30 Desember 2009

Kenangan Bersama GUSDUR

Inalillahi Wainaillahi Rojiun. Satu lagi tokoh kelautan nasional telah meninggalkan kita. Saya dan keluarga besar Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim mengucapkan turut berduka Cita Atas meninggalnya Tokoh Kelautan Nasional GUS DUR pada Hari Rabu, 30 Desember 2009 pukul 18.45. Semoga Almarhum mendapatkan tempat yang layak di sisi Allah SWT. Dan kita sebagai generasi muda kelautan harus dapat meneruskan perjuangan pembangunan kelautan nasional untuk kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan. Gus DUR adalah Presiden RI yang telah berjasa besar pada pembangunan kelautan nasional.

Wassalam

Suhana

21 Desember 2009

Penghapusan Retribusi Ditargetkan Tuntas Tahun 2010

Penghapusan Retribusi Ditargetkan Tuntas Tahun 2010

Senin, 21 Desember 2009 | 03:47 WIB

Jakarta, Kompas - Penghapusan retribusi perikanan untuk nelayan kecil di semua kabupaten/kota ditargetkan tuntas tahun 2010. Meski demikian, hingga kini belum ada kejelasan alokasi dana insentif pengganti kepada daerah yang menghapus retribusi.

Sekretaris Jenderal Departemen Kelautan dan Perikanan Syamsul Ma’arif di Jakarta, Minggu (20/12), mengemukakan, penghapusan retribusi untuk nelayan kecil ditargetkan tuntas tahun 2010. Daerah yang menghapus retribusi nelayan akan mendapat kompensasi berupa penambahan dana alokasi khusus (DAK) ke daerah yang senilai dengan retribusi nelayan yang dihapus.

Tahun 2010 DAK untuk kabupaten/kota yang mengembangkan sektor perikanan ditetapkan sebesar Rp 1,8 triliun. Pihaknya sedang mengusulkan kepada Departemen Keuangan mengenai tambahan alokasi DAK akibat penghapusan retribusi nelayan.

”Kami masih merumuskan formula dan hitung-hitungan penambahan DAK sebagai pengganti retribusi,” ujar Syamsul.

Retribusi nelayan selama ini diatur dalam peraturan daerah (perda) dan menjadi salah satu sumber pendapatan asli daerah. Beberapa bentuk retribusi nelayan antara lain retribusi pengangkatan hasil tangkapan ke daratan dan retribusi pelelangan ikan.

Sulit diterapkan

Kepala Divisi Riset Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim Suhana mengingatkan, implementasi penghapusan perda tentang retribusi nelayan tidak mudah dilaksanakan. Ini karena pencabutan perda membutuhkan sosialisasi kepada pejabat daerah, aparat birokrasi, dan masyarakat.

”Pencabutan perda tentang retribusi nelayan membutuhkan persetujuan DPRD di setiap daerah. Ini memakan waktu cukup lama,” kata Suhana.

Ia meminta pemerintah menghindari target yang tidak realistis karena dikhawatirkan berakhir menjadi wacana yang mengecewakan publik. Dibutuhkan langkah konkret berupa kejelasan instrumen hukum dan mekanisme kompensasi atas penghapusan retribusi nelayan.

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kalimantan Barat Gatot Rudiyono mengemukakan, pungutan retribusi perikanan di kabupaten/kota di Kalimantan Barat terhitung cukup besar, yakni mencapai Rp 500 juta per bulan. Namun, sejauh ada imbal balik yang sepadan, penghapusan retribusi tidak akan membawa persoalan besar.

”Diperlukan sosialisasi ke tingkat daerah serta penjelasan rinci kepada pemerintah daerah dan legislatif agar program penghapusan retribusi betul membawa manfaat bagi nelayan,” ujar Gatot.

Dana retribusi nelayan di tempat pelelangan ikan antara lain dikembalikan kepada nelayan sebagai jaring pengaman sosial. Bantuan itu di antaranya dana paceklik berupa beras atau uang.(LKT)

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/12/21/03475566/penghapusan.retribusi.ditargetkan.tuntas.tahun.2010

01 Desember 2009

DAFTAR RUU PROGRAM LEGISLASI NASIONAL TAHUN 2010-2014 BIDANG KELAUTAN DAN PERIKANAN

DAFTAR RUU PROGRAM LEGISLASI NASIONAL TAHUN 2010-2014
DAN RUU PRIORITAS TAHUN 2010 BIDANG KELAUTAN DAN PERIKANAN

Berdasarkan Keputusan Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI) pada tanggal 1 Desember 2009, RUU Program Legislasi Nasional Tahun 2010-2014 Dan Ruu Prioritas Tahun 2010 Bidang Kelautan Dan Perikanan adalah :

NO JUDUL RUU
1 RUU Tentang Kelautan
2 RUU Tentang Daerah Perbatasan
3 RUU Tentang Ketenagakerjaan Sektor Pertanian, Perkebunan Dan Kelautan
4 RUU Tentang Pengakuan Dan Perlindungan Masyarakat Adat
5 RUU Tentang Pengelolaan Dan Pembiayaan Sektor Pertanian Dan Perikanan
6 RUU Tentang Perlakuan Khusus Provinsi Kepulauan
7 RUU Tentang Perlindungan Dan Pemberdayaan Nelayan
8 RUU Tentang Perubahan Atas UU No 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil
9 RUU Tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan
10 RUU Tentang Pemanfaatan Perairan Indonesia Dan Zona Tambahan Serta Penegakan Hukum Di Perairan Indonesia Zona Tambahan

PRIORITAS 2010
1 RUU Tentang Kelautan

15 November 2009

Pemerintah Perlu Cek Ulang Kebutuhan Cakalang DN

Pemerintah Perlu Cek Ulang Kebutuhan Cakalang DN
Antara
Antara - Sabtu, 14 November

[Pemerintah Perlu Cek Ulang Kebutuhan Cakalang DN] Pemerintah Perlu Cek Ulang Kebutuhan Cakalang DN

Jakarta (ANTARA) - Pemerintah diminta mengecek ulang kebutuhan ikan cakalang di dalam negeri (DN) sebelum membuka kran ekspor dalam bentuh utuh.

Pengamat Kelautan dan Perikanan dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Arif Satria, di Jakarta, mengatakan keputusan membuka kran ekspor cakalang disaat stok berlimpah memang keputusan yang pas.

Namun perlu diteliti lebih lanjut apakah benar di dalam negeri cakalang tidak terserap. Karena bisa jadi masalahnya ada di distribusi sehingga pasokan ke berbagai daerah tidak merata.

"Jangan-jangan yang berlimpah di Sulawesi saja, apa benar di daerah lain tidak butuh. Di Surabaya misalnya," kata Arif.

Di sisi lain, memang pemerintah perlu juga memperhatikan masalah kelebihan stok sehingga tidak merusak harga di dalam negeri, ujar dia.

Pemerintah, dalam hal ini Departemen Kelautan dan Perikanan, menurut Arif, telah diingatkan agar lebih berhati-hati dalam pembentukan Peraturan Menteri (Permen) Kelautan Perikanan Nomor 5 Tahun 2008 tentang Usaha Perikanan.

Pemerintah, lanjut dia, kurang mencermati fenomena-fenomena musim ikan di tanah air, sehingga kebijakan yang terbentuk lupa memperhitungkan kepentingan nelayan.

Produsen pengolahan memang mengambil peran dalam pembentukan Permen ini. Produk perikanan memang membutuh nilai tambah, tapi jangan sampai produsen pengolahan menjadi pengontrol harga, akibatnya harga jual bisa tertekan.

"Kalau di Thailand harga bisa tinggi kenapa di Indonesia tidak. Perlu ada titik temu antara industri pengolahan, produsen primer, dan produsen sekunder, hasilnya menjadi dasar kebijakan pemerintah," lanjut Arif.

Ide DKP untuk membuka keran ekspor ikan utuh ketika stok ikan berlimpah dan menutup keran ekspor saat jumlah ikan menipis di 2010, menurut dia, sangat baik. Hal tersebut dapat mengontrol harga di tingkat nelayan agar tidak jatuh.

Namun jika kebijakan itu dijalankan maka Permen Kelautan Perikanan Nomor 5 Tahun 2008, yang mengharuskan hasil perikanan diolah di dalam negeri harus segera direvisi.

Sementara itu, Kepala Riset Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim, Suhana menekankan perlunya pertimbangan kembali soal pembukaan keran ekspor cakalang utuh.

Ia justru mengkhawatirkan pembukaan izin ekspor cakalang menjadi legalisasi ekspor ikan dalam bentuk utuh yang diduga selama ini ada yang tidak terlaporkan (unreported).

Kondisi tersebut, menurut Suhana, ditakutkan hanya untuk memudahkan ikan memperoleh "catch sertificate" untuk ekspor ke Uni Eropa (UE) yang akan diterapkan awal Januari 2010.

"Padahal `catch sertificate` ini kan untuk memerangi pencurian ikan, penangkapan ikan tak sesuai peraturan, dan penangkapan tak terlaporkan (Illegal, unregulated, unreported fishing/IUU Fishing)," ujar Suhana.

DKP, menurut Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (P2HP), Martani Huseini, telah membuka keran ekspor khusus cakalang dalam bentuk utuh sejak 11 November lalu. Keputusan tersebut diambil setelah diketahui stok cakalang berlimpah, sehingga harga sempat jatuh berada dikisaran Rp4.000 hingga Rp5.000 per kilogram (kg).

Solusi lain yang diambil, menurut Martani, akan menambah "cool storage" untuk menampung ikan-ikan tertentu yang sering kali berlimpah di musim-musim tertentu.

Sumber : http://id.news.yahoo.com/antr/20091113/tpl-pemerintah-perlu-cek-ulang-kebutuhan-cc08abe_1.html

19 Oktober 2009

7 Daerah Berjuang Menjadi Provinsi Kepulauan

7 Daerah Berjuang Menjadi Provinsi Kepulauan
Kompas/Priyambodo
Ilustrasi Pulau

Senin, 19 Oktober 2009 | 13:28 WIB

KUPANG, KOMPAS.com - Kepala Biro Tata Pemerintahan Setda NTT Ricard Djami mengatakan, NTT cukup antusias menyambut gagasan terbentuknya Provinsi Kepulauan, karena wilayah perairannya lebih luas dari wilayah daratan yang berimplikasi pada tolok ukur pemberian Dana Alokasi Khusus (DAK).

Tujuh provinsi di Indonesia, yakni Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Bali, Maluku Tenggara, Maluku, Bangka Belitung dan Riau, terus memperjuangkan status Provinsi Kepulauan kepada pemerintah pusat guna mendapat legitimasi hukum.

Demikian hal yang mengemuka dalam rapat pemantapan persiapan pelaksanaan pertemuan Badan Provinsi Kepulauan di Kupang, Senin yang dipimpin Kepala Biro Tata Pemerintahan Setda NTT, Ricard Djami dihadiri Kadis Kebudayaan dan Pariwisata NTT Ans Takalapeta, Kadis Perhubungan NTT Gulam Husein dan Kadis Perikanan dan Kelautan NTT Ny Anna Adam.

"Jika selama ini alokasi DAK dengan hanya mengacu pada provinsi satu daratan, mungkin dengan status provinsi kepulauan, alokasi dananya diatur khusus dalam DAK Kepulauan," ujarnya.

Mandat otoritas Badan Provinsi Kepulauan saat ini masih dipegang Gubernur Maluku Tenggara yang bertindak sebagai tuan rumah dalam pertemuan serupa di Ternate pada Februari 2009.

Gubernur NTT Frans Lebu Raya telah menyatakan kesediaannya menjadi tuan rumah pertemuan Badan Provinsi Kepulauan yang akan dilangsungkan di Hotel Kristal Kupang pada 29-31 Oktober mendatang dan dihadiri oleh tujuh gubernur dan para asisten tata pemerintahan di masing-masing provinsi.

Sumber : http://regional.kompas.com/read/xml/2009/10/19/13280868/7.daerah.berjuang.menjadi.provinsi.kepulauan

14 Oktober 2009

Telephone interview with Elinor Ostrom

Interview
"That's what I've been working on for all my life! Humans have great capabilities and somehow we've had some sense that the officials had genetic capabilities that the rest of us didn't have."

Telephone interview with Elinor Ostrom recorded immediately following the announcement of The 2009 Sveriges Riksbank Prize in Economic Sciences in Memory of Alfred Nobel, 12 October 2009. The interviewer is Adam Smith, Editor-in-Chief of Nobelprize.org.

[Elinor Ostrom] Hello

[Adam Smith] Oh, good morning. May I speak to Elinor Ostrom please?

[EO] Yes.

[AS] Hello, my name is Adam Smith. I'm calling from the Nobel Foundation's official website, in Stockholm.

[EO] Yes. Adam Smith, what a name! I'm sorry, you're kidded a lot, I'm sure.

[AS] Exactly, and I think sometimes the new Economics Laureates think I'm a hoax caller when I do this. We have a tradition of recording very short telephone interviews for the Nobel Foundation website, with the new Laureates, so would you mind speaking for a few minutes?

[EO] Ah, yes, fine.

[AS] Thank you very much indeed. Of course, congratulations on the award.

[EO] Well, it's an unbelievable honor, yes.

[AS] You, as I know has just been pointed out on the Press Conference, are the first woman in the forty year history of the Sveriges Riksbank Prize in Economic Sciences to be awarded. Does that make it a greater honor?

[EO] Yes. Having lived through an era, where I was thinking of going to graduate school and was strongly discouraged because I would never be able to do anything but teach in a city college ... Ah ha ha, life has changed!

[AS] Do you think that the ratio of Laureates in Economic Sciences – the gender ratio – is it in any way representative of the ratio of people working in the subject now or has it really changed?

[EO] It's slowly changed. I've attended economic sessions where I've been the only woman in the room, but that is slowly changing and I think there's a greater respect now that women can make a major contribution. And I would hope that the recognition here is helping that along.

[AS] I imagine it sends a strong signal, yes. Now, you work on the management of common property by common ownership contrasting it with the effects ...

[EO] Among other things, yes.

[AS] Would it be true to say that, broadly, you've found that common ownership can be more effective than people thought it might be?

[EO] Yes! It's not a panacea but much more effective than our common understanding.

[AS] And, is there one example you'd like to give of where this is so?

[EO] Well, let me use the example of lobster fisherman in the state of Maine. In the 1920s, they almost destroyed the lobster fishery. They regrouped and thought hard about what to do and over time developed a series of ingenious rules and ways of monitoring that have meant that the lobster fishery in Maine is among the most successful in the world. The big threat that comes now is that the other fisheries around it have so over-fished fish, that the lobster is a little bit of an extreme example of ... If there were an illness or something that came, a bug, that infected them, they would be very exposed. But they have been incredibly effective through the years. There are many other small to medium sized groups that have taken on the responsibility for organizing resource governance. We've studied several hundred irrigation systems in Nepal. And, farmer-managed irrigation systems are more effective in terms of getting water to the tail end, higher productivity, lower cost, than the fancy irrigation systems built with the help of Asian Development Bank, World Bank, USAID, etc. So, what we have is many local groups are very effective, but that it's not universal. So we can't just now be naïve and think, 'Oh, well, just leave it to the people, they will always organize.' There are many settings that discourage self-organization

[AS] Right.

[EO] And, thus, we must understand both the conditions - that they can, but the conditions under which they will.

[AS] Well, I was going to ask you whether your research has also shed light on the conditions that lead to good self-organization. Are there particular features that have to be in place, for instance enough time for participants to work out what their set of regulations should be?

[EO] Yeah, and I have an article in Science in July of this past year which lays out a broad diagnostic framework and identifies a number of variables that are associated with self-organization.

[AS] Would you say broadly though that self-organization should be used and trusted more than it is now? That society should move towards trying to implement self-organizing structures?

[EO] Yes, but not with a formula. So there are many, many efforts now to decentralize and they create a rigid formula and give people rules from on top and say, 'Now it's yours.' And that isn't worked very well either.

[AS] So, again, there's a great deal of subtlety to it ...

[EO] It's this ... yes. And, you think about the variety. If you look at a countryside, think of the variety out there in terms of the ecological variety. Well, if people are going to manage ecological variety, no single set of rules will work in a semi-arid versus a tropical-wet region. They have to be different.

[AS] Indeed. Another thing you've done is to conduct lab experiments ...

[EO] Oh, yeah!

[AS] Which I believe have shown that people appear to be more willing to enforce mutually agreed rules than had been expected, again.

[EO] Yes, we're showing that. But we're also showing a very important role for face-to-face or even written communication. So, the prediction was that nobody would self-monitor because that's a second level social dilemma, if you go to Game Theory. But, what we've found is that people will, but it can be ... people can escalate into, 'I'll punish you, you punish him, mamamamamma,' and it gets worse and worse. So, with communication, where there's an agreement on what is going to be the ... what we are going to do. The 'we' then being well-defined, then people can follow rules, be cooperative and, occasionally, sanction one another to help that continue.

[AS] You mentioned Game Theory, there. How much of this is actually an extension of Game Theory and what we're looking are repeated games in developing these structures?

[EO] The ... Game Theory has been very, very important in our work in that we've been able to take game-theoretic models and put them in the lab and test them. And thus my early exposure in the 1980s to the work of Reinhardt Selten, who is himself a Nobel Laureate, was a very, very important step in my training. We still ... Classical Game Theory is very predictive in some environments but not fully predictive, by any manner/means, in an environment which is a social dilemma. But very helpful for us in analyzing and as we develop a behavioral theory of humans and of other formal mechanisms we can explain why people do cooperate in some settings and not others.

[AS] Right, yes. I'd like to finish just by asking whether you consider that your work is economics or political science or social science, or maybe it doesn't matter what it is, what it's branded?

[EO] I consider it to be political economy or the study of social dilemmas. I was trained heavily in economics as an undergraduate. I studied with Armen Alchian and others, and then worked with Reinhardt Selten in the 80s. I work with two colleagues, economists, here in Bloomington that have been very, very important in my work. My husband worked with Charlie Tiebout and they developed a theory of metropolitan organization that was an economic/political science overview, so the ... I've crossed disciplines, there's just no question about it!

[AS] I suppose this award has the potential to catch the public imagination, because the citation brands it as economic governance and you're talking about people getting involved in their own governance.

[EO] Yes!

[AS] It's likely to be ... it's likely to spark people's imaginations and they're going to ...

[EO] I hope! Ha ha! That's what I've been working on for all my life! Humans have great capabilities and somehow we've had some sense that the officials had genetic capabilities that the rest of us didn't have.

[AS] Uh hum.

[EO] I hope we can change that.

[AS] Excellent. Well that's a lovely note to stop on, thank you. When you come to Stockholm in December to receive your Prize we have a change to speak at greater length, so ...

[EO] Wonderful, I'll look forward to that.

[AS] I look forward to it too. I hope you have a splendid rest of day and once again congratulations.

[EO] Thank you very, very much.

[AS] Thank you, bye, bye.

Sumber : http://nobelprize.org/nobel_prizes/economics/laureates/2009/ostrom-telephone.html

Organisasi Sosial dan Nobel Ekonomi

Organisasi Sosial dan Nobel Ekonomi

Selasa, 13 Oktober 2009 | 03:51 WIB

Ada kejutan menyenangkan dalam pengumuman Nobel Ekonomi 2009, Senin (12/10). Untuk pertama kalinya sejak 1968, seorang ekonom wanita memenangi penghargaan paling bergengsi di bidang ekonomi yang selama ini dikuasai oleh kaum pria tersebut. Bersama Oliver Williamson (77), profesor dari University of California, Berkeley; Elinor Ostrom (76) dari Indiana University diumumkan sebagai pemenang Nobel Ekonomi 2009.

Kemenangan kedua ekonom ini sangat di luar dugaan karena keduanya nyaris tidak masuk bursa kandidat yang diunggulkan untuk menerima penghargaan tersebut. Keduanya berbagi Nobel Ekonomi lewat hasil kajian terpisah tentang tata kelola ekonomi (economic governance). Suatu isu sentral di tengah krisis global, di mana perekonomian dunia diporakporandakan oleh perilaku dan kerakusan segelintir eksekutif yang mengendalikan institusi raksasa finansial global.

Bidang kajian Ostrom dan Williamson adalah bidang yang hampir tak tersentuh oleh krisis finansial dan kurang mendapat perhatian kaum ekonom mainstream selama ini. Lewat penelitiannya, kedua ekonom itu menghadirkan konsep alternatif tata kelola ekonomi di luar format yang ada selama ini, yang sepenuhnya menyerahkan semua pada pasar, yakni dalam bentuk organisasi sosial.

Ostrom menunjukkan bagaimana sumber daya bersama bisa dikelola dengan baik oleh sekelompok orang yang menggunakan sumber daya tersebut, tanpa campur tangan pihak luar.

Lewat sejumlah penelitian terhadap kesuksesan dan kegagalan pengelolaan sumber daya alam, seperti kehutanan, perikanan, lapangan minyak, padang rumput, dan sistem irigasi oleh sekelompok individu, ia membuktikan bahwa di tangan organisasi sosial sumber daya berhasil dikelola lebih baik daripada yang diperkirakan oleh berbagai teori standar selama ini.

Kajian Ostrom ini melawan pemahaman konvensional (tragedy of the commons theory) yang menganggap suatu sumber daya bersama hanya akan terkelola dengan baik jika diregulasi dengan ketat oleh negara lewat pajak dan pungutan, atau diserahkan pengelolaannya kepada swasta melalui privatisasi.

Teori tradisional ini menganggap hancurnya prasarana umum (public goods) atau lingkungan adalah diakibatkan individu hanya memikirkan keuntungan dan kerugian pribadi, tanpa memedulikan dampak negatif perilaku mereka terhadap orang lain.

Royal Swedish Academy of Sciences memuji Ostrom yang mendedikasikan puluhan tahun kariernya di Indiana University untuk mempelajari interaksi antarmanusia dan sumber daya alam, atas temuan inovatifnya ini.

Resolusi konflik

Williamson yang sebelumnya pernah menjadi konsultan Komisi Perdagangan Federal AS (1978-1980) mengembangkan teori mengenai tata kelola ekonomi dalam organisasi perusahaan serta peran penting organisasi bisnis (perusahaan) dalam resolusi konflik, sesuatu yang tidak bisa ditawarkan oleh pasar.

Organisasi hierarkial seperti perusahaan, menurut dia, merepresentasikan struktur tata kelola dan pendekatan yang berbeda dalam hal mekanisme penyelesaian konflik kepentingan. Berbeda dengan pasar yang diwarnai karakteristik konflik dan negosiasi, organisasi perusahaan bisa berperan lebih baik dalam meredam konflik jika kompetisi dibatasi.

Kajian Williamson ini memberikan sumbangan besar terhadap pemahaman tentang mengapa organisasi perusahaan bisa eksis, dan jawaban terhadap pertanyaan ini adalah karena organisasi perusahaan menawarkan mekanisme resolusi konflik yang efisien lewat struktur hierarki yang dimilikinya.

Teorinya juga menjelaskan pergeseran batas-batas yang dimiliki perusahaan, seperti mengapa outsourcing kini menjadi tren yang populer, kenapa perusahaan sering menyalahgunakan wewenangnya, dan kenapa perusahaan besar berkutat dalam sejumlah industri, sementara di sejumlah sektor lain tidak seperti itu.

Kajian kedua ekonom mengenai bagaimana suatu keputusan yang dibuat di luar pasar bisa jauh lebih efektif ini menjadi angin segar di tengah rezim ekonomi global yang selalu mengagungkan pasar sebagai solusi terhadap semua persoalan yang dihadapi masyarakat dan ekonomi global selama ini.

Temuan kedua ekonom ini menjadi semacam oase di tengah kesuntukan kegagalan pasar karena mengangkat pentingnya dikembalikannya otoritas individu (baik melalui organisasi sosial kemasyarakatan maupun organisasi perusahaan) dalam pengelolaan ekonomi atau sumber daya.

Kunci keberhasilan sistem ini, menurut Ostrom, adalah partisipasi aktif individu dalam pengambilan keputusan dan penegakan aturan. Cara ini terbukti jauh lebih berhasil ketimbang jika aturan diterapkan oleh pihak di luar organisasi. Salah satu dari temuan mengagumkan Ostrom adalah masyarakat dengan sukarela ikut memantau dan memberi sanksi kepada mereka yang melanggar, tanpa menuntut imbalan apa pun untuk tindakan tersebut.

Kemenangan dua ekonom ini boleh dikatakan juga kemenangan bagi komite Nobel Ekonomi. Runtuhnya ekonomi global akibat krisis juga menjadi pukulan besar bagi kredibilitas Nobel Ekonomi karena masyarakat melihat teori-teori yang dikembangkan oleh para ekonom dan membuat mereka menyabet Nobel Ekonomi selama ini terbukti tidak bekerja atau tidak berfungsi dan justru menuntun kepada kehancuran ekonomi global.

Dunia tidak akan melupakan bagaimana tidak sampai setahun berselang setelah duo Robert Merton-Myron Scholes (Option Pricing Theory) menyabet Nobel Ekonomi 1997, lembaga hedge funds raksasa yang mereka kelola (Long Term Capital) ambruk dan nyaris menyeret seluruh sektor finansial AS sehingga terpaksa ditalangi oleh Federal Reserve.

Kepada sebuah televisi Swedia, Ostrom sendiri mengaku kaget mengetahui dirinya menang. ”Banyak orang yang berjuang gigih (untuk mendapatkan penghargaan ini) dan merupakan kehormatan besar untuk terpilih,” ujarnya. Williamson, yang berbagi hadiah senilai 10 juta kronor Swedia (1,44 juta dollar AS) dengan Ostrom, dikutip kantor berita TT juga menyatakan tak percaya, ia menang. Ia hanya berharap, dengan kemenangan ini, isu organisasi akan mendapat tempat lebih besar dalam kajian mengenai aktivitas ekonomi ke depan.(tat)

BIODATA

• Nama: Elinor Ostrom •Lahir: Los Angeles, California, AS, 1933 •Pendidikan: Gelar PhD di Ilmu Politik dari University of California, Los Angeles, tahun 1965; Arthur F Bentley Professor di bidang Ilmu Politik dan Professor School of Public and Environmental Affairs dari Indiana University, Bloomington



• Nama: Oliver Williamson •Lahir: Superior, Wisconsin, AS, 1932 •Pendidikan: Gelar BSc di bidang manajemen dari MIT Sloan School of Management tahun 1955 dan PhD di bidang Ilmu Ekonomi tahun 1963 dari Carnegie Mellon University, Pittsburgh •Saat ini merupakan profesor emeritus di Bisnis, Ilmu Ekonomi dan Hukum Edgar F Kaiser serta Professor of the Graduate School, University of California, Berkeley

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/13/03510499/organisasi.sosial.dan.nobel.ekonomi

13 Oktober 2009

PEMBANGUNAN PERBATASAN

Presiden Perlu Bentuk Badan Pengelola

Selasa, 13 Oktober 2009 | 03:37 WIB

Pontianak, Kompas - Keberadaan badan pengelola perbatasan di tingkat pusat diperlukan untuk mempertegas arah kebijakan pembangunan dan melaksanakan program pembangunan di perbatasan. Ironinya, meski Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara sudah mengamanatkan hal itu, sampai kini badan yang posisinya di bawah presiden itu belum juga terbentuk

”Apabila badan pengelola perbatasan dapat terbentuk bersamaan dengan pembentukan kabinet (tahun ini), pembangunan wilayah perbatasan diharapkan bisa lebih sinergi dan komprehensif,” kata Nyoman Sudana, pemerhati masalah perbatasan, Senin (12/10).

Pasal 24 UU No 43/2008 mengharuskan pemerintah membentuk badan pengelola perbatasan, baik di tingkat pusat maupun di daerah, paling lambat 6 bulan setelah ketentuan itu diundangkan. UU wilayah negara diundangkan pada 14 November 2008. Jika merujuk pada Pasal 24 itu, pembentukan badan pengelola perbatasan seharusnya terealisasi pertengahan Juni.

Menurut anggota Dewan Perwakilan Daerah, Daerah Pemilihan Kalimantan Barat (Kalbar), Erma Ranik Suryani, dengan tidak membentuk badan pengelola perbatasan sesuai dengan batas waktu yang diamanatkan undang-undang, presiden bisa dikatakan mengabaikan ketentuan hukum. ”Ini cukup ironi mengingat di daerah seperti Kalbar justru sudah memiliki badan perbatasan,” ujarnya.

”Komitmen presiden terhadap perbatasan patut dipertanyakan. Jika selama ini presiden menyatakan wilayah perbatasan sebagai beranda depan, seharusnya ditindaklanjuti dengan political will membentuk badan pengelola perbatasan,” kata Erma.

Fokus

Pembentukan badan tersebut, menurut Nyoman, akan membuat pembangunan di perbatasan menjadi lebih fokus tidak bersifat parsial seperti yang terjadi selama ini. Sejak perbatasan dijadikan wilayah strategis nasional dan hal itu selalu disinggung di dalam pidato kenegaraan presiden, hampir semua departemen dan instansi terkait membuat program dan mengalokasikan anggaran yang tidak sedikit untuk membangun perbatasan.

”Sayangnya, banyak program yang masuk ke sana tidak terpadu sehingga tidak banyak mendorong kemajuan di perbatasan,” kata Nyoman.

Ia mencontohkan adanya alokasi anggaran untuk membangun gerbang perbatasan di Kabupaten Bengkayang (Kalbar). Padahal, belum ada kesepakatan Indonesia-Malaysia soal titik temu akses yang akan dijadikan pos pemeriksaan lintas batas.

Contoh lain, pembangunan pasar dan rumah susun sewa sederhana di perbatasan Entikong, Kabupaten Sanggau, Kalbar, yang tidak didukung fasilitas listrik. ”Program yang menelan biaya miliaran rupiah itu sampai sekarang belum bisa dimanfaatkan secara optimal oleh masyarakat,” kata Nyoman.

Dengan adanya badan pengelola perbatasan, ujar Nyoman, penanganan persoalan yang berkaitan dengan batas wilayah negara juga akan lebih jelas. ”Artinya, ada kejelasan soal siapa yang bertanggung jawab menanganinya,” katanya seraya mengatakan, jika pengelola perbatasan sudah terbentuk, kasus klaim wilayah ataupun lepasnya wilayah negara bisa diminimalisasi.(WHY)

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/13/03370744/presiden.perlu.bentuk.badan.pengelola

12 Oktober 2009

Potensi Selat Malaka

Pulau Nipah Strategis untuk Jasa Pelayaran

Senin, 12 Oktober 2009 | 03:40 WIB

Batam, Kompas - Potensi ekonomi dari kegiatan pelayaran kapal-kapal asing di jalur Selat Malaka, Selat Philip, dan Selat Singapura belum tergarap secara maksimal. Jasa pemandu kapal-kapal asing di jalur ketiga selat itu selama ini lebih banyak dilakukan perusahaan asing.

Pihak PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo)I segera memanfaatkan potensi ekonomi di ketiga selat itu dengan usaha jasa pemandu kapal-kapal asing. Dengan demikian, Indonesia dapat memanfaatkan potensi ekonomi di Selat Malaka dan Selat Singapura.

Hal itu dikemukakan Direktur Utama PT Pelindo I Harry Sutanto di Batam, Provinsi Kepulauan Riau, Sabtu (10/10). ”Ada sekitar 200 kapal per hari yang lalu- lalang di Selat Malaka, termasuk Selat Singapura. Namun, jasa pemandu kapal selama ini lebih banyak dilakukan oleh perusahaan asing,” kata Harry.

Dari 200 kapal itu, lanjut Harry, sekitar 10 persen merupakan kapal tanker minyak berukuran besar. Kapal-kapal tanker yang melewati Selat Malaka dan Singapura membutuhkan jasa pemandu untuk keselamatan pelayaran dan perlindungan aspek lingkungan.

Pelindo I, badan usaha milik negara yang bergerak di bidang usaha jasa kepelabuhanan, menurut Harry, siap memberikan pelayanan jasa pemandu kapal-kapal di Selat Malaka dan Selat Singapura.

Pelindo telah melakukan uji coba pemanduan kapal di perairan Pulau Iyu Kecil, Kabupaten Karimun. Pihak Pelindo I juga terus mengikuti pertemuan kelompok ahli teknis mengenai keselamatan navigasi di Selat Malaka dan Singapura.

Manajer Pelayanan Kapal Pelindo Cabang Tanjung Pinang Jauhari mengatakan, nilai ekonomis dari kegiatan kapal-kapal jalur pelayaran Selat Malaka dan Singapura sangat besar. Sebagai gambaran, biaya jasa pemandu sekitar 0,026 dollar AS per kapasitas ruang muatan (gross register tonnage/GRT).

Menurut Jauhari, pihak PT Pelindo I menargetkan dapat melayani 10 kapal tanker berukuran besar per hari. Dengan asumsi, biaya jasa pemandu sebesar Rp 100 juta per kapal, berarti pendapatan dari jasa pemandu kapal mencapai Rp 1 miliar per hari.

Jauhari menyatakan, jasa pemandu kapal asing bersifat sukarela. Artinya, pihak kapal asing dapat menggunakan jasa pemandu dari perusahaan yang diakui oleh suatu negara, seperti PT Pelindo.

Pulau Nipah

Harry menambahkan, potensi Pulau Nipah, Provinsi Kepulauan Riau, sangat strategis untuk usaha jasa pelayaran kapal-kapal asing yang melintas di Selat Malaka dan Selat Singapura, seperti kapal-kapal minyak dari Timur Tengah ke negara-negara di Asia Pasifik.

Menurut Harry, ada banyak jasa pelayaran dan kepelabuhanan yang dapat ditawarkan kepada kapal-kapal asing, seperti lego jangkar, pengadaan logistik, dan jasa pemandu. (FER)

sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/12/03405335/potensi.selat..malaka

23 September 2009

Jalur Nenek Moyang, Jalur Ilegal Masuk Filipina Selatan

[ Selasa, 22 September 2009 ]
Jalur Nenek Moyang, Jalur Ilegal Masuk Filipina Selatan
Nelayan Pemberani Pasang Tarif Rp 3 Juta

Sebanyak 35 nama militan Indonesia yang terdeteksi di kamp-kamp Minda­nao Selatan dan Tengah diperkirakan bertambah. Sebab, jalur masuk Indonesia-Filipina relatif "mudah" diterobos oleh pendatang ilegal.

---

JALUR masuk itu melalui pulau-pulau terluar di Sulawesi Utara (biasa disebut Kepulauan Nusantara Utara, disingkat Nusa Utara, Red), kemudian masuk ke Mindanao. Banyak jalur untuk masuk secara ilegal dari Sulawesi Utara (Sulut) ke Mindanao. Begitu pula sebaliknya.

Orang-orang di sana biasa menyebutnya sebagai "jalur nenek moyang", mengacu pada rute perjalanan yang ditempuh orang-orang Sangihe dan Mindanao Selatan zaman dulu. Sepanjang 2008, Polda Sulut memperkirakan, total pelintas batas -baik legal maupun ilegal- 30 ribu orang. Bila satu persennya saja kelompok militan, berarti sekitar 300 orang belajar militer secara ilegal setiap tahun.

Banyak rute yang menghubungkannya. Di antaranya, "jalur resmi" via Pulau Marore dan Pulau Miangas. Yang dimaksud jalur resmi adalah semacam pos imigrasi yang memberikan pass border hanya untuk warga sekitar. ''Namanya border crossing area,'' kata Kasi Umum Imigrasi Tahuna Stevie Warouw.

Artinya, pos imigrasi itu ditujukan untuk pelintas batas warga sekitar yang memang keperluannya mengharuskan mondar-mandir Filipina-Indonesia. Untuk itu, imigrasi memberikan semacam pass border kepada mereka.

Dari Pulau Marore, biasanya mereka menuju Pulau Balut atau Saranggani di Filipina sebelum sampai di Kota General Santos. Ada pos imigrasi Filipina di dua pulau itu. Total perjalanan yang dibutuhkan bila menggunakan rute via Marore-Mindanao Selatan sekitar 28 jam dari Pulau Sangihe.

Dari Miangas, biasanya mereka langsung ke Pelabuhan Davao, yang hanya berjarak empat jam perjalanan. Ada lagi jalur resmi lainnya. Yakni, ikut kapal barang dari Manado ke Davao. Biasanya, kapal tersebut berangkat sebulan sekali dengan jadwal yang tak bisa ditentukan.

Untuk jalur tak resmi, pilihannya lebih banyak lagi. Yakni, menyewa kapal pump boat dari Indonesia langsung ke Jen-San (pelafalan orang-orang sekitar sebagai akronim dari Kota General Santos). Tak semua pulau menjadi sentra ''carteran" pump boat. Pump boat adalah semacam kapal kayu bermesin dengan jukung berukuran sekitar 2 x 6 meter.

Tentu saja, pulau-pulau tersebut minim penjagaan. Berdasar penelusuran Jawa Pos, orang-orang yang bersedia menyeberangkan berasal dari Pulau Tinakareng, Pulau Kawaluso, atau Pulau Matutuang.

Namun, yang paling terkenal adalah Pulau Tinakareng. Pulau yang hanya mempunyai empat kampung (dan bila penduduk kampung A mau ke kampung B harus lewat laut) tersebut sejak dulu dikenal sebagai kampung nelayan-nelayan pemberani. Selain itu, pulau tersebut dikenal sebagai sentra penyelundupan. Hingga kini, Pulau Tinakareng masih menjadi jujukan para pencari minuman beralkohol kelas atas dari Filipina dengan harga sangat miring.

Di antara tiga pulau itu, Jawa Pos menjajaki tarif dan lamanya rute nenek moyang tersebut. Ada beberapa alternatif. Bila ingin sedikit nyaman, bisa menyewa perahu fuso, sebuah perahu barang agak besar. Namun, tarifnya sangat tinggi. Di Kawaluso saja (yang relatif lebih dekat ke Jen-San), nelayan mematok paling rendah Rp 8 juta.

Namun, bila kenyamanan agak diabaikan (karena toh tak berbeda jauh tingkat kenyamanannya), bisa menggunakan pump boat. Di Tinakareng, Jawa Pos bertemu seorang nelayan yang mau mengantarkan ke Jen-San dengan harga miring. Yakni, Rp 3 juta sebagai ongkos perjalanan plus Rp 900 ribu sebagai ongkos beli solar.

''Nanti Mas saya jemput di Petta (salah satu pelabuhan di Pulau Sangihe, Red) karena ketat di sini (Tinakareng, Red). Kalau jadi, kita berangkat siang supaya ketika masuk Fili­pina malam. Kalau masuk siang, ditangkap tentara Filipina. Ka­rena pump boat dilarang masuk kalau siang,'' ucap Raffles, nama nelayan yang bersedia mengantar tersebut.

Perjalanan ke Jen-San menempuh waktu 15 jam. Risikonya tinggi karena kapal sekecil itu harus menempuh lautan lepas Pasifik sebelum masuk Filipina. Apalagi, cuaca laut Juni-Desember tak pernah bisa diprediksi.

Sebenarnya, upaya pengetatan dan pengawasan telah dilakukan. Kebetulan yang jadi Kapolda Sulut adalah Brigjen Pol Bekto Suprapto, mantan Kadensus 88 Antiteror Mabes Polri. Karena menguasai betul, Kapolda menempatkan personel di sejumlah pulau-pulau tersebut. ''Sebisa mungkin kami meminimalkan jalur ilegal tersebut,'' tegas jenderal bintang satu itu.

Pengetatan itu terasa di Tinakareng. Ketika Jawa Pos masuk ke sana, sudah ada pos polisi dan pos militer di kampung yang hanya berpenduduk sekitar 20 KK tersebut. Selain diperiksa oleh tim dari Batalyon 712 Manado, Jawa Pos digeledah dan ditanya-tanya oleh personel Densus yang ditempatkan di sana.

Namun, tetap saja pengetatan itu belum secara maksimal mampu ''membendung" arus jalur nenek moyang tersebut. Buktinya, Jawa Pos bisa mendapatkan perahu dari Sangihe ke Jen-San, yang berarti jalur tersebut masih sangat mungkin menjadi jalur utama.

Selain itu, ada jalur dari Sandakan, Kalimantan, kemudian ke Tawi-Tawi, berlanjut ke Sulu, Basilan, dan Zamboanga. Dari sana langsung ke Cotabato City atau daerah mana pun yang menjadi areal kekuasaan MILF maupun Abu Sayyaf.

Begitu pula sebaliknya dari Filipina. Ketika Jawa Pos ke Jen-San, juga tak terlalu sulit mendapatkan perahu untuk mengantarkan balik ke Indonesia. Tarifnya pun lebih murah, yaitu 15 ribu Php (Philipines peso) atau sekitar Rp 3,5 juta. Itu sudah termasuk semua. Lebih murah lagi bila mencari pump boat dari Pulau Balut. ''Saya punya banyak teman di sa­na. Bisa dapat 13 ribu peso. Kalau serius, nanti saya hu­bungi,'' ucap Rico, nama nelayan yang juga mengaku sebagai orang Sangir (sebutan untuk Pulau Sangihe, Red) tersebut. Bahkan, dia menawarkan diri untuk mengantar hingga Dermaga Tahuna, bukan hanya Tinakareng. (ano/kum)

sumber : http://www.jawapos.co.id/halaman/index.php?act=detail&nid=91480

02 September 2009

Hak Pengusahaan Mustahil Hentikan Penjualan Pulau

Hak Pengusahaan Mustahil Hentikan Penjualan Pulau
Tuesday, 01-09-09 @ 13:43

Metrotvnews.com, Jakarta: Rencana pemberlakukan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) oleh pemerintah diragukan mampu menghentikan kasus penjualan pulau. Keraguan itu disampaikan pengamat kelautan dan perikanan Institut Pertanian Bogor Suhana di Jakarta, Selasa (1/9).

Menurut Suhana, justru penjualan pulau akan semakin marak karena status kepemilikannya menjadi milik perorangan atau perusahaan, sehingga menjadi mudah untuk diperjualbelikan. Terlebih lagi dalam Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil diperbolehkan untuk "diperjualbelikan".

Menurut Suhana, kata-kata dalam Pasal 20 ayat 1 tentang HP3 yang dapat beralih, dialihkan, dan dijadikan jaminan utang dengan dibebankan hak tanggungan adalah kata lain dari diperjualbelikan. "Kata-kata dialihkan dan dijadikan jaminan utang kan adalah nama lain dari dapat diperjualbelikan," ujar dia. Jual-beli akan marak katena pengawasan sangat lemah.

Sebelumnya, Sesditjen Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Departemen Kelautan dan Perikanan Sudirman Saad mengatakan, pihaknya bersama pemerintah daerah menargetkan 20 perda zonasi yang mendukung terlaksananya HP3 akan selesai dibentuk tahun 2010.

Sebelum pemberian HP3, menurut Dirman, akan ada pembatasan pemberian hak untuk swasta dan perorangan, kecuali untuk masyarakat adat, sehingga tidak ada yang bisa mengakumulasi hak yang telah diberikan untuk pengelolaan suatu wilayah.

"Ada batas maksimal dari luas areal pesisir yang boleh dikelola oleh swasta maupun perorangan," ujar dia. Setap peralihan hak pun, lanjut Dirman, harus ada izin peralihan dari pemerintah daerah atau menteri. Instrumen ini yg akan mengontrol agar tidak terjadi penumpukan. (Ant/DOR)

Sumber : http://www.metrotvnews.com/index.php/mobile/news_aktual/2892/cek

01 September 2009

Lapian, 80 Tahun Nakhoda Sejarah Kelautan

Kompas, Selasa, 1 September 2009 | 03:13 WIB

Mulyawan Karim

Selasa, 1 September ini, sejarawan Prof Dr Adrian Bernard Lapian genap berusia 80 tahun. Dalam usia senja, lelaki ini masih berbicara dengan jelas dan runut. Ia mampu mencari sendiri di rak bukunya beberapa pustaka dan majalah yang pernah memuat tulisan tentang dirinya. Salah satunya, Itinerario, jurnal sejarah maritim Belanda, yang lima tahun lalu memuat hasil wawancara dengannya.

Kecuali asam urat dan daya pendengaran yang dirasakannya menurun, Lapian relatif tak punya keluhan kesehatan serius. Ia biasa melakukan perjalanan sendiri ke Jakarta dari Tomohon, Sulawesi Utara. Setelah pensiun sebagai peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada 1994, ia lebih banyak tinggal di kampung halaman.

Beberapa bulan lalu ia kembali tinggal di Jakarta guna menyiapkan penerbitan buku yang akan diluncurkan dalam acara peringatan ulang tahunnya ke-80 ini. Meski, ia sudah memercayakan penyuntingan naskah itu kepada penerbit.

”Mungkin mereka (penerbit) khawatir saya tak puas, jadi minta saya mengedit sendiri,” katanya. Maklum, Komunitas Bambu, penerbitnya, dikelola beberapa mantan mahasiswa Lapian.

Acara peringatan ulang tahunnya bakal diisi peluncuran buku Orang Laut-Bajak Laut-Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX. Buku ini adalah naskah disertasinya yang pernah diterbitkan menjadi buku pada 2001. Namun, ia tak puas dengan hasilnya.

Salah satu tesis yang dikemukakan Lapian adalah tentang bajak laut. Menurut dia, definisi yang hanya melihat bajak laut sebagai kriminal perlu dikoreksi. Ia mencontohkan Sir Francis Drake, petualang Inggris yang oleh bangsa Spanyol disebut pirate, perompak/bajak laut. Namun, Pemerintah Inggris justru menganggap Drake sebagai corsair, orang yang diberi hak merompak sebagai tugas negara. Ia bahkan diberi gelar kehormatan, Sir.

Kesimpulannya, seseorang disebut bajak laut atau corsair tergantung dari pihak yang bicara. Ini sama dengan mereka yang disebut teroris dan berkonotasi negatif, tetapi oleh pihak lain malah dianggap pahlawan.

Buku lain yang juga diluncurkan dalam acara sama yang digelar di Auditorium Perpustakaan Nasional, Salemba, Jakarta, petang nanti, adalah Kembara Bahari. Antologi esai Kehormatan 80 Tahun Lapian ini didedikasikan untuk dia, dari para rekan dan mantan mahasiswanya, yang menjadi sejarawan dan budayawan Indonesia ataupun asing, seperti RZ Leirissa, guru besar sejarah UI, Pieter Drooglever, sejarawan Belanda, Ajip Rosidi, sastrawan, dan sosiolog Mely G Tan.

Peluncuran kedua buku tersebut membangkitkan gairah Lapian. ”Saya senang karena teman-teman ternyata tidak melupakan saya,” ujarnya.

Tak ada duanya

Apa pun bentuk acara peringatannya, Lapian adalah sosok peneliti dan akademisi Indonesia yang membanggakan. Keberadaannya lebih dari pantas untuk dirayakan. Ia, sejarawan yang lewat penelitian dan karya tulis, ikut mengharumkan nama bangsa di berbagai seminar dan lokakarya internasional.

Lebih spesifik lagi, Lapian adalah maestro di bidang sejarah maritim, sejarah kelautan, dan sejarah bahari. Sampai kini boleh dikata belum ada sosok yang mampu menandingi keempuannya itu, bahkan di Asia Tenggara.

Tak kurang dari begawan sejarah Indonesia, almarhum Prof Sartono Kartodirdjo, memuji Lapian setinggi langit. ”Apa yang dilakukan Lapian dengan karyanya merupakan keberhasilan cemerlang. Ia sudah melakukan prinsip yang mengarah ke excellence. Caranya memegang dan menghayati prinsip ini dalam berkarya sebagai akademisi mengingatkan bahwa only the best is good enough,” kata guru besar sejarah Universitas Gadjah Mada itu.

Di bawah bimbingan Sartono, Lapian lulus dengan predikat cum laude dalam ujian doktor tahun 1978.

Adapun Anthony Reid, sejarawan senior dan peneliti utama Asia Research Institute, National University of Singapore, menilai Lapian sebagai sejarawan Indonesia yang tak ada duanya.

”Tak ada sarjana Indonesia yang menunjukkan keahlian sebagai sejarawan lebih baik dari Lapian,” kata Reid, seperti dikutip di sampul belakang buku.

Lapian bukan ilmuwan yang hanya meneropong dari menara gading. Saat sebagian di antara kita baru belakangan sadar dan mewacanakan kurangnya perhatian bangsa kepada kebaharian, Lapian sejak 30-an tahun lalu mengingatkan pentingnya mengalihkan orientasi kehidupan bangsa dari darat ke laut.

Indonesia sebagai negara kepulauan, mengacu pada kata archipelago yang diterjemahkan menjadi nusantara. Terjemahan ini, menurut Lapian, salah kaprah.

”Archipelago berasal dari kata arche yang artinya besar dan pelago yang maknanya laut. Jadi, archipelago berarti laut besar, bukan kepulauan atau nusantara, kata yang sebetulnya bermakna pulau-pulau luar atau pulau-pulau di seberang laut,” paparnya.

Penggunaan istilah nusantara menunjukkan cara pandang bangsa yang lebih berorientasi kepada darat daripada laut.

Namun, tambah Lapian, kesadaran kebaharian sudah jauh lebih baik. Ia menunjuk adanya Departemen Kelautan dan Perikanan sebagai bukti. ”Saya senang karena makin banyak sarjana, termasuk sejarawan, yang berminat terhadap masalah kelautan.”

Dia juga melihat semakin banyak buku sejarah kebaharian, termasuk Angkatan Laut, seperti buku yang ditulis sejumlah purnawirawan perwira tinggi TNI AL, Dan Toch Maar. Buku ini berisi pengalaman anggota TNI AL pertama yang dikirim ke Eropa untuk belajar di Sekolah Tinggi Angkatan Laut Belanda tahun 1950-an.

Dalam seminar sejarah di Jakarta pada 1998, Shahril Talib, guru besar sejarah University of Malaysia, untuk pertama kali menyebut Lapian sebagai ”Nakhoda Sejarah Maritim Asia Tenggara”. Sejak itu ia kerap disapa dengan julukan tersebut.

Julukan nakhoda bagi Lapian tak berlebihan. Ia pelopor sekaligus pengembang utama disiplin sejarah kelautan Indonesia dan Asia Tenggara. Ia menentukan ke mana biduk ilmu pengetahuan itu berlayar. Meski sejarawan maritim muda bermunculan, pengaruh Lapian tetap terasa.

BIODATA
• Nama: Adrian Bernard Lapian • Lahir: Tegal, Jawa Tengah, 1 September 1929 • Pendidikan: - SD, SMP, SMA/AMS di Tomohon, Sulawesi Utara, lulus ”algemene middelbare school” (AMS), 1950 - Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Jurusan Sipil (kini ITB), 1950-1953, tak selesai - Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra UI, 1956-1961 - Mendalami sejarah maritim di Universitas Leiden, Belanda, 1966 - Doktor ilmu sejarah Universitas Gadjah Mada, lulus 1978 • Karier: - Pustakawan Biro Perancang Negara (kini Bappenas), awal 1950-an - Wartawan ”The Indonesian Observer”, 1954-1957 - Kepala Seksi Sejarah Angkatan Laut dan Maritim, Markas Besar TNI Angkatan Laut, 1962-1965 - Peneliti Majelis Ilmu Pengetahuan Indonesia (kini LIPI), antara lain sebagai Kepala Puslitbang Kemasyarakatan dan Kebudayaan, 1957 sampai pensiun, 1994 - Dosen dan pembimbing kandidat doktor UGM, UI, dan Universitas Sam Ratulangi - Guru besar luar biasa UI, 1992 • Penghargaan: - Bintang Jasa Utama dari Pemerintah Indonesia, 2002

Sumber : http://koran.kompas.com/read/xml/2009/09/01/0313155/lapian.80.tahun.nakhoda.sejarah.kelautan

31 Agustus 2009

Melaut di Indonesia, Sekolah di Filipina

Melaut di Indonesia, Sekolah di Filipina

Minggu, 30 Agustus 2009 | 03:37 WIB

Iwan Santosa/Agung Setyahadi

Mencari nafkah sehari-hari di perairan Indonesia dan menuntut ilmu hingga kuliah di Filipina. Itulah kekhasan masyarakat Indo-Filipina yang tersebar di Tobelo, Maluku Utara, Kabupaten Sangihe-Talaud, di Sulawesi Utara, hingga pesisir selatan Mindanao, Filipina, dari Cotabato-Balud-Sarangani-General Santos dan Davao.

Sebagian besar anak nelayan Indo-Filipina yang di Sulawesi Utara (Sulut) dikenal sebagai komunitas ”Sapi” alias ”Sangir-Pilipina”, mempunyai kemampuan linguistik yang unik di tengah keterbatasan ekonomi. Mereka berkomunikasi dengan ayah Indonesia-nya dalam bahasa Melayu dan berdialek Visayag atau Tagalog dengan ibunya, serta berbahasa Inggris saat bersekolah di Filipina.

”I want to work as nurse in the Philippines. I want to take good care of my parent (Saya ingin jadi perawat di Filipina. Saya ingin merawat orangtua saya). Saya juga suka tinggal di Indonesia seperti sekarang,” kata Crystal Gae Manabong (14), gadis ”Sangir-Pilipina” yang ditemui di rumah ayahnya di pesisir Pantai Tobelo, Maluku Utara.

Sehari-hari, Crystal dan adiknya, Cydney B Manabong (12), berbicara dalam empat bahasa dengan komunitas yang berasal dari Sangihe-Talaud, Mindanao, dan Cebu. Demikian pula sepupu mereka, Rose (8), yang besar di Indonesia, putri pasangan Indo-Filipina, Rapol Sahal dan Owingce Minabo. Namun, Rose tidak bisa berbahasa Inggris karena bersekolah di Indonesia.

Crystal yang tiba di Tobelo akhir 2008, mulai lancar berbahasa Indonesia. Crystal yang bersekolah setingkat SMP di General Santos, Filipina, semula hanya berbicara dalam bahasa Inggris, Sangir, Visayag, dan Tagalog.

Ketika disapa ”Mahal Kita” (sayangku) dalam bahasa Tagalog, Crystal tertawa. Saat ditanya ”Balai ikau sa Balud?” (rumah kamu di Balud, Mindanao?) Crystal menggeleng kepala dan menjawab, ”General Santos.”

Rose yang sedang ditinggal orangtuanya ke Balud, diawasi sepupunya, Marbeline (18). Rumah mereka tidak jauh dari pondok kelompok nelayan Akmas Manabong. Komunitas gado-gado itu bergantian mendengarkan siaran radio bahasa Tagalog dan berbahasa Indonesia untuk mendapatkan informasi di tempat yang terpencil itu.

Sekolah di Filipina

”Anak saya kembali sekolah bulan November di Gensan (General Santos). Sebagian besar anak Indo-Filipina bersekolah di Filipina karena banyak kemudahan. Mereka punya banyak kerabat di Filipina dari perkawinan campur orangtua. Banyak yang kuliah lalu jadi pegawai negeri atau tenaga profesional di kota besar, seperti General Santos atau Davao,” kata Luz Manabong (40), wanita Filipina, istri dari Akmas Manabong (46), nelayan asal Tahuna, Kabupaten Talaud.

Sebelum Luz dan dua putrinya menyusul Akmas ke Tobelo, mereka tinggal di General Santos. Biasanya, Akmas-lah yang menjenguk keluarga dan berlayar dari Tobelo-Pulau Maroreh, lalu tiba di General Santos.

Luz mengaku, bersekolah di Filipina, seperti di Genral Santos dan Davao, menjanjikan perbaikan nasib bagi anak-anak peranakan Indo-Filipina. ”Setahu saya tidak ada yang kuliah di Manado,” kata Luz dalam bahasa Inggris yang lancar.

Kota General Santos berada di dekat Pulau Balud dan Pulau Sarangani, yang menjadi sentra hunian warga Indonesia asal Sangihe-Talaud. Warga Indonesia di sana berjumlah puluhan ribu orang di pulau yang berada beberapa puluh mil sebelah barat Pulau Miangas, titik paling utara Republik Indonesia.

Mantan Konsul Muda RI di KJRI Davao FX Soekirno Soetohardjo menerangkan, hampir sepuluh ribu warga Indonesia bermukim di Filipina Selatan pada awal 1980-an. ”Waktu itu saya membuat beberapa rukun warga dan rukun tetangga agar memudahkan koordinasi. Mereka sering ditekan gerilya komunis New People’s Army (NPA) dan pemberontak Moro,” kata dia.

Laut Indonesia kaya

Untuk mencari ikan, para nelayan Indo-Filipina mengaku lebih mudah melaut di perairan Indonesia. ”Kalau di Filipina, semalam melaut paling banyak dapat 1.000 peso sampai 2.000 peso (sekitar Rp 250.000 hingga Rp 500.000). Hasil itu dibagi dua orang atau tiga orang yang bekerja dalam satu perahu kecil. Kalau melaut di Indonesia bisa dapat di atas tiga juta rupiah hingga lima juta rupiah dengan bekerja dua atau tiga hari. Hasil itu dibagi satu kelompok kami sebanyak sepuluh orang,” kata Luther Mandome (52), nelayan.

Melaut hingga jauh sudah menjadi tradisi orang Sangir. John Mamalu (35), yang pernah bekerja di kapal ikan Taiwan, berkata, nelayan Sangir melaut hingga Laut Pasifik Selatan di sekitar Tuvalu, Vanuatu, Kepulauan Solomon, dan Papua Niugini. ”Orang Sangir bekerja di kapal ikan, berkebun di sekitar pesisir Mindanao, hingga Maluku Utara atau mendulang emas,” kata Mamalu menjelaskan profesi tradisional masyarakatnya.

Nelayan Sangir mengadopsi perahu Pam Boat Filipina. Berbekal teknologi Filipina, Akmas masih bisa mencari ikan di Maluku Utara saat ombak besar melanda. Sekolah di Filipina juga menjadi pilihan untuk memperbaiki nasib generasi penerus keluarga Indo-Filipina.

Sumber : http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/30/03373684/melaut.di.indonesia.sekolah.di.filipina

26 Agustus 2009

WILAYAH KEPULAUAN : Nusa Utara Bergantung pada Ombak

Nusa Utara Bergantung pada Ombak

Rabu, 26 Agustus 2009 | 03:09 WIB

Oleh Agus Mulyadi

”Saya sebenarnya ingin, saat rombongan dari Jakarta ini datang ke Tahuna dan Marore, ombak mencapai 4 meter atau lebih. Orang Jakarta harus tahu kondisi sebenarnya di kepulauan ini. Kok, sekarang ombak sangat bagus,” ujar Bupati Sangihe W Salindeho mengemukakan hal itu ketika berbincang di atas kapal Pelni yang disewa khusus menuju Pulau Marore, Sulawesi Utara, Minggu (16/8).

Pemimpin rombongan pejabat dari Jakarta, yakni Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil Departemen Kelautan dan Perikanan Alex Retraubun, tersenyum mendengar ucapan bupati. ”Kami datang dengan hati bersih dan niat yang baik sehingga laut pun bersahabat,” kata Alex.

Dalam perjalanan laut mulai dari Pelabuhan Bitung, Sabtu (15/8) pukul 17.00 Wita, hingga Pelabuhan Tahuna esok harinya pukul 08.00 Wita, ombak memang terus tenang.

Memasuki Teluk Tahuna, setelah 13 jam berlayar dari Bitung, melihat laut yang begitu jernih dan alun ombak yang begitu tenang, ingin rasanya terjun dari kapal dan berenang di laut biru.

Laut memang sedang bersahabat. Sebagian masa lain dalam setahun, ombak di perairan Sangihe sangat tidak bersahabat. Seorang anak buah kapal Pelni yang membawa rombongan menyebutkan, ombak kadang setinggi 4 meter lebih. Kalau seperti itu, barang-barang di kapal harus diturunkan ke lantai agar tidak berjatuhan.

”Kami, para nelayan, tidak ada yang berani mencari ikan,” ujar Jimmy (22), nelayan asal Pulau Marore.

Pulau Marore, pulau terluar berpenduduk 669 jiwa, berhadapan langsung dengan kawasan Filipina selatan. Dari Manado, pulau itu berjarak 206 mil laut (381,5 kilometer), sedangkan dari Pulau Balut (Filipina selatan) hanya 40 mil laut (74 kilometer). Marore dapat ditempuh hampir dua hari jika menggunakan kapal perintis yang rutin melayani kawasan itu.

Marore yang 90 persen penduduknya bekerja sebagai nelayan terletak 40 mil laut Pulau Balut di Filipina selatan. Itulah sebabnya, sejak dahulu kala telah terjalin interaksi ekonomi di antara dua wilayah berbeda negara tersebut. Namun, jalinan itu tetap bergantung pada ombak laut.

Ombak laut bagi warga Kepulauan Sangihe serta dua kabupaten tetangganya, Kepulauan Talaud dan Sitaro, memang menjadi momok. Tiga daerah yang awalnya tergabung dalam Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Talaud itu dikenal pula dengan nama Nusa Utara.

Kalau selama satu bulan, misalnya, ombak terus-menerus setinggi 4 meter, itu berarti tidak ada penghasilan yang didapat penduduk. Sekitar 90 persen warga yang mencari nafkah sebagai nelayan terpaksa mengurung diri di rumah.

Pasokan berbagai kebutuhan pokok pun terhenti. Tidak ada lagi kiriman beras, gula, dan lainnya. Siapa yang berani menembus ombak setinggi 4 meter hanya dengan perahu-perahu motor kecil bercadik? Bahkan kapal-kapal perintis yang melayani kawasan itu pun bisa berhenti beroperasi. Pengelolanya pun kerap mengubah jadwal sesuka mereka, mengikuti kondisi ombak.

Kalau sudah begini, warga kepulauan tidak dapat bepergian ke pulau lain untuk mencari nafkah atau membeli berbagai bahan kebutuhan pokok.

Pasar Marore yang terdiri atas belasan kios di salah satu sudut pulau bakal tak berisi lagi. Tak ada kiriman baik dari Tahuna maupun Balut. ”Kondisi seperti itu kadang terjadi,” kata Boy (55), seorang pedagang.

Ombak tidak hanya membuat nelayan tidak berpenghasilan dan bahan pokok ludes. Jadwal kapal perintis yang melayani ke pulau-pulau terluar pun menjadi tidak tentu.

Bupati Salindeho pun untuk kesekian kali menyampaikan unek-unek warganya kepada pejabat pemerintah pusat. Si pejabat pusat, Alex Retraubun, ketika ditanya kembali berujar, ”Akan saya sampaikan kepada instansi terkait.”

Penanganan pulau-pulau terluar saat ini memang digarap secara bersama-sama oleh sejumlah instansi. Keberadaan mereka diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2005. Tim kerja itulah yang pada pertengahan Agustus lalu mengunjungi Marore, sekaligus memperingati Hari Kemerdekaan Ke-64 bersama warga dan pemerintah daerah setempat.

Saat ini terdapat tiga kapal perintis yang melayani pulau-pulau terluar dan kecil di Sangihe. Kapal-kapal itu adalah KM Daraki Nusa, KM Maliku Nusa, dan KM Berkat Talodo. Kapal-kapal itu umumnya mampir ke Tahuna, ibu kota Sangihe.

Selain tiga kapal perintis tersebut, menurut Komandan Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai Pelabuhan Tahuna S Soeganda, terdapat beberapa kapal motor penumpang lain berukuran lebih kecil. Kapal-kapal itu melayani rute Manado-Bitung.

Hidup di wilayah kepulauan yang terletak di lautan bebas memang merepotkan dan serba pasrah pada kehendak alam. Untuk saling berhubungan, warga kepulauan itu benar-benar bergantung pada kapal perintis dan ombak. Padahal, tidak sedikit pulau yang harus dilayani.

Di Kabupaten Sangihe yang berpenduduk 132.448 jiwa, misalnya, terdapat 26 pulau berpenghuni dari total 105 pulau yang ada di kabupaten itu.

Hidup mereka benar-benar bergantung pada ombak.

Sumber : http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/26/03092799/nusa.utara.bergantung.pada.ombak

25 Agustus 2009

Asin Pahitnya Garam Rakyat

Asin Pahitnya Garam Rakyat

Selasa, 25 Agustus 2009 | 03:13 WIB

Oleh Hendriyo Widi dan Suprapto

Yasir (65) tersenyum melihat butir-butir garam beralas pasir mulai mengkristal. Hari itu ia sedang rehat di pondok tepi tambak di Desa Banyudono, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah.

Sehari lagi air tambak akan mengering dan menjadi garam. Kalau garam itu bersih, harganya Rp 300 per kilogram. Namun, kalau ada kotor atau berwarna putih kecoklatan, hanya Rp 235 per kilogram,” kata Yasir.

Yasir bukan penduduk asli Banyudono. Ia buruh tani garam asal Desa Tamansari, Kecamatan Jaken, Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Demi ”kristal” Rp 235-Rp 300 per kilogram, setiap hari ia menempuh jarak sekitar 36 kilometer dari rumah menuju lahan tambak di Desa Banyudono.

Setiap minggu, Yasir memanen 10 ton garam; 5 ton garam menjadi haknya, sedangkan sisanya untuk pemilik tambak.

Lantaran kerap dibantu Maskuri (30), anaknya, Yasir memberikan 2 ton garam kepada Maskuri. ”Dalam seminggu, saya memperoleh Rp 705.000. Saya mempergunakan uang itu untuk menghidupi keluarga, membayar utang, dan menyekolahkan anak-anak,” ujar ayah empat anak itu.

Demikian halnya Parmin (50), buruh tani garam Desa Sambiyan, Kecamatan Kaliori. Ayah tiga anak itu memperoleh penghasilan dari menjual 3 ton ”kristal” tersebut senilai Rp 822.500 per minggu.

Bagi Joko Hartoyo (31), petani garam di Desa Kedung, Kecamatan Kedung, Jepara, garam bisa dirasakan pahit, tetapi juga manis. ”Pahit jika harganya anjlok. Sebaliknya berubah manis ketika harga berubah tinggi,” tutur Joko.

Ayah dua anak yang masih berumur lima tahun dan dua tahun ini sejak lima tahun terakhir menekuni usaha garam curah atau lebih populer disebut garam rakyat.

Setiap tahun, saat cuaca panas, musim garam bisa berlangsung selama tiga bulan. ”Minimal bisa menghasilkan 75-150 ton garam curah. Jika harga garam rakyat seperti sekarang ini, yaitu Rp 22.000 per kuintal atau Rp 220 per kilogram, lumayan untungnya,” ujar Joko.

Di Jawa Tengah, konsentrasi lahan garam berada di Kabupaten Rembang, Pati, Jepara, dan Demak. Wilayah terluas berada di Rembang.

Di Rembang terdapat 781 pemilik lahan garam dan 4.739 buruh tani garam yang mengerjakan lahan seluas 1.185 hektar. Kapasitas produksi garam krosok (garam kasar untuk industri) mencapai 100.000 ton per tahun.

Menurut catatan PT Garam di Madura—seperti dikutip Dini Purbani dari Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumber Daya Nonhayati Badan Riset Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan—walau merupakan negara kepulauan, pusat pembuatan garam di Tanah Air ternyata hanya terkonsentrasi di Pulau Jawa dan Pulau Madura. Di Pulau Jawa, luas lahan garam 10.231 hektar dan terluas di Pulau Madura, yaitu 15.347 hektar. Secara rinci, Jawa Barat memiliki 1.159 hektar lahan garam, Jawa Tengah 2.168 hektar, dan Jawa Timur (di luar Pulau Madura) 6.904 hektar.

Panen lebih awal

Sebagian besar petani dan buruh tani garam di pesisir Jawa Tengah itu menyebut garam sebagai ”kristal” sing nguripi atau yang menghidupi keluarga. Artinya, garam mampu menggerakkan roda perekonomian mereka. Tidak mengherankan jika mereka memanen garam dalam hitungan standar minimal panen, 4-5 hari.

Padahal, untuk mendapatkan kandungan natrium klorida (NaCl) yang bagus, petani harus memanen garam pada hari ke-15 hingga 20. Hal itu membuat kualitas garam rakyat atau tradisional kalah dari kualitas garam impor.

Seperti di Rembang, produksi garam rakyat di Jepara dan Demak relatif sama, yaitu masih berupa garam rakyat dengan kualitas kurang baik bila dibandingkan dengan Rembang dan Pati. Juga, sama-sama belum memiliki perusahaan garam beryodium sehingga nilai jualnya rendah.

Berbagai upaya sebetulnya telah dilakukan pemerintah setempat untuk memperbaiki mutu garam rakyat.

Menurut Joko, sekitar tiga tahun lalu Pemerintah Kabupaten Jepara membangun satu unit mesin pemroses garam rakyat menjadi garam briket. Upaya lainnya termasuk mendirikan koperasi, mewajibkan pegawai negeri membeli garam rakyat, hingga memberi dana talangan. ”Semuanya hanya berjalan sesaat, akhirnya kandas sama sekali,” tutur Joko.

Kepala Subbidang Sosial dan Budaya Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Rembang Imam Teguh Susatyo mengatakan, sebelum 2006, masyarakat Rembang, terutama dari golongan miskin, tak mampu membedakan garam konsumsi dan garam krosok. Selisih harga yang cukup mencolok membuat keluarga miskin memilih membeli garam krosok untuk konsumsi sehari-hari.

Padahal, garam krosok merupakan garam kotor yang mengandung kalium iodida (KI03) di bawah Standar Nasional Indonesia, 30 part per million (ppm). Garam itu berfungsi untuk mengawetkan dan mengasinkan ikan, serta salah satu bahan campuran pakan ternak.

”Pedagang harus menandai wadah garam itu dengan tulisan ’garam pakan ternak’. Ini pesan bahwa setiap pembeli garam krosok sama dengan ternak,” kata Teguh.

Teguh menambahkan, pemerintah pun melarang peredaran garam konsumsi di bawah standar. Puluhan merek garam konsumsi di bawah standar telah dilarang beredar dan kini tinggal empat merek yang bertahan.

Namun, Kepala Bagian Produksi UD Apel Merah Djono meminta pemerintah tidak sekadar mengawasi dan melarang peredaran garam tidak beryodium atau beryodium rendah. Pemerintah perlu membuat terobosan baru melalui teknologi terapan untuk meningkatkan kualitas garam rakyat.

Impor garam yang telah berlangsung sejak 1997 hingga saat ini diperkirakan masih akan terus berlangsung.

Luas tambak garam nasional yang pernah mencapai 25.000 hektar (akhir 1997) tidak beranjak meluas secara signifikan, bahkan kemungkinan besar menyusut karena alih fungsi lahan.

Produksi rata-rata per tahun juga tak lagi mencapai 1.790.000 ton pada 1997, bahkan merosot di bawah 1 juta ton per tahun. Inilah ironi bagi negara dengan garis pantai 95.181 kilometer, terpanjang keempat di dunia.

Sumber : http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/25/03130480/asin.pahitnya.garam.rakyat

24 Agustus 2009

PERBATASAN : Bangun Pendekatan Berbasis Sosial-Kultural

Bangun Pendekatan Berbasis Sosial-Kultural

Senin, 24 Agustus 2009 | 03:11 WIB

Jakarta, Kompas - Dalam mengelola perbatasan, pemerintah hendaknya tidak hanya mengedepankan pendekatan berbasiskan keamanan. Pemerintah seharusnya mengutamakan pula pendekatan sosial, budaya, dan ekonomi. Selain akan menunjukkan wajah asli Indonesia, pendekatan itu lebih efektif untuk membangun kesejahteraan rakyat di perbatasan karena berdampak pula pada penguatan pertahanan nasional.

”Penguatan itu, antara lain, berupa penyelenggaraan pendidikan yang lebih bermutu dan kemudahan mengakses pelayanan kesehatan,” kata dosen Fakultas Hukum Universitas Cenderawasih, Papua, Bambang Sugiono, kepada Kompas di Jakarta, Sabtu (22/8).

Bambang dimintai tanggapan terkait menipisnya nasionalisme warga di perbatasan Indonesia dengan negara lain. Kondisi ini terjadi karena minimnya kehadiran negara di daerah perbatasan itu (Kompas, 10-22/8).

Namun, kata Bambang, fasilitas pendidikan dan kesehatan di daerah perbatasan tak memadai. Perhatian pemerintah di wilayah itu kurang. Sebaliknya, pemerintah bereaksi berlebihan saat terjadi gejolak di perbatasan.

Jika terjadi sesuatu, misalnya warga terpaksa menyeberang ke negara lain, mereka dicap tidak cinta Indonesia. Padahal, selama ini pemerintah mungkin kurang bisa meyakinkan bahwa menjadi warga Indonesia lebih terjamin hak dan kesejahteraannya.

Bambang mengakui, sebenarnya wacana peningkatan kesejahteraan warga di daerah perbatasan kerap dibahas dalam seminar-seminar. Namun, semua itu berakhir dalam wacana saja. Hadirnya Undang-Undang tentang Wilayah Batas Negara ternyata tak dimanfaatkan menjadi momentum mengembangkan perbatasan. Pemerintah terjebak pada paradigma lama, yaitu tetap menggunakan pendekatan simbolik dengan membangun fasilitas fisik dan pos pengamanan.

Lebih dari itu, penguatan basis dan warga di perbatasan kurang diupayakan. Program sektoral, lanjut Bambang, hanya berhenti di wilayah perkotaan. Akibatnya, kondisi perbatasan kian terpuruk.

Secara terpisah, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Ikrar Nusa Bhakti, mengingatkan tak sedikit penelitian dan kunjungan sebagai bagian untuk mengatasi persoalan di perbatasan. Bahkan, sudah ada UU No 43/2008 tentang Wilayah Negara yang bisa dipakai sebagai acuan untuk memperbaiki keadaan di perbatasan. Namun, kondisi di perbatasan memang tak beranjak menjadi lebih baik secara signifikan.

”Bemper” pertahanan

”Selama ini masalah perbatasan cuma dipandang dari sisi keamanan sehingga tak aneh yang didirikan terlebih dahulu adalah pos polisi atau TNI. Padahal, masalah di sana tak cuma keamanan dan pertahanan,” ujar Ikrar.

Akibat ketidakjelasan paradigma dan kebijakan pemerintah, sering kali persoalan yang muncul di perbatasan pun coba dituntaskan dengan menggunakan pendekatan keamanan dan pertahanan. Misalnya, warga perbatasan hanya dicekoki soal dasar negara, doktrin pertahanan, dan isu keamanan lain. Nasib dan kesejahteraan mereka terlupakan. Padahal, mereka seharusnya dibuat nyaman dan bangga menjadi orang Indonesia.

”Seharusnya masalah kurangnya teknokrat atau tenaga ahli di daerah perbatasan tak perlu ada jika saja pemerintah memang punya konsep pembangunan perbatasan yang jelas, mulai dari pendidikan, kesehatan, perekonomian, dan lainnya,” ujar Ikrar.

Dengan memberikan jaminan kesejahteraan, pendidikan, pekerjaan, dan pengembangan ekonomi, kebanggaan sebagai warga negara Indonesia akan semakin tinggi. Secara tidak langsung persoalan perbatasan semacam keamanan juga bisa teratasi.

Terkait keberadaan Badan Pengelola Kawasan Perbatasan, baik di pusat maupun daerah, diharapkan bisa membuat perubahan dan perbaikan signifikan. Ikrar berharap keberadaan badan baru itu tidak malah terjebak persoalan birokrasi dan ego sektoral yang sekarang masih terjadi.

”Jadi, mulai sekarang dipikirkan apa yang akan kita bangun untuk memperbaiki kondisi perbatasan. Tidak perlu muluk-muluk. Jika masyarakat di sana hidup dari nelayan, bangun misalnya pabrik pengolahan ikan. Jangan sampai yang seperti itu tak bisa dilakukan hanya karena di daerah tersebut listrik belum masuk,” ujar Ikrar.

Sosiolog dari Universitas Airlangga, Surabaya, Bagong Suyanto, pun mengakui wilayah perbatasan selama ini hanya dijadikan sebagai bemper pertahanan Indonesia. Akibat kebijakan pemerintah yang melulu mengedepankan pertahanan, masyarakat di wilayah perbatasan tidak merasakan sungguh-sungguh kehadiran negara.

”Untuk daerah perbatasan, penanganan yang dilakukan adalah sentralisasi. Kian jauh daerah itu dari pusat, cenderung ditelantarkan. Masyarakat di wilayah perbatasan makin sedikit menikmati kue pembangunan. Separatisme yang terjadi selama ini bukan hanya didorong oleh idealisme, tetapi dipengaruhi faktor struktural ekonomi pula. Mereka merasa diperlakukan tidak adil, dianaktirikan,” kata Bagong.

Ia melanjutkan, masyarakat di perbatasan tak hanya merasakan negara tidak hadir di sana, tetapi juga merasa resisten terhadap kebijakan negara. Problem wilayah perbatasan tidak bisa hanya dilakukan dengan langkah insidentil dan reaktif.

”Keinginan masyarakat di perbatasan adalah negara betul-betul hadir dan menjadi pengayom bagi kehidupan mereka di sana. Keluhan dianggap sebagai anak tiri seharusnya disikapi dengan bijaksana dengan mengubah model pembangunan yang selama ini terpusat,” kata Bagong.

Direktur Jenderal Pembinaan Pengembangan Masyarakat Kawasan Transmigrasi Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi Joko Sidik Pramono menambahkan, wilayah perbatasan bisa dijaga oleh transmigran. Permukiman transmigran yang dibangun bukan sekadar untuk memindahkan penduduk, tetapi juga harus mampu mendorong penduduk itu mandiri dan memiliki penghasilan yang layak.

Namun, pemerintah juga harus melengkapi infrastrukturnya, seperti jalan, pasar, serta fasilitas pendidikan dan kesehatan.(jos/sie/mam/dwa/vin)

Sumber : http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/24/0311137/bangun.pendekatan.berbasis.sosial-kultural

22 Agustus 2009

KLIPING NASIONALISME DI TAPAL BATAS

NASIONALISME : Satu Hati Dua Bendera

Satu Hati Dua Bendera

Sabtu, 22 Agustus 2009 | 03:17 WIB

B Josie Susilo Hardianto

Garis putih itu makin pudar, tergerus roda dan terompah. Debu dan pasir laut yang menutupi makin menyamarkan garis batas wilayah Indonesia-Timor Leste. Mereka yang lalu lalang di atas Jembatan Mota’ain, tempat garis itu digambar, tak banyak memerhatikannya.

Perhatian lebih tertumpah pada peluk hangat antarkerabat, tawa dan canda riang para porter dan penukar uang, para sopir yang saling menukar catatan daftar penumpang, dan anak-anak Desa Silawan yang sibuk berlari ke sana ke mari, bermain berkejaran. Para ajuda lodan—porter asal Timor Leste—yang duduk di atas pagar jembatan Mota’ain tersenyum melihat tingkah anak-anak itu.

”Eh, adik, itu ada lagi yang tiba,” seru Manimo Pareira sambil menunjuk ke arah sebuah travel yang tiba dengan memalingkan wajahnya ke arah pantai, di mana travel yang membawa penumpang dari Dili itu tiba.

Mengapa tidak dia sendiri? Ternyata ada kesepakatan, setiap penumpang yang tiba dari Timor Leste, para porter dari Indonesia yang datang melayani. Sebaliknya, para porter dari Timor Leste yang ganti melayani ketika ada pelintas batas tiba dari Atambua dan hendak melintas ke Timor Leste.

Pembagian itu membuat rezeki terbagi dengan adil di perbatasan. Tidak ada saling rebut, bahkan mereka kerap makan bersama, berbagi rokok dan cerita. ”Sebagian dari kami memang masih memiliki hubungan kekerabatan,” kata Manino Pareira yang tetap fasih berbahasa Indonesia.

Mengungsi

Namun, gejolak politik menjelang dan sesudah jajak pendapat digelar pada tanggal 30 Agustus 1999 terpaksa membuat mereka berpisah. Ratusan ribu warga Timor Timur kala itu berduyun-duyun meninggalkan kampung halaman mereka, menyelamatkan diri dari amuk yang mematikan.

Data Satkorlak Penanggulangan Bencana dan Pengungsian Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) tahun 2005 menyebutkan, jumlah pengungsi asal Timor Timur yang tersebar di berbagai wilayah NTT dan Sumba mencapai 104.436 jiwa.

Kabupaten Belu tercatat sebagai wilayah yang menampung pengungsi paling banyak, yaitu 15.274 kepala keluarga atau sebanyak 70.453 jiwa.

Mereka tinggal di kamp-kamp pengungsian dengan daya dukung yang nyaris tidak ada. Sebagian besar dari mereka pergi dengan hanya membawa baju yang melekat di badan. Tiba pada malam hari di perkampungan dan bertahan hidup dengan makanan seadanya.

Hari-hari berikutnya adalah hari-hari penuh kenestapaan, tidak hanya bagi para pengungsi itu, tetapi juga bagi warga kampung di mana para pengungsi itu tinggal.

Kabupaten Belu adalah daerah tandus. Warga setempat umumnya petani dengan ladang terbatas yang ditanami jagung dan ubi ketika musim hujan tiba. Jaminan hidup itu kerap harus dibagi bersama dengan para pengungsi yang turut memanfaatkan lahan untuk bercocok tanam.

Sempat terjadi kala itu warga mendesak pemerintah untuk segera memulangkan para pengungsi selain karena sudah dianggap aman, juga karena warga merasa terbebani oleh kehadiran pengungsi itu. Sebagian pengungsi memang kembali ke Timor Leste, tetapi sebagian tidak dengan berbagai alasan, umumnya karena khawatir terhadap kemungkinan balas dendam.

Kilas balik

Kamp Merdeka, Kabupaten Kupang, 2001, seorang anak usia tujuh tahun berjalan tergesa. Langkahnya terhenti, dengan tangan kiri ia meraih cepat permen yang ditawarkan kepadanya. Sementara itu, di tangan kanannya ia memegang erat sebilah belati berhulu tanduk rusa.

”Ini pemberian bapakku,” katanya. Ia menerimanya seminggu sebelum jajak pendapat digelar.

Bersama-sama dengan pemuda di desanya serta bapaknya yang adalah kepala desa, bocah itu menyisir satu per satu rumah warga. Ia nyaris saja menggunakan belati itu untuk membunuh neneknya karena ia melihat neneknya menyimpan foto Xanana Gusmao di rumahnya.

Niat itu terhenti karena bapaknya melarang. Jajak pendapat digelar dan sebagian besar warga Timor Timur memilih merdeka. Bocah tersebut akhirnya terpaksa mengungsi. Saat itu ia mengaku enggan untuk kembali ke Timor Leste. Ia takut orang-orang akan memburu dan membunuhnya, seperti apa yang mereka lakukan kepada bapaknya.

Dalam buku Jembatan Air Mata, Tragedi Manusia Pengungsi Timor Timur, Navita Kristi Astuti, seorang relawan yang tergabung dalam Jesuit Refugee Service (JRS), menuliskan, perjalanan panjang rakyat Timor Leste sejak tahun 1975 sampai 1999 menempa mereka menjadi bangsa yang penuh dendam dan amarah.

Perbedaan sikap politik dalam menentukan nasib berbangsa menjerumuskan mereka untuk saling berbalas. Akibatnya, korban berjatuhan. Semuanya itu saling menumpuk seperti lingkaran setan.

Ada yang dulu jadi korban dan saat ini membalas dendam dan menjadi pelaku bagi korban lainnya. Ada yang dulunya menjadi pelaku dan mendapatkan pembalasan dendam dari korbannya pada masa lalu.

Dendam tak berkesudahan. Mungkinkah nilai-nilai perdamaian ditanamkan?

Masa lalu

Namun, semua itu telah lampau. ”Setiap hari, sapi-sapi kami merumput di padang di Timor Leste dan kami pun kerap mencari kayu api dan daun bebak di sana,” kata Hendrikus Halek, Kepala Dusun Maninu, Desa Silawan, Belu.

Padang itu ada di seberang sungai, sekitar 100 meter di belakang garis batas wilayah Indonesia-Timor Leste. ”Kadang-kadang, ketika kami mencari kayu api, kami bertemu dengan patroli dari Timor Leste. Mereka hanya memperingatkan saja agar kami tidak merusak pohon-pohon besar,” kata Hendrikus menambahkan.

Menurut dia, mereka saling memahami karena memang sejak dulu padang itu menjadi tempat di mana sapi-sapi milik warga Dusun Maninu digembalakan. Di situ pula warga Maninu mencari bebak untuk membuat rumah. Kekerabatan antarwarga di perbatasan, tutur Hendrikus, terjalin sejak dulu.

Perkawinan antarwarga yang dulu terjadi hingga saat ini pun masih terjadi. ”Pernah ada, dari arah bukit itu, seorang pemuda Timor Leste berseru kepada seorang gadis di desa ini, ’Adik, aku cinta padamu,’” kata Hendrikus.

Menurut dia, keadaan sudah kembali membaik dan pulih seperti sediakala. Keputusan politik tidak memupus ikatan kekerabatan itu.

Joseph Untung, Kepala Desa Silawan, pun mengakuinya. Bahkan, ia masih kerap berkunjung ke Timor Leste karena dua anak perempuannya menikah dengan pemuda asal Timor Leste. Hanya karena keterbatasan dana yang menyebabkan anak dan menantunya jarang berkunjung ke Silawan. Namun, relasi di antara mereka tetap hangat, kata Joseph yang pernah menjadi pegawai di Timor Leste ketika negara itu masih menjadi bagian dari Indonesia.

Harapan

”Benar, sekarang semua telah kembali menjadi lebih baik. Tak perlu ada dendam dan curiga, apalagi banyak di antara kami masih berkerabat. Memang politik telah memaksa kami berpisah. Namun, hati kami tetap satu walau di bawah dua bendera yang berbeda,” kata Manino Pareira di atas tapal batas yang tergambar di Jembatan Mota’ain ketika sebuah truk besar dengan bak tertutup berukuran 20 kaki melintas membawa berbagai barang, seperti mi instan, terigu, minyak goreng, dan beras, pesanan toko-toko kelontong yang dikelola warga Indonesia di Dili, Timor Leste.

Angin dari putaran roda-roda dan laju truk itu mengempas pasir-pasir yang ada di tengah jalan. Sejenak pasit itu beterbangan dalam terik udara siang hari. Lalu luruh kembali ke jalan dan menutup garis batas wilayah itu.

Dari arah Dili, beberapa pemuda turun dari travel. Mereka menjinjing tas besar dan berjalan mantap ke arah gerbang perbatasan wilayah Indonesia. ”Mereka hendak ke Kupang dan Surabaya. Mereka bersekolah di sana,” kata Manino Pareira.

Tak ada lagi ketegangan seperti pernah terjadi dulu. Derak roda moda transportasi dari dua negara itu telah turut menjadi bagian dari sebuah perjalanan perubahan di tapal batas. Menjadi bagian dari harapan yang dibangun bersama antara warga dua bangsa.

Sumber : http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/22/03174294/satu.hati.dua.bendera

21 Agustus 2009

Do'a Malaikat Jibril jelang Ramadhan

Do'a Malaikat Jibril jelang Ramadhan:"Ya Allah tolong abaikan puasa
ummat Muhammad bila sebelum Ramadhan tidak saling memaafkan terhadap
kedua orang tua selagi masih hidup, kepada suami/isteri dan kepada
warga sekitar lingkungannya. Rasul mengamini sebanyak tiga kali." Oleh
karena
itu, saya beserta keluarga mengucapkan maaf lahir dan bathin dan
selamat menempuh bulan suci Ramadhan

Suhana

Nasionalisme "Paripurna" di Tapal Batas

Nasionalisme "Paripurna" di Tapal Batas

Jumat, 21 Agustus 2009 | 03:15 WIB

Hariadi Saptono

Ucapan Bung Karno menguatkan kembali pertanyaan kita tentang kinerja negara ini selama 64 tahun merdeka: ”Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah. Perjuanganmu lebih susah karena melawan bangsamu sendiri.”

Pertanyaan kita, benarkah kita dan republik ini sebuah negara bangsa yang berdaulat dan telah memasuki gerbang negara bangsa yang kokoh dan paripurna—negeri makmur dan aman, dan berkeadilan sosial—alias gemah ripah lohjinawi tata tentrem kerta raharja?

Dalam bentuk poster yang dipajang pada gapura di salah satu kota menjelang peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus pekan lalu, dengan ucapannya itu jauh hari Bung Karno sudah melihat negeri ini bakal meniti buih lebih lama ketika merampungkan ”integrasi nasionalnya” dalam berbagai perspektifnya.

Ketika The Failed States Index 2009 baru-baru ini memasukkan Indonesia di dalamnya, dan Indonesia dinyatakan dalam kondisi in danger, peringatan Soekarno dan sebenarnya rakyat banyak sejak beberapa tahun terakhir adalah sebagai peringatan serius betapa situasi kita sebagai negara bangsa sangat memprihatinkan. Para perintis bangsa dan kita semua tentu tidak mau melihat Indonesia longsor sebagai failed state, negara yang gagal.

Namun, kita juga tahu, nasionalisme tidak serta-merta mekar hanya bermodal kemerdekaan, terpenuhinya hak asasi manusia, dan integrasi nasional.

Dalam konteks ini, tesis pakar politik dan sejarah Benedict R Anderson tentang syarat munculnya nasionalisme bangsa-bangsa, yang dirumuskannya sebagai imagined communities (komunitas khayal), setidaknya bagi negara berkembang seperti Indonesia menjadi lebih runyam. Belum lagi ”pekerjaan” integrasi nasional dituntaskan, nyaris semua kesadaran dan platform politik dan birokrasi negara diguncang dan ”ditarik” oleh paham internasionalisme atau globalisme serta problem global yang merata ditanggung oleh bangsa-bangsa—dipicu kemajuan pesat teknologi dan tata informasi global, dan celaka atau justru berkahnya (?)—bersifat borderless itu....

Masalah besar

Ada sejumlah catatan dan kesimpulan dari 10 hari laporan Kompas tentang ”Nasionalisme di Tapal Batas” (10-20 Agustus 2009). Ke-10 liputan meliputi wilayah Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) (10/8), Kepulauan Siberut (Sumbar) (11/8), Kepulauan Riau (12/8), Kalimantan Barat (13/8), Kalimantan Timur (14/8), Kepulauan Miangas dan Marore (Sulawesi Utara) (15/8), Maluku Utara (16/8), Perbatasan NTT- Timor Leste (18/8), Papua Selatan (19/8), serta perbatasan Papua-Papua Niugini (20/8).

Kami mencatat, sebagian besar wilayah liputan itu mengalami masalah secara gradual menyangkut kehadiran dan peran negara: dari tidak optimalnya kehadiran hingga tak berfungsinya birokrasi pusat maupun birokrasi lokal karena kurangnya teknokrat/tenaga profesional, tidak adanya koordinasi dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan budget atas sejumlah masalah. Kasus Aceh, bocornya anggaran daerah, dan macetnya dinas-dinas yang dibuat tanpa subsidi dana dan dukungan ahli, dan di sisi lain munculnya friksi Gerakan Aceh Merdeka yang melahirkan senjang sosial dan ketegangan politik baru, semuanya itu adalah gambaran proses ”negara bangsa” yang belum tuntas dan masih amat jauh dari kondisi paripurna (mantap dan kuat).

Di lapangan, lemahnya kondisi infrastruktur dan berbagai prasarana dan sarana publik dari tingkat sama sekali tidak dibangun, sampai operasinya yang buruk di bawah standar, hingga kondisi terbengkalai.

Masalah minimnya infrastruktur dan fasilitas publik sumber penyebabnya karena tiadanya koordinasi, tidak jelasnya siapa yang bertanggung jawab, serta minim dan kurang strategisnya alokasi dana.

Di beberapa daerah, infrastruktur dan fasilitas publik itu tertinggal karena pemda salah menetapkan prioritas dan tidak paham investasi kunci yang mana yang seharusnya didahulukan. Sebutlah, misalnya, fasilitas sekolah dan ketersediaan guru di sejumlah daerah—kami anggap strategis karena output-nya pengembangan manusia kreatif dan mandiri (SDM) sesuai jenjang pendidikan mereka.

Pembangunan jaringan listrik, jalan raya lintas kabupaten, air bersih, rumah sakit—ini dominan kami temukan di Kalimantan, Sulawesi, NTT, dan Papua—jika prasarana-prasarana itu tersedia dengan standar minimal saja, sektor-sektor lain akan bersilang-guna mengisi sehingga peran negara yang menjamin, melindungi, dan akhirnya menyejahterakan bangsa itu riil.

”Tolonglah Pak, kami bisa dapat bantuan untuk membangun sumur-sumur pompa, balai latihan keterampilan remaja,” kata Mak Nyiam (68), pengusaha toko kelontong dan adik kandung Panglima Nayau (panglima perang suku Dayak saat berkonfrontasi dengan Malaysia), dari Desa Pelenggang, Kecamatan Sekayam, Kabupaten Sanggau. Di perbatasan Kalimantan, Miangas-Marore, maupun Kepulauan Riau, rasa lapar yang dahsyat akan taraf hidup layak itu begitu kentara di lapangan. Puluhan ribu—bahkan jutaan—tenaga kerja Indonesia tak pernah jera menjadi TKI di luar negeri. Atau potret ribuan remaja perempuan—yang kurang pendidikan dan tidak ada kerja pilihan—menjadi pelayan kedai makan di sepanjang jalan pedalaman Kalimantan.... Ngeri sekali.

Catatan dari Provinsi Maluku Utara, khususnya dari Pulau Morotai, adalah gambaran penantian rakyat yang sunyi sepi sekian puluh tahun, menunggu uluran tangan negara. Sebab apa? Sebab, sampai kini, tidak pernah ada pejabat negara dari pusat—setingkat menteri saja—yang turun, melihat sendiri, merasakan, mendengar, dan kemudian membela mereka dengan menjamin dan memenuhi kebutuhan dasar mereka sebagai warga negara yang tak sekadar punya kewajiban bayar pajak dan berbagai pungutan, tetapi tak punya hak untuk sejahtera.

Rumpun problem kedua serius ialah lemahnya dan sikap anggap enteng kita (negara dan bangsa ini) akan penguatan dan pengembangan nilai-nilai dan kesadaran kebangsaan bukan lagi dengan slogan, tetapi dengan program kreatif dan produktif. Ibarat sambil menyelam minum air, tanggung jawab mengembangkan dan menjaga nation building dan character building sesungguhnya bisa diwujudkan lewat cara-cara yang bisa juga produktif dari sisi ekonomi. Tantangannya cuma satu: harus kreatif.

Pikiran liar lain yang muncul mengiringi pilihan topik ”nasionalisme di tapal batas” adalah kekhawatiran kita semua bahwa semangat nasionalisme masyarakat (baca: kebanggaan, ketergantungan, dan keterikatan pada negara) sebenarnya dalam kondisi kritis.

Sebutlah untuk wilayah NAD, Papua, dan perbatasan NTT-Timor Leste..., di sana ungkapan untuk lepas merdeka dari Republik ini bukan tabu.

Inilah mengapa tugas mengawal dan membina negara kebangsaan yang paripurna benar-benar bukan pekerjaan mudah.

Sumber : http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/21/03155539/nasionalisme.paripurna.di.tapal.batas

20 Agustus 2009

Melahirkan Generasi Peneliti

Melahirkan Generasi Peneliti
Kamis, 20 Agustus 2009 | 05:00 WIB


Doni Koesoema A

Telah jamak dikeluhkan, pendidikan di Indonesia kurang mampu melahirkan periset yang dapat mengembangkan disiplin ilmunya.

Minimnya akademisi yang menulis di jurnal ilmiah, baik di tingkat nasional maupun internasional, hanyalah salah satu gejala dari proses pendidikan yang tidak dikelola secara sinambung dari pendidikan dasar sampai tinggi. Melahirkan generasi peneliti tidak terjadi dalam sehari.

Bukan sekadar tradisi

Salah satu alasan yang disampaikan tentang sulitnya melahirkan generasi peneliti adalah tidak adanya tradisi untuk memublikasikan hasil riset dan cekaknya dana penelitian. Melahirkan generasi peneliti sebenarnya bukan sekadar urusan pendanaan dan tradisi memublikasikan hasil penelitian. Salah besar jika pendanaan dan tradisi memublikasikan riset dianggap sebagai cara efektif untuk melahirkan generasi peneliti.

Masalah pokoknya adalah sistem dalam kurikulum nasional beserta evaluasi yang ada memang tidak memberi tempat bagi lahirnya generasi peneliti. Akibatnya, kultur pengajaran dalam lembaga pendidikan kita amat jauh dari reksa penelitian. Karena itu, tugas utama yang harus segera dilakukan para pendesain kurikulum pendidikan nasional adalah mengarahkan anak didik untuk berpikir kritis, mampu membuat analisis, mengadakan penelitian sederhana dan melaporkan kepada publik (teman di sekolah, guru, dan lainnya).

Rasa kagum

Jiwa peneliti terlahir dari rasa kagum yang melahirkan tanya. Karena itu, menanamkan sikap tak pernah berhenti bertanya tentang berbagai macam gejala dalam kehidupan harus menjadi budaya yang hadir di sekolah-sekolah kita. Untuk ini, para pendidik harus membebaskan anak didik agar mereka berani bereksplorasi dengan pemikirannya dan mencoba memandu aneka capaian pemahaman berdasarkan disiplin ilmu yang dia punya. Mengajak anak didik untuk mengadakan penelitian sederhana merupakan strategi efektif untuk menanamkan rasa ingin tahu dan membangkitkan rasa kagum dalam diri anak didik.

Dalam bahasa Parker J Palmer (1998), ruang pembelajaran harus terbuka sekaligus berpusat. Sebagai contoh, ketika guru menunjukkan sebuah lukisan atau gambar, para siswa diminta membuat analisis dan tanggapan atas lukisan atau gambar itu. Di satu sisi, pembelajaran memusat dan terbatas pada lukisan itu sekaligus anak diajak menganalisis gambar melalui pengalamannya sendiri. Karena itu, menciptakan ruang lingkup pembelajaran sekaligus membiarkan para siswa melahirkan tanggapan dan reaksinya sendiri merupakan salah satu cara pedagogis untuk membuka sumber-sumber kreativitas dalam diri siswa.

Adanya dialog dan keterlibatan aktif dari siswa dalam proses pembelajaran akan menjadi semakin ramah (hospitable). ”Keramahan dalam ruang kelas bukan hanya saat kita memperlakukan para siswa dengan penuh adab dan bela rasa, tetapi juga mengundang para siswa dan cercahan-cercahan pemikiran (insight) yang mereka miliki sebagai bagian dari pembicaraan” (Palmer, 1998, 79).

Harus ada keterbukaan dari para pendidik agar mereka mau menghargai pengalaman anak didik sebagai bagian dari proses maju berpengetahuan yang ia jalani selama menjalani masa pendidikan. Pendidik tidak pernah boleh mematikan tanya dalam diri para siswa.

Guru peneliti

Agar melahirkan peneliti, guru pun harus menjadi teladan sebagai peneliti. Dalam banyak hal, penelitian tindakan kelas (PTK) sudah mulai dipraktikkan para guru. Namun, PTK ini belum banyak berkembang karena para guru masih menganggap PTK merupakan tugas para akademisi di tingkat universitas yang menggunakan metode penelitian yang amat rumit yang sepertinya bukan menjadi kultur mengajar mereka di kelas.

”Penelitian sering diasosiasikan dengan sebuah pekerjaan yang terelaborasi dan tersistematisasi dengan baik, yang mengandaikan keahlian dan pelatihan khusus. Karena itu, guru jarang memiliki pemikiran bahwa penelitian tindakan kelas itu sebenarnya merupakan bagian esensial dari kinerjanya sebagai guru” (Albertus, 2009, 173). Sebenarnya, menjadi guru tak lain adalah menjadi peneliti.

Begitu masuk kelas, guru sebenarnya langsung terlibat penelitian kelas (classroom inquiry). Guru mendengarkan, mengamati, membuat hipotesis, dan menganalisis situasi kelas (kesiapan siswa menerima pelajaran, menjelaskan di mana proses belajar yang telah mereka lalui dan sedang mereka pelajari, dan lainnya). Dari sini guru diajak untuk senantiasa mengevaluasi kinerja pengajarannya di sekolah. Hal terpenting yang menjadi sasaran penelitian tindakan kelas adalah dampaknya bagi perkembangan proses belajar-mengajar di kelas, bukan terutama demi penemuan baru atau publikasi.

Membangkitkan rasa ingin tahu, menumbuhkan rasa kagum, menghargai pengalaman siswa dalam memahami materi pelajaran, dan menjadi guru peneliti hanya akan efektif jika sistem pendidikan mendukung terlahirnya kultur penelitian di sekolah. Sayang, proses pembelajaran dan sistem evaluasi standar melalui ujian nasional tidak mampu mengevaluasi kinerja penelitian. Evaluasi pendidikan dengan model pilihan ganda paling tinggi bisa mengevaluasi kemampuan analisis siswa. Namun, model pilihan ganda tetap tidak dapat menampung hal esensial dalam kinerja penelitian, seperti berbagi hasil observasi, diskusi, yang merupakan proses normal kinerja penelitian.

Melahirkan peneliti membutuhkan kerja keras semua pihak. Perubahan sistem evaluasi pendidikan diperlukan jika kita ingin melihat pendidikan melahirkan generasi peneliti. Evaluasi pendidikan yang integral akan dapat menumbuhkan kultur penelitian sejak dini dalam diri siswa kita. Mungkin inilah salah satu tugas yang harus menjadi perhatian calon Menteri Pendidikan Nasional mendatang.

Doni Koesoema AAlumnus Boston College Lynch School of Education, Amerika Serikat

Sumber : http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/20/05004392/melahirkan.generasi.peneliti

NASIONALISME DI TAPAL BATAS : Dulu Sumber Penghidupan

Dulu Sumber Penghidupan, Kini Sumber Persoalan
Kamis, 20 Agustus 2009 | 03:12 WIB

Aryo Wisanggeni Genthong

Hujan deras yang mengguyur Timika, ibu kota Kabupaten Mimika, Papua, pada Senin (20/7) malam itu tidak menyejukkan hati Atina Uwamang. Enam jam sebelumnya, Jonas Uwamang, mertua Atina, dicokok polisi.

Victor Beanal, kepala suku Amungme dari Kampung Tsinga, yang Senin siang itu bertandang ke rumah Jonas untuk merembuk rencana pernikahan kerabat mereka juga ditangkap.

”Lima polisi memasuki rumah kami, menendang pintu rumah, membongkar lemari, mengambil sejumlah barang kami. Polisi tidak memberi tahu mengapa mereka ditangkap,” tutur Atina lirih.

Jonas dan Victor adalah dua dari puluhan orang yang ditangkap terkait upaya polisi mengungkap rangkaian aksi pembakaran bus dan serangkaian penembakan areal PT Freeport Indonesia (PTFI) yang terjadi sejak 8 Juli lalu. Jonas, Victor, dan puluhan orang lainnya akhirnya dilepas polisi karena tak cukup bukti terlibat aksi penembakan di lereng Gunung Ertsberg dan Grasberg.

Polisi masih menahan delapan tersangka yang membantu pelaku penembakan. Namun, hingga Rabu pekan lalu, pelaku utama penembakan belum ditemukan. Justru tiga penembakan terjadi lagi di areal PTFI Selasa pekan lalu.

”Di areal Freeport, kepentingan terlalu banyak. Kami tidak pernah memiliki kepentingan di situ. Kami hanya memiliki gunung itu (Ertsberg dan Grasberg). Namun, isinya kami tidak pernah tahu. Sekian tahun kami sudah miskin, satu hari pun tidak pernah makan tiga kali. (Penembakan) Itu orang lain punya persoalan. Kami rakyat mau hidup tenang. Saya minta, kembalikan warga yang ditangkap,” kata Thomas Wamang, salah satu tokoh suku Amungme, dalam dialog di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Mimika, 24 Juli lalu.

Anggota DPRD Kabupaten Mimika, Martinus Maturbongs, berpendapat, skeptisisme publik itu buah trauma panjang masyarakat suku Amungme dan Kamoro akibat berbagai peristiwa sejak PTFI beroperasi di tanah ulayat mereka. ”Trauma masyarakat Amungme-Kamoro berlangsung sejak tahun 1970-an dan sampai sekarang tidak ada proses hukum (atas pelanggaran HAM yang terjadi). Bagaimana orang dimasukkan dalam kontainer, dihilangkan. Masyarakat Amungme dan Kamoro merasa selalu jadi sasaran dan disudutkan,” kata Maturbongs di Timika, 24 Juli.

Tanah ulayat Gunung Ertsberg dan Grasberg dari generasi ke generasi menghidupi suku Amungme; sebagai tempat tinggal, lahan bercocok tanam, sekaligus tempat spiritual suku Amungme. Dalam pandangan orang Amungme, gunung itu adalah ibu, yang air susunya menghidupi mereka. ”Namun, kami harus pergi meninggalkan tempat-tempat itu karena aktivitas pertambangan PTFI. Salah satu lokasi keramat kami, misalnya, kini menjadi bengkel di Tembagapura,” tutur Thomas Wamang.

PTFI mengupas kulit Gunung Ertsberg dan Grasberg untuk mendapatkan bijih batuan induk emas dan tembaga. Kupasan batuan kulit itu harus dibuang dan Cekungan Wanagon menjadi tempat penimbunan itu. Padahal, Cekungan Wanagon, yang juga tempat sakral bagi orang Amungme, khususnya penduduk Kampung Waa, Arowanop, dan Tsinga, tidak boleh diganggu. Setidaknya ada dua kecelakaan bendungan danau pecah yang mengakibatkan korban manusia maupun hewan (Laporan Tanggapan Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Jayapura, Februari 2001).

Jutaan hingga miliaran metrik ton batuan induk tubuh bijih emas dan tembaga telah dan akan terus dikeruk dari Grasberg, untuk digerus agar kandungan emas dan tembaganya bisa dipisahkan. Sisa gerusan itu menjadi lumpur lembut (tailing) yang dialirkan ke areal seluas 230 kilometer persegi daerah pengendapan yang dimodifikasi di Sungai Ajkwa. Proses pembuangan tailing itu telah disetujui pemerintah, melalui persetujuan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) 300K pada 1997 (Laporan Berkarya Menuju Pembangunan Berkelanjutan 2008, PTFI).

Sungai Ajkwa dan beberapa anak sungainya dari generasi ke generasi menjadi sumber penghidupan suku Kamoro. Di daerah aliran sungai itulah masyarakat peramu Kamoro hidup dengan budaya sungai, sagu, dan sampan mereka. Namun, justru di tempat peramu Kamoro menokok sagu, berburu binatang liar, menombak buaya, menangkap kepiting, ataupun mencari ikan itulah lumpur tailing harus diendapkan.

Tokoh suku Kamoro di Kampung Ayuka, Pius Nimaipouw, mengeluhkan hutan sagu ulayatnya yang kebanjiran limpahan air dan lumpur tailing. Akibatnya, rasa sagu mereka tidak enak. Mereka pun kemudian memilih membeli sagu di pasar.

Harus diakui, keberadaan PTFI adalah perintis pengakuan hak ulayat masyarakat pribumi di Indonesia. Tahun 1974 PTFI menyepakati Perjanjian Januari dengan para suku Amungme yang hak ulayatnya digunakan PTFI. Sejak 1996 hingga kini, sudah ada 300 juta dollar AS dana kemitraan (dana 1 persen) yang disalurkan PTFI kepada tujuh suku yang berbatasan dengan areal kontrak karya PTFI dan tinggal di Mimika.

Sejak 2001, PTFI juga memberikan kompensasi rekognisi hak ulayat atas kerugian delapan kampung suku Amungme dan Kamoro yang secara langsung terkena dampak aktivitas pertambangan PTFI. Menurut Laporan Berkarya Menuju Pembangunan Berkelanjutan 2008, total nilai dana perwalian itu sudah mencapai 26 juta dollar AS. Dan setiap tahun akan dikucurkan dana perwalian 1 juta dollar AS untuk Kampung Waa-Banti, Arwanob, Tsinga (ketiganya kampung suku Amungme), Koperapoka, Nayaro, Nawaripi, Ayuka, dan Tipuka (kelimanya kampung suku Kamoro).

Namun, Thomas Wamang justru berpendapat kucuran uang besar itu menjadi masalah baru. ”Dahulu kami sangat berhati-hati dengan uang. Sekarang, uang yang atur kehidupan kami. Ketika uang di saku, yang terjadi justru bar-bir-bor (pergi ke bar, mabuk bir, lalu ke lokalisasi).”

PTFI memang memberi manfaat besar bagi banyak pihak. Pajak, royalti, dan dividen yang dibayarkan kepada pemerintah pada 2007 mencapai 1,8 miliar dollar AS. PTFI menyerap tenaga kerja hingga 9.800 orang dan 98 persen di antaranya warga negara Indonesia. Total upah dan gaji karyawan sejak 1992 telah mencapai 1,4 miliar dollar AS. Sejumlah 45 persen produk domestik regional bruto (PDRB) Provinsi Papua dan 96 persen PDRB Kabupaten Mimika bersumber dari PTFI. Dan 25 persen pendapatan rumah tangga di Papua disediakan oleh PTFI.

Perputaran uang besar di Timika pun menjadi magnet bagi banyak orang untuk datang ke Timika dan menghasilkan persoalan sosial yang tak berujung.

Pertikaian antarkelompok, perang tradisional antarsuku, dan pendulangan emas dari tailing yang mengandung merkuri hanya sebagian contoh. Ditambah serangkaian penembakan misterius di areal PTFI, lengkap sudah tumpukan masalah di Mimika.

Sumber : http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/20/03124363/dulu.sumber.penghidupan.kini.sumber.persoalan

Saatnya Mewujudkan Negara Kepulauan Indonesia

"UUD 1945 Pasal 25E telah mengamantkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang"
”Untuk membangun Indonesia menjadi negara besar, negara kuat, negara makmur, negara damai yang merupakan National Building bagi negara Indonesia, maka negara dapat menjadi kuat jika dapat menguasai lautan. Untuk menguasai lautan, kita harus menguasai armada yang seimbang.” (Pidato Bung Karno yang disampaikan dalam National Maritime Convention I tahun 1963)