems, e.g. keeping them indoors under controlled light, may be needed more often to protect larvae from solar UV-B. In addition, several of the above and other factors, such as competing demand for coastal areas, may argue for technological intensification in ponds and non-coastal facilities.
Research ship
Research ship
Courtesy of National Undersea Research Program/T.Kerby

Possible solutions

While the fisheries sector cannot do much to impede or seriously affect global climate change, it could contribute to its stabilization or reduction, and to mitigating its effects. Climate changes notwithstanding, there are several actions to consider. The most important strategies are those needed to promote sustainability and which are useful and practical, even in the absence of climate change. Further, when developing strategies, we need to consider both the problems and the opportunities that are being presented, in the following way:

  • active participation at global and regional level, to ongoing debate and collaboration, to obtain the best possible information of fisheries-related impacts;
  • allocating research funds to analyze local and regional potential changes in resource magnitude and composition and likely socio-economic impacts;
  • sharing information obtained with the sector on potential changes, their scale and possible effects on resources and fisheries;
  • establishing institutional mechanisms to enable or enhance the capacity of fishing interests (fleets and other infrastructures) to move within and across national boundaries as a consequence of changes in resources distribution. This implies developing bilateral agreements;
  • preparing contingency plans for segments of the sector that might not be able to move, particularly for disadvantaged areas and small-scale fishers lacking mobility and alternatives;
  • developing effective national and international scale resource management regimes and associated monitoring systems to facilitate adaptation of exploitation regimes in a shifting environment;
  • strengthening regional fisheries management organisation and other mechanisms to deal with cross-border stocks;
  • integrating fisheries management into coastal areas management to ensure that fisheries needs are taken up when dealing with protection of coastal areas from sea level rise, etc. For instance, to ensure that public works to protect coastal areas do not unnecessarily obliterate nursery areas important to fisheries;
  • analyzing aquaculture sustainability in an ecoregional context, forecasting changes in productivity or resistance and in required related changes in culture systems, cultured species or delocalisation of productive systems. Particular attention should be given to coastal investments;
  • fostering interdisciplinary research, with scientists meeting periodically to exchange information on observations and research results, and meeting with managers to ensure the proper interpretation of results and the relevance of research; and,
  • foreseeing and planning infrastructure adaptations. It could be expected that, in response to shifting populations and species, the industry will respond with faster, longer-range fishing craft, install on-board processing equipment to replace endangered coastal ones or use floating processors when feasible, and find alternative means of transport when coastal roads are flooded and relocation is not possible. Governments should also consider constructing and maintaining appropriate infrastructure for storm forecasting, signalling systems and safe refuges for dealing with possible rising sea level and increased storminess. There may be opportunities to take advantage of reduced need for ice strengthening of vessels and infrastructures in a warmer climate, except perhaps for areas with increased icebergs.

Action taken

The international activity already related to climate change is very intense as can be seen looking at the various Web sites dealing with it. Most of the action refers, however to research and international agreements. Research focuses on tracking indicators of change, studying cause-effect relationships, modelling, assessing and forecasting impacts. International agreement such as the UN Framework Convention on Climate Change aim at mobilising attention and commitments of governments to reduce greenhouse gases. Little or no action has been taken by governments to mitigate the possible effects, and information on contingency plans is lacking.

In fisheries, while climate change has been addressed occasionally in scientific literature,the subject has not yet been formally addressed by most industry or fishery management administrations. However, the fishery sector and fisheries research are fairly advanced in this matter, through their dealing with the El NiƱo, decadal changes in ocean environments and other longer terms fluctuations in fisheries environments and resources. The observation programmes, scientific analyses, computer models, the experience gained and strategies developed by fishers, processors, fishfarmers, and management authorities confronted with the problem of medium-to-long-term natural fluctuations, is extremely useful for dealing with climate change. Many of the principles and strategies developed to deal with "unstable" stocks will be of use when having to deal with climate change.

The Global Ocean Observing System (GOOS) has been established under the aegis of IOC-UNESCO.

Outlook

Changes remain uncertain and competing theories are still developing as to the reality of the change, its magnitude and its mechanisms. Progress in implementing the UN Framework Convention on Climate Change is slow and resistance from some of the major players to pledge reduction of gas emissions remains a stumbling block. It is not possible to forecast how the question will evolve.

Fisheries will be able to move faster towards specific assessments and contingency plans when more precise and reliable predictions are available on projected climate change with at least a regional resolution. In the meantime, dealing effectively with medium-term natural changes offers a good "training field".

FAO and industry reps discuss emerging issues affecting seafood business

Energy efficiency subject of second FAO-industry forum in Bremen
25 February 2008 - FAO's Fisheries and Aquaculture Department recently met with representatives of some of the leading companies in the seafood industry during a roundtable forum in Bremen, Germany aimed at improving information exchange and dialogue between the UN agency and the private sector.

The focus of the meeting (12 February 2008) was to assess the state of information on energy use in the fisheries sector throughout various stages of the value chain and learn what efforts are in play to improve the industry’s efficiency in light of growing concerns over carbon emissions and global warming.

In April FAO will be convening an expert meeting to look at a wider range of issues related to climate change and fisheries. The outcomes of that meeting as well as the Bremen roundtable will feed into a high level conference on climate change and food security to be held at the Organization's Rome headquarters in June this year. Additionally, the outcomes of the industry forum will be reported on during the upcoming session of FAO's COFI Sub-committee on Fisheries, also to be held in Bremen (June 2-6 2008).

Taking the pulse of industry

This was the second such FAO-industry forum, convened at the invitation of the Senate of the Free Hanseatic State of Bremen. The previous was in 2006 and focused on the growing profile of aquaculture in the global supply chain.

Holding the event during Bremen's annual Fish International trade fair allows FAO meet with a wide range of industry representatives from various sub-sectors and geographic regions.

"FAO has a mandate to engage with governments, civil society, and the private sector. These forums were set up several years ago by our Sub-Committee on Fish Trade as a way for us to better take the pulse of what is happening in the industry, gather information from the private sector, and hear their views on the issues affecting fishing and the seafood business today," said Grimur Valdimarsson, Director of FAO's Fish Products and Industry Division.

26 Februari 2008

Apakah Perikanan Indonesia Dalam Kondisi Kritis ?


Departemen Kelautan dan Perikanan RI telah mengeluarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.05/MEN/2008 tentang Usaha Perikanan Tangkap. Dalam forum ini kita coba untuk mendiskusikan beberapa hal yang termuat dalam permen tersebut sebagai masukan kepada pemerintah. Tema dalam sesi saat ini adalah tentang kondisi daya dukung sumberdaya ikan di perairan Indonesia.
Dalam Bab IX Permen tersebut dijelaskan tentang masa berlaku, perpanjangan dan perubahan atau pergantian perijinan usaha perikanan tangkap bagi orang atau badan hukum Indonesia. Dalam bab tersebut juga disebutkan bahwa jangka waktu perijinan usaha perikanan tangkap akan dievaluasi setiap 2 tahun atau apabila ketersediaan daya dukung sumberdaya ikan dalam kondisi kritis (Pasal 30).
Berdasarkan hal tersebut bagi para pemerhati perikanan dan kelautan yang memiliki data tentang kondisi sumberdaya ikan, apakah kondisi daya dukung sumberdaya ikan di perairan Indonesia saat ini dalam kondisi kritis ? Apabila ya mari kita sama-sama memberikan masukan kepada Menteri Kelautan dan Perikanan melalui Komisi Nasional Pengkaijan Sumberdaya Ikan untuk segera mungkin menerbitkan Keputusan Menteri Kelautan tentang kondisi sumberdaya ikan di perairan Indonesia.
Sebagai gambaran data kondisi perikanan di periaran Indonesia dapat dilihat pada Gambar di samping (Keterangan gambar warna merah : overfishing, kuning : perlu perhatian khusus, Hijau : masih dapat dikembangkan)
Ungkapkan pendapat anda dalam blog ini.

Terima kasih

Suhana
Blog : http://suhana-ocean.blogspot.com
http://ocean.iuplog.com
Email : kangsuhana@gmail.com

20 Februari 2008

Pemahaman Kepulauan dan Ketersediaan Pangan

Oleh
Suhana

Sumber : http://www.sinarharapan.co.id/berita/0802/20/opi01.html

Sebulan terakhir ini hampir semua media masa memberitakan masalah krisis pangan di pulau-pulau kecil akibat dari buruknya cuaca. Cuaca buruk telah menghalangi armada antar pulau melayani penumpang dan mengangkut bahan kebutuhan pokok masyarakat di pulau-pulau kecil.
Selama ini, pada umumnya, pasokan kebutuhan pokok di pulau kecil dipasok dari Pulau Jawa melalui armada kapal antar pulau. Masyarakat di pulau kecil sangat tergantung pada aktivitas armada kapal antar pulau.
Selain itu juga dengan adanya gangguan cuaca tersebut telah menyebabkan kapal nelayan tidak dapat melakukan aktivitas penangkapan ikan. Akibatnya di beberapa wilayah para nelayan tersebut sudah banyak yang menggantungkan hidupnya pada pinjaman dari para tengkulak atau juragan. Catatan Departemen Kelautan dan Perikanan kerugian nelayan akibat terhentinya aktivitas penangkapan ikan selama Desember 2007 mencapai sekitar 90 miliar rupiah.
Melihat kondisi masyarakat di pulau kecil sekitar Pulau Jawa yang mengalami ancaman krisis pangan, seperti masyarakat di Kepulauan Seribu dan Kepulauan Karimunjawa, dapat kita bayangkan bagaimana kondisi di pulau kecil di wilayah lain akibat gangguan cuaca tersebut.
Misalnya di wilayah Kepulauan Tanimbar, Kabupaten Maluku Tenggara Barat, yang sangat tergantung kepada pasokan dari Surabaya. Penulis ketika berada di Kepulauan Tanimbar akhir Desember 2007 menyaksikan bahwa ketika pasokan bahan pangan dari Surabaya terhenti maka ketersediaan pangan di sana terganggu, harganya melambung, dan barangnya pun kadang-kadang sudah habis di pasaran.
Bahan kebutuhan pokok masyarakat di kepulauan itu dipasok hanya oleh dua pengusaha swasta setempat, sementara pemerintah daerah terlihat belum bisa berbuat lebih banyak untuk menjamin ketersediaan kebutuhan pokok di kepulauan tersebut.

Memahami Kondisi Kepulauan
Sebenarnya masyarakat di pulau kecil tersebut tidak perlu mengalami krisis pangan apabila adanya suatu keterpaduan kebijakan antar instansi yang ada di pemerintah pusat dan daerah. Pihak Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) sudah jauh-jauh hari memberikan prediksi tentang pkondisi cuaca di perairan Indonesia yang akan mengalami gangguan, dampaknya armada antarpulau termasuk nelayan dilarang untuk melakukan perjalanan, guna menghindari kecelakaan.
Namun, informasi tersebut ternyata tidak dijadikan informasi yang positif untuk menjaga ketersediaan pasokan pangan di masyarakat pulau kecil. Misalnya, pemerintah daerah dapat dengan segera membentuk crisis center yang dapat menyediakan persediaan bahan kebutuhan pangan untuk masyarakat ketika terjadi gangguan cuaca di wilayah perairan.
Ketika gangguan cuaca itu terjadi maka kebutuhan pangan masyarakat pulau kecil sudah tersedia dengan baik. Tidak seperti saat ini, akibat sistem perencanaan yang tidak terpadu akibatnya pasokan pangan ke wilayah pulau kecil mengalami gangguan yang cukup parah, bahkan di beberapa wilayah pulau kecil sudah mengalami krisis ketersediaan pangan, seperti di Kepulauan Seribu dan Karimunjawa. Ini menunjukkan bahwa ternyata pemerintah dan pemerintah daerah sampai saat ini belum memahami kondisi negara kepulauan Indonesia. Sehingga kebijakan terpadu dalam menangani krisis pangan di pulau-pulau kecil sampai saat ini belum tersusun secara baik.
Berdasarkan kondisi tersebut maka agar tidak terjadi lagi krisis pangan di masyarakat pulau kecil akibat gangguan transportasi laut, semua stakeholders kelautan mulai dari pemerintah, masyarakat, swasta dan para akademisi perlu bahu-membahu dalam memperhatikan nasib masyarakat di pulau kecil. Perlu adanya kesatuan komitmen politik dari para penentu kebijakan dalam mengedepankan pembangunan kelautan dan perikanan pada pembangunan ekonomi Indonesia berbasiskan kepulauan.
Beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian dalam upaya menjaga terjadinya krisis pangan di masyarakat kepulauan, yaitu pertama, pembentukan lembaga crisis center di setiap pulau kecil yang bertugas untuk menghimpun segala kebutuhan pokok masyarakat pulau kecil ketika terjadi gangguan transportasi laut pemasok kebutuhan pangan masyarakat.
Lembaga ini harus bekerjasama dengan instansi lain seperti BMG agar sebelum terjadi gangguan transportasi laut, lembaga tersebut sudah mulai menstok kebutuhan pokok masyarakat selama terjadi gangguan transportasi laut. Sehingga ketika terjadi gangguan transportasi masyarakat di pulau kecil tidak mengalami kekurangan kebutuhan pokok, seperti yang saat ini terjadi.

Lalu Lintas Laut
Kedua, reorientasi arah pembangunan di pulau kecil. Selama ini alam berpikir masyarakat dan pemerintah yang berpusat di daratan luas tentu sangat berbeda dengan masyarakat di pulau-pulau kecil, tetapi perbedaan itu tidak dianggap ada. Jangankan pemerintah pusat, konsepsi kebanyakan bupati tentang fasilitas publik tetap saja mengutamakan jalan mulus, walaupun kawasannya terdiri atas pulau-pulau kecil.
Pulau-pulau kecil tidak dikelola sebagai lingkungan laut yang lebih memerlukan sarana transportasi laut dan pelabuhan. Sebaliknya, justru jalan yang akan merusak hutan dalam pulau digunakan sebagai indikator kemajuan. Perlu ada reorientasi pembangunan di pulau-pulau kecil dari orientasi daratan menjadi orientasi maritim.
Ketiga, peningkatan kemampuan masyarakat yang berada di pulau-pulau kecil agar dapat mengembangkan potensi yang ada dalam masyarakat maupun lingkungan alamnya sehingga dapat meningkatkan kualitas hidupnya sesuai harapannya. Masyarakat nelayan di pesisir dan pulau-pulau kecil, misalnya, membutuhkan pendidikan yang memungkinkan mereka berhitung dagang dan keterampilan melaut, termasuk memanfaatkan teknologi penangkapan ikan, konservasi kawasan laut, termasuk berhubungan dengan dunia luar.
Bisa jadi warga pulau kecil dengan potensi wisata laut justru memerlukan pendidikan surfing di Bali, melanjutkan ke Hawaii. Lalu mereka bisa kembali dan menggunakan keahliannya untuk mengembangkan wisata surfing di pulau-pulau ini.
Keempat, peningkatan kerjasama antara pemerintah pusat, pemerintah propinsi dan pemerntah kabupaten/kota maupun pemerintah yang lebih bawah serta semua komponen masyarakat lainnya untuk memajukan masyarakat di pulau-pulau kecil sesuai dengan semangat kesetiakawanan sosial yang melembaga dan berkesinambungan.
Kelima, peningkatan keterhubungan fisik (melalui prasarana perhubungan) maupun maya (melalui prasarana telekomunikasi) antara daerah tertinggal dengan daerah-daerah lain sehingga memudahkan masyarakat untuk berinteraksi sehingga terwujud kohesi sosial yang tinggi. Prasarana dan sarana perhubungan yang perlu diutamakan di pulau-pulau kecil adalah sarana perhubungan laut, mulai dari kapal sampai pelabuhan.
Dus, pembangunan ekonomi kepulauan guna menjaga ketahanan pangan, khususnya di pulau-pulau kecil saat ini sudah merupakan kebutuhan yang mendesak. Hal ini disebabkan selain untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat juga untuk menjaga keutuhan wilayah NKRI.

Penulis adalah peneliti pada Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan (PKSPL-IPB).

18 Februari 2008

MENUJU PERIKANAN BERTANGGUNGJAWAB


TINJAUAN BUKU

JUDUL : MENUJU PERIKANAN BERTANGGUNGJAWAB
PENULIS : Dr. SUSENO
EDITOR : SUHANA DAN A. SOLIHIN
PENERBIT : CIDESINDO, JAKARTA
CETAKAN PERTAMA : JANUARI 2007


Sumberdaya ikan nasional memiliki potensi yang besar hingga sering disebut sebagai raksasa yang sedang tidur (the sleeping giant). Hasil riset Komisi Stok Ikan Nasional (1999) memperkirakan bahwa potensi sumberdaya ikan nasional sebesar 6,4 juta ton per tahun. Namun demikian, besarnya potensi sumberdaya ikan ini tidak semerta tanpa persoalan. Dewasa ini, besarnya potensi yang ada belum diimbangi dengan pemanfaatan optimal dengan tujuan untuk kesejahteraan rakyat. Isu-isu kemiskinan nelayan, misalnya, telah menjadi isu struktural sejak lama bagi pengelolaan sumberdaya ikan.
Pada saat yang sama, isu-isu rusaknya sumberdaya alam pun telah lama diketahui, misalnya gejala overexploited di perairan dunia, termasuk Indonesia. Pada tanggal 15 Mei 2003, jurnal Nature melaporkan bahwa semua spesies ikan laut yang berukuran besar telah ditangkap berlebihan (overexploited) secara sistematis hingga jumlahnya kurang dari 10% jumlah yang ada pada tahun 1950. Penulis artikel pada jurnal tersebut menyarankan pengurangan penangkapan ikan secara drastis dan reservasi habitat laut di seluruh dunia. Bahkan Grainger (2005) menyatakan bahwa kondisi sumberdaya ikan dunia telah mengalami fully exploited sebesar 52 %. Data FAO terbaru juga menyebutkan bahwa diantara 441 spesies ikan di dunia 3% tergolong underexploited, 20% moderately exploited, 52% fully exploited, 17% overexploited, 7% depleted, dan 1% recovering. Artinya hanya 23% saja yang masih layak ditingkatkan eksploitasinya. Hal inilah yang terlihat dari latar belakang penulisan buku ini.
Berdasarkan hal tersebut maka pembangunan sumberdaya kelautan dan perikanan memerlukan suatu perencanaan yang lebih komprehensif, berkelanjutan dan bertanggungjawab. Ada beberapa alasan mengapa sektor kelautan dan perikanan sebagai salah satu sumber pertumbuhan ekonomi menjadi penting untuk diperhatikan, yaitu pertama, kapasitas suplai sangat besar, sementara permintaan terus meningkat. Kedua, pada umumnya ouput dapat diekspor, sedangkan input berasal dari sumberdaya lokal. Ketiga, dapat membangkitkan industri hulu dan hilir yang besar, sehingga menyerap tenaga kerja banyak. Keempat, umumnya berlangsung di daerah. Kelima, industri perikanan, bioteknologi dan pariwisata bahari bersifat dapat diperbarui (renewable resources), sehingga mendukung pelaksanaan pembangunan berkelanjutan.
Sementara itu, Bank Dunia (2003) dalam sebuah studinya tentang ekonomi Indonesia menggarisbawahi bahwa daya saing industri nasional saat ini telah bergeser ke arah industri berbasis perikanan dan kelautan. Oleh karena itu, tidak salah jika dukungan pembangunan dari berbagai pihak harus diberikan kepada sektor ini. Dukungan berupa kuputusan politik serta pemihakan yang nyata dari seluruh instansi terkait, akan bisa menjauhkan dan menjaga Indonesia dari keterpurukan untuk kedua kalinya. Sektor ini seharusnya menjadi pilar keunggulan kompetitif bangsa dalam pembangunan ekonomi dan peningkatan kemakmuran rakyat.
Data FAO (2006) memperkirakan produksi perikanan dunia pada tahun 2010 sekitar 144 juta ton masing-masing dari perikanan tangkap sebesar 105 juta ton (63%) dan budidaya sebesar 39 juta ton (37%), dan jumlah yang akan dikonsumsi manusia sebesar 114 juta ton. Secara umum diperkirakan bahwa perikanan budidaya cenderung terus meningkat dibandingkan dengan perikanan tangkap yang akan stagnan. Hal ini sekaligus untuk mengantisipasi kondisi perikanan global yang berada di lampu kuning. Bahkan skenario perikanan FAO memperlihatkan bahwa produksi perikanan dunia sampai tahun 2030 akan didominasi oleh perikanan budidaya.
Dalam upaya mengatasi permasalahan tersebut diatas, dalam bab terakhir buku ini menawarkan sepuluh alternative kebijakan, kesepuluh alternative kebijakan tersebut adalah Pertama, melakukan penataan sistem pendataan perikanan secara akurat dan menyeluruh. Kehadiran data yang tepat waktu dan akurat sangatlah dibutuhkan bagi para pengguna, terutama decision maker dalam proses perencanaan pengelolaan perikanan. Kedua, peningkatan kualitas SDM perikanan tangkap. Peningkatan kualitas SDM mencakup peningkatan kapasitas aparatur perikanan ditingkat daerah dan peningkatan kapasitas pelaku usaha perikanan terutama pelaku usaha perikanan tradisional. Ketiga, pengendalian produksi perikanan tangkap. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga keberlanjutan produksi perikanan tangkap nasional tidak melebihi TACs yang telah ditetapkan pemerintah sebesar 5,1 juta ton per tahun. Keempat, reposisi rejim pengelolaan perikanan tangkap. Selama ini rejim pemanfaatan sumberdaya ikan yang berlaku di Indonesia, terutama di ZEEI dan laut lepas adalah rejim open acces (non property).
Kelima, rehabilitasi dan perlindungan terhadap ekosistem harus menjadi komitmen pemerintah dan masyarakat mengingat kondisi ekosistem yang menjadi habitat dan pensuplai makanan untuk keberlangsungan hidup ikan sudah banyak yang mengalami kerusakan. Keenam, dalam mengatasi masalah IUU fishing pemerintah hendaknya merumuskan Peraturan Presiden (Perpres) tentang percepatan pemberantasan IUU Fishing. Ketujuh, peningkatan produksi perikanan budidaya. Kebijakan ini dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan ikan dan produk perikanan masyarakat Indonesia dan dunia.
Kedelapan, kebijakan pengembangan pemasaran produksi perikanan nasional. Kebijakan tersebut dimaksudkan agar produk perikanan Indonesia dapat dipasarkan lebih luas lagi ke negara-negara pengkonsumsi ikan. Oleh sebab itu pemerintah alangkah baiknya apabila membentuk tim khusus yang bertanggungjawab terhadap pemasaran produk perikanan nasional tersebut. Tim tersebut selain bertugas untuk memasarkan produk perikanan Indonesia juga bertugas untuk menyakinkan negara-negara di dunia bahwa produk perikanan Indonesia sangat ramah lingkungan dan memiliki daya saing yang tinggi. Kesembilan, pemberdayaan masyarakat secara partisipatif. Pengelolaan partisipatif merupakan paradigma pengelolaan sumberdaya yang kini banyak dianut di negara-negara berkembang. Kesepuluh, peningkatan koordinasi dan komunikasi antar pengelola perikanan. Sejalan dengan dilaksanakannya era desentralisasi, pengelolaan perikanan pun mengalami babak baru yang berbeda dengan masa sentralisasi.
Selain itu juga buku ini memberikan langkah - langkah strategis untuk mengimplementasikan kesepulub alternatfi kebijakan tersebut. Oleh sebab itu buku ini sangat penting buat para penentu kebijakan perikanan di Indonesia. Buku ini juga sangat menarik untuk dikaji secara ilmiah karena buku ini merupakan hasil kajian desertasi.

MENATA PULAU-PULAU KECIL PERBATASAN


TINJAUAN BUKU

JUDUL : MENATA PULAU-PULAU KECIL PERBATASAN
PENULIS : MUSTAFA ABUBAKAR
EDITOR : SUHANA
PENERBIT : PENERBIT BUKU KOMPAS (PBK), JAKARTA
CETAKAN PERTAMA : NOVEMBER 2006

Perhatian masyarkat Indonesia terhadap wilayah NKRI sampai saat ini terus meningkat, terutama terhadap pemilikan pulau-pulau kecil oleh warga Asing. Kasus Sipadan dan Ligitan seakan tidak pernah hilang dari ingatan seluruh warga Indonesia. Masyarakat menginginkan agar kasus Sipadan dan Ligitan tidak terulang lagi di pulau-pulau lain yang ada di Indonesia. Seperti telah kita ketahui bersama bahwa kalahnya Indonesia oleh Malaysia pada perebutan Pulau Sipadan dan Ligitan dengan tiga alasan, yaitu Malaysia secara terus-menerus berada di pulau tersebut, penguasaan efektif pulau, dan perlindungan serta pelestarian ekologis. Dengan melihat pentingnya pendekatan effectivites (penguasaan efektif) tersebut maka hendaknya pemerintah Indonesia kedepan perlu melakukan pengelolaan sumber daya alam yang ada di pulau-pulau kecil tersebut dilakukan dengan cara yang lebih komprehensif. Selain itu juga harus berpegang teguh pada prinsip-prinsip otonomi daerah. Pemerintah pusat dan daerah dalam pengelolaan sumber daya alam di pulau-pulau kecil saat ini lebih terfokus pada penumbuhan kekuatan ekonomi lokal yang dikelola oleh masyarakat dan pemerintahan yang ada di wilayah tersebut. Selain itu pemerintah pusat dan daerah sebaiknya mempercepat pengembangan armada transportasi antarpulau di wilayah perbatasan. Hal ini dimaksudkan untuk menghilangkan keterisoliran masyarakat dan memperlancar arus ekonomi dari dan ke pulau-pulau kecil tersebut. Pengembangan armada pelayaran tersebut sesuai dengan Intruksi Presiden tentang pelayaran nasional yang baru saja di tanda-tangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Namun demikian saat ini beberapa pulau-pulau kecil di wilayah perbatasan ada yang “dikuasai” oleh warga negara asing. Catatan Media Indonesia (2006) menunjukan bahwa sedikitnya ada empat pulau terluar yang kini diketahui dikuasai atau dimiliki warga negara asing. Semuanya berada di Nusa Tenggara Timur (NTT), yakni Pulau Sture (dimiliki warga Malaysia), Pulau Kukusan (dimiliki warga Selandia Baru), Pulau Bidadari (dikuasai warga Inggris), dan Pulau Mengkudu (dikuasai warga Australia) (Tabel 1). Oleh sebab itu sangat wajar apabila masyarakat kembali “berteriak” menghimbau kepada pemerintah untuk memperhatikan keempat pulau tersebut. Hal ini menunjukan bahwa rasa kepedulian masyarakat terhadap kedaulatan NKRI sangat tinggi. Oleh sebab itu rasa kepedulian masyarakat tersebut hendaknya diikuti dengan adanya upaya yang jelas dan tegas dari para pemangku kepentingan.

Makna Hilangnya Pulau Perbatasan
Djalal (2005) menyatakan bahwa makna hilangnya sebuah pulau dapat dipandang dari empat sudut pandang, yaitu ekonomi, politik, hukum dan bencana alam. Namun demikian bukti hukum merupakan kekuatan yang utama dalam kepemilikan sebuah pulau. Sementara yang lainnya merupakan pendorong terhadap hilangnya sebuah pulau kecil perbatasan dari suatu negara, sebelum mendapatkan kekuatan hukum yang jelas dari Mahkamah Internasional.
Secara ekonomi pulau-pulau kecil dapat dikatakan hilang apabila pulau kecil tersebut dikelola oleh negara lain padahal secara hukum pulau kecil tersebut merupakan milik Indonesia. Negara lain dalam mengelola pulau-pulau kecil tersebut bisa saja didapat secara legal dari pemerintah Indonesia, misalnya dengan cara menyewa atau bisa juga secara illegal.
Namun secara ekonomi juga sebuah bangsa—termasuk Indonesia—dapat memenangkan pengajuan klaim sebuah pulau kecil yang disengketakan oleh kedua negara atau lebih. Misalnya yang dilakukan oleh Malaysia dalam kasus perebutan pulau Sipadan dan Ligitan dengan Indonesia di Mahkamah Internasional beberapa tahun yang lalu. Secara lengkap kasus Sipadan dan Ligitan tersebut telah diuraikan pada Bab Bercermin Dari Kasus Sipadan dan Ligitan.
Secara politik pulau-pulau kecil dapat dikatakan hilang apabila masyarakat di pulau-pulau kecil tersebut lebih mengakui negara lain dibandingkan negaranya sendiri. Misalnya di Pulau Miangas, secara hukum pulau tersebut milik Indonesia tetapi secara politik merupakan milik Filipina karena bahasa yang dipakai dalam percakapan sehari-hari adalah bahasa Tagalog bukannya bahasa Indonesia. Begitu juga dengan mata uang yang dipakai, mayarakat dipulau tersebut lebih banyak menggunakan mata uang Peso bukannya Rupiah.
Secara hukum, pulau-pulau kecil dapat dikatakan hilang apabila ada keputusan secara hukum internasional yang menyatakan bahwa pulau-pulau kecil tersebut merupakan milik negara lain. Biasanya hilangnya pulau-pulau kecil tersebut memerlukan waktu yang cukup lama karena harus melalui berbagai perundingan di tingkat internasional dan bahkan peperangan. Selain itu juga memerlukan bukti-bukti ilmiah yang dapat menunjukan keberadaan pulau-pulau kecil tersebut diwilayahnya. Sementara itu secara alam, pulau-pulau kecil akan hilang apabila terjadi bencana alam yang menenggelamkan keberadaan pulau kecil tersebut, seperti abrasi, gempa bumi dll.
Berdasarkan hal tersebut maka kepemilikan sebuah pulau secara hukum hendaknya diikuti dengan upaya-upaya lain yang terkait dengan kegiatan ekonomi dan politik. Dengan demikian perlu adaya upaya untuk “Merebut” kembali secara utuh kepemiilikan beberapa pulau yang secara ekonomi dan politik telah dikuasai oleh warga negara asing. Tanpa adanya upaya tersebut dikhawatirkan kasus Sipadan dan Ligitan akan terulang kembali di pulau-pulau kecil tersebut.
Bagaimana strategi merebut kembali secara utuh kepemilikan pulau kecil perbatasan ? secara lengkap dapat anda lihat yang ada dalam buku Menata Pulau Kecil Perbatasan. Penulis buku secara detail memberikan beberapa laternatif kebijakan berdasarkan hasil penelitiannya.

Kerusakan Pesisir Teluk Palu

Penambangan Galian C yang tidak terkendali di sepanjang pesisir Teluk Palu telah menyebabkan berbagai kerusakan lingkungan pesisir. Limbah galian C tersebut secara bebas masuk ke perairan Teluk Palu sehingga mengakibatkan perairan Teluk Palu menjadi keruh. Kekeruhan perairan dapat menyebabkan berkurangnya kesuburan perairan, sehingga kehidupan fitoplankton dan Zooplankton yang menjadi produsen dalam rantai makanan ikan dan organisme yang ada dilaut terganggu. Akibatnya ketersediaan sumberdaya ikan di Teluk Palu dapat terancam.

Suhana
Sumber Photo : Survey Teluk Palu 2007

Abrasi Pantai Pesisir Teluk Palu

Abrasi pantai di pesisir Teluk Palu sudah sangat mengkhawatirkan. Bahkan apabila tidak secepatnya ditanggulangi dapat mengancam keberadaan PLTU milik pemerintah Kota Palu.

Suhana

Sumber Photo : Survey Teluk Palu 2007

Rumponisasi, Konflik Nelayan dan Kelestarian Sumberdaya Ikan

Oleh : Suhana

Peneliti Pada Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL-IPB)

Alamat Elektronik : Email : suhana10197804@yahoo.com, Blog : http://ocean.iuplog.com, Hp. 081310858708


Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP-RI) bersama beberapa Pemerintah Daerah (Pemda) sedang dan akan terus mengembangkan program rumponisasi di seluruh perairan Indonesia. Program tersebut bertujuan untuk lebih mengefisiensikan usaha nelayan kecil, dengan cara menghemat biaya operasional penangkapan ikan. Harapan pemerintah terhadap penggunaan rumpon sebagai alat bantu penangkapan ikan dapat memberikan keuntungan kepada nelayan, seperti nelayan tidak perlu melakukan penangkapan ikan dengan cara mengejar (mengikuti) kemana ikan bergerak, menciptakan daerah penangkapan ikan buatan sehingga nelayan cukup menangkap ikan di sekitar rumpon, memberikan kepastian dalam menentukan daerah penangkapan, mendekatkan daerah penangkapan ikan (fishing ground) dengan nelayan, mampu menekan biaya operasional penggunaan BBM (solar) hingga sebesar 30%, dan mampu meningkatkan produksi penangkapan ikan hingga mencapai 300%.

Namun demikian langkah pemerintah tersebut tidak dibarengi dengan langkah penguatan kelembagaan pengelolaan rumpon. Padahal apabila rumpon tersebut tidak diatur dengan sistem kelembagaan yang kuat maka dikhawatirkan program rumponisasi dapat menimbulkan berbagai dampak negative, seperti, pertama, konflik horizontal antara nelayan pengguna rumpon dengan yang tidak menggunakan rumpon. Misalnya hasil studi penulis di sekitar perairan Teluk Palabuhanratu Sukabumi Jawa Barat menunjukan bahwa di perairan teluk Palabuhanratu telah terjadi konflik antara kelompok nelayan payang dengan nelayan rumpon. Konflik tersebut menurut analisis penulis lebih disebabkan tidak adanya sisitem kelembagaan yang dibangun oleh pemerintah daerah dan masyarakat, misalnya bagaimana sistem keterlibatan antara nelayan pemilik rumpon dengan bukan pemilik dan sistem koordinasi antar nelayan yang memiliki alat tangkap yang berbeda.

Konflik antara kelompok perahu payang dengan kelompok nelayan rumpon sudah berlangsung sejak diperkenalkannya rumpon kepada para nelayan di sekitar Teluk Palabuhanratu, yaitu sekitar tahun 2002. Pada tahun 2002 di perairan Teluk Palabuhanratu dibangun 5 unit rumpon yang pengelolaan dan pemanfaatannya diserahkan kepada kelompok nelayan pancing. Namun karena penempatan rumpon tersebut dianggap telah mengganggu jalur penangkapan ikan nelayan jaring, terutama nelayan payang dan gillnet maka keberadaan rumpon tersebut hanya bertahan selama 6 bulan. Menurut pengakuan nelayan jaring kepada pihak dinas kelautan dan perikanan keberadaan rumpon tersebut telah menyebabkan jaring mengalami kerusakan akibat tersangut pada rumpon. Dan akhirnya para nelayan jaring tersebut “menebas” habis rumpon yang ada di sekitar perairan Teluk Palabuhanratu.

Pada tahun 2005 Yayasan Anak Nelayan Indonesia (YANI) kembali memasang rumpon 2 unit di perairan Teluk Palabuhanratu, akan tetapi letaknya berada di luar teluk. Hal ini dimaksudakan selain untuk menghindari konflik dengan nelayan jaring juga untuk “menggaet” sumberdaya ikan yang ada di perairan Samudera Hindia. Namun demikian ternyata keberadaan rumpon milik YANI tersebut juga di protes oleh para nelayan jaring karena dianggap telah turut memperburuk hasil tangkapan nelayan jaring. Menurut aparat Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi konflik ini disebabkan karena adanya salah pemahaman dari kelompok nelayan jaring, khususnya nelayan payang yang beranggapan bahwa penurunan produksi penangkapan perahu payang akibat dari keberadaan rumpon di luar teluk. Sehingga ikan-ikan yang seharusnya beruaya ke dalam teluk tertahan di rumpon yang ada di luar tersebut. Akhirnya pada akhir tahun 2005 sampai triwulan pertama tahun 2006 Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi melakukan sosialisasi rumpon kepada seluruh nelayan di Teluk Palabuhanratu. Hal ini dimaksudkan selian untuk menghindari kesalahpahaman juga untuk memberikan pemahaman kepada para nelayan agar mempu memanfaatkan rumpun guna mengefetifkan pencarian ikan dan meningkatkan produksi penangkapan.

Pada tahun 2006 Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi kembali memasang rumpon di dalam teluk sebanyak 4 unit guna memperpendek jarak jangkauan dan supaya dapat dimanfaatkan oleh perahu yang kecil sedangkan diluar teluk sebanyak 6 unit dari Anggaran Pembangunan Belanja Negara Propinsi (APBNP) Jawa Barat 1 Unit. Pengelolaan sepuluh rumpon tersebut diserahkan kepada sepuluh kelompok pengelola rumpon. Pembagian sepuluh pengelola tersebut tidak hanya didominasi oleh nelayan pancing, tetapi juga melibatkan kelompok nelayan payang dan beleketek. Kesepuluh kelompok tersebut membentuk sebuah forum pengelola rumpon yang diberi nama Perkumpulan Nelayan Bahtera.

Namun demikian, pemasangan rumpon tersebut saat ini masih menyisakan konflik dilapangan. Menurut sebagian besar nelayan payang menyatakan bahwa konflik tersebut lebih disebabkan tidak dilibatkannya seluruh nelayan payang dan bagan dalam pembangunan rumpon di perairan Teluk Palabuhanratu. Sehingga masih ada dari para nelayan yang tidak menerima keberadaan rumpon di Teluk Palabuhanratu. Misalnya penebasan jangkar rumpon oleh nelayan payang pada pertengahan tahun 2006 yang menyebabkan tiga unit rumpon di dalam Teluk Palabuhanratu hilang terbawa arus. Selain itu juga menurut Ketua Kelompok Nelayan Pancing Karang Deet Kecamatan Pelabuharatu yang mengelola rumpon di sekitar perairan Sukawayana, kelompoknya terpaksa memindahkan rumpon yang dikelolanya ke lokasi lain karena rumpon tersebut dijadikan tempat bersandarnya bagan apung milik nelayan bagan.

Kedua, terancamnya populasi ikan tuna. Menurut Asosiasi Tuna Indonesia (ASTUIN) pemasangan rumpon sangat mengancam keberlangsungan ikan tuna. Hal ini disebabkan ikan tuna yang ditangkap di sekitar areal rumpon adalah baby tuna dengan ukuran 3 sampai 10 kg. Padahal idealnya tuna yang layak ditangkap adalah yang berukuran 20 sampai 60 kg per ekor. Sementara rumpon yang dipasang hanya dapat mengumpulkan dan menangkap tuna-tuna kecil yang nota bene masih produktif bertelur (Tabloid Maritim No 452). Dengan demikian apabila program rumpon tersebut terus dikembangkan maka 5 tahun ke depan populasi ikan tuna akan terancam.

Kekhawatiran pengusaha ikan tuna tersebut sangat beralasan, karena sampai saat ini pemasangan rumpon di perairan Indonesia tidak dibarengi dengan sistem kelembagaan yang kuat. Misalnya sampai saat ini belum ada aturan mengenai jenis dan ukuran ikan yang boleh ditangkap oleh para nelayan rumpon, berapa jumlah ikan yang boleh ditangkap oleh setiap kelompok nelayan rumpon, dan bagaimana tanggungjawab nelayan rumpon dalam menjaga kelestarian sumberdaya ikan. Selama ini pemerintah hanya mengatur tentang bagimana mendapatkan ijin pemasangan rumpon saja, tanpa dibarengi dengan beberapa aturan yang penulis sebutkan sebelumnya.

Pendekatan Sistem Kelembagaan

Berdasarkan kedua permasalahan dampak dari rumponisasi tersebut sebenanrnya dapat dicegah dengan melakukan beberapa langkah terkait dengan penguatan sistem kelembagaan pengelolaan rumpon di perairan Indonesia. Beberapa sistem kelembagaan yang perlu ada adalah pertama, sistem koordinasi antara kelompok nelayan pemilik rumpon dengan bukan pemilik rumpon yang ingin turut serta mengambil ikan di sekitar rumpon. Kedua, sistem koordinasi antara kelompok nelayan rumpon dengan kelompok nelayan dengan alat tangkap lain. Sistem kelembagaan ini sebenarnya lebih kepada pengaturan jalur penangkapan ikan, sehingga keberadaan rumpon tidak mengganggu jalur penangkapan ikan yang menggunakan alat tangkap lain, seperti payang dan gillnet.

Ketiga, sistem kelembagaan yang mengatur jenis dan ukuran ikan yang boleh ditangkap, misalnya jenis ikan yang menjadi indikator keberlanjutan sumberdaya tidak boleh ditangkap dan ikan dengan ukuran yang masih kecil tidak boleh ditangkap, serta ikan yang sedang bertelur tidak boleh ditangkap. Dengan adanya aturan-aturan tersebut diharapkan kelestarian sumberdaya ikan dapat terjaga dengan baik.

Hemat penulis dengan adanya sistem kelembagaan yang kuat untuk mendukung program rumpon, rumponisasi tersebut selain akan berdampak terhadap peningkatan kesejahteraan nelayan juga dapat menjamin kelestarian sumberdaya ikan. Oleh sebab itu sudah saatnya pemerintah untuk mengembangkan sistem kelembagaan rumpon tersebut.


Keterangan Gambar : Nelayan rumpon di Teluk Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi Jawa Barat. Photo ini diambil pada saat penelitian Tesis di Teluk Palabuhanratu Desember 2007

Pengambil Pasir Laut


Masyarakat pesisir Cilincing Jakarta Utara sedang mengumpulkan pasir laut dan memisahkannya dari berbagai tumpukan sampak yang ada di wilayah pesisir. Pasir laut tersebut umumnya digunakan masyarakat untuk membuat bangunan misalnya rumah, jalan dan berbagai bangunan lainnya.
Photo ini diambil pada saat Ekspedisi Pesisir Teluk Jakarta 2007

Suhana

Nelayan Kerang Hijau Teluk Jakarta


Para nelayan kerang hijau sedang mengambil kerang hijau di wilayah perairan Teluk Jakarta. Nelayan Cilincing tersebut mengambil kerang Hijau di Kedalaman sekitar 8 meter di bawah permukaan air laut. alat pernapasan yang digunakan adalah kompresor untuk pompa ban. sungguh tidak bersahabat bagi kesehatan para nelayan. Menurut pengakuan mereka sudah banyak nelayan yang sudah mengalami kelumpuhan bahkan kematian akibat menggunakan kompresor untuk menyelam perairan Teluk Jakarta. Photo ini diambil pada saat Ekspedisi Teluk Jakarta 2007

Suhana

Improved management of fishing's "last frontier" needed

Countries discuss how to better protect deep sea species and habitats

15 February 2008, Rome - Fifty-three countries and the European Community have begun discussions on how to better protect fragile deep sea fish species and habitats from irresponsible fishing practices.

In a series of meeting brokered by FAO, the countries will draft a set of international guidelines on how to responsibly manage deep sea fishing (DSF) and protect sensitive sea-bottom species and ecosystems in high seas areas outside of national jurisdictions.

A first set of talks was held last week at FAO's Rome headquarters, with Jane Willing, Manager of International Relations for New Zealand's Ministry of Fisheries, serving as chair. Another round of discussions will occur in August, with a view to finalizing the guidelines.

Because deep sea fishing is a relatively new activity and requires considerable resources in terms of investment and technology, few countries have developed policies and plans specifically related to managing it, even in their own waters.

Managing DSF in high seas areas outside of countries' exclusive economic zones (EEZs) is even more challenging, since it requires multilateral solutions involving not only countries whose vessels are engaged in DSF but also other interested countries.

"Through these meetings we're seeking to help countries work individually and collectively to ensure the sustainability of deep sea fishing, prevent adverse impacts to vulnerable marine ecosystems, and protect marine biodiversity," said Jean-FranƧois Pulvenis de SƩligny-Maurel, Director of FAO's Fisheries and Aquaculture Economics and Policy Division.

"It's quite a complicated issue and there's a lot of ground to cover, but good progress has already been made," he added.

Action needed

Many deepwater fish species grow slowly, reach sexual maturity late, and may not always reproduce every year. As a result they have low resilience to intensive fishing, and recovery from overfishing can take generations.

Until recently, the great depth of the deep sea made fishing there difficult, while the abundance of stocks in shallower seas meant there was little incentive to fish in difficult-to-exploit areas.

But starting in the late 1970s, reduction of fishing opportunities in inshore areas and the improvement of gear technology and navigation instruments saw deep-sea fishing expand within EEZs and into the high seas.

From 1950 to 1977, deep sea fish made up less than one percent of all marine catches on average; over the 1995-2005 period that increased to nearly three percent on average and in 2005 alone made up 4 percent of all marine captures (3.3 million tonnes).

That relatively small figure masks the fact that overall DSF catches increased by nearly 75 percent, and in many cases fishing for sensitive deep sea stocks has not been sustainable.

One example is the orange roughy. Catches of this fish were first reported in the late 1970s, peaked around 1990, and since then have declined in every area where it has been exploited.

Some deep sea fishing in the high seas also raise serious concerns about vulnerable species, such as delicate cold water corals and sponges; fragile sea-bottom seep and vent habitats that contain species found nowhere else, and specific features like underwater "sea mounts," often home to sensitive species. The guidelines being developed for DSF will also include measures to identify and protect these ecosystems.

http://www.fao.org/newsroom/en/news/2008/1000787/index.html

Perubahan Kelembagaan Dewan Kelautan Indonesia

Oleh :
Suhana

Peneliti Pada Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL-IPB)

Kelembagaan kordinasi kelautan nasional telah mengalami perubahan beberapa kali, mulai dari Dewan Kelautan Nasional, Dewan Maritim Indonesia dan Dewan Kelautan Indonesia (Lihat Tabel ). Perubahan kelembagaan tersebut selama ini ternyata belum memberikan dampak yang signifikan terhadap arah pembanguan kelautan Indonesia. Akankan Dewan Kelautan Indonesia memberikan kontribusi nyata untuk masa depan pambangunan Indonesia ? Kita Tunggu saja


Suhana

Tabel Perbedaan Dasar Hukum, Kedudukan, Tugas dan Fungsi DKN, DMI dan DKI

No

Lembaga

Dasar Hukum

Kedudukan

Tugas

Fungsi

Susunan Organisasi

1

Dewan Kelautan Nasional

Keputusan Presiden No. 77 Tahun 1996

Tentang : Dewan Kelautan Nasional

forum

koordinasi bagi penetapan kebijakan pemanfaatan, pelestarian dan

perlindungan kawasan laut

membantu Presiden Republik Indonesia dalam perumusan dan penetapan kebijaksanaan umum di bidang pengelolaan masalah-masalah

kelautan dan batas wilayah Indonesia.

a) merumuskan kebijaksanaan pemanfaatan, pelestarian, per-lindungan serta keamanan kawasan laut;

b) memberikan pertimbangan, pendapat maupun saran kepada Presiden mengenai pengaturan, pengelolaan, pemanfaatan, pelestarian dan perlindungan serta keamanan kawasan laut dan penentuan batas wilayah Indonesia;

c) melakukan koordinasi dengan Departemen dan badan-badan lainnya yang terkait dalam rangka keterpaduan perumusan dan penetapan kebijakan yang berkaitan dengan masalah kelautan.

a) Ketua : Presiden;

b) Wakil ketua : Menteri Koordinator Bidang (merangkap anggota Politik dan Keamanan);

Anggota :

1) Menteri Dalam Negeri;

2) Menteri Luar Negeri;

3) Menteri Pertahanan Keamanan;

4) Menteri Kehakiman;

5) Menteri Pertambangan dan Energi;

6) Menteri Pertanian;

7) Menteri Perhubungan;

8) Menteri Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi ;

9) Menteri Pendidikan dan Kebudayaan;

10) Menteri Keuangan;

11) Menteri Kesehatan;

12) Menteri Negara Lingkungan Hidup;

13) Menteri Negara Riset dan Teknologi/Ketua BPPT;

14) Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional /Ketua BAPPENAS

15) Panglima ABRI;

16) Jaksa Agung;

17) Sdr. Prof.DR.Mochtar Kusumaatmadja, SH;

18) Sdr. DR.Hasyim Djalal.

d. Sekretaris : Asisten Menteri Koordinator Bidang merangkap anggota Politik dan Keamanan.

2

Dewan Maritim Indonesia

Keputusan Presiden Republik Indonesia

Nomor 161 Tahun 1999

Tentang

Dewan Maritim Indonesia

forum konsultasi bagi penetapan

kebijakan umum di bidang kelautan.

membantu Presiden Republik Indonesia dalam menetapkan

kebijakan umum di bidang kelautan.

a) merumuskan kebijakan kewilayahan nasional, eksplorasi, pemanfaatan, pelestarian dan perlindungan di bidang kelautan dalam rangka pembangunan yang berkelanjutan;

b) memberikan pertimbangan kepada Presiden mengenai hal-hal tersebut di atas, dan hal-hal lain atas permintaan Presiden;

c) metakukan konsultasi dengan lembaga terkait, baik pemerintah maupun non pemerintah datam rangka keterpaduan kebijakan di bidang kelautan;

d) mencari pemecahan masasah dan mengevaluasi kebijakan di bidang kelautan.

a. Ketua : Presiden;

b. Ketua Harian

Merangkap anggota : Menteri Eksplorasi Laut dan Perikanan

c. Anggota :

1. Menteri Dalam Negeri;

2. Menteri Luar Negeri;

3. Menteri Pertahanan;

4. Menteri Perhubungan;

5. Menteri Pertambangan dan Energl;

6. Menteri Keuangan;

7. Menteri Pendidikan Nasional

8. Menteri Negara Otonomi Daerah;

9. Menteri Negara Pariwisata;

10. Menteri Negara Riset dan Teknologi;

11. Menteri Negara Lingkungan Hidup;

12. Kepala Staf Angkatan Laut;

13. Prof Dr. Mochtar Kusuma Atmadja S.H.;

14. Prof. Dr. Budi Prayitno;

15. Prof Dr. Hasyim Djalal;

16. Dr. Laode M. Kamaluddin, M.Sc., M.Eng;

17. Prof. Dr. Prijono Tjiptoherijanto;

18. M. Nawir Messi, MA;

19. Dr. Mohammad Ichsan;

20. Drs. Agustomo, MPM;

21. Wakil Forum Masyarakat Maritim Indonesia;

22. Wakil Masyarakat Perikanan Nusantara;

23. Wakil Asosiasi Dunia Usaha;

24. Wakil Lembaga Swadaya Masyarakat; dan

25. Wakil Perguruan Tinggi.

d. Sekretaris Umum : Staf Ahli Menteri Eksplorasi Laut dan Perikanan.

3

Dewan Kelautan Indoesia

Keputusan Presiden Republik Indonesia

Nomor 21 Tahun 2007

Tentang

Dewan Kelautan Indonesia

forum konsultasi bagi penetapan kebijakan umum di bidang kelautan

memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam penetapan kebijakan umum di bidang kelautan

a. pengkajian dan pemberian pertimbangan serta rekomendasi kebijakan di bidang kelautan kepada Presiden;

b. konsultasi dengan lembaga pemerintah dan nonpemerintah serta wakil-wakil kelompok masyarakat dalam rangka keterpaduan kebijakan dan penyelesaian masalah di bidang kelautan;

c. pemantauan dan evaluasi terhadap kebijakan, strategi, dan pembangunan kelautan;

d. hal-hal lain atas permintaan Presiden.

a. Ketua: Presiden Republik Indonesia;

b. Ketua Harian: Menteri Kelautan dan Perikanan; merangkap Anggota

c. Anggota:

1) Menteri Dalam Negeri;

2) Menteri Luar Negeri;

3) Menteri Pertahanan;

4) Menteri Perhubungan;

5) Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral;

6) Menteri Keuangan;

7) Menteri Pendidikan Nasional;

8) Menteri Kebudayaan dan Pariwisata;

9) Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala BAPPENAS;

10) Menteri Negara Lingkungan Hidup;

11) Menteri Negara Riset dan Teknologi;

12) Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia;

13) Kepala Staf TNI Angkatan Laut;

14) Tim Pakar;

15) Wakil Perguruan Tinggi;

16) Wakil Asosiasi Dunia Usaha;

17) Wakil Lembaga Swadaya Masyarakat;

d. Sekretaris: Staf Ahli Menteri Kelautan dan Perikanan Bidang Ekologi dan Sumber Daya Laut.





Saatnya Mewujudkan Negara Kepulauan Indonesia

"UUD 1945 Pasal 25E telah mengamantkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang"
”Untuk membangun Indonesia menjadi negara besar, negara kuat, negara makmur, negara damai yang merupakan National Building bagi negara Indonesia, maka negara dapat menjadi kuat jika dapat menguasai lautan. Untuk menguasai lautan, kita harus menguasai armada yang seimbang.” (Pidato Bung Karno yang disampaikan dalam National Maritime Convention I tahun 1963)