29 Mei 2009

Seri Pembangunan Kelautan Daerah : Wisata Bahari Teluk Palu

Teluk Palu berada dibawah administrasi Kota Palu dan Kabupaten Donggala Provinsi Sulawesi Tengah. Pariwisata bahari yang terdapat di Teluk Palu yaitu Lingkar Wisata Teluk Palu di Kelurahan Talise sampai Kelurahan Silae, Wisata di Kelurahan Buluri, Wisata di Kelurahan Vatu Sampu, Silae Beach dan wisata pantai Tanjung Karang.

Film Kondisi Lokasi Wisata Bahari Tanjung Karang Teluk Palu (Diambil, 10 Agustus 2008)

Sedimentasi di Pesisir Teluk Palu

Data Status Lingkungan Hidup Daerah (SLHD) Kota Palu (2007) menunjukan bahwa debit sedimen aliran sungai yang bermuara di Teluk sangat tinggi, terutama di Sungai Palu, Sungai Lambara (Tawaili), Sungai Taipa dan Sungai Sombe-Lewara. Debit sedimen di Sungai Palu setiap detiknya mencapai 0,00035411 kg, Sungai Lambara setiap detiknya mencapai 0.00040925 kg, Sungai Taipa setiap detiknya mencapai 0.00011206 kg, dan Sungai Sombe-Lewara setiap detiknya mencapai 0.00017993 kg. Tingginya debit sedimen tersebut telah mempercepat laju sedimentasi yang ada di Teluk Palu.

Film Sedimentasi di Sungai Palu yang bermuara ke Teluk Palu (Diambil pada 10-08-2008)

25 Mei 2009

Laporan Investasi I Kawasan Budi Daya dan Penangkapan Ikan Perlu Reorientasi

" Sektor Perikanan Terpuruk "
Senin, 25 Mei 2009 01:12 WIB
Posting by : warso

Minimnya investasi di sektor kelautan dan perikanan disebabkan paradigma pembangunan di sektor ini yang tidak fokus. Ini diperparah dengan buruknya infrastruktur.


Minimnya investasi di sektor kelautan dan perikanan disebabkan paradigma pembangunan di sektor ini yang tidak fokus. Ini diperparah dengan buruknya infrastruktur.

JAKARTA – Pembangunan sektor kelautan dan perikanan perikanan masih kurang diminati investor. Buktinya, pertumbuhan nilai investasi sektor perikanan turun rata-rata 5,39 persen dalam empat tahun terakhir.

Berdasarkan data triwulan I-2009 yang dirilis Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), nilai investasi sektor perikanan pada 2006 mencapai 33 miliar rupiah dengan 99,39 persen bersumber dari Penanaman Modal Asing (PMA). Sementara pada 2008, nilai investasi di sektor ini hanya 2,4 miliar dengan 100 persen bersumber dari PMA.

”Sepanjang Januari–Februari 2009, nilai investasi sektor perikanan belum ada. Pemerintah terlihat belum dapat meyakinkan para pemodal dalam negeri untuk menanamkan investasinya di sektor perikanan,” terang Kepala Riset Pusat Kajian Pembangunan Kelautan Dan Peradaban Maritim (PK2PM) Suhana di Jakarta, Minggu (24/5).

Menurutnya, penurunan nilai investasi tersebut sangat berpengaruh pada penurunan kegiatan usaha sektor perikanan. Indikasi ini terlihat dari hasil survei kegiatan usaha yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia pada triwulan I-2009 yang menunjukkan bahwa nilai saldo bersih tertimbang (SBT) untuk sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan negatif 1,48 persen.

”Penurunan kinerja usaha sektor perikanan juga dapat dilihat dari kapasitas produksi yang terpakai,” ujar Suhana.

Data survei BI tersebut, lanjut dia, menunjukkan bahwa kapasitas produksi yang terpakai pada usaha sektor perikanan dalam kurun waktu tahun 2006 hingga 2009 rata-rata sekitar 67,47 persen.

Suhana menambahkan, berdasarkan data triwulan I-2009 Badan Pusat Statistik (BPS), terlihat pada kurun waktu yang sama pertumbuhan nilai ekspor-impor sektor perikanan juga mengalami penurunan sebesar 2,47 persen per tahun. Sementara itu, pertumbuhan neraca volume perdagangan ekspor impor produk perikanan Indonesia mengalami penurunan sebesar 0,02 persen per tahun.

“Berdasarkan data BPS tersebut, penurunan kinerja neraca perdagangan ekspor impor produk perikanan tersebut lebih disebabkan oleh terus meningkatnya volume dan nilai impor produk perikanan Indonesia.”

Buruknya investasi dan menurunnya nilai ekspor-impor produk perikanan berpengaruh pada penyerapan tenaga kerja di sektor kelautan dan perikanan. Penyerapan tenaga kerja di sektor perikanan dalam tiga tahun terakhir anjlok hingga lebih dari 85 persen per tahun. Total penyerapan tenaga kerja sektor perikanan tahun 2006 itu mencapai 1.207 orang. Sementara tahun 2008 penyerapan tenaga kerja sektor perikanan mengalami penurunan drastis menjadi 173 orang saja per tahun.


Belum Fokus

Kalangan legislatif menilai minimnya investasi di sektor kelautan nasional disebabkan paradigma yang tidak mendukung sektor tersebut. ”Pembangunan kelautan belum fokus. Pembangunan masih diarahkan ke kontinental,” tegas anggota Komisi IV dari F-PDIP Jacobus Mayong Padang.

Dorongan pemerintah kepada pengusaha untuk mengembangkan sektor kelautan dan perikanan, ungkap Jacobus, juga masih minim. Kondisi ini diperparah dengan terbatasnya infrastruktur di sektor ini akibat minimnya anggaran. “Pemerintah tidak mempermudah izin investasi di sekor kelautan,” katanya.

Untuk menggairahkan investasi, Suhana meminta pemerintah melakukan reorietasi arah kebijakan revitalisasi lahan-lahan budi daya yang sudah mengalami degradasi serta revitalisasi kawasan penagkapan ikan yang sudah mengalami overfishing. ”Ini dapat dilakukan dengan moratorium sementara aktivitas penangkapan ikan di beberapa kawasan,” ungkapnya.

Upaya lain yang dapat dilakukan, tutur Suhana, adalah memperbaiki daya saing produk perikanan di pasar internasional maupun lokal, mengatasi praktik IUU fishing secara lebih komprehensif. ”Jangan hanya menangkap kapal-kapal ilegal, padahal jauh dari itu praktik perikanan yang tidak dilaporkan (unreforted) atau yang dilaporkan tidak semestinya (underreforted) tidak kalah banyaknya,” katanya.
(ims/lha/N-1)

Sumber : http://www.koran-jakarta.com/ver02/

Investasi Perikanan Turun 5,39 Persen per Tahun

Minggu, 24 Mei 2009 18:38 WIB

Sumber : http://www.mediaindonesia.com/read/2009/05/05/76195/21/2/Investasi-Perikanan-Turun-539-Persen-per-Tahun

JAKARTA--MI: Pertumbuhan nilai investasi sektor perikanan turun rata-rata 5,39 persen dalam empat tahun terakhir.

"Data BKPM yang dikeluarkan tahun 2009 menunjukkan pertumbuhan nilai realisasi investasi sektor perikanan dalam kurun waktu 2006 hingga Februari 2009 mengalami penurunan sebesar 5,39 persen per tahun," kata Kepala Riset Pusat Kajian Pembangunan Kelautan Dan Peradaban Maritim (PK2PM) Suhana di Jakarta, Minggu (24/5).

Dari data tersebut, ia mengatakan, nilai investasi sektor perikanan tahun 2006 mencapai Rp33 miliar dengan 99,39 persen bersumber dari Penanaman Modal Asing (PMA).

Sementara tahun 2008 nilai investasi sektor perikanan hanya mencapai Rp2,4 miliar dengan 100 persen bersumber dari Penanaman Modal Asing (PMA).

Sepanjang Januari hingga Februari 2009, nilai investasi sektor perikanan masih belum ada. Hal ini menunjukkan bahwa sektor perikanan tidak mendapatkan perhatian yang baik dari para pemodal dalam negeri.

"Pemerintah terlihat belum dapat meyakinkan para pemodal dalam negeri untuk menanamkan investasinya di sektor perikanan," ujar Suhana.

Ia menambahkan, penurunan nilai investasi tersebut sangat berpengaruh terhadap penurunan kegiatan usaha sektor perikanan. Berdasarkan survei kegiatan usaha yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia pada 2009, menunjukkan bahwa sektor perikanan merupakan salah satu sektor yang mengalami penurunan.

Data survei tersebut, kata Suhana, nilai saldo bersih tertimbang (SBT) untuk sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan negatif 1,48 persen. Penurunan kinerja usaha sektor perikanan juga dapat dilihat dari kapasitas produksi yang terpakai.

Data survei BI tersebut, lanjut dia, kapasitas produksi yang terpakai pada usaha sektor perikanan dalam kurun waktu tahun 2006 hingga 2009 turun rata-rata sekitar 67,47 persen. (Ant/OL-04)

Serapan Tenaga Kerja Perikanan Turun 85 Persen per Tahun

Sumber : http://www.mediaindonesia.com/read/2009/05/05/76222/4/2/Serapan_Tenaga_Kerja_Perikanan_Turun_85_Persen_per_Tahun

Minggu, 24 Mei 2009 22:00 WIB


JAKARTA--MI: Penyerapan tenaga kerja di sektor perikanan dalam tiga tahun terakhir anjlok hingga lebih dari 85 persen per tahun.

"Total penyerapan tenaga kerja sektor perikanan pada 2006 mencapai 1.207 orang. Pada 2008, penyerapan tenaga kerja sektor perikanan mengalami penurunan drastis menjadi 173 orang saja per tahun," kata Kepala Riset Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim (PK2PM) Suhana di Jakarta, Minggu (24/5).

Suhana mengatakan, buruknya iklim investasi dan usaha sektor perikanan selama ini telah berdampak pada penyerapan tenaga kerja di sektor perikanan.

Data BKPM 2009 menunjukkan bahwa penyerapan tenaga kerja sektor perikanan periode 2006 hingga 2009 terus turun. Bahkan diperhitungkan penurunannya mencapai 85,66 persen.

Buruknya iklim investasi sektor perikanan ini, menurut Suhana, juga mempengaruhi pertumbuhan nilai ekspor-impor sektor perikanan yang rata-rata turun sebesar 2,42 persen per tahun.

Dampak menurunnya iklim investasi dan kinerja usaha sektor perikanan telah menurunkan kinerja neraca perdagangan ekspor-impor produk perikanan di tanah air.

Data BPS 2009 menunjukkan bahwa pertumbuhan nilai neraca perdagangan ekspor-impor produk perikanan Indonesia dalam kurun waktu 2006 hingga 2008 turun 2,47 persen per tahun.

Sementara itu, pertumbuhan neraca volume perdagangan ekspor-impor produk perikanan Indonesia mengalami penurunan sebesar 0,02 persen per tahun.

Berdasarkan data BPS tersebut, penurunan kinerja neraca perdagangan ekspor-impor produk perikanan tersebut lebih disebabkan oleh terus meningkatnya volume dan nilai impor produk perikanan Indonesia.

Suhana mengatakan, berdasarkan publikasi triwulan pertama 2009 dari tiga lembaga negara bidang ekonomi, yaitu Bank Indonesia, Badan Koordinasi Penanaman Modal Indonesia (BKPM), dan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan perekonomian sektor perikanan kian terpuruk.

Itu dapat dilihat dari terus menurunnya nilai investasi, rendahnya daya serap tenaga kerja, menurunnya kinerja dunia usaha sektor perikanan, menurunnya neraca perdagangan produk perikanan, dan menurunnya kinerja produksi perikanan Indonesia. (Ant/OL-04)

Penyerapan Pegawai Sektor Perikanan Anjlok 85%

Sumber : http://www.analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=article&id=16150:penyerapan-pegawai-sektor-perikanan-anjlok-85&catid=26:nasional&Itemid=44

Jakarta, (Analisa)

Penyerapan tenaga kerja di sektor perikanan dalam tiga tahun terakhir anjlok hingga lebih dari 85 persen per tahun.

"Total penyerapan tenaga kerja sektor perikanan tahun 2006 itu mencapai 1.207 orang. Sementara tahun 2008 penyerapan tenaga kerja sektor perikanan mengalami penurunan drastis menjadi 173 orang saja per tahun," kata Kepala Riset Pusat Kajian Pembangunan Kelautan Dan Peradaban Maritim (PK2PM), Suhana, di Jakarta, Minggu.

Suhana mengatakan, buruknya iklim investasi dan usaha sektor perikanan selama ini telah berdampak pada penyerapan tenaga kerja di sektor perikanan.

Data BKPM di tahun 2009 ini menunjukan bahwa penyerapan tenaga kerja sektor perikanan periode 2006 hingga 2009 terus turun, bahkan diperhitungkan mencapai 85,66 persen.

Buruknya iklim investasi sektor perikanan ini, menurut Suhana, juga mempengaruhi pertumbuhan nilai ekspor-impor sektor perikanan, yang rata-rata turun sebesar 2,42 persen per tahun.

Dampak menurunnya iklim investasi dan kinerja usaha sektor perikanan telah menurunkan kinerja neraca perdagangan ekspor impor produk perikanan di tanah air.

Data BPS, tahun 2009, terakhir menunjukan bahwa pertumbuhan nilai neraca perdagangan ekspor impor produk perikanan Indonesia dalam kurun waktu 2006 hingga 2008 turun 2,47 persen per tahun.

Sementara itu, pertumbuhan neraca volume perdagangan ekspor impor produk perikanan Indonesia mengalami penurunan sebesar 0,02 persen per tahun.

Berdasarkan data BPS tersebut, penurunan kinerja neraca perdagangan ekspor impor produk perikanan tersebut lebih disebabkan oleh terus meningkatnya volume dan nilai impor produk perikanan Indonesia.

Suhana mengatakan, berdasarkan publikasi triwulan pertama 2009 dari tiga lembaga negara bidang ekonomi, yaitu Bank Indonesia, Badan Koordinasi Penanaman Modal Indonesia (BKPM), dan Badan Pusat Statistik (BPS), menunjukan perekonomian sektor perikanan kian terpuruk.(Ant)

23 Mei 2009

87,37% Kapal Perikanan Tak Berizin

87,37% Kapal Perikanan Tak Berizin
22/05/2009 09:49:52 WIB

Oleh Kunradus Aliandu



JAKARTA, INVESTOR DAILY
Dari 20.386 kapal yang masuk pelabuhan perikanan Indonesia, sebanyak 17.811 unit (87,37%) tidak memiliki Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI). Padahal, setiap kapal ikan di Indonesia wajib mempunyai SIPI.

Hal itu diatur dalam pasal 27 ayat 1 Undang-Undang (UU) No 31 Tahun 2004 tentang Perikanan serta Peraturan Menteri (Permen) Kelautan dan Perikanan No 5 Tahun 2008 tentang Usaha Perikanan Tangkap.

“Banyaknya kapal ikan yang belum memiliki SIPI menunjukkan bahwa pengelolaan perikanan nasional masih sangat jauh dari perilaku bertanggungjawab dan mengedepankan keberlanjutan.

Jika hal ini terus terjadi, pengelolaan sumberdaya ikan dikhawatirkan semakin buruk,” kata Kepala Riset Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim (PK2PM) Suhana kepada Investor Daily di Jakarta, Rabu (20/5). PK2PM merupakan lembaga swadaya masyarakat (LSM) bidang perikanan.

Suhana menjelaskan, kapal yang tidak memiliki SIPI tersebut terdiri atas 5.218 unit berukuran 10-30 gross ton (GT) dan 5.079 unit di atas 30 GT. Kapal-kapal ini kebanyakan milik para pengusaha.


“Dari hasil penelitian di pesisir Sumatera Utara, penangkapan ikan yang tidak dilaporkan (unreported fishing) itu ternyata kebanyakan dilakukan pengusaha perikanan. Mereka mendaratkan ikan di pelabuhan swasta yang diinginkan,” ungkap dia.


Padahal, pasal 69 Permen Kelautan dan Perikanan No 5 Tahun 2008 mewajibkan hasil penangkapan dari kapal penangkap atau pengangkut ikan wajib didaratkan seluruhnya di pelabuhan pangkalan, sesuai penetapan dalam SIPI atau Surat Ijin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI).

Selain itu, lanjut Suhana, banyaknya unreported fishing menyebabkan data produksi perikanan nasional tidak akurat. Akibatnya, penetapan kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan tidak optimal.


Peraturan Diperketat

Pada kesempatan terpisah, Direktur Pemasaran Luar Negeri Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) Saut P Hutagalung mengatakan, pemerintah Indonesia maupun kalangan internasional mulai mempersempit ‘ruang gerak’ kapal tak berizin. Awal Januari 2010, Uni Eropa mulai mewajibkan registrasi hasil tangkapan ikan yang bakal diekspor ke wilayah itu.

Pemerintah Rusia juga berencana memberlakukan ketentuan baru mengenai kapal dan unit pengolahan ikan yang bakal diekspor ke negara tersebut. “Setiap kapal harus lebih dulu lulus inspeksi, sebelum membawa masuk ikan ke pasar Rusia. Peraturan baru ini mulai berlaku 1 Juli 2009,” ujar dia.

Namun, ketentuan baru tersebut tidak berlaku bagi negara yang sudah membuat kesepakatan khusus dengan pemerintah Rusia. Saat ini, pemerintah Indonesia menyiapkan sejumlah aksi untuk menyesuaikan dengan ketentuan Rusia itu.

“RI dan Rusia sudah sepakat meningkatkan ekspor/impor hasil perikanan, pengawasan mutu, serta keamanan produk,” paparnya.

Kedua negara juga memberlakukan pendaftaran unit pengolahan ikan (UPI) eksportir, yang selanjutnya dilaporkan ke otoritas di negara pengimpor. Selain itu, dibentuk sistem inspeksi di pihak pengekspor dan notifikasi jika ada kasus penahanan barang (detention).

Dirjen Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan (P2SDKP) DKP Aji Sularso menambahkan, kerja sama dengan kalangan internasional itu diharapkan menurunkan praktik illegal fishing (pencurian ikan) di Tanah Air. Selama ini, lanjut Kepala Pusat Riset DKP Victor Nikijuluw, maraknya illegal fishing merugikan negara sekitar Rp 40 triliun per tahun.

Aji optimistis, omzet perikanan Indonesia menembus Rp 140 triliun per tahun atau melonjak 40% setelah illegal fishing bisa diberantas secara efektif. Pada 2009, omzet perikanan nasional sekitar Rp 90 triliun-100 triliun, dengan asumsi produksi perikanan tangkap sekitar 5 juta ton dan budidaya 4 juta-5 juta ton, dengan harga ikan rata-rata Rp 10 ribu per kilogram (kg).

“Didukung kerja sama internasional dan segenap instansi terkait di dalam negeri, dalam lima tahun ke depan illegal fishing bisa diberantas,” ujar Aji. (en)

Sumber : http://www.investorindonesia.com/index.php?option=com_content&task=view&id=61986

" Siasat Utang Proyek Terumbu Karang "

Sabtu, 23 Mei 2009 01:14 WIB
Posting by : warso

Banyak yang tidak menyadari bahwa proyek Coral Triangle Initiative (CTI) berpotensi menambah utang baru. Pada akhir 2007, pada Senior Official Meeting pertama, CTI memperoleh komitmen awal hibah sebesar 25 juta dollar AS dari Global Environment Facilities (GEF). Pemerintah AS pun menjanjikan donasi awal sebesar 4,3 juta dollar AS.


Banyak yang tidak menyadari bahwa proyek Coral Triangle Initiative (CTI) berpotensi menambah utang baru. Pada akhir 2007, pada Senior Official Meeting pertama, CTI memperoleh komitmen awal hibah sebesar 25 juta dollar AS dari Global Environment Facilities (GEF). Pemerintah AS pun menjanjikan donasi awal sebesar 4,3 juta dollar AS.

Australia tak mau ketinggalan dengan janji 1,43 juta dollar AS. Dana kian menggunung setelah Asian Development Bank (ADB) akan mengucurkan hibah awal 2 juta dollar AS.

Februari 2008, GEF mengeluarkan Project Identification Form CTI, dengan mengumumkan jumlah pendanaan bersama Project CTI lebih dari 471 juta dollar AS. GEF secara khusus memberikan hibah bersyarat 72,545 juta dollar AS terbatas pada agenda biodiversity, international waters, dan climate change.

Perinciannya, di luar GEF, dana bakal mengucur dari ADB (233,550 juta dollar AS), agensi di bawah GEF lainnya (75,7 juta dollar AS), pemerintah (11,915 juta dollar AS), partner bilateral (26,8 juta dollar AS), partner multilateral (1,811 juta dollar AS), partner NGO (41,2 juta dollar AS), dan sumber lainnya (7,685 dollar AS).

“Ini memang belum tentu cair karena masih berbentuk komitmen. Hampir 50 persen dana bersumber dari ADB. Kontribusi ADB tentunya bisa berupa hibah maupun utang luar negeri. Yang jelas, berapa pun yang cair untuk Indonesia, utang akan menambah beban rakyat,” tutur Kepala Divisi Riset Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim (PK2PM) Suhana.
Kucuran dana dari AS dan Australia pun patut diwaspadai karena disinyalir sebagai upaya green washing (pembersihan diri).

Pasalnya, perusahaan-perusahaan migas asal kedua negara itu diduga berkontribusi dalam pencemaran lingkungan. Di sisi lain, ketidakpatuhan Washington untuk menandatangani Protokol Kyoto cukup mengindikasi bahwa agenda sesungguhnya bukanlah untuk terlibat dalam mengatasi masalah perubahan iklim, tapi hanya untuk menjamin keberlangsungan kegiatan industrinya di kawasan CT-6.

Proyek CTI bisa dipakai alasan AS yang menyumbang 36 persen gas rumah kaca (GRK) untuk terus menolak menandatangani Protokol Kyoto, yang berdampak sulitnya mendorong penurunan emisi karbon dunia.

Diduga AS akan menjustifikasi proyek CTI sebagai sumbangannya dalam mengatasi perubahan iklim melalui laut. Maka, jangan heran jika Manado Ocean Declaration (MOD) tak disepakati menjadi dokumen yang berkekuatan hukum dan mengikat atau legally binding.

Apalagi, sebelum perhelatan WOC, ada sinyalemen bahwa Indonesia akan menggunakan WOC untuk mengail dana lewat perdagangan karbon.

Ini tersirat dari pernyataan Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi yang mengklaim bahwa laut dan pantai Indonesia mampu menyerap karbon 66,9 juta ton per tahun dan karbondioksida (CO2) 245,6 juta per tahun.

Pernyataan itu terlalu dini karena hingga kini kelompok ilmuwan yang belum bisa memastikan apakah lautan dan sumber dayanya sebagai penyerap atau pelepas karbon. Semua hasil penelitian memosisikan laut sebagai pelepas karbon (carbon sources) ke atmosfer, kecuali Laut Utara, Atlantik Utara, dan amudera bagian selatan.
lili hermawan/E-8

Sumber : http://www.koran-jakarta.com/ver02/detail-news.php?id=8658&&idkat=53

Deklarasi Manado Sarat Kepentingan Negara Maju

Konferensi Kelautan | Deklarasi Manado Sarat Kepentingan Negara Maju

" Sepakat tapi Tidak Mengikat "
Sabtu, 23 Mei 2009 01:22 WIB
Posting by : warso

Sebanyak 75 negara peserta Konferensi Kelautan Dunia menandatangani Deklarasi Kelautan Manado. Sayang, kesepakatan yang memasukkan dimensi laut dalam pembahasan global itu ditentang AS dan Australia.



Sebanyak 75 negara peserta Konferensi Kelautan Dunia menandatangani Deklarasi Kelautan Manado. Sayang, kesepakatan yang memasukkan dimensi laut dalam pembahasan global itu ditentang AS dan Australia.

Hajatan besar Konferensi Kelautan Dunia (World Ocean Summit/WOC) dan KTT Prakarsa Segitiga Terumbu Karang (Coral Triangle Initiatif/CTI) yang digelar selama sepekan di Manado, Sulawesi Utara, telah berakhir 15 Mei lalu. Konferensi itu menghasilkan dua agenda penting, yakni penandatanganan Deklarasi Kelautan Manado (Manado Ocean Deklaration/MOD) dan komitmen enam negara dalam CTI. Agenda lain yang dititipkan Indonesia adalah penetapan Bunaken sebagai Marine Mega Biodiversity.

Deklarasi Manado yang disepakati 75 negara peserta WOC merupakan langkah awal memengaruhi pembahasan global mengenai perubahan iklim, dan menjadikan dimensi laut sebagai arus utama di dalamnya. “Saya senang bahwa konferensi itu mampu menghasilkan Deklarasi Manado,” kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Rencananya, Deklarasi Manado mengikat secara hukum (legally binding) para anggotanya. Sayangnya, AS dan Australia menentang hal ini sejak pertemuan di Papua Nugini, Maret 2009. “Sangat disayangkan Deklarasi Manado akhirnya tidak mengikat. Lalu, so what setelah adanya Deklarasi Manado ini?” ungkap Direktur Riset dan Kajian Strategis Institut Pertanian Bogor (IPB) Arif Satria.

Sementara itu, CTI berfokus pada bentang laut, perikanan, daerah perlindungan laut, perubahan iklim, dan mengurangi daftar jenis biota laut yang terancam punah dari daftar Badan Konservasi dan Sumber Daya Alam Internasional (IUCN).

Wilayah coral triangle (CT) berbentuk segi tiga kaya sumber daya alam seluas 75 ribu kilometer persegi. Wilayah ini melintasi enam negara, yakni Malaysia, Indonesia, Filipina, Kepulauan Solomon, Timor Leste, dan Papua Nugini. Mereka kemudian dikenal dengan CT-6.

Kawasan ini mengandung lebih 600 spesies terumbu karang atau 53 persen terumbu karang dunia. Terdapat 3 ribu spesies ikan, yang dipagari hutan mangrove terluas di dunia, tempat pemijahan tuna terbesar di dunia. Perputaran ekonomi kawasan ini menghasilkan keuntungan tak kurang dari 2,3 triliun dollar AS per tahun.

Kepala negara dari CT-6 menyepakati peluncuran Coral Triangle Initiative on Coral Reefs, Fisheries and Food Security and adaptation to climate change (CTI-CFFC), serta secara aklamasi menyatakan untuk mengadopsi Regional Plan of Action (RPOA). Dalam konteks ini, Indonesia berkomitmen mengucurkan dana 5 juta dollar AS, Papua Nugini 2 juta dollar AS, Filipina 5 juta dollar AS, dan Malaysia 1 juta dollar AS.

Komitmen yang disampaikan negara-negara CT-6 tersebut di luar negara atau lembaga internasional yang selama ini sudah menyatakan komitmen, seperti AS sebesar 41,6 juta dollar AS, Global Environment Facilities (GEF) sebesar 63 juta dollar AS, dan Australia 2 juta dollar AS.


Melupakan Nelayan

Sayangnya, hiruk-pikuk CTI ini hanya terdengar di antara LSM konservasi, pemerintah, lembaga keuangan, akademisi, peneliti, dan para konsultan. “Inilah fakta yang teramat mengherankan. Sementara suara komunitas pesisir maupun nelayan senyap terdengar di tengah promosi pemerintah tentang banyaknya manfaat yang akan didapat dari agenda WOC dan CTI,” tutur Kepala Divisi Riset Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim (PK2PM) Suhana.

Ketua Sidang Senior Official Meeting (SOM) pada WOC Eddy Pratomo mengakui belum melibatkan nelayan dan masyarakat pesisir. Kali ini, lanjut Eddy, memang dikhususkan bagi wakil-wakil dari pemerintah dengan tujuan untuk mendapatkan dukungan politik dari negara-negara peserta WOC. "Pada waktunya nanti kita mencari formulasi untuk melibatkan mereka pada forum mendatang," katanya.

Menurut Suhana, komitmen Pemerintah Indonesia untuk memperluas kawasan konservasi 20 juta hektare hingga 2020 kian menyempitkan dan menjauhkan nelayan dari wilayah kelolaannya. Pada sisi lain, konservasi membuka peluang cukup besar pada industri pariwisata. “Dalam National Plan of Action CTI, ekspansi industri pariwisata justru diberikan peluang yang besar bahkan telah menjadi tujuan sejak awal,” katanya.


Sarat Kepentingan

Suhana menambahkan, WOC dan proyek CTI juga sarat motif ekonomi negara-negara maju pada proyek CTI. Misalnya, kepentingan pengaturan perikanan tuna di perairan Samudera Hindia dan Pasifik yang memasok lebih dari 70 persen produksi tuna dunia, terutama jenis Sourthern Bluefin Tuna (SBT) yang harganya paling mahal di pasar dunia. Hingga kini, pasar dunia untuk jenis tersebut dikendalikan tiga negara, yaitu Jepang, Australia, dan Selandia Baru, baik dari aspek kuota, pemasaran, penangkapan, fishing ground, maupun harga.

Motif ekonomi lain, sambung Suhana, adalah nafsu negara maju untuk menguasai sumber daya minyak dan gas yang berada di dasar laut di kawasan CTI. Sejak puluhan tahun, negara-negara CT merupakan kawasan keruk perusahaan-perusahaan tambang dan migas asing. Perusahaan-perusahaan tersebut mendapat bantuan lembaga keuangan, perbankan, dan penjamin yang mendukung perusahaan tambang, seperti HSBC Bank, ANZ Bank, Macguarie Bank, dan Meryll Lynch.
lha/E-8

Sumber : http://www.koran-jakarta.com/ver02/detail-news.php?id=8657&&idkat=53

Perkembangan Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Perikanan

Perkembangan Nilai Investasi Perikanan Indonesia

22 Mei 2009

KAJIAN SINGKAT IZIN KAPAL IKAN


74,15 PERSEN KAPAL DIATAS 30 GT TIDAK BERIZIN

Data Pusat Informasi Pelabuhan Perikanan (2009) menunjukan bahwa 17.811 unit atau 87,37 persen kapal perikanan yang ada di setiap pelabuhan perikanan di seluruh wilayah Indonesia ternyata tidak atau belum memiliki Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI). Data tersebut juga menunjukan bahwa 5.218 unit atau 88,05 persen kapal perikanan dengan ukuran diatas 10-30 GT tidak memiliki SIPI dan kapal diatas 30 GT yang tidak memiliki SIPI mencapai 5.079 unit atau 74,15 persen

Padahal kapal perikanan tersebut sangat jelas disebutkan dalam Pasal 27 Ayat (1) UU No 31 Tahun 2004 tentang Perikanan diwajibkan untuk memiliki SIPI. Selain itu juga dalam Permen Kelautan dan Perikanan No 5 Tahun 2008 tentang Usaha Perikanan Tangkap juga disebutkan bahwa kapal perikanan diwajibkan untuk memiliki SIPI.
Banyaknya kapal perikanan yang sampai saat ini belum memiliki SIPI tersebut menunjukkan bahwa sistem pengelolaan perikanan nasional masih sangat jauh dari perilaku bertanggungjawab dan berkelanjutan. Dan apabila hal ini masih berlanjut dalam pengelolaan sumberdaya ikan kedepan, dikhawatirkan pengelolaan sumberdaya ikan nasional akan semakin terpuruk.

Dampak besarnya kapal perikanan yang belum mendapatkan izin tersebut adalah, pertama mendorong terhadap aktivitas perikanan yang tidak dilaporkan (Unreported Fishing). Hasil studi penulis di wilayah Pesisir Sumatera Utara menunjukan bahwa aktivitas perikanan yang tidak dilaporkan sangat dominan dilakukan oleh para pengusaha perikanan diwilayah tersebut dengan cara mendaratkan ikan di tangkahan atau pelabuhan swasta. Padahal dalam Pasal 69 Permen Kelautan dan Perikanan No 5 Tahun 2008 tentang Usaha Perikanan Tangkap disebutkan bahwa Ikan hasil tangkapan dari kapal penangkap ikan dan/atau kapal pengangkut ikan dalam rangka penanaman modal wajib didaratkan seluruhnya di pelabuhan pangkalan yang ditetapkan dalam SIPI dan/atau SIKPI.
Hasil pengamatan penulis dilapangan setiap tangkahan ketika musim ikan dapat mempoduksi ikan sebesar 5-10 ton per hari. Artinya bahwa dengan mengambil asumsi harga ikan di wilayah Sumatera Utara rata-rata Rp. 12.000 per Kg, maka kerugian ekonomi dari aktivitas unreported fishing di setiap tangkahan tersebut dapat mencapai 60 juta per hari. Dan menurut Data Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumatera Utara (2009) tercatat lebih dari 250 tangkahan yang ada di wilayah Sumatera Utara.
Kedua, tidak akuratnya data produksi perikanan nasional. Banyaknya aktivitas unreported fishing tersebut akan berdampak secara tidak langsung terhadap keakuratan data produksi perikanan nasional. Alhasil kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan pun terlihat belum optimal, bahkan cenderung memperpuruk kondisi sumberdaya ikan nasioal.

Resolusi Kongres Nelayan Tradisional Indonesia



Manado, 11 – 15 Mei 2009

Kami nelayan tradisional yang tergabung dalam Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia yang terdiri dari perwakilan nelayan Sumatera Utara, Riau, Lampung, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Gorontalo telah melakukan serangkaian kegiatan pada Forum Internasional Kelautan dan Keadilan Perikanan (FIKKP), 10 -14 Mei 2009 di Manado, Sulawesi Utara, telah menyepakati dan menghasilkan resolusi sebagai berikut:

* Bahwa sejak rezim Orde Baru, nasib nelayan dan masyarakat pesisir Indonesia senantiasa terpinggirkan. Program pembangunan yang dilakukan lebih menitikberatkan pada persoalan pertanian dan pembangunan infrastruktur darat. Nelayan dan masyarakat pesisir tidak menjadi sektor penting bagi program pembangunan. Padahal faktanya, lebih dari 67% kabupaten/kota di Indonesia merupakan kabupaten/kota pesisir atau yang berhadapan langsung dengan perairan laut. Kenyataan lainnya, lebih dari 65% total penduduk Indonesia tinggal dan menggantungkan hidupnya pada sumber daya pesisir dan laut;

* Kami percaya bahwa kegiatan WOC (World Ocean Conference) bukan sebuah kegiatan yang memikirkan dampak perubahan iklim terhadap nelayan tradisional, tapi lebih sebagai upaya untuk menggantikan media laut yang sebelumnya sebagai aset masyarakat lokal, menjadi aset negara-negara industri, dan bahkan untuk diperdagangkan;
* Kami percaya bahwa proyek CTI merupakan proyek konservasi kacamata kuda yang tidak memimikirkan keterkaitan wilayah CTI dengan wilayah tangkap nelayan tradisional yang bisa dipastikan tidak akan mensejahterakan nelayan tradisional. Proyek tersebut lebih sebagai upaya membersihkan diri negara-negara maju diantaranya Amerika Serikat, yang belum menunjukkan kesungguhannya untuk menurunkan produski emisi karbonnya ke atmosfer—yang sesungguhnya menjadi substansi dari perubahan iklim;
* Bahwa rezim SBY-JK tidak lebih baik dari pada rezim-rezim sebelumnya. Politik ekonomi yang dibangun oleh rezim ini masih merujuk pada watak dan corak kepemimpinan yang anti rakyat, menghamba dan tunduk-tertindas pada kekuatan pemodal dan sangat tergantung pada utang luar negeri dan dana-dana asing, termasuk untuk kegiatan kelautan dan perikanan;
* Bahwa rezim SBY-JK telah dengan sengaja mempertontonkan keberpihakannya kepada pemodal sekaligus anti nelayan melalui UU No.27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (UU PWP-PPK). Dengan sertifikat HP-3 (Hak Penguasaan Perairan Pesisir) pengurus negara memberikan keistimewaan pada pemodal besar untuk menguasai dan mengeksploitasi sumber-sumber kehidupan nelayan dan masyarakat yang berada di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, hingga lebih dari 20 tahun. Demikian sama halnya, dengan keberadaan UU No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UUPM)..
* Bahwa politik konservasi laut yang dianut oleh SBY-JK, telah membatasi akses nelayan untuk mengelola sumber-sumber kehidupan di wilayah laut dan pesisir. Pendekatan konservasi laut yang bias darat, anti nelayan, dan syarat utang luar negeri terbukti telah menyebabkan konflik yang merugikan kehidupan nelayan baik berupa harta benda hingga korban jiwa. Kasus Taman Nasional Komodo di Nusa Tenggara Timur (2003-2004); Taman Nasional Wakatobi di Sulawesi Tenggara (2002-2007); dan Taman Nasional Bunaken di Sulawesi Utara (2001-2005) adalah sejumlah konflik yang melibatkan aparat keamanan (TNI/POLRI), Balai Pengelola Taman Nasional, dan di sokong oleh lembaga-lembaga konservasi internasional seperti WWF, TNC, NRM dan CI;
* Bahwa pemerintahan SBY-JK dengan sengaja membiarkan praktek-praktek pembuangan limbah tambang dan industri (tailing) yang mengakibatkan tercemar dan hancurnya sumber-sumber kehidupan nelayan di laut. Laut bukanlah tong sampah bagi kepentingan industri;
* Bahwa politik pembangunan yang dijalankan dewasa ini, masih menempatkan perempuan nelayan sebagai sub-ordinat dari kepentingan pembangunan sektor kelautan dan perikanan;
* Bahwa politik adu-domba untuk memecah-belah kelompok nelayan dan masyarakat pesisir melalui dana pemberdayaan masyarakat (community development) yang berasal dari perusahan-perusahaa n perusak lingkungan (seperti industri tambang dan migas) telah memicu konflik dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dibanyak wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Indonesia;
* Bahwa konflik perikanan antara nelayan tradisional Indonesia berhadapan dengan industri perikanan dan kapal-kapal asing semakin marak terjadi akhir-akhir ini. Kasus nelayan tradisional di kabupaten Bengkalis propinsi Riau melawan kelompok Jaring Batu/Jaring Dasar sejak tahun 1983 sampai sekarang, dapat disebut mewakili konflik tersebut. Pemerintah pusat dan daerah terlihat terus membiarkan konflik terjadi hingga menimbulkan korban jiwa dan material. Setidaknya tercatat 5 (lima) orang nelayan tradisional telah tewas dalam konflik ini;
* Bahwa kami juga menilai politik klaim atas nama Nelayan Indonesia yang senantiasa diterapkan pemerintah melalui organisasi seperti Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) selama ini, sama sekali tidak membawa manfaat yang optimal bagi kesejahteraan dan peningkatan kualitas hidup masyarakat nelayan dan pesisir Indonesia;
* Bahwa berdasarkan kesaksian, penilaian, dan fakta-fakta di atas, maka Kami menuntut kepada pengurus negara:

Pertama, segera meningkatkan jaminan keselamatan serta kesejahteraan nelayan dan masyarakat pesisir dengan menerapkan kebijakan ekonomi politik yang lebih berpihak pada pemenuhan kebutuhan dasar nelayan dan masyarakat pesisir termasuk aman dari ancaman bencana. Bentuknya nyatanya dapat dimulai dengan memberikan asuransi keselamatan jiwa bagi seluruh nelayan tradisional Indonesia, termasuk memenuhi akses informasi terkait waktu dan tempat penangkapan ikan, serta akses permodalan;

Kedua, Segera merubah total seluruh kebijakan ekonomi politik untuk tidak lagi menghamba pada kuasa pemodal serta tergantung pada utang luar negeri dari lembaga-lembaga keuangan internasional yang selama ini membiayai proyek-proyek kelautan dan perikanan di Indonesia, seperti Bank Dunia (World Bank) dan Bank Pembangunan Asia (ADB); termasuk bantuan dari lembaga-lembaga konservasi internasional seperti WWF, TNC, NRM, dan CI yang anti-rakyat dan justru memperdagangkan sumber-sumber kehidupan nelayan;

1. Cabut UU No.27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
2.. Hentikan pengaplingan dan zonasi kawasan pesisir dan laut atas nama Taman Nasional dan konservasi laut;
3. Hentikan program reklamasi pantai diseluruh wilayah Indonesia
4. Hentikan praktek perikanan ilegal (illegal fishing) di seluruh perairan Indonesia;
5. Hentikan ekspansi industri pertambakan dan perikanan;
6. Hentikan pembuangan limbah tambang ke laut;
7. Hentikan eksploitasi sumberdaya pesisir dan laut, seperti pasir laut;
8. Hentikan tindak kekerasan dan kriminalisasi terhadap nelayan di seluruh Indonesia;
9. Tingkatkan kualitas hidup perempuan nelayan untuk mendapatkan hak-haknya atas pengelolaan sumberdaya laut dan pesisir.
10. Berikan jaminan pendidikan gratis yang layak bagi nelayan dan masyrakat pesisir
11. Cabut Keputusan Menteri Nomer 06 Tahun 2008 tentang pelegalan penggunaan jaring Trawl
12. Lindungi hutan mangrove yang masih tersisa dari segala macam konversi yang dilakukan oleh siapapun
13. Jaminan kesehatan bagi nelayan tradisional (ketersediaan fasilitas kesehatan, dokter, dan paramedis)

Kami menyerukan seluruh nelayan tardisional di seluruh Indonesia untuk bergabung dalam KESATUAN NELAYAN TRADISIONAL INDONESIA sebagai wadah alternatif perjuangan nelayan tradisional Indonesia.

Kami menyerukan kepada organisasi masyarakat sipil di Indonesia untuk terus merapatkan barisan dan mengokohkan persatuan rakyat demi terwujudnya kesejahteraan nelayan Indonesia. Demikian resolusi nelayan dan masyarakat pesisir Indonesia ini kami sampaikan.

Manado, 15 Mei 2009.

Hormat Kami

Presidium Nasional

1. Rustam, Kalimantan Timur
2. Sugeng Nugroho, Jawa Timur
3. Tajruddin Hasibuan, Sumatera Utara
4. Jul Takaliwang, Sulawesi Utara
5.. Amin Abdullah, Nusa Tenggara Barat

20 Mei 2009

KAJIAN SINGKAT IKAN TUNA NASIONAL

Kemana larinya produksi ikan tuna nasional ?

Oleh : Suhana

Kepala Riset Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim

Publikasi Badan Pangan Internasional (FAO 2009) dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UN 2009) tentang perikanan dunia—termasuk Indonesia—telah menambah kenyakinan kepada penulis tentang tingginya praktek IUU Fishing di Indonesia. Data FAO (2009) menunjukan bahwa produksi ikan tuna nasional dalam kurun waktu 1989-2006 mengalami pertumbuhan sebesar 4,74 persen per tahun. Sementara itu produksi ikan tuna nasional yang berasal dari impor dalam kurun waktu 1989-2007 mengalami pertumbuhan sebesar 1.799 persen per tahun. Al hasil total produksi tuna nasional –sudah ditambah volume impor—pada tahun 2006 sebesar 575.087,85 ton.

Data UN (2009) menunjukan bahwa volume ekspor ikan tuna nasional dalam kurun waktu 1989-2007 mengalami pertumbuhan sebesar 5,21 persen per tahun. Total volume ekspor ikan tuna tahun 2006 sebesar 35.459,96 ton. Artinya kalau dilihat dengan total produksi nasional, total produksi ikan tuna yang diekspor tahun 2006 hanya sebesar 6,17 persennya saja. Atau dengan kata lain dari data tersebut menunjukan bahwa sekitar 93,83 persen produksi ikan tuna nasional belum terserap oleh pasar ekspor. Data UN (2009) dan FAO (2009) menunjukan bawah total produksi ikan tuna nasional yang tidak diserap oleh pasar ekspor tersebut dalam kurun waktu 1989-2007 rata-rata mencapai 91,43 persen per tahun (Lihat Gambar). Inilah yang menambah kecurigaan penulis, karena dalam beberapa tahun terakhir, khususnya pasca kenaikan harga BBM banyak perusahaan-perusahaan pengalengan tuna nasional yang kekurangan bahan baku. Padahal kalau melihat data yang ada justru setiap tahunnya produksi bahan baku ikan tuna nasional sangat melimpah. Sehingga pertanyaannya adalah kemana larinya produksi ikan tuna nasional ?

Misalnya pada Juni 2005 Ketua Umum Asosiasi Pengalengan Ikan Indonesia (APII) mendesak kepada pemerintah untuk tidak lagi mengizinkan pembangunan industri pengalengan ikan tuna yang baru di Pulau Jawa, Bali, Sumatera Utara, dan Sulawesi Utara. Alasannya, kehadiran industri di keempat daerah tersebut sudah terlalu banyak, sedangkan suplai bahan baku sangat terbatas sehingga tidak sedikit industri pengalengan ikan yang tutup. Menurut catatan APII empat tahun lalu tersebar tujuh industri pengalengan ikan tuna di Jawa Timur. Tetapi, kini empat unit di antaranya tidak berproduksi lagi. Di Sulawesi Utara, yang semula memiliki empat industri yang sama, sekarang tinggal dua industri yang beroperasi. Itu pun setelah diambil alih investor dari Filipina. Sementara itu, di Bali juga tinggal satu unit, padahal sebelumnya ada dua industri pengalengan ikan tuna.

Selain itu juga, kalau kita lihat dari data potensi sumberdaya ikan yang ada di wilayah perairan Indonesia khususnya Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) sangat memungkinkan untuk berkembangnya industri pengalengan ikan tuna di Indonesia. Misalnya menurut catatan Departemen Kelautan dan Perikanan (2003) potensi sumberdaya ikan pelagis besar ekonomis di wilayah Samudera Hindia yang dominan adalah Albakora yaitu sebesar 3.987.000 ton per tahun. Setelah itu disusul oleh jenis ikan Tuna Sirip Biru (84.000 ton), Cakalang (21.000 ton), Tuna Mata Besar (13.000 ton) dan Madidihiang (10.000 ton). Besarnya potensi sumber daya ikan tersebut tersebar di seluruh wilayah Samudera Hindia.

Perikanan Illegal dan WOC

Permasalahan IUU (illegal, unreported and unregulated) fishing di perairan Indonesia merupakan permasalahan klasik sektor perikanan dan kelautan yang sampai sekarang belum terselesaikan dengan baik. Sehingga dikhawatirkan praktek IUU Fishing tersebut akan mengancam perekonomian nasional dan kelestarian sumberdaya ikan.

Permasalahan IUU Fishing di perairan Indonesia tidak hanya mencakup problem klasik pencurian ikan (illegal fishing), tetapi juga masalah perikanan yang tidak dilaporkan (unreported fishing) dan perikanan yang tidak diatur (unregulated fishing). Penulis menilai bahwa data FAO (2009) dan UN (2009) menunjukan tingginya praktek Praktek perikanan yang tidak dilaporkan (unreported fishing) dan pencurian ikan (illegal fishing) di Indonesia.

Maraknya IUU fishing di perairan Indonesia akan berdampak terhadap keterpurukan ekonomi perikanan nasional. Hal ini dapat dapat dilihat dari beberapa parameter, yaitu Pertama, kontribusi perikanan tangkap ke PDB. Dengan adanya aktivitas IUU fishing di perairan Indonesia akan mengurangi kontribusi perikanan laut ZEEI atau laut lepas kepada ekonomi nasional dan mendorong kearah hilangnya rent sumber daya perikanan.

Kedua, ketenagakerjaan. IUU fishing akan mengurangi potensi ketenagakerjaan nasional dalam sektor perikanan seperti perusahaan penangkapan ikan, pengolahan ikan dan sektor lainnya yang berhubungan.

Ketiga, Pendapatan Ekspor. Melihat data FAO (2009) dan UN (2009) tersebut menunjukan setiap tahunnya ikan tuna yang tidak jelas keberadaannya mencapai 433.512,39 ton per tahun dengan nilai sebesar 471.571,19 US $.

Keempat, Pendapatan Pelabuhan Perikanan. IUU fishing akan mengurangi potensi untuk tempat pendaratan ikan nasional (pelabuhan perikanan nasional) dan nilai tambah. Hal ini dikarenakan kapal-kapal penangkapan ikan illegal tersebut umumnya tidak mendaratkan ikan hasil tangkapannya di pelabuhan perikanan nasional. Kelima, Pendapatan dari jasa dan pajak dari operasi yang sah. IUU fishing akan mengurangi sumber daya perikanan yang pada gilirannya akan mengurangi pendapatan dari perusahaan yang memiliki izin penangkapan yang sah.

Keenam, Multiplier effects. Langsung atau pun tidak dampak multiplier IUU Fishing ini memiliki hubungan dengan penangkapan ikan nasional. Karena aktivitas penangkapan ikan nasional akan terkurangi dengan hilangnya potensi akibat aktivitas IUU fishing.

Dengan melihat hal tersebut diatas maka hendaknya pemerintah saat ini untuk merumuskan langkah-langlah komprehensif dalam menangani IUU fishing tersebut. Ada beberapa hal yang dapat dilakukan oleh pemerintah dalam menangani IUU fishing tersebut, yaitu pertama, mempercepat revisi UU Perikanan yang saat ini sedang dipersiapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI). Revisi UU tersebut hendaknya dapat dijadikan payung hukum dalam memberantas IUU fishing di perairan Indonesia.

Kedua, peningkatan kesadaran dan kerjasama antar seluruh stakeholders perikanan dan kelautan nasional dalam pemberantasan praktek IUU fishing. Hal ini perlu dilakukan karena praktek IUU fishing selama ini banyak dilakukan oleh stakeholders perikanan itu sendiri, termasuk pemerintah dan pengusaha perikanan.

Ketiga, peningkatan peran Indonesia dalam kerjasama pengelolaan perikanan regional. Diskusi terbatas Sinar Harapan (25/03/2009) mengamanatkan agar momentum Word Ocean Conference (WOC) yang akan berlangsung pada bulan Mei 2009 ini hendaknya dijadikan upaya pemerintah untuk mendesak negara-negara pelaku IUU Fishing di perairan Indonesia untuk sama-sama memberantas praktek haram tersebut. Beberapa negara yang nelayannya sering melakukan aktivitas perikanan illegal di perairan Indonesia adalah Thailand, Filipina, Taiwan, Korea, Panama, Cina, Vietnam, Malaysia, Kamboja, dan Myanmar. Dengan menerapkan kebijakan anti IUU fishing secara regional, upaya pencurian ikan oleh kapal asing dapat ditekan serendah mungkin.

Hemat penulis pemberantasan praktek IUU fishing di perairan Indonesia saat ini tidak bisa ditawar-tawar lagi. Artinya pemerintah dan stakeholders perikanan dan kelautan lainnya perlu bekerjasama untuk memberantas praktek illegal tersebut. Karena apabila hal ini tidak secepatnya dilakukan maka dikhawatirkan perekonomian dan kelestarian sumberdaya perikanan nasional akan semakin terpuruk.

World fish trade exceeds USD 100 billion for the first time in history

Sumber : http://www.globefish.org/dynamisk.php4?id=4713


FAO estimates total fish imports to have exceeded USD 100 billion in 2008, for the first time in history. The value of fish exports is estimated slightly lower. About half of world fish exports originate in developing countries, while 80% of world imports go to the developed part of the world. Net exports from developing countries reached USD 25.4 billion in 2008, thus emphasizing that fishery products are an important source of foreign exchange earnings for developing countries. Japan regained its top position among fish importers in 2008, after losing it in 2007 to the USA. The EU accounts for more than 40% of world fish imports in value terms, but intra-EU trade is included in these figures.


China consolidated its position as top fish exporter with USD 10.2 billion in 2008. Fishery products imported as raw material and re-processed in the country form a considerable portion of exports. In fact fish imports are growing every year and reached USD 5.2 billion in 2008. Norway is the second major exporter of fishery products, with USD 7.4 billion, an 18% increase over 2007. A huge proportion of this increase comes from higher salmon exports.

FAO estimates that production of fish products (excluding seaweed and marine mammals) reached 141.6 million tonnes in 2008, a slight increase (+0.9%) over 2007. While capture fisheries were more or less stable at 90 million tonnes, aquaculture grew by 2.5% to 51.6 million tonnes. Aquaculture production contributes 45% of total fish as food supply. Per caput consumption remained stable at 16.9 kg in 2008, of which 8.5 kg came from capture fisheries and the remainder from aquaculture.

Saatnya Mewujudkan Negara Kepulauan Indonesia

"UUD 1945 Pasal 25E telah mengamantkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang"
”Untuk membangun Indonesia menjadi negara besar, negara kuat, negara makmur, negara damai yang merupakan National Building bagi negara Indonesia, maka negara dapat menjadi kuat jika dapat menguasai lautan. Untuk menguasai lautan, kita harus menguasai armada yang seimbang.” (Pidato Bung Karno yang disampaikan dalam National Maritime Convention I tahun 1963)