12 Desember 2012

Ikan Subsidi dan “Degrowth” Ekonomi Perikanan

Ikan Subsidi dan “Degrowth” Ekonomi Perikanan
Suhana* | Selasa, 11 Desember 2012 - 14:55:48 WIB
: 107


(dok/ist)
Pemerintah harus menyediakan aturan yang tegas.

Kebijakan ekonomi perikanan sampai saat ini belum menemukan suatu konsep yang benar-benar berpihak pada kepentingan rakyat dan masa depan bangsa dan negara.
Menurut catatan penulis, berbagai kebijakan ekonomi perikanan mulai dari Protekan 2003, Gerbang Mina Bahari, Revitalisasi Perikanan, Minapolitan dan Blue Economic saat ini, semuanya berorientasi pada kepentingan asing, terutama dalam memenuhi kebutuhan negara-negara maju akan sumber daya ikan yang berkualitas tinggi.
Hal ini tercermin dari target indikator kinerja utama Kementerian Kelautan dan Perikanan yang mengedepankan peningkatan volume ekspor ikan dan produk perikanan, dibandingkan perbaikan dan peningkatan pasar dalam negeri. Lebih prihatin lagi, pasokan ikan untuk memenuhi kebutuhan negara-negara maju tersebut difasilitasi dengan BBM bersubsidi.
Penggunaan BBM bersubsidi untuk usaha perikanan saat ini diatur dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2012 tentang Harga Jual Eceran dan Konsumen Pengguna Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu.
Dalam lampiran perpres tersebut dijelaskan bahwa usaha perikanan termasuk yang memiliki yang dimaksud dengan usaha perikanan tersebut adalah (a) Nelayan yang menggunakan kapal ikan Indonesia dengan ukuran maksimum 30 GT dan diberikan kebutuhan BBM paling banyak 25 (dua puluh lima) kiloliter/bulan untuk kegiatan penangkapan ikan; (b) Nelayan yang menggunakan kapal ikan Indonesia dengan ukuran di atas 30 GT dan diberikan kebutuhan BBM paling banyak 25 (dua puluh lima) kiloliter/bulan untuk kegiatan penangkapan ikan; (c) Pembudi daya-ikan kecil yang menggunakan sarana pembudidayaan ikan untuk operasional perbenihan dan pembesaran.
Tingginya kepentingan asing di sektor perikanan tercermin juga dari tingginya nilai investasi asing di sektor kelautan dan perikanan. Data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM 2012) menunjukan bahwa sampai triwulan 2 2012, investasi sektor perikanan 94,11 persen dikuasai asing.
Bahkan, dalam dua tahun terakhir (2010 dan 2011) investasi asing di sektor perikanan mencapai di atas 99 persen. Bahkan, informasi di lapangan menunjukkan kapal-kapal perikanan yang bersumber dari investasi asing tersebut semuanya berbendera Indonesia, hal ini dimaksudkan supaya mereka bisa menikmati BBM bersubsidi yang disediakan pemerintah.
Subsidi perikanan (BBM, pakan, kapal, dll) sampai saat ini penulis masih memandang sangat diperlukan untuk mendukung usaha perikanan nasional, khususnya usaha perikanan kecil dan menengah (UMKM Perikanan).
Dengan adanya subsidi perikanan tersebut diharapkan ikan-ikan yang dihasilkan oleh subsidi perikanan tersebut dapat seratus persen dimanfaatkan dan dinikmati masyarakat Indonesia sendiri, melalui ketersediaan ikan-ikan kualitas baik dengan harga subsidi.
Namun demikian, yang terjadi sampai saat ini ikan-ikan hasil tangkapan nelayan dan perusahaan perikanan skala industri yang telah memanfaatkan BBM bersubsidi sebagian besar diekspor ke pasar-pasar negara maju, seperti Jepang, Uni Eropa dan Amerika Serikat, terutama untuk ikan-ikan kualitas 1 dan 2.
Hasil survei lapangan penulis di beberapa lokasi sentra produksi perikanan menunjukkan bahwa ikan-ikan berkualitas 1 dan 2 rata-rata diekspor ke Jepang, Amerika dan Uni Eropa, sementara ikan kualitas 3, 4 dan ikan asin rata-rata untuk konsumsi restoran dan pasar lokal.
Artinya bahwa selama ini pemerintah secara sistematis telah berperan dalam menyediakan pasokan kebutuhan ikan negara maju dengan memanfaatkan uang rakyat.
Peningkatan Gizi Rakyat
Polanco (2012) menyatakan bahwa konsumsi ikan masyarakat merupakan fungsi dari pendapatan yang dapat dibelanjakan dan harga ikan. Dengan meningkatnya pendapatan atau menurunnya harga ikan maka akan berdampak positif terhadap peningkatan konsumsi ikan masyarakat.
Peran subsidi perikanan adalah untuk menurunkan biaya produksi yang harus ditanggung para nelayan dan pengusaha perikanan. Biaya produksi perusahaan perikanan 60-70 persen merupakan biaya untuk bahan bakar minyak.
Dengan demikian, seharusnya ikan-ikan segar yang berkualitas bagus yang dihasilkan kapal-kapal perikanan bersubsidi tersebut dipasarkan di dalam negeri dengan harga terjangkau (harga subsidi). Ini karena anggaran subsidi BBM tersebut berasal dari uang rakyat, jadi sudah sepantasnya juga ikan hasil produksinya dinikmati rakyat Indonesia.
Selain itu, ketersediaan ikan subsidi berkualitas baik tersebut diperlukan guna meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia yang saat ini kondisi gizinya sangat mengkhawatirkan, terutama sumber daya manusia di sentra-sentra produksi ikan.
Dokumen Bappenas (2010) menunjukkan bahwa bayi yang kekurangan gizi masih sangat tinggi, terutama di provinsi-provinsi berbasis sektor kelautan dan perikanan.
Misalnya Maluku (27,8 persen), Maluku Utara (22,8 persen), Nusa Tenggara Timur (33,6 persen), Nusa Tenggara Barat (24,8 persen), Sulawesi Tenggara (27,6 persen), Papua (21,2 persen), Papua Barat (23,2 persen), Gorontalo (25,4 persen), Riau (21,4 persen), Kalimantan Barat (22,5 persen), dan Kalimantan Timur (19,3 persen).
Berdasarkan kondisi tersebut sudah saatnya ikan-ikan yang dihasilkan dari subsidi perikanan dapat dinikmati seluruh masyarakat Indonesia. Oleh sebab itu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan pemerintah, yaitu pertama reorientasi kebijakan ekonomi perikanan dari pertumbuhan volume ekspor ikan (growth) ke penurun volume ekspor (degrowth).
Hal ini sesuai dengan amanat Pasal 25B Ayat (2) UU No 45 Tahun 2009 tentang Perubahan UU No 31 Tahun 2004 tentang Perikanan yang secara tegas menyatakan bahwa pengeluaran hasil produksi usaha perikanan ke luar negeri (ekspor) dilakukan apabila produksi dan pasokan di dalam negeri telah mencukupi kebutuhan konsumsi nasional.
Kedua, pemerintah harus menyediakan aturan yang tegas terkait siapa saja yang dapat memanfaatkan BBM bersubsidi di sektor perikanan. Industri perikanan yang akan memanfaatkan BBM bersubsidi diharuskan membuat nota kesepahaman agar ikan-ikan yang dihasilkan industri tersebut 100 persen untuk kepentingan masyarakat Indonesia.
Industri perikanan nasional harus didorong untuk berkomitmen dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia yang baik melalui ketersediaan ikan-ikan berkualitas gizi yang baik dengan harga yang terjangkau. Sementara itu, kapal-kapal asing berbendera Indonesia dilarang 100 persen menggunakan BBM bersubsidi.
Ketiga, tindak tegas para pelaku ekspor dan impor ikan ilegal. Data UN-Comtrade (2011) mengindikasikan semakin maraknya ekspor ikan tuna ilegal dari Indonesia ke Thailand. Pada 2000 tercatat dugaan ekspor ikan tuna Albacore secara ilegal mencapai 52 persen dari total volume ekspor ikan tuna Albacore Indonesia ke Thailand, yaitu mencapai 271.419 kg dengan nilai mencapai US$ 1.070.630.
Sementara itu, pada 2010, dugaan ekspor ikan tuna Albacore ilegal ke Thailand semakin meningkat sampai 69,20 persen dari total volume ekspor ikan tuna Albacore Indonesia ke Thailand. Volume ekspor ikan tuna Albacore ilegal dari Indonesia ke Thailand tahun 2010 diperkirakan mencapai 2.352.724 kg dengan nilai mencapai US$ 8.326.839.
Jadi, pemerintah perlu menyusun kebijakan yang berpihak pada kepentingan rakyat dan masa depan bangsa melalui “Degrowth” Ekonomi Perikanan dan Gerakan Makan Ikan Segar Produksi Dalam Negeri.
 
*Penulis adalah Kepala Riset Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim.
Sumber : http://www.shnews.co/detile-12072-ikan-subsidi-dan-%E2%80%9Cdegrowth%E2%80%9D-ekonomi-perikanan.html# 

20 November 2012

Ikan Wader : Rekreasi Perikanan Bendungan Gerak Bojonegoro



Bendungan gerak berada di kecamatan Trucuk Kabupaten Bojonegoro Jawa Timur. Bendungan tersebut dibangun membelah sungai Bengawan Solo dengan luas mencapai 1.841.752 meter persegi. Bendungan tersebut dibangun selain sebagai pengendali Banjir yang kerapkali melanda Bojonegoro dan sekitarnya akibat dari meluapnya air Bengawan Solo,juga berfungsi sebagai penyedia air pertanian, kebutuhan air bersih pdam, kebutuhan bahan baku air industri dan sebagai sarana wisata bagi masyarakat Bojonegoro.
Ikan wader merupakan jenis ikan sungai yang ada yang di Bendungan Gerak Bengawan Solo, hasil tangkapan di jual ke pengunjung bendungan, sisanya di bawa ke pasar terdekat. Harga ikan dijual Rp. 5000 per kg. Ikan hasil tangkapan perhari rata-rata diatas 50 kg. Menangkap ikan wader oleh kelompok nelayan lokal menjadi pusat perhatian para pengunjung wisata bendungan gerak. Perhatian pengunjung tertuju pada alat tangkap ikan yang digantung tepat diatas permukaan air deras yang keluar dari pintu bendungan. Alat tangkap tersebut dibuat oleh para nelayan untuk menjebak ikan-ikan wader yang memiliki perilaku meloncat menerjang derasnya air yang keluar dari mulut bendungan tersebut. Al hasil ikan wader yang meloncat tersebut terjebak dalam alat tangkap yang sudah dipasang tersebut.
Yang menjadi daya tarik lainnya adalah ketika ikan meloncat menerjang air bendungan, para nelayan dengan semangat bertepuk tangan seakan-akan menyemangati ikan-ikan yang ada di aliran sungai tersebut untuk terus meloncat, bahkan para pengunjung pun turut serta bertepuk tangan untuk menyemangati ikan-ikan meloncat. Sehingga proses memangkap ikan wader tersebut terlihat sangat meriah dengan tepuk tangan nelayan dan para pengunjung lokasi wisata tersebut. Memang belum ada riset yang membuktikan antara tepuk tangan penyemangat dari nelayan dan pengunjung wisata dengan jumlah ikan yang tertangkap. Tapi itulah salah satu keunikan dari cara menangkap ikan wader ini. Pengamatan penulis dalam 3-5 menit, alat tangkap tersebut sudah terisi sekitar 2-3 kg ikan wader.

 Gambar 1. Alat tangkap diletakkan di atas permukaan air yang keluar dari mulut bendungan. Ikan wader yang meloncat menerjang arus air terjebak di alat tangkap tersebut.









Gambar 2. Alat Tangkap yang sudah terisi ikan wader diangkat

Gambar 3. Ikan wader hasil tangkapan di jual ke para pengunjung wisata Bendungan Gerak dan ke pasar-pasar terdekat. 
 







Sumber : Hasil rekreasi liburan 17 November 2012

15 Oktober 2012

Koleksi Perpustakaan Suhana


DAFTAR BUKU/JURNAL/MAJALAH/PAPER 
KOLEKSI PERPUSTAKAAN SUHANA
No Judul Pengarang Tahun Terbit Penerbit ISBN/ISSN Edisi Jumlah Halaman Bentuk PDF Cetak Bidang
1 World Fisheries : a social-ecological analysis Rosemary E. Ommer ...(et.al) 2011 Blackwell Publishing Ltd 978-1-4443-3467-8 First 407 + xxii Buku Ada Ada Sosial-Ecologi
2 Advances in fisheries economics : festschrift in honour of Professor Gordon R. Munro Trond Bjørndal ... [et al.] 2007 Blackwell Publishing Ltd 978-1-4051-4161-1 First 305 + viii Buku Ada Ada Ekonomi
3 An Introduction To Ecological Economics Robert Costanza, John Cumberland, Herman Daly, Robert Goodland and Richard Norgaard 1997 St. Lucie Press and ISEE 1-884015-72-7 First 275 Buku Ada Ada Ekologi-Ekonomi
4 Applications of Simulation Methods in Environmental and Resource Economics Riccardo Scarpa and Anna Alberini 2005 Springer 978-1-4020-3684-2 First 431 Buku Ada Ada Ekonomi
5 Bioeconomics of fisheries management Lee G. Anderson and Juan Carlos Seijo 2010 Blackwell Publishing Ltd 978-0-8138-1732-3 First 319 Buku Ada Ada Ekonomi
6 Economic and Environmental Impact of Free Trade in East and South East Asia Kakali Mukhopadhyay and Paul J. Thomassin 2010 Springer 978-90-481-3507-3 First 219 Buku Ada Ada Ekonomi
7 Environmental & Natural Resources Economics Tom Tientenberg and Lynne Lewis 2012 Pearson Education 978-0-13-139257-1 9th ed. 696 Buku Ada Ada Ekonomi
8 Fair Trade For All. How Trade Can Promote Development Joseph E. Stiglits and Andrew Charlton 2005 Oxford University Press 978–0–19–929090–1 First 344 Buku Ada Ada Ekonomi
9 Globalisation, domestic politics and regionalism: the ASEAN Free Trade Area Helen E.S.Nesadurai 2003 Routledge 0-203-33968-1 First 230 Buku Ada Ada Ekonomi Politik
10 Globalization : Effects on Fisheries Resources William W. Taylor, Michael G. Schechter and Lois G. Wolfson 2007 Cambridge University Press 978-0-511-36644-4 First 580 Buku Ada Ada Ekonomi Politik
11 Institutions, Ecosystems, and Sustainability Robert Costanza, Elinor Ostrom, Bobbi Low, and James Wilson 2001 Lewis Publishers 1-56670-389-1 First 286 Buku Ada Ada Kelembagaan
12 International economics : theory & policy Paul R. Krugman, Maurice Obstfeld, Marc J. Melitz 2012 Addison-Wesley 978-0-13-214665-4 Ninth  736 Buku Ada Ada Ekonomi
13 International Economics of Resource Efficiency. Eco-Innovation Policies for a Green Economy Raimund Bleischwitz, Paul J.J. Welfens and ZhongXiang Zhang 2011 Springer 978-3-7908-2601-2 First 425 Buku Ada Ada Ekonomi
14 Maple and Mathematica. A Problem Solving Approach for Mathematics Inna Shingareva and Carlos Lizarraga-Celaya 2007 Springer 978-3-211-73264-9 First 274 Buku Ada Ada Matematika
15 Recreation Fisheries. Ecological, Economic and Social Evaluation Tony J. Pitcher and Charles E. Hollingworth 2002 Blackwell Science Ltd 0-632-06391-2 First 290 Buku Ada Ada Ekonomi
16 Stakeholders : theory and practice Andrew L. Friedman and Samantha Miles 2006 Oxford University Press 978-0-19-926987-7 First 361 Buku Ada Ada Sosial 
17 Sustainable resource use : institutional dynamics and economics Alex Smajgl and Silva Larson 2007 Earthscan 978-1-84407-459-4 First 289 Buku Ada Ada Sumberdaya Alam
18 The Trade Impact of European Union Preferential Policies. An Analysis Through Gravity Models Luca De Benedictis  and Luca Salvatici 2011 Springer 978-3-642-16564-1 First 252 Buku Ada Ada Ekonomi
19 Econometric Analysis of Cross Section and Panel Data Je¤rey M. Wooldridge
The MIT Press
First 740 Buku Ada Tidak Ekonomterik
20 Solutions Manual and Supplementary Materials for Econometric Analysis of Cross Section and Panel Data Je¤rey M. Wooldridge
The MIT Press
First 135 Buku Ada Tidak Ekonometrik
21 Property Law and Economics Boudewijn Bouckaert 2010 Edward Elgar Publishing Limited 978 1 84720 565 0 First 350 Buku Ada Tidak Hukum
22 Analysis Of Transaction Cost Manoj Shah 2007 Sunrise Publishers 978-93-8-0207-061 First 383 Buku Ada Tidak Kelembagaan
23 Coastal governance Richard Burroughs 2011 ISLAND PRESS 978-1-59726-485-3 First 256 Buku Ada Tidak Kelembagaan
24 Handbook Of New Institutional Economics Claude Menard and Mary M. Shirley 2005 Springer 978-0-387-25092-2 First 875 Buku Ada Tidak Kelembagaan
25 Marine Mineral resources Fillmore C.F. Earney 1990 Routledge 0-415-02255-X First 434 Buku Ada Tidak Sumberdaya Alam
26 A Guide to The Measurement of the Market Data for the Ocean and Coastal Economy in the National Ocean Economics Program Charles S. Colgan 2007 National Ocean Economics Program (NOEP)
First 49 Buku Ada Tidak Ekonomi
27 Resource Economics Jon M. Conrad 1999 Cambridge University Press 0 511 02252 2 First 224 Buku Ada Tidak Ekonomi Sumberdaya
28 The economics of nature and the nature of economics Cutler J. Cleveland, David I. Stern, Robert Costanza 2001 Edward Elgar Publishing Limited 1 85898 980 9 First 304 Buku Ada Tidak Ekonomi Sumberdaya
29 The New Institutional Economics and Third World Development John Harriss, Janet Hunter and Colin M. Lewis 1995 Routledge 0-203-75253-8 First 375 Buku Ada Tidak Ekonomi Kelembagaan
30 The Oxford Handbook of Comparative Institutional Analysis Glenn Morgan, John L. Campbell, Colin Crouch, Ove Kaj Pedersen and Richard Whitley 2010 Oxford University Press 978–0–19–923376–2 First 724 Buku Ada Tidak Kelembagaan
31 A Survey of Sustainable Development : Social and Economic Dimensions Jonathan M. Harris, Timothy A. Wise, Kevin P. Gallagher and Neva R. Goodwin 2001 ISLAND PRESS 1-55963-862-1 First 450 Buku Ada Tidak Sosial
32 A theory of the state: economic rights, legal rights, and the scope of the state Yoram Barzel 2002 Cambridge University Press 0-521-80605-4 First 304 Buku Ada Tidak Kelembagaan

09 Oktober 2012

Info Jurnal Gratis : Natural Resource Modeling

Bagi para pengunjung setia blog ini, silahkan bisa download jurnal Natural Resources Modeling Volume 25, Issue 1, Pebruari 2012. Lengkapnya bisa diakses di : http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/nrm.2012.25.issue-1/issuetoc


Salam

Suhana

Natural Resource Modeling

Cover image for Vol. 25 Issue 1

Special Issue: 25 Years of Natural Resource Modeling: Perspectives of Then and Now

February 2012

Volume 25, Issue 1
Pages 1–272


  1. Editorial

    1. You have free access to this content
  2. Original Articles

    1. You have free access to this content
      MATHEMATICAL MODELING OF VIRAL ZOONOSES IN WILDLIFE (pages 5–51)L. J. S. ALLEN, V. L. BROWN, C. B. JONSSON, S. L. KLEIN, S. M. LAVERTY, K. MAGWEDERE, J. C. OWEN and P. VAN DEN DRIESSCHE
      Article first published online: 30 DEC 2011 | DOI: 10.1111/j.1939-7445.2011.00104.x
    2. You have free access to this content
      NONSPATIAL AND SPATIAL MODELS IN BIOECONOMICS (pages 52–92)JON M. CONRAD and MARTIN D. SMITH
      Article first published online: 30 DEC 2011 | DOI: 10.1111/j.1939-7445.2011.00102.x
    3. You have free access to this content
      A BIOMASS FLOW APPROACH TO POPULATION MODELS AND FOOD WEBS (pages 93–121)WAYNE M. GETZ
      Article first published online: 30 DEC 2011 | DOI: 10.1111/j.1939-7445.2011.00101.x
    4. You have free access to this content
      THE EVOLUTION OF QUANTITATIVE MARINE FISHERIES MANAGEMENT 1985–2010 (pages 122–144)RAY HILBORN
      Article first published online: 30 DEC 2011 | DOI: 10.1111/j.1939-7445.2011.00100.x
    5. You have free access to this content
    6. You have free access to this content
      ECONOMICS AND THE MODELING OF WATER RESOURCES AND POLICIES (pages 168–218)JAMES F. BOOKER, RICHARD E. HOWITT, ARI M. MICHELSEN and ROBERT A. YOUNG
      Article first published online: 30 DEC 2011 | DOI: 10.1111/j.1939-7445.2011.00105.x
    7. You have free access to this content
      NEW HORIZONS FOR MANAGING THE ENVIRONMENT: A REVIEW OF COUPLED SOCIAL-ECOLOGICAL SYSTEMS MODELING (pages 219–272)M. SCHLÃœTER, R. R. J. MCALLISTER, R. ARLINGHAUS, N. BUNNEFELD, K. EISENACK, F. HÖLKER, E.J. MILNER-GULLAND, B. MÃœLLER, E. NICHOLSON, M. QUAAS and M. STÖVEN
      Article first published online: 30 DEC 2011 | DOI: 10.1111/j.1939-7445.2011.00108.x

13 Agustus 2012

Ribuan Pulau Indonesia Belum Terdaftar di PBB

Ribuan Pulau Indonesia Belum Terdaftar di PBB
Jurnas.com | NASIB pulau-pulau terluar di Indonesia masih banyak yang belum diperhatikan. Bahkan masih banyak ribuan pulau yang belum diberi nama, serta belum terdaftar resmi di Perserikatan Bangsa-Bangsa. Data terakhir dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) baru sekitar 13.466 pulau yang bernama dan terdaftar di PBB pada 2010.

Dari pendataan terakhir pada 2011, jumlah pulau berkurang sebanyak 24 pulau, sehingga sekarang total jumlahnya 17.480 pulau. "Itu karena ada perubahan iklim, sehingga ada yang ada beberapa pulau kecil yang tidak terlihat (tenggelam) ," ujar Staf Humas Pusat Data, Statistik dan Informasi KKP Kusdiantoro kepada Jurnal Nasional saat dihubungi, Jumat (10/9).

Jumlah pulau tersebut berbeda dengan pedataan Badan Informasi Geospasial-dulu Bakorsurtanal, yang menyebutkan kini jumlah pulau berkurang menjadi 13.466 pulau. Kusdiantoro mengatakan, perbedaan tersebut hanya pada masalah metodologi yang dipakai. Pihaknya melakukan pendataan saat kondisi air laut surut, sehingga beberapa titik pulau-pulau kecil terlihat.

Wakil Ketua Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat Herman Khaeron mengatakan bahwa pemberian nama itu penting. Sementara untuk pendaftaran ke PBB itu juga kewajiban konvensi internasional, untuk menghindari adanya sengketa kepemilikan antarnegara.

Herman mengatakan untuk proses penamaan pemrintah dinilai lamban karena sudah diprogramkan sejak setahun 2005. Ia memahami adanya kesulitan akses untuk menjangkau pulau-pulau yang ada.

Namun begitu, katanya, untuk pendaftaran ke PBB lebih diprioritaskan sebab jika titik-titik koordinat pulau yang ada sudah terdaftar berarti aman dari gugatan. "Karena itu sudah terintegrasi dengan wilayah Indonesia, itu yang terpenting," ujar politisi Partai Demokrat tersebut saat dihubungi.

Dikatakan Herman, sebetulnya secara tradisi setempat, pulau-pulau yang ada sudah memiliki nama lokal, hanya itu belum dikenal secara nasional dan internasional.

Sementara itu Kepala Riset LSM Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim Suhana mengatakan saat ini sudah ada 92 pulau terluar Indonesia yang diakui internasional dan hingga kini tidak ada yang bermasalah.

Persoalan yang dihadapi pulau-pulau kecil dan terluar adalah masalah alam dan rawan konflik. Namun, Ia mengatakan yang terpenting dari identitas sebuah pulau adalah titik koordinat. Meskipun nantinya pulau tersebut saat pasang tenggelam, tidak menjadi masalah karena sudah teridentifikasi.

Saat ini, katanya, salah satu contoh pulau yang rawan hilang karena alam adalah Pulau Fani, Kabupaten Raja Ampat, Papua yang berbatasan dengan negara Palau. Berada di Samudera Pasifik, pulau tersebut setiap tahun terkena abrasi sampai 1-2 meter. Sebetulnya, katanya, sudah banyak sebetulnya secara alami pulau-pulau kecil hilang, tapi juga ada karena faktor penambangan pasir seperti kejadian di Kepulauan Riau.

Sumber : http://www.jurnas.com/news/68618/Ribuan_Pulau_Indonesia_Belum_Terdaftar_di_PBB/1/Nasional/Politik

09 Agustus 2012

Rekonstruksi Kebijakan Ekonomi Kelautan dan Perikanan Perikanan Nasional


Rekonstruksi Kebijakan Ekonomi Kelautan dan Perikanan Perikanan Nasional
Oleh : Suhana
Kepala Riset Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim


Kebijakan pembangunan kelautan dan perikanan sejak awal reformasi sampai saat ini terlihat belum memberikan hasil yang signifikan terhadap perbaikan ekonomi perikanan dan kesejahteraan masyarakat, khususnya nelayan dan pembudidaya ikan. Hal ini disebabkan kebijakan pembangunan kelautan dan perikanan yang berkembangan sejak awal reformasi sampai saat ini hanyalah kebijakan-kebijakan yang terus berulang, padahal sudah terbukti kebijakan tersebut telah mengalami kegagalan.
Kebijakan-kebijakan tersebut hanya berganti nama saja setiap periode pemerintahan. Pada periode pemerintahan Gus Dur, Departemen Eksplorasi Laut dan Perikanan mencanangkan program peningkatan produksi ikan atau yang dikenal dengan istilah Protekan 2003. Target dari Protekan 2003 tersebut adalah meningkatkan produksi ikan pada tahun 2003 menjadi 9 juta ton dengan nilai ekspor yang diharapkan mencapai 10 milyar $ US. Namun demikian, sampai akhir tahun 2003 target tersebut tidak dapat tercapai. Data FAO (2009) menunjukan bahwa produksi ikan nasional pada tahun 2003 hanya mencapai sekitar 5,8 juta ton dengan nilai ekspor dibawah 1,7 milyar $ US.
Memasuki periode pemerintahan Megawati, pada tanggal 11 Oktober 2003 kembali dicanangkan Program Gerbang Mina Bahari di Teluk Tomini Provinsi Gorontalo. Target dari program tersebut adalah peningkatan produksi ikan nasional sebesar 9,5 juta ton pada tahun 2006 dengan target nilai devisa ekspor sebesar 10 milyar $ US. Target program Gerbang Mina Bahari tersebut sama dengan target Program Protekan 2003, namun berbeda nama program saja. Kegagalan yang sama terjadi juga pada program Gerbang Mina Bahari. Data FAO (2009) menunjukan bahwa produksi ikan nasional pada tahun 2006 hanya mencapai sekitar 6,2 juta ton. Sementara itu nilai ekspor produk perikanan hanya mampu mencapai 2 miliar $ US.
Periode pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) jilid I, pemerintah kembali mencanangkan program serupa dengan nama Revitalisasi Kelautan dan Perikanan. Target dari program Revitalisasi Kelautan dan Perikanan tersebut adalah peningkatan produksi ikan pada tahun 2009 sebesar 9,7 juta ton dengan nilai ekspor sebesar 5 milyar $ US. Namun demikian, sampai akhir periode KIB jilid I target revitalisasi kelautan dan perikanan tersebut kembali tidak tercapai. Data FAO (2009) memprediksi produksi perikanan nasional tidak akan melebihi 7 juta ton dan nilai ekspor diperkirakan hanya mencapai 2,1 milyar $ US.
Kegagalan demi kegagaan program peningkatan produksi perikanan pada tiga periode pemerintahan sebelumnya ternyata tidak membuat Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk berfikir ekstra guna menyusun terobosan baru. Hal ini dapat dilihat dari kebijakan pembangunan kelautan dan perikanan 2009-2014 yang kembali mereinkarnasi kebijakan peningkatan produksi perikanan dengan berganti nama menjadi kebijakan Minapolitan. Target program Minapolitan tersebut adalah peningkatan produksi ikan sebesar 50 Juta Ton dan nilai ekspor sebesar 11 milyar $ US. Namun demikian, program minapolitan tersebut saat ini sudah berhenti ditengah jalan, seiring dengan beralihnya Menteri Kelautan dari Fadel Muhamad ke Sharif Cicip Sutardjo.
Memasuki periode Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif Cicip Sutardjo, arah kebijakan kelautan dan perikanan berubah dari pendekatan produksi ikan menjadi Industrialisasi Perikanan berbasiskan Unit Pengolahan Ikan (UPI). Namun demikian, perubahan kebijakan tersebut terlihat tidak didukung perencanaan yang matang. Hal ini terlihat dari industrialisasi perikanan yang dikembangkan ternyata basisnya di Pulau Jawa yang sudah tidak memiliki dukungan bahan baku ikan. Akibatnya KKP kembali dengan gegap gempita menyakinkan publik dan Dewan Perwakilan Rakyat akan pentingnya ikan impor untuk memasok kebutuhan bahan baku UPI nasional, dan akhirnya impor ikan  kembali dilegalkan.
Namun demikian publik, termasuk penulis tidak yakin ikan yang diimpor tersebut hanya untuk kebutuhan bahan baku UPI nasional, akan tetapi banyak yang langsung masuk ke pasar-pasar tradisional. Ketidakyakinan penulis tersebut didasarkan pada hasil analisis terhadap dugaan maraknya impor ikan illegal yang masuk ke Indonesia tahun 2010. Hasil analisis tersebut menunjukan bahwa dugaan impor ikan illegal Indonesia dari China pada Tahun 2010 mencapai 51,28 persen dari total nilai impor ikan Indonesia dari China. Namun demikian walaupun terjadi peningkatan impor ikan nasional, ternyata tidak berpengaruh signifikan terhadap jumlah kapasitas terpakai pada Industri pengolahan ikan nasional. Hasil survey Bank Indonesia menunjukan bahwa pada periode 2010 kapasitas industri perikanan yang terpakai hanya mencapai dibawah 70 persen, tidak jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Artinya bahwa impor ikan tersebut tidak sepenuhnya diperuntukan bagi pasokan kebutuhan bahan baku UPI, akan tetapi langsung dipasarkan ke pasar-pasar dalam negeri.

Asing Kuasai Sektor Perikanan
Ketidak jelasan dan ketidak konsistenannya kebijakan kelautan dan perikanan tersebut telah berdampak pada investasi sektor perikanan yang semakin dikuasai oleh asing. Kalau kita kembali melihat dorongan pemangku kepentingan sektor perikanan tahun sejak tahun 2007 untuk membatasi kepentingan asing di sektor perikanan sangat tinggi, puncaknya ketika Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi mengesahkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen-KP) No 5 Tahun 2008 tentang izin usaha perikanan tangkap. Dan dipertegas kembali dengan disahkannya revisi UU No 31 Tahun 2004 tentang Perikanan menjadi UU No 45 Tahun 2009 tentang Perikanan pada masa akhir periode Pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu jilid I dan DPR-RI periode 2004-2009. Dimana pada kedua peraturan perundang-undangan tersebut kepentingan asing di sektor perikanan sangat diperketat dan lebih mendorong keterlibatan nelayan, pembudidaya ikan, investor dalam negeri dan pengusaha ikan nasional.
Akibatnya, investasi asing pada sector perikanan tahun 2008 dan 2009 menurun drastis, dan minat investasi dalam negeri cenderung meningkat. Data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM 2011) menunjukan bahwa investasi asing (PMA) tahun 2007 mencapai 24,7 juta US $ dan menurun drastic pada tahun 2008 hanya mencapai 2,4 juta US $ dan akhir tahun 2009 kembali meningkat menjadi 5,1 juta US $. Sementara itu pasca keluarnya Permen KP No 5 Tahun 2008 minat investasi dalam negeri mulai tumbuh. Data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM 2011) menunjukan bahwa investasi dalam negeri (PMDN) tahun 2007 hanya sebesar 3,1 milyar rupiah menjadi 24,7 milyar rupiah pada tahun 2009.
Namun demikian, memasuki periode Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhamad, (Permen-KP) No 5 Tahun 2008 tentang izin usaha perikanan tangkap diupayakan untuk direvisi kembali dengan memasukan kembali kepentingan asing. Akibatnya investasi asing kembali menguasai sektor perikanan. Data BKPM (2012) menunjukan bahwa 99,89 persen investasi perikanan tahun 2011 bersumber dari asing (PMA) dan pada triwulan 1 2012 investasi sektor perikanan 100 persen dari asing. Secara lengkap perkembangan investasi sektor perikanan dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Perkembangan Persentase Investasi Asing (PMA) di Sektor Perikanan
Tahun 2006-2012

Ekspor Ikan Illegal
Selain itu juga, ketidakjelasan arah kebijakan sektor perikanan tersebut telah berdampak pada tingginya aktivitas kejahatan perikanan, terutama aktivitas perikanan yang tidak dilaporkan (unreforted fishing). Misalnya perdagangan ikan tuna antara Indonesia dengan Thailan. Data UN-Comtrade (2011) mengindikasikan semakin maraknya ekspor ikan Tuna  illegal dari Indonesia ke Thailand. Pada Tahun 2000 tercatat dugaan ekspor ikan tuna Albacore secara illegal mencapai 52 persen dari total volume ekspor ikan tuna Albacore Indonesia ke Thailand, yaitu mencapai 271.419 Kg dengan nilai mencapai 1.070.630 US $. Sementara itu pada Tahun 2010, dugaan ekspor ikan tuna Albacore illegal ke Thailand semakin meningkat sampai 69,20 persen dari total volume ekspor ikan tuna Albacore Indonesia ke Thailand. Volume ekspor ikan tuna Albacore illegal dari Indonesia ke Thailand tahun 2010 diperkirakan mencapai 2.352.724 Kg dengan nilai mencapai 8.326.839 US $.
Pasokan bahan baku illegal tersebut rupanya dimanfaatkan oleh Thailand untuk memasok kebutuhan bahan baku Industri Pengolahan Ikan yang ada di negara tersebut. Thailand selama ini terkenal didunia sebagai pemasok utama produk ikan olahan, padahal sekitar 90 persen pasokan bahan bakunya berasal dari Indonesia dan Philipina. Hal ini terbukti pada Tahun 2010 UN-Comtrade memposisikan Thailand sebagai negara kedua terbesar dunia sebagai pemasok produk ikan olahan setelah China, sementara Indonesia hanya  puas di posisi ke 10 terbesar dunia. Total kontribusi Thailand terhadap total ekspor produk ikan olahan mencapai 20,2 persen, sementara Indonesia hanya berkontribusi sebesar 2,7 persen dari total ekspor produk ikan olahan dunia.
Berdasarkan hal tersebut sungguh sangat ironis, sumberdaya ikan Indonesia yang memiliki nilai ekonomis tinggi seperti tuna ternyata tidak dinikmati oleh para nelayan dan Industri Pengolahan Ikan dalam negeri. Di sisi lain, Unit Pengolahan Ikan Nasional setiap tahunnya berlomba-lomba terus meningkatkan impor bahan baku ikan pindang dan ikan asin. Kebijakan pengembangan industri pengolahan ikan pindang dan asin secara besar-besaran oleh KKP menunjukkan bahwa secara sistematis masyarakat Indonesia akan disuguhi oleh konsumsi ikan pindang dan ikan asin, dimana nilai kandungan gizi nya sangat rendah bahkan cenderung tidak ada. Sementara itu ikan segar yang memiliki kandungan gizi baik, lebih banyak di ekspor baik legal maupun illegal ke pasar internasional. Sehingga sangat wajar apabila kwalitas sumberdaya manusia Indonesia sulit untuk dapat berkembangan secara baik karena hanya disediakan konsumsi ikan pindang dan ikan asin.
Rekonstruksi Kebijakan Kelautan dan Perikanan
Berdasarkan kondisi tersebut, pemerintah dan para pemangku kebijakan kelautan dan perikanan hendaknya dapat duduk bersama dalam merekonstruksi kebijakan kelautan dan perikanan di masa yang akan datang. Keberpihakan kepada kelestarian sumberdaya ikan dan kepentingan nasional harus menjadi komitmen bersama. Oleh sebab itu ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam merekonstruksi kebijakan kelautan dan perikanan nasional, yaitu pertama, perlu ada grand design industrialisasi perikanan yang berpihak pada pengembangan sumberdaya manusia Indonesia di masa yang akan datang. Indonesia akan lebih maju kalau didukung oleh sumberdaya manusia yang baik dan SDM yang baik bisa dibentuk dengan adanya asupan gizi yang lebih baik. Oleh sebab itu industrialisasi perikanan nasional harus dapat mendukung pengembangan SDM nasional yang lebih baik. Namun demikian, kalau industrialisasi perikanan yang digalakan pemerintah saat ini penulis khawatir SDM nasional kedepan akan semakin terpuruk. Industrialisasi perikanan yang ada saat ini lebih mementingkan pemgembangan SDM negara lain, dibandingkan SDM negaranya sendiri. Hal ini terbukti dengan target industrialisasi perikanan untuk mengekspor ikan-ikan kwalitas baik dari Indonesia, seperti tuna, cakang, udang, ikan-ikan karang dan ikan-ikan kwalitas baik lainnya. Sementara itu kebutuhan konsumsi ikan dalam negeri cukup disediakan ikan asin dengan bahan baku impor dari negara lain. Pertanyaannya sekarang, ahli gizi mana yang dapat menjelaskan  bahwa ikan asin dapat meningkatkan kwalitas SDM nasional.
Pemerintah harusnya tetap konsisten dalam menjalankan undang-undang perikanan nasional. Dalam Pasal 25B Ayat (2) UU No 45 Tahun 2009 tentang Perubahan UU No 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan ditegaskan bahwa pengeluaran hasil produksi usaha perikanan ke luar negeri (ekspor) dilakukan apabila produksi dan pasokan di dalam negeri telah mencukupi kebutuhan konsumsi nasional. Pasal 25B ini jelas sangat berpihak pada kepentingan nasional, namun demikian dalam implementasi dilapangan belum diikuti dengan kebijakan yang nyata. Hal ini terbukti dengan kebijakan Industrialisasi perikanan yang lebih mementingkan kebutuhan ikan negara lain. Industrialisasi perikanan jangan hanya dipandang bagaimana meningkatkan nilai ekspor produk perikanan saja, akan tetapi perlu memiliki agenda pembangunan SDM nasional yang lebih baik. Oleh sebab itu implementasi Pasal 25B Ayat (2) tersebut saat ini diperlukan guna meningkatkan kualitas SDM Nasional.  
Kedua, industrialisasi perikanan yang dikembangkan harus berbasiskan bahan baku dalam negeri, jangan impor, sehingga pengembangan Industri pengolahan ikan jangan dipusatkan di pulau Jawa, akan tetapi harus dikembangkan di pusat-pusat bahan baku seperti di kawasan Indonesia Bagian Timur. Oleh sebab itu dukungan infrastruktur seperti listrik, bahan bakar minyak, air bersih dan transportasi antar pulau di kawasan Indonesia Bagian Timur perlu segera dibenahi. Sementara itu, untuk menjaga ketersediaan bahan baku sepanjang tahun, pemerintah perlu secepatnya membentuk Bulog Perikanan. Hal ini diperlukan mengingat produksi ikan para nelayan sangat tergantung kondisi cuaca, sehingga keberadaan Bulog Perikanan diperlukan guna mengatur manajemen ketersediaan bahan baku ikan untuk UPI dan kebutuhan konsumsi langsung masyarakat.
Ketiga, pengembangan industrialisasi perikanan hendaknya tidak hanya difokuskan untuk komoditas ikan, akan tetapi perlu dikembangkan untuk industri pengolahan rumput laut. Hal ini disebabkan dalam sepuluh tahun terakhir produksi rumput laut terus menunjukkan peningkatan yang sangat signifikan, bahkan saat ini kontribusinya sudah diatas 60 persen dari total produksi perikanan budidaya.
Keempat, untuk mencegah semakin tingginya kasus ekspor ikan illegal dari Indonesia ke negara lain, Kementerian Kelautan dan Perikanan perlu meningkatkan pengawasan di perairan Indonesia. Karena dugaan kuat ekspor ikan illegal tersebut dilakukan di tengah laut oleh para oknum nelayan dan pengusaha perikanan nasional. Alhasil tanpa adanya perubahan perencanaan pembangunan perikanan yang baik, manajemen perikanan nasional akan semakin amburadul. Oleh sebab itu KKP perlu segera mereformulasi kebijakan perikanan nasional. 

Sumber : Tabloid Inspirasi, Agustus 2012

Saatnya Mewujudkan Negara Kepulauan Indonesia

"UUD 1945 Pasal 25E telah mengamantkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang"
”Untuk membangun Indonesia menjadi negara besar, negara kuat, negara makmur, negara damai yang merupakan National Building bagi negara Indonesia, maka negara dapat menjadi kuat jika dapat menguasai lautan. Untuk menguasai lautan, kita harus menguasai armada yang seimbang.” (Pidato Bung Karno yang disampaikan dalam National Maritime Convention I tahun 1963)