26 Agustus 2009

WILAYAH KEPULAUAN : Nusa Utara Bergantung pada Ombak

Nusa Utara Bergantung pada Ombak

Rabu, 26 Agustus 2009 | 03:09 WIB

Oleh Agus Mulyadi

”Saya sebenarnya ingin, saat rombongan dari Jakarta ini datang ke Tahuna dan Marore, ombak mencapai 4 meter atau lebih. Orang Jakarta harus tahu kondisi sebenarnya di kepulauan ini. Kok, sekarang ombak sangat bagus,” ujar Bupati Sangihe W Salindeho mengemukakan hal itu ketika berbincang di atas kapal Pelni yang disewa khusus menuju Pulau Marore, Sulawesi Utara, Minggu (16/8).

Pemimpin rombongan pejabat dari Jakarta, yakni Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil Departemen Kelautan dan Perikanan Alex Retraubun, tersenyum mendengar ucapan bupati. ”Kami datang dengan hati bersih dan niat yang baik sehingga laut pun bersahabat,” kata Alex.

Dalam perjalanan laut mulai dari Pelabuhan Bitung, Sabtu (15/8) pukul 17.00 Wita, hingga Pelabuhan Tahuna esok harinya pukul 08.00 Wita, ombak memang terus tenang.

Memasuki Teluk Tahuna, setelah 13 jam berlayar dari Bitung, melihat laut yang begitu jernih dan alun ombak yang begitu tenang, ingin rasanya terjun dari kapal dan berenang di laut biru.

Laut memang sedang bersahabat. Sebagian masa lain dalam setahun, ombak di perairan Sangihe sangat tidak bersahabat. Seorang anak buah kapal Pelni yang membawa rombongan menyebutkan, ombak kadang setinggi 4 meter lebih. Kalau seperti itu, barang-barang di kapal harus diturunkan ke lantai agar tidak berjatuhan.

”Kami, para nelayan, tidak ada yang berani mencari ikan,” ujar Jimmy (22), nelayan asal Pulau Marore.

Pulau Marore, pulau terluar berpenduduk 669 jiwa, berhadapan langsung dengan kawasan Filipina selatan. Dari Manado, pulau itu berjarak 206 mil laut (381,5 kilometer), sedangkan dari Pulau Balut (Filipina selatan) hanya 40 mil laut (74 kilometer). Marore dapat ditempuh hampir dua hari jika menggunakan kapal perintis yang rutin melayani kawasan itu.

Marore yang 90 persen penduduknya bekerja sebagai nelayan terletak 40 mil laut Pulau Balut di Filipina selatan. Itulah sebabnya, sejak dahulu kala telah terjalin interaksi ekonomi di antara dua wilayah berbeda negara tersebut. Namun, jalinan itu tetap bergantung pada ombak laut.

Ombak laut bagi warga Kepulauan Sangihe serta dua kabupaten tetangganya, Kepulauan Talaud dan Sitaro, memang menjadi momok. Tiga daerah yang awalnya tergabung dalam Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Talaud itu dikenal pula dengan nama Nusa Utara.

Kalau selama satu bulan, misalnya, ombak terus-menerus setinggi 4 meter, itu berarti tidak ada penghasilan yang didapat penduduk. Sekitar 90 persen warga yang mencari nafkah sebagai nelayan terpaksa mengurung diri di rumah.

Pasokan berbagai kebutuhan pokok pun terhenti. Tidak ada lagi kiriman beras, gula, dan lainnya. Siapa yang berani menembus ombak setinggi 4 meter hanya dengan perahu-perahu motor kecil bercadik? Bahkan kapal-kapal perintis yang melayani kawasan itu pun bisa berhenti beroperasi. Pengelolanya pun kerap mengubah jadwal sesuka mereka, mengikuti kondisi ombak.

Kalau sudah begini, warga kepulauan tidak dapat bepergian ke pulau lain untuk mencari nafkah atau membeli berbagai bahan kebutuhan pokok.

Pasar Marore yang terdiri atas belasan kios di salah satu sudut pulau bakal tak berisi lagi. Tak ada kiriman baik dari Tahuna maupun Balut. ”Kondisi seperti itu kadang terjadi,” kata Boy (55), seorang pedagang.

Ombak tidak hanya membuat nelayan tidak berpenghasilan dan bahan pokok ludes. Jadwal kapal perintis yang melayani ke pulau-pulau terluar pun menjadi tidak tentu.

Bupati Salindeho pun untuk kesekian kali menyampaikan unek-unek warganya kepada pejabat pemerintah pusat. Si pejabat pusat, Alex Retraubun, ketika ditanya kembali berujar, ”Akan saya sampaikan kepada instansi terkait.”

Penanganan pulau-pulau terluar saat ini memang digarap secara bersama-sama oleh sejumlah instansi. Keberadaan mereka diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2005. Tim kerja itulah yang pada pertengahan Agustus lalu mengunjungi Marore, sekaligus memperingati Hari Kemerdekaan Ke-64 bersama warga dan pemerintah daerah setempat.

Saat ini terdapat tiga kapal perintis yang melayani pulau-pulau terluar dan kecil di Sangihe. Kapal-kapal itu adalah KM Daraki Nusa, KM Maliku Nusa, dan KM Berkat Talodo. Kapal-kapal itu umumnya mampir ke Tahuna, ibu kota Sangihe.

Selain tiga kapal perintis tersebut, menurut Komandan Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai Pelabuhan Tahuna S Soeganda, terdapat beberapa kapal motor penumpang lain berukuran lebih kecil. Kapal-kapal itu melayani rute Manado-Bitung.

Hidup di wilayah kepulauan yang terletak di lautan bebas memang merepotkan dan serba pasrah pada kehendak alam. Untuk saling berhubungan, warga kepulauan itu benar-benar bergantung pada kapal perintis dan ombak. Padahal, tidak sedikit pulau yang harus dilayani.

Di Kabupaten Sangihe yang berpenduduk 132.448 jiwa, misalnya, terdapat 26 pulau berpenghuni dari total 105 pulau yang ada di kabupaten itu.

Hidup mereka benar-benar bergantung pada ombak.

Sumber : http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/26/03092799/nusa.utara.bergantung.pada.ombak

Tidak ada komentar:

Saatnya Mewujudkan Negara Kepulauan Indonesia

"UUD 1945 Pasal 25E telah mengamantkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang"
”Untuk membangun Indonesia menjadi negara besar, negara kuat, negara makmur, negara damai yang merupakan National Building bagi negara Indonesia, maka negara dapat menjadi kuat jika dapat menguasai lautan. Untuk menguasai lautan, kita harus menguasai armada yang seimbang.” (Pidato Bung Karno yang disampaikan dalam National Maritime Convention I tahun 1963)