10 September 2013

RUU PESISIR MASIH MENYIMPAN POTENSI MELANGGAR UUD 1945

RUU PESISIR MASIH MENYIMPAN POTENSI MELANGGAR UUD 1945[1]
OLEH : SUHANA[2]

 Paripurna DPR-RI Tanggal 25 Juni 2013 telah memutuskan Pembentukan Panitia Khusus (Pansus) terkait amandemen UU No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Amandemen UU Pesisir dan Pulau Kecil tersebut merupakan respon pemerintah terhadap putusan Mahkamah Konstitusi No 3/PUU-VIII/2010 yang telah membatalkan pasal-pasal yang terkait HP-3 karena telah bertentangan dengan UUD 1945. Oleh sebab itu untuk tidak mengulang kesalahan yang sama dalam penyusunan RUU Pesisir dan Pulau Kecil ini hendaknya merujuk pada UUD 1945.
Berdasarkan Draft Naskah RUU Perubahan Atas UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, terlihat masih terdapat pasal-pasal yang berpotensi melanggar UUD 1945. Dalam Draft RUU Pesisir Pasal 22 disebutkan Ayat (1) dijelaskan bahwa Izin lokasi tidak dapat diberikan pada zona inti di kawasan konservasi, alur laut, kawasan pelabuhan dan pantai umum. Artinya bahwa wilayah hak ulayat perairan dapat diberikan izin lokasi kepada pihak swasta. Keberadaan Pasal 22 tersebut sejalan dengan Pasal 21B Draft RUU pesisir yang menyataakan bahwa pemberian izin lokasi dalam wilayah hak ulayat perairan dapat dilakukan setelah memperoleh persetujuan dari masyarakat hukum adat.
Dengan diberikannya peluang pemberian izin lokasi di wilayah hak ulayat perairan menunjukan bahwa RUU ini tidak berupaya untuk memberikan perlakuan khusus bagi masyarakat adat guna mencapai keadilan seperti yang diamanatkan dalam UUD 1945. Amanat UUD 1945 Pasal 18 B Ayat (2) menyatakan “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”. Sementara itu dalam Pasal 28 H Ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa (1) setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.
Selain itu juga dengan diberikannya peluang pemberian izin dilokasi wilayah hak ulayat perairan berpotensi menimbulkan konflik antara masyarakat adat dengan pemilik izin lokasi tersebut. Kita perlu belajar dari kasus konflik masyarakat adat sasi di Maluku Tenggara dengan salah satu perusahaan perikanan terbesar yang ada di wilayah Tual Maluku Tenggara (Lihat Boks) pada tahun 2009.

 
 
SENGKETA ADAT
“Sasi” Jembatan Watdek Dibuka
Rabu, 21 Oktober 2009 | 04:00 WIB

Ambon, Kompas ”Sasi” atau larangan adat untuk melintasi jembatan Watdek—penghubung Kota Tual dengan Kabupaten Maluku Tenggara di Maluku—akhirnya dibuka, Senin (19/10) malam. Pembukaan sasi dilakukan secara adat setelah tercapai kesepakatan soal pencabutan gelar adat dari seorang pengusaha perikanan, yang diberikan oleh para raja rumpun adat Kei baru-baru ini.
Janur kelapa yang semula dibentangkan di atas jembatan sebagai simbol larangan adat, sekitar pukul 20.00 WIT itu disingkirkan warga dan pemuka adat.
Kemarin operasional Bandar Udara Dumatubun pun pulih seiring lancarnya pasokan bahan bakar pesawat terbang. Tiga maskapai penerbangan rute Ambon- Langgur, yaitu Trigana Air, Wings Air, dan Express Air, juga sudah bisa beroperasi seperti biasa. Ribuan pengunjuk rasa yang menduduki jembatan Watdek, sejak Sabtu pekan lalu, membubarkan diri setelah sasi dibuka.
Janji
Kesepakatan pembukaan sasi dicapai setelah para raja Kei dimediasi oleh pemerintah daerah. Adapun janji mencabut gelar adat dikemukakan pada Senin malam—yang diikuti dengan pembukaan sasi jembatan.
Pembukaan sasi disaksikan Bupati Maluku Tenggara Andreas Rentanubun, Wakil Bupati Maluku Tenggara Yunus Serang, dan Wakil Wali Kota Tual Adam Rahayaan. ”Kesepakatan (pencabutan gelar) tercapai antara pendemo, para raja, dan David Tjioe (penerima gelar),” ujar Andreas.
David Tjioe, menurut Andreas, atas inisiatifnya sendiri bersedia mengembalikan gelar adat yang dia terima. David juga mengembalikan perlengkapan adat, seperti pakaian kebesaran dan pernik-pernik adat lainnya.
Penyerahan gelar adat itu semula disampaikan David kepada Andreas selaku bupati. Namun, bupati menyarankan untuk menyerahkannya kepada para raja dalam sebuah prosesi adat karena menyangkut masalah adat.
Pemerintah Kabupaten Maluku Tenggara dan Pemerintah Kota Tual dalam waktu dekat akan memfasilitasi pertemuan para raja untuk menerima pengembalian gelar adat Dir U Ham Wang dari David Tjioe kepada para raja sekaligus pencabutan gelar adat. Dalam sistem adat Kei, gelar Dir U Ham Wang setara dengan raja para raja. (ANG)

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/21/04000379/sasi.jembatan.watdek.dibuka
 



































Selain itu juga yang perlu mendapatkan perlindungan adalah wilayah tangkap nelayan kecil/tradisional. Penelusuran Penulis dengan Tim Ekspedisi Pesisir Jakarta Tahun 2007 yang digagas oleh Harian Umum Sinar Harapan menemukan bahwa adanya nelayan pesisir Jakarta seakan tidak lagi memiliki akses terhadap kawasan yang mereka tempati selama beberapa tahun kebelakang. Untuk mendaratkan perahu serta ikan tangkapannya di beberapa titik pesisir Teluk Jakarta pun sulit. Seperti di sepanjang kawasan industri Tanjungpriok dan Cilincing, para nelayan sama sekali tak dapat menjangkau pantai-pantai yang kini dimiliki pihak swasta tersebut. Dari sepanjang kurang lebih 23 kilometer panjang wilayah pesisir Jakarta (Cilincing hingga Muara Kamal), para nelayan tradisional itu hanya dapat mendarati beberapa pantai yang panjangnya hanya beberapa kilometer. Sisanya harus mereka “relakan” karena penguasaannya telah beralih kepada perorangan, badan swasta ataupun badan usaha milik Negara (BUMN).

Sumber : Harian Umum Sinar Harapan, Selasa, 28 Agustus 2007

Berdasarkan hal tersebut untuk memberikan penguatan dan perlindungan yang optimal terhadap masyarakat adat, Pasal 22  Ayat (1) harusnya berbunyi "Izin lokasi tidak dapat diberikan pada zona inti di kawasan konservasi, alur laut, kawasan pelabuhan, wilayah hukum adat (baik tertulis maupun tidak tertulis), wilayah tangkap nelayan kecil/tradisional dan pantai umum. Sejalan dengan perubahan bunyi Pasal 22  Ayat (1), maka keberadaan Pasal 21B RUU Pesisir perlu dibatalkan.

Stop Peran Asing Di Wilayah Pesisir
Pasal 23 Ayat (4) RUU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil menyatakan bahwa Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan pemanfaatan perairan di sekitarnya oleh orang asing harus mendapat persetujuan Menteri. Artinya bahwa orang asing diberikan peluang untuk “menguasai” perairan pesisir. Ketentuan Pasal 23 Ayat (4) ini bertentangan dengan Pasal 18 RUU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil, dimana izin lokasi hanya diberikan bagi orang warga negara Indonesia atau badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia. Selain itu juga diperbolehkannya orang asing dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir merupakan bentuk penjajahan ekonomi seperti yang terjadi saat ini disektor perikanan dan pariwisata bahari. Berdasarkan hal tersebut keberadaan Pasal 23 Ayat (4) perlu ditiadakan.
Diakhir tulisan singkat ini penulis menegaskan bahwa tanpa adanya perlakuan dan perlindungan khusus bagi masyarakat hak ulayat dan nelayan tradisional, dikhawatirkan RUU Pesisir dan Pulau Kecil ini akan kembali melanggar UUD 1945.

Referensi
Harian Umum Sinar Harapan, 2007. Tempat Berlabuh yang Terenggut Pembangunan. Edisi Selasa, 28 Agustus 2007;
Koalisi Tolak HP-3. Menghidupkan Kembali Konstitusi Kepulauan. Perjuangan Nelayan di Mahkamah Konstitusi. Diterbitkan oleh KIARA, Cetakan Pertama April 2012;
Suhana, 2011. Ekonomi Politik Kebijakan Kelautan Indonesia. Penerbit Intrans Publishing, Cetakan Pertama Mei 2011;
Undang-Undang Dasar 1945


[1] Disampaikan dalam Konsultasi Publik dan Jaring Pendapat dalam Rangka Pembahasan RUU Tentang Perubahan Atas UU No 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Kerjasama Direktorat Kajian Strategis dan Kebijakan Pertanian (Dit. KSKP) IPB dengan Komisi IV DPR-RI dan Kementerian Kelautan dan Perikanan.
[2] Kepala Riset Pusat Kajian Pembangunan Kelautan Dan Peradaban Maritim. Alamat Kontak : Email : suhanaipb@gmail.com, Blog : http://pk2pm.wordpress.com dan http://suhana-ocean.blogspot.com , HP : 081310858708

Link Berita Diskusi Publik  bisa di akses di :
http://jogja.antaranews.com/berita/315403/ipb-kompeten-beri-masukan-revisi-uu-pengelolaan-pesisir

Suhana

30 Juli 2013

Dual Ekonomi dan Konservasi Berbasis Lokal



Oleh : Suhana
Kepala Riset Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim


Konservasi merupakan salah satu upaya untuk melindungi sumberdaya sumberdaya ikan dan biota laut lainnya dari kepunahan. Berbagai upaya telah dilakukan baik oleh masyarakat lokal dan pemerintah dalam upaya melakukan konservasi di wilayah laut. Namun demikian pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah dengan masyarakat lokal sangat jauh berbeda. Pemerintah lebih mengedepankan peran asing dalam melakukan konservasi diwilayah nasional, sehingga mulai dari konsep dan sistem pendanaannya pun sangat menggantungkan dari utang dan hibah luar negeri. Sementara itu pendekatan yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam melindungi sumberdaya diwilayah laut dan pesisir adalah dengan pendekatan dual ekonomi (ekonomi ganda) yang sudah berjalan turun temurun dimasyarakat.
Konservasi Berbasis Utang
Konservasi berbasis utang luar negeri yang dikembangkan oleh pemerintah melalui program rehabilitasi dan pengelolaan terumbu karang (Coremap) tidak berjalan optimal, sehingga akhirnya hanya menambah beban utang luar negeri nasional. Hasil audit BPK (2013) menyimpulkan bahwa program Coremap yang telah dilakukan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan dan dinas kelautan dan perikanan provinsi/kabupaten/kota belum efektif dilaksanakan secara optimal. Kesimpulan BPK (2013) tersebut didasarkan pada temuan-temuan dilapagan, yaitu kegiatan penyadaran masyarakat belum efektif, perangkat kelembagaan perlindungan ekosistem terumbu karang tidak optimal, pengelolaan dana bergulir desa belum optimal, pengelolaan prasarana fisik desa yang berasal dari dana COREMAP tidak optimal, kegiatan pengembangan matapencaharian alternatif (MPA) pada Kota Batam dan Kabupaten Bintan Kepulauan Riau tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat, pembangunan fasilitas pondok informasi untuk mengakses informasi pengelolaan terumbu karang tidak efektif, Radio Sistem MCS milik PMU Kabupaten Buton tahun 2010 senilai Rp. 1.800.000.000 yang berasal dari dana pinjaman luar negeri dan APBD tidak dimanfaatkan, pengawasan dan perlindungan di kawasan terumbu karang dengan menggunakan perahu pengawas tidak tercapai, indikator biofisik dan sosial ekonomi di lokasi COREMAP tidak menunjukan pencapaian signifikan, dan program Coremap II belum efektif menjamin perlindungan terumbu karang.
Namun demikian walaupun hasil audit BPK menunjukan ketidakefektifan program konservasi berbasis utang tersebut, Kementerian Kelautan dan Perikanan tetap tidak peduli. KKP tetap memilih memperbesar utang luar negeri untuk membiayai program-program yang sudah terbukti tidak efektif tersebut, dibandingkan untuk melihat dan memperdalam sistem konservasi yang sudah berjalan turun-temurun di masyarakat nusantara. Padahal sistem konservasi berbasis lokal tersebut terbukti cukup efektif bagi kelestarian lingkungan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.  
Dual Ekonomi dan Sistem Konservasi Lokal
Sistem konservasi laut yang berkembang dimasyarakat lokal lebih didorong oleh sistem dual ekonomi yang ada dimasyarakat pesisir. Dual ekonomi (ekonomi ganda) adalah kegiatan ekonomi masyarakat pesisir berbasis kelautan/perikanan dan pertanian. Model dual economics ini sudah berkembang di wilayah pesisir, khususnya masyarakat di pulau-pulau kecil yang ada di seluruh wilayah Indonesia. Tinjauan penulis di dua lokasi yang berbeda, yaitu di Desa Pulau Lemukutan Kabupaten Bengkayang Kalimantan Barat (2013) dan Desa Autubun Kabupaten Maluku Tenggara Barat (2007) menunjukkan bahwa sistem dual ekonomi tersebut cukup efektif dalam menjaga kelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat lokal.
Tinjauan penulis (2013) di masyarakat Pulau Lemukutan Kabupaten Bengkayang Kalimantan Barat sistem ekonominya cenderung dibentuk oleh musim Cengkeh dan Ikan. Cengkeh merupakan komoditas utama penggerak ekonomi masyarakat Pulau Lemukutan. Musim Cengkeh biasanya berlangsung pada Bulan April-Juli setiap tahunnya. Pada musim Cengkeh, aktivitas menangkap ikan cenderung tidak dilakukan oleh masyarakat Pulau Lemukutan. Masyarakat lebih terkonsentrasi dalam memanen cengkeh. Harga cengkeh saat ini di Pulau Lemukutan sekitar Rp. 100.000 – Rp. 130.000 per kilogram, sementara harga Cengkeh di Kota Singkawang tempat masyarakat menjual hasil panen nya berkisar antara Rp. 130.000 – Rp. 150.000 per kilogram. Harga tersebut tentu lebih tinggi dibandingkan harga ikan yang cenderung tidak pernah mengalami peningkatan. Berhentinya aktivitas menangkap ikan disaat musim panen cengkeh ternyata berdampak positip bagi kelestarian sumberdaya ikan dan ekosistem pesisir seperti terumbu karang. Hasil survey (2013) menunjukan bahwa di sekitar Pulau Lemukutan tersebut masih ditemukan ikan-ikan kerapu dengan panjang lebih dari satu meter yang berenang bebas di sekitar perairan tersebut. Selain itu juga kondisi terumbu karang masih sangat terjaga dengan baik, ikan-ikan karang pun masih cukup banyak. Inilah sistem ekonomi yang berdampak baik bagi kesejahteraan masyarakat dan kelestarian sumberdaya alam yang ada di sekitarnya. Oleh sebab itu sistem ekonomi yang sudah berlangsung secara turun temurun tersebut perlu didukung oleh kebijakan pemerintah dan pemerintah daerah yang berpihak pada keberlangsungan sistem ekonomi lokal tersebut.
Hal yang sama juga terjadi di masyarakat gugusan Kepulauan Tanimbar Kabupaten Maluku Tenggara Barat, khususnya di desa Autubun Kecamatan Wertambrian. Masyarakat disana masih memiliki kearifan lokal yang sampai saat ini masih terjaga secara baik, yaitu sasi. Sasi merupakan aturan adat yang melarang pengambilan/pemanenan hasil laut atau hasil kebun (kelapa) pada periode tertentu. Larangan ini akan dicabut oleh  Latupati  yang menandai masa panen atau biasa disebut “buka sasi”. Jika sasi diperlakukan di pesisir, maka wilayahnya sampai pada meti- istilah lokal untuk daerah pasang surut. Setiap wilayah sasi memiliki petuanan, kalau di Saumlaki disebut sebagai Mangfwaluruk. Sasi yang ada di Desa Autubun dapat dibagi menjadi dua, yaitu pertama, sasi darat, yaitu sasi yang dilakukan diwilayah darat, seperti sasi kelapa, sasi kayu besi, sasi kayu lenggoa, sasi kemiri dan sasi kayu kuning. Kedua, sasi laut, yaitu sasi yang diterapkan di wilayah perairan laut, seperti sasi lola, sasi teripang dan sasi batulaga.
            Berdasarkan hal tersebut, perbedaan mendasar dari konservasi berbasis lokal dengan utang luar negeri adalah dalam sistem lokal, sistem ekonomi yang dibentuk di masyarakat adalah dual ekonomi. Sehingga masyarakat memiliki aktivitas ekonomi ganda yang saling mendukung dan selaras dengan upaya melestarikan sumberdaya ikan dan biota lainnya yang ada disekitar pesisir. Sementara dalam sistem konservasi yang diusung pemerintah selama ini lebih memfokuskan untuk mengembangkan Mata Pencaharian Alternatif (MPA) guna mengurangi aktifitas penangkapan ikan atau biota lainya di wilayah perairan,sehingga wajar hasilnya pun hanya sebatas alternatif saja. Akibatnya sistem konservasi berbasis MPA tersebut tidak berdampak terhadap kelestarian sumberdaya ikan dan biota laut lainnya.
Alhasil, pendekatan pelestarian sumberdaya pulau-pulau kecil, pesisir dan laut hendaknya mengedepankan nilai-nilai lokal yang telah berkembang turun temurun diwilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di seluruh wilayah nusantara. Sementara itu pelestarian sumberdaya pulau-pulau kecil, pesisir dan laut berbasiskan utang asing hanya akan mencederai tujuan mulia tersebut dan hanya akan membebani utang pemerintah.

Catatan :
Tulisan ini dimuat pada Harian Sinar Harapan Edisi Tanggal 19 Juli 2013.
Linknya dapat dilihat di : http://cetak.shnews.co/web/read/2013-07-19/15494/dual.ekonomi.dan.konservasi.berbasis.lokal#.Ufc2rm2CDwU

22 Mei 2013

Keindahan Alam diatas Perairan Antara Biak-Makassar






Photo ini diambil pada hari Minggu, 19 Mei 2013 diatas perairan antara Biak sampai Makassar. Pesawat merpati yang membawa saya dari Jayapura ke Jakarta, transit dulu di Biak dan Makassar.

Sunrise di Atas Danau Sentani Jayapura

Sunrise diatas Danau Sentani Jayapura merupakan hasil bidikan sendiri dalam perjalanan ke Jayapura pada hari Sabtu, 18 Mei 2013. Keindahan alam di Jayapura sangat menarik untuk dijadikan salah satu tujuan kunjungan wisata bahari, terlebih Jayapura saat ini terlihat sangat rapi dan bersih.








Saatnya Mewujudkan Negara Kepulauan Indonesia

"UUD 1945 Pasal 25E telah mengamantkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang"
”Untuk membangun Indonesia menjadi negara besar, negara kuat, negara makmur, negara damai yang merupakan National Building bagi negara Indonesia, maka negara dapat menjadi kuat jika dapat menguasai lautan. Untuk menguasai lautan, kita harus menguasai armada yang seimbang.” (Pidato Bung Karno yang disampaikan dalam National Maritime Convention I tahun 1963)