23 Maret 2010

Ekosistem Rusak, Penebaran Benih Sia-sia

Ekosistem Rusak, Penebaran Benih Sia-sia

Selasa, 23 Maret 2010 | 04:11 WIB

Jakarta, Kompas - Program pemerintah untuk penebaran kembali benih ikan di perairan umum, seperti waduk, sungai, dan danau, tidak akan efektif jika ekosistem perairan telanjur rusak. Penebaran kembali benih ikan akan efektif jika hutan dan kawasan di sekitar sungai diperbaiki.

Demikian dikemukakan Kepala Riset Pusat Kajian Sumber Daya Kelautan dan Peradaban Maritim Suhana di Jakarta, Senin (22/3). Dia menjelaskan, ekosistem di sejumlah daerah aliran sungai saat ini rusak.

Hal itu, kata Suhana, dampak dari kerusakan hutan dan lingkungan sekitar perairan. Selain itu, masih banyak sungai yang difungsikan sebagai tempat pembuangan sampah serta limbah rumah tangga ataupun pabrik.

Suhana mengingatkan, dalam program penebaraan kembali benih ikan (restocking), benih ikan yang ditebar harus merupakan benih asli sungai tersebut agar tidak mengganggu habitatnya. Oleh sebab itu, perlu keterlibatan masyarakat lokal dalam menentukan benih yang akan ditebar.

Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan, benih ikan yang ditebar kembali pada 2009 berkisar 7-8 juta ekor ikan. Benih ikan itu ditebar, antara lain, di Waduk Jatiluhur, Waduk Cirata, dan Danau Batur. Jumlah itu belum termasuk benih ikan yang ditebar oleh pemerintah provinsi dan kabupaten/kota.

Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, misalnya, melakukan penebaran kembali benih ikan nila dan mas 2 juta ekor.

Penebaran benih ikan itu dilakukan di Danau Tempe 1,3 juta ekor dan 700.000 ekor di 10 kabupaten/kota di Sulawesi Selatan, seperti Kabupaten Tana Toraja, Luwu, Pinrang, dan Kabupaten Gowa.

Danau Tempe luasnya 30.000 hektar pada musim hujan dan 10 ribu hektar pada musim kemarau. Jenis ikan habitat asli Danau Tempe adalah ikan betok, sidat, nila, mas, lele, tawes, dan betutu.

Pengelolaan perikanan yang tidak bertanggung jawab di Danau Tempe dalam beberapa tahun terakhir memicu kerusakan lingkungan perairan tersebut.

Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan Made L Nurdjana mengemukakan, upaya penebaran kembali benih ikan tidak hanya untuk memperkaya stok ikan. Kegiatan ini juga memperbaiki daya dukung perairan yang rusak akibat endapan kotoran dan sisa pakan.

Penumpukan kotoran dan sisa pakan di perairan umum kerap terjadi akibat dari maraknya pertumbuhan budidaya keramba jaring apung. Oleh karena itu, kata Made, pengembangan keramba jaring apung butuh penebaran benih ikan secara berkala.

Namun, penebaran benih ikan harus didahului dengan survei kelayakan lingkungan sekitar perairan dan pemilihan spesies yang tidak merusak lingkungan.

”Kalau lingkungan perairan telanjur rusak, restocking ikan tidak efektif dilakukan,” ungkap Made. (LKT)

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/03/23/04113572/ekosistem..rusak.penebaran..benih.sia-sia..

22 Maret 2010

70 Persen Hutan Mangrove Rusak

70 Persen Hutan Mangrove Rusak

Senin, 22 Maret 2010
Kelautan dan Perikanan I Pendapatan Nelayan Semakin Merosot

Untuk merehabilitasi sekitar 2,25 juta ha hutan mangrove yang rusak, dibutuhkan anggaran sekitar 2.225 triliun rupiah.

Kerusakan hutan mangrove dalam kondisi yang memprihatinkan. Malah, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) memperkirakan luas hutan mangrove di Indonesia menyusut dengan sangat drastis dari 4,25 juta ha pada 1982 menjadi kurang dari 1,9 juta ha pada 2010 atau bekurang 2,25 juta ha.

“Rusaknya hutan pencegah banjir tersebut berakibat pada terputusnya rantai penghidupan dan obat-obatan masyarakat pesisir.

Selain itu, musnahnya produktivitas perikanan dan hilangnya habitat pesisir lainnya kian meningkatkan kerentanan masyarakat pesisir atas badai dan gelombang tinggi,” ujar M Riza Damanik, Sekretaris Jenderal Kiara, di Jakarta, Minggu (21/3).

Meminjam logika Lembaga Pengkajian dan Pengembangan (LPP) Mangrove Indonesia, untuk merehabilitasi hutan mangrove di Jakarta yang digunakan untuk areal tambak dengan luas 1x4 meter sedalam 1,5 meter dibutuhkan biaya 10 juta rupiah.

Maka, untuk merehabilitasi sekitar 2,25 juta hektare hutan mangrove yang berkurang itu, dibutuhkan anggaran sekitar 5.625 triliun rupiah.

Namun, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mencatat 4,51 juta hektare lahan mangrove mengalami kerusakan skala sedang dan 2,15 juta hektare rusak parah.

Kerusakan secara tidak langsung berdampak pada merosotnya pendapatan nelayan karena mangrove tidak lagi menjadi tempat berpijah dan berkembang biak bagi ikan. Ikan hilang, wilayah tangkapan nelayan pun semakin jauh ke tengah laut.

KKP juga sudah mengalokasikan 10 juta bibit untuk mempercepat gerakan menanam mangrove nasional. Program itu diharapkan mampu meminimalisasi kerusakan. Pasalnya, dari 9,36 juta hektare luas hutan mangrove, 70 persennya telah rusak.

“Dulu, nelayan masih bisa menangkap ikan di sekitar pantai yang ditumbuhi mangrove. Sekarang, nelayan harus melaut sejauh 12 mil dari pantai untuk mendapatkan ikan,” kata Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) wilayah Jakarta, Tri Sukmono, kepada Koran Jakarta, Minggu.

Luas mangrove di Jakarta awalnya mencapai 18 kilometer yang membentang di sepanjang pantai mulai dari Muara Angke sampai Muara Kamal, namun saat ini hanya tersisa tiga kilometer di wilayah Muara Angke. Akibat hilangnya hutan mangrove itu, kata Tri, nelayan sulit menangkap ikan di pinggir pantai.

Hingga tahun 1990-an, kata Tri, nelayan Jakarta masih mampu menangkap berbagai jenis ikan di sekitar hutan mangrove, namun saat ini hanya ikan kembung yang bisa ditangkap, itu pun tidak setiap hari.

“Menangkap ikan semakin sulit, dan pendapatan nelayan tidak seberapa karena volume ikan yang ditangkap menyusut.

Paling yang ditangkap ikan kembung dengan harga jual 13 ribu per kilogram. Udang dan kakap merah sudah tidak ditemukan di pinggiran pantai,” ungkapnya.

Menurut Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad, kerusakan mangrove dipicu ulah manusia yang mengonversi hutan mangrove menjadi permukiman, lokasi rekreasi, kawasan industri, dan pemanfaatan lain.

Akibatnya, dari 9,36 juta hektare hutan mangrove, 70 persennya mengalami kerusakan dengan komposisi 4,51 juta hektare rusak sedang dan 2,15 juta hektare rusak parah.

Untuk mencegah kerusakan itu, KKP menyiapkan upaya rehabilitasi lahan mangrove. “Kita sudah alokasikan 10 juta bibit mangrove di tingkat nasional. Angka itu masih kurang. Seharusnya sampai 100 juta.

Dengan tingkat abrasi laut yang pesat, maka kita perlu segera lakukan rehabilitasi,” katanya seusai menyerahkan 100 ribu bibit mangrove dalam jambore tanam mangrove di Pekalongan, Jumat (19/3).

Fadel meyebut dari 530 kilometer lahan mangrove yang membentang di pantai utara Jawa, tercatat 700-800 hektare lahan telah mengalami kerusakan, dan tingkat kerusakan terparah berada di Jawa Tengah dengan panjang pantai 325 kilometer.

KKP, kata Fadel, menggandeng Kementerian Kehutanan dan Kementerian Lingkungan Hidup untuk melakukan rehabilitasi lahan mangrove. Salah satu yang dilakukan ialah menggelar jambore mangrove untuk menggelorakan penanaman mangrove di Jawa Tengah.

Konsisten Menjaga Sementara itu, seusai menghadiri jambore tanam mangrove yang melibatkan ribuan masyarakat di pantai Depok, Kabupaten Pekalongan, Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo meminta nelayan konsisten menjaga mangrove yang sudah ditanam.

“Saya minta bantuan mangrove tidak hanya seremoni formal dan menyebut angka. Lagian siapa yang mau menghitung jumlahnya.

Saya minta mangrove dipelihara dan dirawat, jangan sampai setelah ditanam terus dibiarkan,” tegasnya. Hal senada diungkapkan pengamat kelauatan dan perikanan Suhana.

Ia menyebut selama ini pemerintah menggelorakan penanaman mangrove tetapi belum mampu memberdayakan masyarakat agar menjaga dan melanjutkan kelestarianya.

“Langkah penanaman dan rehabilitasi mangrove tidak secepat kerusakan yang terjadi. Sepanjang tahun 1980-an, di pantai utara Jawa, hutan mangrove beralih fungsi menjadi tambak. Dan luasnya sangat besar,” ungkapnya saat dihubungi, Minggu.

Suhana meminta KKP memberikan kompensasi kepada nelayan yang terdampak dari rusaknya hutan mangrove.

Pasalnya, selama ini mangrove menjadi habitat ikan. Saat rusak, maka ikan menghilang dan tangkapan nelayan menyusut.

Salah satu kompensasi yang seharusnya diberikan ialah memberikan perahu berukuran sedang agar nelayan memiliki kemampuan tangkap di wilayah perairan dalam.

“Jika tidak diberikan kompensasi, maka nelayan kecil yang selama ini menangkap ikan di pesisir pantai sekitar hutan mangrove akan terancam pendapatanya,” imbuhnya.

Secara tidak langsung, rusaknya habitat ikan di hutan mangrove, kata Suhana, telah mengakibatkan volume tangkapan ikan nelayan turun signifikan.

“Jadi yang perlu dipikirkan pemerintah tidak hanya menanam mangrove, tetapi memikirkan nelayan yang terdampak akibat kerusakan mangrove.”
aan/E-8

Sumber : http://www.koran-jakarta.com/berita-detail.php?id=47977

Saatnya Mewujudkan Negara Kepulauan Indonesia

"UUD 1945 Pasal 25E telah mengamantkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang"
”Untuk membangun Indonesia menjadi negara besar, negara kuat, negara makmur, negara damai yang merupakan National Building bagi negara Indonesia, maka negara dapat menjadi kuat jika dapat menguasai lautan. Untuk menguasai lautan, kita harus menguasai armada yang seimbang.” (Pidato Bung Karno yang disampaikan dalam National Maritime Convention I tahun 1963)