08 Februari 2010

Kenaikan Harga Ikan dan Kesejahteraan Nelayan

Sinar Harapan, Senin, 08 Pebruari 2010 13:58
Kenaikan Harga Ikan dan Kesejahteraan Nelayan

OLEH: SUHANA

Publikasi Badan Pu­sat Sta­tistik awal Februari ini menunjukkan bahwa sumbangan inflasi ikan segar pada bulan Desember 2009 dan Januari 2010 menga­lami peningkatan, yaitu dari 0,03 persen menjadi 0,07 per­sen.

Inflasi tersebut terjadi akibat meningkatnya har­ga ikan segar di pasar nasional.
Kalau dilihat dari kondisi perikanan saat ini, kenaikan harga ikan segar tersebut sa­ngat wajar terjadi, karena sampai akhir Januari lalu para nelayan masih banyak yang memilih untuk menyandarkan perahunya di pantai ketimbang melaut karena cuaca yang belum bersahabat. Selain itu, produksi ikan budi daya sampai saat ini belum dapat diandalkan sebagai pengganti ke­butuhan ikan segar di ma­syarakat, karena tingkat produksinya masih rendah.
Perkiraan penulis, kenaikan inflasi ikan segar ini masih terjadi sampai akhir Februari 2010 nanti, karena menurut perkiraan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), cuaca buruk di per­airan Indonesia diperkirakan ma­sih akan terjadi sampai akhir Februari. Selain itu, juga ber­dasarkan kasus-kasus da­lam lima tahun terakhir, bia­sanya pada pertengahan Fe­bruari, pada saat puncaknya mu­sim hujan, para pembudi daya ikan nasional mengalami kegagalan panen akibat kematian massal. Sentra-sentra perikanan budi daya seperti di Waduk Jatiluhur dan Cirata, Jawa Barat, hampir setiap tahun pada saat rendahnya tingkat penyerapan sinar matahari di perairan tersebut, terdapat ribuan ton ikan mati karena kekurangan oksigen dan per­gerakan massa air dari da­sar perairan yang membawa racun.
Pertanyaannya sekarang: apakah ada dampak kenaikan harga ikan segar tersebut terhadap kesejahteraan nelayan dan pembudi daya ikan nasio­nal? Secara logis pasti akan berdampak positif, karena secara otomatis dengan adanya kenaikan harga ikan segar pendapatan nelayan dan pembudi daya ikan akan mengalami peningkatan. Dengan demi­kian, kesejahteraan pun akan meningkat. Akan tetapi, kenya­taannya di lapangan, kenaikan harga ikan segar tersebut ternyata berdampak negatif ter­hadap kesejahteraan nela­yan dan pembudi daya ikan. Hal ini ditunjukkan dengan terus menurunnya nilai tukar nelayan dan pembudi daya ikan sampai akhir Desember 2009.
Publikasi Badan Pusat Statistik (BPS) Februari 2010 menunjukkan bahwa nilai tu­kar nelayan pada bulan De­sember 2009 terjadi penurunan sebesar 0,29 persen. Penurunan tersebut lebih disebabkan oleh terus meningkatnya kebutuhan rumah tangga dan biaya produksi perikanan yang semakin tinggi, baik di nelayan maupun para pembudi daya ikan. Biaya produksi nelayan pada saat cuaca buruk seperti saat ini jauh lebih besar dibandingkan biaya produksi pada saat cuaca yang tenang.
Sementara itu, biaya produksi para pembudi daya saat ini sangat tinggi karena harga pakan yang terus meningkat. Harga pakan di tingkat pembudi daya ikan saat ini sudah berada di atas Rp 260.000 per zak. Hal ini juga terus diperparah dengan minimnya permodalan yang dimiliki oleh nelayan dan pembudi daya ikan tersebut.
Kondisi ini memang sangat ironis. Kenaikan harga ikan yang seharusnya dapat me­ningkatkan kesejahteraan ne­layan dan pembudi daya ikan, kenyataannya tidak terjadi. Hal ini pun diperparah lagi dengan belum adanya kebijakan yang komprehensif dalam mena­ngani kesejahteraan nelayan dan pembudi daya ikan. Ke­bijakan dan program pemerintah saat ini lebih banyak di­arahkan untuk meningkat­kan harga jual ikan, tetapi tanpa diikuti dengan kebijakan dan program untuk menurunkan biaya produksi nelayan dan pembudi daya ikan.
Misalnya, kebijakan-kebijakan pemerintah lebih banyak untuk membangun coldstorage dibandingkan dengan memperbaiki dan memperbanyak stasiun pengisian bahan bakar khusus bagi nelayan dan pembudi daya ikan. Selain itu, sampai saat ini juga belum terlihat adanya upaya serius guna menekan harga pakan ikan dan mencari alternatif lain untuk menggantikan tepung ikan sebagai bahan baku pakan ikan.
Bahkan, kalau kita melihat program Kementerian Ke­lautan dan Perikanan saat ini, ter­lihat pemerintah kurang tanggap terhadap kondisi ter­sebut dan terkesan tidak me­miliki arah pembangunan yang jelas. Hal ini dapat dilihat dari tidak adanya kesinambungan antara kebijakan menteri-men­teri sebelumnya dengan men­teri saat ini.

Kebijakan Komprehensif
Berdasarkan hal tersebut di atas, sudah saatnya pemerintah dalam upaya meningkatkan kesejahteraan nelayan dan pembudi daya ikan untuk me­nyusun kebijakan yang lebih komprehensif dan berke­si­nambu­ngan. Beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk me­ningkatkan kesejahteraan ne­layan dan pembudi daya ikan, adalah pertama, terus me­ningkatkan mutu ikan segar yang dihasilkan oleh nelayan dan pembudi daya ikan, se­hingga harganya jauh lebih tinggi dari sekarang.
Kedua, memperkuat industri pengolahan ikan nasional, hal ini dimaksudkan agar ikan hasil produksi nelayan dan pembudi daya ikan dapat ter­serap industri nasional. Ketiga, penurunan biaya rumah tangga nelayan dan pembudi daya ikan, misalnya, dengan mene­ruskan dan meningkatkan program biaya kesehatan dan pendidikan gratis untuk keluarga nelayan dan pembudi daya ikan.
Hal ini sangat diperlukan karena dengan adanya program kesehatan dan pendi­dikan gratis, para nelayan dan pembudi daya ikan dapat menginvestasikan biaya yang seharusnya untuk menjamin kesehatan dan pendidikan ke­luarganya untuk mening­kat­kan permodalan.
Keempat, penurunan biaya produksi perikanan. Misalnya, dengan terus meningkatkan jumlah dan kualitas pelayanan stasiun pengisian bahan bakar khusus nelayan dan pembudi daya ikan di seluruh wilayah Indonesia. Hal ini dimaksudkan agar para nelayan dan pembudi daya ikan dapat membeli bahan bakar solar sesuai dengan harga yang ditetapkan pemerintah. Selain itu, pemerintah perlu perlu mendorong terwujudnya rumah-rumah pakan ikan yang dikelola oleh setiap kelompok pembudi daya ikan dengan bahan baku lokal. Dengan begitu, me­reka tidak tergantung lagi pada pakan pabrik yang harganya jauh dari jangkauan mereka.
Kelima, dalam upaya menjaga kelestarian sumber daya ikan laut, khususnya ikan pelagis kecil (small pelagic) dan nilai ekonomis—karena harga pakan tinggi, pemerintah perlu mengembangkan perikanan budi daya untuk ikan-ikan jenis herbivora seperti ikan nila (tilapia), ikan detrivora seperti ikan bandeng dan gurami, serta rumput laut. Sementara untuk ikan-ikan jenis karnivora seperti kerapu lebih baik dikurangi. Hal ini disebabkan ikan-ikan jenis herbivora dan de­trivora tidak tergantung pada pakan pabrik.
Sementara itu, menurut Daniel Pauly, peneliti per­ikanan University of British Columbia (UBC), untuk menghasilkan 1 kilogram daging ikan kerapu (atau ikan karni­vora lainnya), bisa butuh 5-10 kilogram ikan rucah/small pelagic. Artinya, pemerintah lebih banyak mengembangkan budi daya ikan jenis karnivora seperti kerapu sama saja de­ngan menguras sumber daya ikan pelagis kecil yang ada di perairan laut Indonesia.
Alhasil, kelima hal tersebut di atas hendaknya menjadi perhatian serius pemerintah da­lam arah pembangunan kelautan dan perikanan ke depan, khususnya dalam jangka pendek ini. Dengan adanya kebijakan yang komprehensif dan berkesinambungan, dengan adanya kenaikan harga ikan, diharapkan ini berdampak positif terhadap kesejahteraan nelayan dan pembudi daya ikan nasional.

Penulis adalah Kepala Riset Pusat Kajian Sumber Daya Kelautan dan Peradaban Maritim.

Sumber : http://www.sinarharapan.co.id/cetak-sinar/berita/read/kenaikan-harga-ikan-dan-kesejahteraan-nelayan/

01 Februari 2010

Ambisi Jadi Terbesar di Dunia

Ambisi Jadi Terbesar di Dunia

Kamis, 28 Januari 2010
Sektor Perikanan I Infrastruktur Pendukung Pengembangan Belum Memadai

Pemerintah akan meningkatkan inovasi teknologi sektor perikanan, khususnya teknologi pengadaan bibit unggul dan teknik budi daya, guna mengejar target pertumbuhan produksi. Tidak ada menteri yang se ambisius Fadel Muhammad.

Kader Golkar dan pengusaha yang ditunjuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai menteri kelautan dan perikanan itu mematok target yang luar biasa untuk sektor perikanan budi daya.

Ia bertekad memacu produksi perikanan budi daya hingga 2014 sebesar 16,89 juta ton atau mening kat 353 persen dibandingkan dengan produksi 2009 yang ba ru sebesar 4,78 juta ton.

Bila angka itu tercapai, Indonesia akan menjadi penghasil produk per ikanan terbesar di dunia. ”Untuk itu, harus ada akselerasi guna menyamakan persepsi antarpelaku dan regulator terhadap kebijakan di sektor perikanan dalam lima tahun ke depan. Stra tegi yang digunakan harus fokus,” tuturnya di Batam, Senin (25/1) malam.

Menurut Fadel, pemerintah akan meningkatkan inovasi teknologi sektor perikanan, khususnya teknologi pengadaan bibit atau benih unggul dan teknik budi daya, guna mengejar target pertumbuhan produksi perikanan.

Misalnya, teknologi pengadaan bibit atau benih udang, ikan patin, ikan mas dan lainnya serta teknologi budi daya seperti budi daya rumput laut yang lebih efisien.

Selain itu, teknologi pengemasan atau pendinginan perlu ditingkatkan untuk mempertahankan kualitas. ”Pusat penelitian perikanan agar lebih diberdayakan, dan pemerintah juga akan meningkatkan anggaran untuk pe neltian tersebut,” katanya.

Fadel menegaskan produksi perikanan nasional saat ini masih sangat rendah, bahkan lebih ren dah dari negara yang potensi lautnya minim seperti Thailand dan China.

Itu terlihat dari jumlah pro duksi perikanan nasional pada 2009 yang hanya 4,78 juta ton, se dangkan China mencapai 40 juta ton. Mungkinkah? Mari kita lihat.

Dengan target kenaikan perikanan budi daya sekitar 353 persen, dalam lima tahun akan ada kenaikan sebesar 50,4 per sen setiap tahunnya.

Bila saat ini ada 762.320 hektare lahan budi daya, harus tersedia paling tidak 1,9 juta hektare pada akhir 2014. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menilai target Kemente rian Kelautan dan Perikanan (KKP) terlalu konseptual.

Realisasi target itu dikhawatirkan menemui kendala seperti minimnya infrastruktur dan anggaran. “Infrastruktur pendukung pengembangan perikanan belum memadai.

Dana juga terbatas. Tahun 2010, KKP hanya menda patkan alokasi APBN sebesar 3 triliun. Untuk budi daya baru ter sedia 400 miliar rupiah,” kata Anggota Komisi IV DPR Herman Khaeron.

Ia memprediksi target peningkatan produksi perikanan sebesar 12 persen pada tahun ini bisa tercapai. Namun, target pertum- buhan 353 persen pada 2012 akan sulit tercapai.

Padahal, belum banyak pembudi daya perikanan memiliki akses terhadap sumber pendanaan, termasuk Kredit Usaha Rakyat (KUR). Penyerapan KUR untuk sektor perikanan di bawah 5 persen dari target 4 triliun rupiah.

”Ini akibat mekanismenya yang rumit,” tutur Sekjen KKP Syamsul Maarif. Di sisi lain, seperti seperti disampaikan Dirjen Perikanan Budidaya Made L Nurdjana, kebutuhan investasi perikanan budi daya hingga 2014 mencapai 16 triliun rupiah.

“Kalau ada uang, tar get bisa direalisasikan, dan itu bergantung dukungan perbankan dan investasi masyarakat,” katanya. Fadel mengaku sudah menemukan solusi bagi KUR ini.

Pemerintah, katanya, akan memperbesar plafon kredit bagi nelayan dari hanya 5 juta rupiah men jadi 5 juta sampai 500 juta de ngan 70 persen pinjaman akan dijamin oleh pemerintah dan 30 persen oleh nelayan. Karakter masyarakat pun bakal turut menentukan keberhasilan program itu.

Seorang pejabat di KKP menuturkan masyarakat Indonesia pascareformasi sangat susah diatur. ”Ini berbeda dengan Vietnam.

Masyarakat di sana sangat menurut pada penyuluh dan pemerintah sehingga program pembangunan bisa cepat terealisasikan,” katanya. Harga Pakan Hambatan lain yang bakal meng adang pencapaian produksi perikanan adalah harga pakan.

Pengamat perikanan Suhana menyebut KKP harus mempriori taskan penurunan harga pakan ikan karena merupakan penyumbang 80 persen terhadap ongkos produksi.

Harga pakan pelet mencapai 250 ribu per sak, padahal harga maksimal yang dinilai masuk akal oleh pembudi daya sebesar 150 ribu–200 ribu per sak.

Industri pakan ikan dan udang pun bakal lesu akibat pemberla kuan pajak pertambahan nilai (PPN) atas bahan baku pa kan. “Bahan baku pakan berupa bungkil dan kedelai serta tepung ikan masih impor.

Kebutuhan impor yang tinggi menyebabkan harga pakan tidak kompetitif,” kata Ketua Divisi Pakan Ikan dan Udang Akuakultur Asosiasi Produsen Pakan Ikan Denny D Indradjaja. Impor tepung ikan mencapai 60 ribu ton per tahun atau separo kebutuhan dalam negeri.

Akibatnya, ia mencontohkan, dibandingkan produk Vietnam, harga pakan lebih mahal hingga 500 rupiah per kilogram. Produksi pakan ikan dikuasai China disusul Thailand.
gus/aan/E-8

Sumber : http://koran-jakarta.com/berita-detail.php?id=43705

Saatnya Mewujudkan Negara Kepulauan Indonesia

"UUD 1945 Pasal 25E telah mengamantkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang"
”Untuk membangun Indonesia menjadi negara besar, negara kuat, negara makmur, negara damai yang merupakan National Building bagi negara Indonesia, maka negara dapat menjadi kuat jika dapat menguasai lautan. Untuk menguasai lautan, kita harus menguasai armada yang seimbang.” (Pidato Bung Karno yang disampaikan dalam National Maritime Convention I tahun 1963)