30 Mei 2011

Bertumpu pada Revolusi Biru

Sektor Kelautan | Peningkatan Impor Dipicu Berlakunya ACFTA
Bertumpu pada Revolusi Biru
Tooltip
ANTARA

Hingga saat ini, revolusi biru masih terus gencar digaungkan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Fadel Muhammad. Dalam pandangan Fadel, perubahan paradigma pembangunan dari daratan ke lautan itu perlu terus didorong dan dijadikan mainstream pembangunan nasional karena banyak masyarakat Indonesia yang tinggal di pesisir.

"Presiden juga sudah menyatakan dukungan mengenai pembangunan kelautan tersebut," ujar dia di Jakarta, Jumat (27/5).

Demi merealisasikan pembangunan kelautan tersebut, KKP membuat sejumlah program. Bersamaan dengan acara peluncuran Indonesia’s Blue Revolution, kemarin, Fadel menjanjikan adanya terobosan dan strategi baru pembangunan kelautan. Terobosan yang dimaksud ialah merevitalisasi sumber-sumber pertumbuhan ekonomi sekaligus menciptakan sumber pertumbuhan ekonomi baru di bidang kelautan dan perikanan.

Selama ini, sumber pertumbuhan berasal dari perikanan tangkap, perikanan budi daya, wisata bahari, pertambangan, transportasi laut, dan pengembangan jasa kelautan. Berdasarkan Pusat Data Statistik dan Informasi KKP, diketahui kontribusi produk domestik bruto sektor perikanan tahun 2010 mencapai 3,1 persen, dan ditargetkan meningkat menjadi 3,5 persen pada tahun ini.

Selain PDB, nilai ekspor ditargetkan meningkat tahun ini, yakni bisa mencapai 3,2 miliar dollar AS. Hingga akhir 2010, nilai ekspor perikanan diperkirakan 2,79 miliar dollar AS atau meningkat dari realisasi tahun sebelumnya yang mencapai 2,46 miliar dollar AS. Pihak KKP juga menargetkan adanya peningkatan produksi perikanan. Apabila rata-rata produksi perikanan nasional selama ini mencapai 6,4 juta ton per tahun, pada 2011 produksi ditargetkan meningkat 20 hingga 30 persen setelah pembangunan sekitar 24 minapolitan.


Belum Terealisasi

Menanggapi program revolusi biru KKP, Kepala Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim (P2KM) Suhana menyatakan program itu belum sepenuhnya terealisasi. Dia juga menilai kebijakan yang diambil pemerintah tidak konsisten.

"Pada awalnya, perikanan budi daya dan minapolitan yang fokus kegiatan untuk mendorong revolusi biru, namun program-programnya sampai saat ini belum berjalan. Tahun ini fokus kebijakan berubah dengan mendorong perikanan tangkap. Jika kebijakannya tidak konsisten, maka akan sulit mencapai target pembangunan perikanan," tandas Suhana.

Suhana juga menyoroti pembangunan perikanan pada triwulan I-2011 yang dipandangnya belum ada perbaikan signifikan dibanding dengan periode yang sama tahun lalu. Hal itu, tambah dia, didasarkan pada beberapa indikator, seperti meningkatnya laju impor, tidak berkembangnya industri perikanan, serta kesejahteraan nelayan yang tidak kunjung membaik.

Masih buruknya tingkat kesejahteraan nelayan dibenarkan pula oleh Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Yussuf Solichien. Menurut dia, pembangunan perikanan belum mampu mendongkrak taraf hidup nelayan.

"Kenyataannya nelayan masih jauh dari sejahtera, bahkan 90 persen dari mereka tidak sekolah dan hanya lulus sekolah dasar. Kondisi itu ironis karena tidak sesuai dengan amanat UUD terkait perlindungan pemerintah terhadap rakyat," paparnya.

Sementara itu, peningkatan laju impor, jelas Suhana, bisa dilihat dari pencapaian periode Januari hingga Februari 2011 yang mencapai 71,12 juta dollar AS. Kenaikan laju impor selama periode itu mencapai 54,68 persen. Padahal, pada periode yang sama tahun sebelumnya, peningkatan impor hanya 32,23 persen.

Suhana menyatakan peningkatan laju impor itu dipicu oleh berlakunya ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA). Peningkatan impor itu, tambahnya, tidak berdampak pada peningkatan kapasitas industri perikanan. Data Bank Indonesia (2011) menunjukkan rata-rata kapasitas industri perikanan yang terpakai pada triwulan I-2011 adalah 68,82 persen. Hal itu menunjukkan impor produk perikanan yang masuk ke Indonesia tidak digunakan untuk bahan baku, tetapi justru dominan untuk dikonsumsi.

Lebih lanjut, Suhana menuturkan tingginya laju impor ikan dan produk perikanan pada 2011 diduga berdampak terhadap penurunan pendapatan nelayan nasional. Hal itu dikarenakan konsumen lebih memilih ikan impor yang harganya cenderung lebih murah ketimbang ikan hasil produksi nelayan dan pembudi daya ikan nasional. aan/E-2


Sumber : http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/63323

25 Mei 2011

Sektor Perikanan Didominasi Asing

Sektor Perikanan Didominasi Asing

Kompas, Rabu 25 Mei 2011

Jakarta, Kompas - Investasi sektor perikanan saat ini didominasi asing. Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal, selama triwulan I-2011, total investasi di sektor perikanan mencapai 1,2 juta dollar AS atau sekitar Rp 10,28 miliar dan seluruhnya merupakan investasi asing.

Kepala Riset Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim Suhana, Selasa (24/5) di Jakarta, mengemukakan, penguasaan investor asing dalam sektor perikanan menunjukkan minat investor dalam negeri belum membaik sejak triwulan II-2009. Tahun 2010, investasi perikanan juga didominasi asing.

Dominasi asing di sektor perikanan itu juga tecermin dari tingginya laju impor ikan serta belum berkembangnya industri perikanan nasional. Untuk itu, diperlukan terobosan agar kebijakan perikanan mengedepankan kemajuan usaha dalam negeri dan bukan kepentingan asing.

”Rendahnya minat investor dalam negeri di sektor perikanan perlu segera diantisipasi pemerintah agar ekonomi perikanan dapat tumbuh dengan kekuatan nasional,” kata Suhana.

Hal senada dikemukakan Ketua Umum Gabungan Asosiasi Pengusaha Perikanan Indonesia Herwindo. Dominasi asing di sektor perikanan masih sangat besar, antara lain dari banyaknya bahan baku yang diekspor, sedangkan pasokan ke industri pengolahan lokal minim. Akibatnya, Indonesia bergantung impor bahan baku.

Ia menambahkan, unit pengolahan ikan hingga kini belum efektif menggandeng armada kapal perikanan untuk pasokan bahan baku. Sebagian pengusaha penangkapan ikan mengeluhkan harga ikan di tingkat unit pengolah ikan yang rendah.

Data Badan Pusat Statistik (2011) menunjukkan, nilai impor ikan dan produk perikanan bulan Januari-Februari 2011 sebesar 71,12 juta dollar AS, atau melonjak dibandingkan periode yang sama tahun 2010 sebesar 32,23 juta dollar AS. Sementara itu, nilai ekspor produk perikanan Januari-Februari tahun 2011 berkisar 320,71 juta dollar AS, atau tumbuh 15,17 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2010. (LKT/MHF)

16 Mei 2011

Pembangunan Perikanan Lamban

Pembangunan Perikanan Lamban


Koran Jakarta, Senin, 16 Mei 2011



JAKARTA – Pemerintah mengakui pembangunan sektor perikanan untuk triwulan pertama 2011 agak lamban. Beberapa indikator menunjukkan program pemberdayaan nelayan tidak menggunakan perencanaan yang matang. Dampaknya, tidak ada perbaikan signifi kan dalam peningkatan kesejahteraan nelayan.

“Pembangunan perikanan triwulan pertama 2011 menunjukkan belum ada perbaikan signifikan jika dibandingka periode yang sama tahun lalu, beberapa indikator menunjukkan laju impor meningkat, industri perikanan tidak berkembang, dan kesejahteraan nelayan tidak kunjung membaik,” kata Kepala Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim (P2KM) Suhana kepada Koran Jakarta, Minggu (15/5) Suhana menerangkan dari sisi impor triwulan pertama 2011, nilai impor periode Januari-Februari tercatat 71,12 juta dollar AS atau naik 54,68 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2010 yang tercatat hanya 32,23 persen.

Di saat bersamaan nilai ekspor produk perikanan Januari-Februar 2011 hanya naik 15,17 persen dibandingkan tahun lalu dari 272,05 juta dollar AS menjadi 320,71 juta dolar AS. Melonjaknya impor produk ikan dipicu pemberlakuan perdagangan bebas AC-FTA.
aan/E-12

04 Mei 2011

Lebih dari 400 Kilometer Pantai Indonesia Alami Erosi

Kompas, 4 Mei 2011 | 04.10 WIB

Lebih dari 400 Kilometer Pantai Indonesia Alami Erosi

Jakarta, Kompas - Perusakan ekologi pantai oleh manusia yang diperparah imbas cuaca ekstrem membuat lebih dari 400 kilometer pesisir Indonesia di 100 lebih lokasi di 17 provinsi terancam erosi pantai. Wilayah terparah adalah pesisir utara Jawa, seluruh pesisir Bali, pesisir timur Lampung, dan pesisir Sumatera Barat.

”Erosi dipicu oleh arus sejajar pantai yang dibangkitkan oleh gelombang,” kata Direktur Pesisir dan Lautan Kementerian Kelautan dan Perikanan Subandono Diposaptono, Selasa (3/5) di Jakarta. Menurut dia, erosi membuat banyak pantai di Indonesia tergerus, bukan karena abrasi. Abrasi pantai adalah pelapukan batuan pantai akibat peristiwa geologis atau hantaman gelombang.

Subandono menilai, ulah manusia merupakan penyumbang terbesar kerusakan pesisir, bukan cuaca ekstrem ataupun pemanasan global. Tindakan manusia yang merusak itu antara lain berupa penebangan hutan bakau, penambangan terumbu karang dan pasir pantai, serta pembangunan bangunan yang menjorok ke laut dan reklamasi pantai yang serampangan.

Terumbu karang, pasir pantai, dan hutan bakau memiliki fungsi sebagai benteng alami pesisir karena mampu meredam kekuatan gelombang. Adapun bangunan yang menjorok ke laut dan reklamasi tanpa memerhatikan sel sedimen atau keseragaman kondisi fisik di lokasi tertentu akan menyebabkan erosi pada satu bagian pantai dan sedimentasi pada bagian pantai yang lain.

”Tiap ada bangunan menjorok ke laut sepanjang 1 kilometer, tingkat kerusakan di darat mencapai 5 km-10 km,” ucapnya.

Cuaca ekstrem yang terjadi akhir-akhir ini membuat permukaan laut makin naik dan tinggi gelombang naik. Gelombang yang menerpa wilayah pesisir yang sudah tererosi semakin besar. Hal itu karena gelombang awal melintasi wilayah laut yang dalam akibat tidak ada benteng penahan gelombang.

Kepala Riset Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim Suhana menambahkan, tidak tertanganinya erosi pantai merupakan buah pengabaian sistem tata ruang wilayah pesisir. Akibatnya, struktur ekologis wilayah pesisir terganggu dan berdampak pada masyarakat pesisir.

”Hutan bakau sebagai benteng alam tak bisa digantikan dengan bangunan apa pun,” katanya.

Tata ruang wilayah pesisir memiliki dua aspek yang harus diperhatikan, yaitu aspek dari darat dan laut. Kalaupun tata ruang wilayah pesisir diperhatikan, umumnya masih terkonsentrasi pada aspek darat dan abai dengan aspek laut, terutama persoalan gelombang dan arus.

”Kerusakan daratan dipastikan akan merusak wilayah pesisir. Namun, kerusakan pesisir juga banyak dipicu oleh persoalan dari laut,” kata Suhana.

Subandono menyatakan, solusi terbaik untuk mengurangi dampak erosi pantai adalah mengembalikan kondisi wilayah itu sama dengan aslinya. Jika erosi dipicu oleh penebangan hutan bakau, maka harus dihijaukan kembali. Bila erosi akibat hilangnya terumbu karang, maka karang harus dihidupkan kembali.

”Pembangunan tembok atau tanggul hanya akan memindahkan masalah,” ujarnya.

Hutan bakau berguna sebagai penyerap karbon dan limbah beracun serta tempat pemijahan ikan. Adapun terumbu karang tempat habitat ikan. (MZW)

Saatnya Mewujudkan Negara Kepulauan Indonesia

"UUD 1945 Pasal 25E telah mengamantkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang"
”Untuk membangun Indonesia menjadi negara besar, negara kuat, negara makmur, negara damai yang merupakan National Building bagi negara Indonesia, maka negara dapat menjadi kuat jika dapat menguasai lautan. Untuk menguasai lautan, kita harus menguasai armada yang seimbang.” (Pidato Bung Karno yang disampaikan dalam National Maritime Convention I tahun 1963)