31 Agustus 2009

Melaut di Indonesia, Sekolah di Filipina

Melaut di Indonesia, Sekolah di Filipina

Minggu, 30 Agustus 2009 | 03:37 WIB

Iwan Santosa/Agung Setyahadi

Mencari nafkah sehari-hari di perairan Indonesia dan menuntut ilmu hingga kuliah di Filipina. Itulah kekhasan masyarakat Indo-Filipina yang tersebar di Tobelo, Maluku Utara, Kabupaten Sangihe-Talaud, di Sulawesi Utara, hingga pesisir selatan Mindanao, Filipina, dari Cotabato-Balud-Sarangani-General Santos dan Davao.

Sebagian besar anak nelayan Indo-Filipina yang di Sulawesi Utara (Sulut) dikenal sebagai komunitas ”Sapi” alias ”Sangir-Pilipina”, mempunyai kemampuan linguistik yang unik di tengah keterbatasan ekonomi. Mereka berkomunikasi dengan ayah Indonesia-nya dalam bahasa Melayu dan berdialek Visayag atau Tagalog dengan ibunya, serta berbahasa Inggris saat bersekolah di Filipina.

”I want to work as nurse in the Philippines. I want to take good care of my parent (Saya ingin jadi perawat di Filipina. Saya ingin merawat orangtua saya). Saya juga suka tinggal di Indonesia seperti sekarang,” kata Crystal Gae Manabong (14), gadis ”Sangir-Pilipina” yang ditemui di rumah ayahnya di pesisir Pantai Tobelo, Maluku Utara.

Sehari-hari, Crystal dan adiknya, Cydney B Manabong (12), berbicara dalam empat bahasa dengan komunitas yang berasal dari Sangihe-Talaud, Mindanao, dan Cebu. Demikian pula sepupu mereka, Rose (8), yang besar di Indonesia, putri pasangan Indo-Filipina, Rapol Sahal dan Owingce Minabo. Namun, Rose tidak bisa berbahasa Inggris karena bersekolah di Indonesia.

Crystal yang tiba di Tobelo akhir 2008, mulai lancar berbahasa Indonesia. Crystal yang bersekolah setingkat SMP di General Santos, Filipina, semula hanya berbicara dalam bahasa Inggris, Sangir, Visayag, dan Tagalog.

Ketika disapa ”Mahal Kita” (sayangku) dalam bahasa Tagalog, Crystal tertawa. Saat ditanya ”Balai ikau sa Balud?” (rumah kamu di Balud, Mindanao?) Crystal menggeleng kepala dan menjawab, ”General Santos.”

Rose yang sedang ditinggal orangtuanya ke Balud, diawasi sepupunya, Marbeline (18). Rumah mereka tidak jauh dari pondok kelompok nelayan Akmas Manabong. Komunitas gado-gado itu bergantian mendengarkan siaran radio bahasa Tagalog dan berbahasa Indonesia untuk mendapatkan informasi di tempat yang terpencil itu.

Sekolah di Filipina

”Anak saya kembali sekolah bulan November di Gensan (General Santos). Sebagian besar anak Indo-Filipina bersekolah di Filipina karena banyak kemudahan. Mereka punya banyak kerabat di Filipina dari perkawinan campur orangtua. Banyak yang kuliah lalu jadi pegawai negeri atau tenaga profesional di kota besar, seperti General Santos atau Davao,” kata Luz Manabong (40), wanita Filipina, istri dari Akmas Manabong (46), nelayan asal Tahuna, Kabupaten Talaud.

Sebelum Luz dan dua putrinya menyusul Akmas ke Tobelo, mereka tinggal di General Santos. Biasanya, Akmas-lah yang menjenguk keluarga dan berlayar dari Tobelo-Pulau Maroreh, lalu tiba di General Santos.

Luz mengaku, bersekolah di Filipina, seperti di Genral Santos dan Davao, menjanjikan perbaikan nasib bagi anak-anak peranakan Indo-Filipina. ”Setahu saya tidak ada yang kuliah di Manado,” kata Luz dalam bahasa Inggris yang lancar.

Kota General Santos berada di dekat Pulau Balud dan Pulau Sarangani, yang menjadi sentra hunian warga Indonesia asal Sangihe-Talaud. Warga Indonesia di sana berjumlah puluhan ribu orang di pulau yang berada beberapa puluh mil sebelah barat Pulau Miangas, titik paling utara Republik Indonesia.

Mantan Konsul Muda RI di KJRI Davao FX Soekirno Soetohardjo menerangkan, hampir sepuluh ribu warga Indonesia bermukim di Filipina Selatan pada awal 1980-an. ”Waktu itu saya membuat beberapa rukun warga dan rukun tetangga agar memudahkan koordinasi. Mereka sering ditekan gerilya komunis New People’s Army (NPA) dan pemberontak Moro,” kata dia.

Laut Indonesia kaya

Untuk mencari ikan, para nelayan Indo-Filipina mengaku lebih mudah melaut di perairan Indonesia. ”Kalau di Filipina, semalam melaut paling banyak dapat 1.000 peso sampai 2.000 peso (sekitar Rp 250.000 hingga Rp 500.000). Hasil itu dibagi dua orang atau tiga orang yang bekerja dalam satu perahu kecil. Kalau melaut di Indonesia bisa dapat di atas tiga juta rupiah hingga lima juta rupiah dengan bekerja dua atau tiga hari. Hasil itu dibagi satu kelompok kami sebanyak sepuluh orang,” kata Luther Mandome (52), nelayan.

Melaut hingga jauh sudah menjadi tradisi orang Sangir. John Mamalu (35), yang pernah bekerja di kapal ikan Taiwan, berkata, nelayan Sangir melaut hingga Laut Pasifik Selatan di sekitar Tuvalu, Vanuatu, Kepulauan Solomon, dan Papua Niugini. ”Orang Sangir bekerja di kapal ikan, berkebun di sekitar pesisir Mindanao, hingga Maluku Utara atau mendulang emas,” kata Mamalu menjelaskan profesi tradisional masyarakatnya.

Nelayan Sangir mengadopsi perahu Pam Boat Filipina. Berbekal teknologi Filipina, Akmas masih bisa mencari ikan di Maluku Utara saat ombak besar melanda. Sekolah di Filipina juga menjadi pilihan untuk memperbaiki nasib generasi penerus keluarga Indo-Filipina.

Sumber : http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/30/03373684/melaut.di.indonesia.sekolah.di.filipina

Tidak ada komentar:

Saatnya Mewujudkan Negara Kepulauan Indonesia

"UUD 1945 Pasal 25E telah mengamantkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang"
”Untuk membangun Indonesia menjadi negara besar, negara kuat, negara makmur, negara damai yang merupakan National Building bagi negara Indonesia, maka negara dapat menjadi kuat jika dapat menguasai lautan. Untuk menguasai lautan, kita harus menguasai armada yang seimbang.” (Pidato Bung Karno yang disampaikan dalam National Maritime Convention I tahun 1963)