23 Agustus 2010

Malaysia di Balik Insiden Perairan Bintan

Harian Sinar Harapan, Senin, 23 Agustus 2010 13:04

Malaysia di Balik Insiden Perairan Bintan

OLEH: SUHANA


Seminggu terakhir ini bangsa Indonesia dikejutkan dengan insiden penangkapan tiga aparat Pengawas Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Tanjung Balai Karimun, Provinsi Riau, di perairan Tanjung Berakit, Pulau Bintan, oleh Marine Police Malaysia.

Insinden tersebut menyita perhatian masyarakat Indonesia, termasuk media masa.
Kita patut berterima kasih pada semua media masa atas laporannya tersebut, karena telah mengingatkan bangsa ini bahwa kita masih punya masalah perbatasan dengan Malaysia di perairan Bintan.
Kalau kita cermati secara mendalam, insiden perairan Bintan merupakan salah satu strategi “licik” Malaysia untuk mengklaim perairan Bintan sebagai wilayah kedaulatannya yang sampai saat ini perundi­ngannya masih mengalami kebuntuan. Sebelumnya, pemerintah Malaysia pernah mengklaim wilayah perairan tersebut merupakan wilayah kedaulatannya dengan me­ngeluarkan peta, namun pemerintah Indonesia sudah melayangkan penolakan atas peta tersebut.
Meski demikian, upaya Malaysia untuk mengklaim perairan tersebut ternyata tidak berhenti sampai di situ, mereka terus melakukan berbagai upaya untuk menunjukkan bahwa perairan tersebut masuk ke dalam kedaulatan mereka. Saat ini, pemerintah Malaysia memanfaatkan kelengahan pengawasan pencurian ikan oleh aparat Indonesia di wilayah perairan perbatasan.
Kita tahu bahwa jumlah hari operasi Kapal Pengawas Kelautan dan Perikanan tahun 2010 ini mengalami penurunan dari 180 hari menjadi 100 hari, akibatnya, pengawasan pencurian ikan di perairan Indonesia menjadi lengah. Dengan begitu, tidak heran kalau aktivitas pencurian ikan di perairan Indonesia saat ini cenderung meningkat. Data Kementerian Kelautan dan Perikanan (2010) menunjukkan bahwa sampai akhir juni 2010 tercatat dari 116 kapal ikan ilegal yang tertangkap kapal pengawas perikanan, 112 di antaranya merupakan kapal ikan asing, termasuk kapal Malaysia. Berkurangnya hari operasi kapal pengawas tersebut merupakan dampak kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan yang merealokasi anggaran di Kementerian Kelautan dan Perikanan Tahun 2010.

Tim Diplomasi Indonesia
Penulis menduga bahwa lima kapal nelayan yang melakukan pencurian ikan di wilayah perairan Bintan tersebut sengaja disuruh oleh pemerintah Malaysia untuk menangkap ikan di wilayah tersebut. Hal ini dimaksudkan apabila tidak ada tindakan protes dari aparat Indonesia, mereka dapat mengkalim bahwa perairan tersebut merupakan wilayah kedaulatannya.
Dugaan tersebut dikuatkan dengan cepatnya Marine Police Malaysia mengadang kapal Pengawas Kelautan dan Perikanan yang menangkap para nelayan yang sedang mencuri ikan tersebut. Yang akhirnya tiga aparat Pengawas Kelautan dan Perikanan Indonesia turut ditahan oleh Marine Police Malaysia. Meskipun begitu, hasil diplomasi singkat antara pemerintah Indonesia dengan Malaysia memutuskan untuk melakukan barter antara tiga aparat Pengawas Kelautan dan Perikanan RI dengan tujuh nelayan yang ditahan aparat Indonesia.
Sebenarnya, “barter” tiga aparat Pengawasan Kelautan dan Perikanan dengan tujuh nelayan Malaysia yang ditahan oleh aparat Indonesia merupakan salah satu bentuk kekalahan Tim Diplomasi Indonesia dan kemenangan bagi pemerintah Malaysia. Dengan adanya barter tersebut, secara tidak langsung pemerintah Malaysia ingin menunjukkan pada dunia internasional bahwa sebenarnya ketujuh nelayan Malaysia tersebut melakukan penangkapan ikan di wilayah perairan Malaysia. Hal ini ditunjukkan dengan tidak adanya proses hukum sesuai peraturan perundang-unda­ngan Indonesia yang mengatur masalah pencurian ikan. Inilah kesalahan serius yang dilakukan Tim Diplomasi Indonesia dalam penyelesaian masalah tersebut. Seharusnya, Pemerintah Indonesia melakukan protes diplomatik terhadap pemerintah Malaysia atas insiden penangkapan tiga aparat Pengawasan Kelautan dan Perikanan oleh Marine Police Malaysia dan mempro­ses menurut hukum yang berlaku terhadap tujuh nelayan Malaysia yang tertangkap.
Kalau kita cermati secara detail, strategi pemerintah Malaysia dalam berupaya mengklaim perairan Bintan sebagai wilayah kedaulatannya tersebut, merupakan strategi lama yang pernah mereka lakukan dalam memenangi kasus perebutan Pulau Sipadan dan Ligitan tahun 2002. Kalau kita lihat kembali dokumen perebutan Pulau Sipadan dan Ligitan, perundingan Indonesia dan Malaysia waktu itu me­ngalami hal yang sama, yaitu kebuntuan. Akhirnya, waktu itu disepakati bahwa sampai belum adanya keputusan tetap tentang kepemilikan kedua pulau tersebut, maka statusnya disepakati status quo. Meski demikian, dalam kondisi status quo tersebut pemerintah Malaysia telah memanfaatkan kelengahan Pemerintah Indonesia atas pengawasan terhadap kedua pulau tersebut dengan cara memberikan izin untuk membuat berbagai sarana wisata di kedua pulau tersebut. Upaya pemerintah Malaysia tersebut berhasil dilakukan karena tidak ada protes dari pemerintah Indonesia.
Dalam Sidang Mahkamah Internasional tahun 2002, Mahkamah Internasional sempat memutuskan bahwa pemerintah Indonesia dan Malaysia tidak berhak atas Pulau Ligitan dan Sipadan berdasarkan traktat. Mahkamah selanjutnya mempertimbangkan pertanyaan apakah Indonesia atau Malaysia dapat memiliki hak kepemilikan (title) atas pulau-pulau sengketa berdasarkan effectivites (penguasaan efektif) yang diajukan mereka.
Dalam kaitan ini, Mahkamah menentukan apakah klaim kedaulatan para pihak berdasarkan kegiatan-kegiatan yang membuktikan adanya suatu tindakan nyata, pelaksanaan kewenangan secara terus-menerus terhadap kedua pulau, antara lain mi­salnya (adanya) iktikad dan keinginan untuk bertindak sebagai perwujudan kedaulatan. Berdasarkan effectivites (penguasaan efektif) tersebut, maka pada tanggal 17 Desember 2002 Mahkamah Internasional mengakui pe­nguasaan efektif yang telah dilakukan oleh pemerintah Malaysia atas Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan, dan selama penguasaan efektif tersebut tidak ada gugatan atau protes dari pemerintah Indonesia.

Tingkatkan Pengawasan
Berdasarkan hal tersebut, pemerintah Indonesia perlu lebih waspada terhadap berbagai upaya pemerintah Malaysia dalam mengkalim wilayahnya di wilayah perairan perbatasan. Sampai saat ini, perundingan perbatasan laut antara Indonesia dengan Malaysia masih menyimpan permasalahan di empat kawasan yang masih membutuhkan pembahasan untuk mencapai suatu kesepakatan, yaitu Selat Malaka untuk penentuan batas ZEE, Selat Malaka Bagian Selatan untuk penentuan batas Laut Teritorial, Laut China Selatan untuk penentuan batas Laut Teritorial dan ZEE, dan Laut Sulawesi untuk penentuan batas Laut Teritorial, ZEE dan Landas Kontinen.
Selain empat kawasan tersebut di atas, masih ada satu kawasan batas laut yang harus dibicarakan antara Indonesia, Malaysia, dan Singapura, yaitu wilayah laut di sekitar Pulau Batu Puteh atau Pedra Branca yang terletak di sebelah utara Pulau Bintan, lokasi insiden penangkapan tiga aparat Pengawas Kelautan dan Perikanan Indonesia oleh kapal patroli Marine Police Malaysia pada tanggal 13 Agustus 2010.
Oleh sebab itu, pemerintah Indonesia perlu terus meningkatkan upaya kehadiran kapal pengawas–TNI AL, Kapal Pengawas Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta Kapal Patroli Kepolisian–di perairan perbatasan Indonesia, khususnya dengan perbatasan Malaysia. Selain itu juga, pemerintah Indonesia perlu terus menekan negara-negara tetangga yang belum menyepakati beriktikad baik dalam menyepakati batas wilayah dengan Indonesia, seperti Singapura dan Malaysia.
Bentuk penekanan tersebut dapat dilakukan melalui pe­ninjauan kembali berbagai program kerja sama antara Indonesia dengan negara tetangga, seperti dua program konservasi laut regional yang melibatkan Indonesia dan Malaysia (Sulu Sulawesi Marine Ecoregion/SSME dan Coral Triangle Initiative/CTI). Kedua program tersebut hendaknya dihentikan sementara sampai ada kesepahaman batas wilayah di laut antara Indonesia dan Malaysia.
Kita harus paham bahwa di sekitar wilayah dua program konservasi laut tersebut (Sulu Sulawesi Marine Ecoregion/SSME dan Coral Triangle Initiative/CTI) ada blok ambalat yang menjadi incaran Malaysia pasca-Pulau Sipadan dan Ligitan menjadi milik Malaysia. Oleh sebab itu, penulis mengusulkan agar permasalahan penyelesaian batas wilayah ini harus menjadi prasyarat keberlanjutan dua program konservasi tersebut. Alhasil, tanpa adanya upaya yang lebih tegas dan komprehensif, dikhawatirkan keutuhan NKRI akan terganggu.

Penulis adalah Kepala Riset Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim.

16 Agustus 2010

Men-KP Jangan Abaikan “Illegal Fishing”

Harian Umum, Sinar Harapan, Jumat, 13 Agustus 2010 12:54

Men-KP Jangan Abaikan “Illegal Fishing”

OLEH: SUHANA


Illegal fishing merupakan kejahatan perikanan yang sudah terorganisasi secara matang, mulai di tingkat nasional sampai internasional.

Bahkan, Organisasi Pangan Internasional (FAO) telah menempatkan illegal fishing sebagai kejahatan perikanan yang perlu mendapatkan perhatian serius. Sejak tahun 1992, FAO telah memprakarsai pembentukan suatu tata laksana perikanan yang bertanggung jawab, salah satunya memberantas praktik illegal fishing.
Prakarsa FAO tersebut lahir melalui Deklarasi Cancun tahun 1992 pada International Conference on Responsible Fishing. Pascadeklarasi Cancun, berbagai kebijakan internasional untuk memberantas kejahatan perikanan ini banyak dibentuk. Inisiatif FAO tersebut telah banyak mendapat sambutan baik dari seluruh negara, termasuk Indonesia. Bahkan, Uni Eropa sejak awal tahun 2010 ini telah menerapkan aturan semua produk perikanan yang masuk ke pasar Uni Eropa harus bebas dari praktik Illegal-Unreported-Unregulated (IUU) Fishing. Penerapan kebijakan tersebut telah berdampak pada beberapa perusahaan perikanan Indonesia saat ini. Menurut catatan Asosiasi Pengusaha Pengolahan dan Pemasaran Produk Perikanan Indonesia, pascapemberlakuan aturan Uni Eropa tersebut, ada 15 kapal perikanan Indonesia yang hasil tangkapannya ditolak pasar Uni Eropa karena diduga melakukan praktik pencurian ikan.
Meskipun demikian, di tengah-tengah dunia yang tengah memerangi kejahatan perikanan ini, Kementerian Kelautan dan Perikanan yang sejak awal berdiri bernama Departemen Eksplorasi Laut sampai Departemen Kelautan dan Perikanan Kabinet Indonesia Bersatu Jilid I sangat konsen terhadap pemberantasan kejahatan perikanan, tiba-tiba saat ini upaya untuk memerangi praktik illegal fishing ini mengalami penurunan yang sangat signifikan. Hal ini dapat ditunjukkan dengan kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan (Men-KP) Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II yang mengurangi Hari Operasi Kapal Pengawas Perikanan dari 180 hari menjadi 100 hari.
Pengurangan hari operasi tersebut merupakan dampak dari adanya kebijakan realokasi anggaran di Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2010 untuk mengembangkan budi daya perikanan. Meskipun begitu, ternyata kebijakan realokasi anggaran tersebut saat ini menimbulkan masalah serius bagi keberlangsungan ekonomi dan sumber daya perikanan nasional ke depan.
Pengurangan hari operasi pengawasan ini akan memicu semakin maraknya praktik pencurian ikan di perairan Indonesia. Data Kementerian Kelautan dan Perikanan (2010) menunjukkan bahwa tren kapal perikanan asing yang masuk secara ilegal ke perairan Indonesia sejak Januari sampai Juni 2010 cenderung meningkat. Mereka telah memanfaatkan kelengahan pemerintah Indonesia dalam mengawasi perairan indonesia. Hal ini dapat dilihat dari jumlah kapal ikan asing yang tertangkap, yang sampai akhir Juni 2010 tercatat dari 116 kapal ikan ilegal yang tertangkap kapal pengawas perikanan, 112 di antaranya merupakan kapal ikan asing.
Bahkan, Harian Kompas (7/7/2010) memperkirakan praktik pencurian ikan oleh kapal asing akan meningkat pada bulan Juli-Agustus ini. Prediksi tersebut bukan tanpa dasar. Berbagai hasil riset menunjukkan ikan tuna yang menjadi target utama kapal ikan asing di wilayah ZEEI pada Mei-Agustus berada di kedalaman antara 80-140 meter di bawah permukaan air laut. Artinya, pada bulan-bulan tersebut sangat cocok untuk melakukan penangkapan ikan tuna, karena tidak memerlukan upaya yang sangat besar. Karena pada bulan-bulan lainnya ikan tuna berada pada kedalaman di bawah 140 meter di bawah permukaan air laut, sehingga memerlukan upaya yang besar untuk menangkapnya.
Selain itu juga, kalau melihat data FAO (2001), diperkirakan kerugian Indonesia dari perikanan ilegal tersebut mencapai sekitar US$ 4 miliar. Kalau kita lihat dari perkembangan harga ikan rata-rata setiap tahunnya berkisar US$ 1.000-US$ 2.000 per ton ikan, maka apabila kita asumsikan harga ikan rata-rata sebesar US$ 1.000 per ton, jumlah ikan yang dicuri mencapai sekitar 4 juta ton per tahun. Sementara itu, apabila harga ikan rata-rata diasumsikan sekitar US$ 2.000 per ton, maka jumlah ikan yang dicuri sekitar 2 juta ton per tahun.
Lebih lanjut lagi, apabila kita asumsikan rata-rata tonase kapal ilegal yang menangkap ikan di perairan Indonesia mencapai 200 ton dan setiap tahunnya melakukan empat kali trip penangkapan, maka jumlah kapal ilegal per tahun mencapai 2.500-5.000 kapal.
Atas dasar hal tersebut, hendaknya Men-KP dapat menyadari pentingnya upaya serius untuk memberantas praktik kejahatan perikanan di perairan Indonesia. Hal ini selain akan berdampak terhadap kelestarian sumberdaya ikan, juga berdampak pada nasib ekspor produk ikan nasional dan keberlangsungan program minapolitan yang dijadikan program andalan Men-KP.

Minapolitan
Penanganan illegal fishing secara komprehensif akan mendukung target pemerintah dalam program minapolitan. Hal ini didasarkan pada masih tingginya ketergantungan pengembangan budi daya ikan terhadap hasil tangkapan nelayan di laut. Apalagi, sampai saat ini pemerintah dan pembudi daya ikan nasional belum dapat menemukan alternatif pakan ikan selain bersumber dari ikan rucah hasil tangkapan nelayan. Hasil penelitian Daniel Pauly (2006), untuk menghasilkan 1 kg daging ikan kerapu (atau ikan karnivora lainnya), bisa membutuhkan 5-10 kg ikan rucah/small pelagic hasil tangkapan nelayan.
Berdasarkan hal tersebut, sangat tepat jika dalam mendukung program minapolitan, Men-KP memperbaiki dan meningkatkan upaya pengawasan dan pengendalian kejahatan perikanan yang telah menguras banyak sumber daya ikan di perairan Indonesia oleh kapal asing dan kapal perikanan nasional. Men-KP hendaknya mengembalikan Hari Operasi Kapal Pengawas Perikanan menjadi 180 hari.
Selain itu, hendaknya Men-KP merumuskan langkah-langlah komprehensif dalam menangani illegal fishing. Ada beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian khusus, yaitu pertama, peningkatan kesadaran dan kerja sama antarseluruh pemangku kepentingan perikanan dan kelautan nasional dalam pemberantasan praktik illegal fishing. Hal ini perlu dilakukan karena illegal fishing selama ini banyak dilakukan oleh pemangku kepentingan perikanan itu sendiri, termasuk pemerintah dan pengusaha perikanan. Hal mendesak yang perlu dilakukan adalah memberantas KKN dalam pengurusan izin penangkapan ikan.
Kedua, peningkatan peran Indonesia dalam kerja sama pengelolaan perikanan regional. Dengan meningkatkan peran ini, Indonesia dapat meminta negara lain untuk memberlakukan sanksi bagi kapal yang menangkap ikan secara ilegal di perairan Indonesia. Data KKP (2010) menunjukkan bahwa sepanjang periode Januari-Juni 2010, kapal ikan asing yang melakukan pencurian ikan di perairan Indonesia didominasi oleh Malaysia, Vietnam, Thailand, RRC, dan Filipina. Dengan menerapkan kebijakan anti-illegal fishing secara regional, upaya pencurian ikan oleh kapal asing dapat ditekan serendah mungkin. Kerja sama ini juga dapat diterapkan dalam konteks untuk menekan biaya operasional MCS, sehingga joint operation untuk VMS (Vessel Monitoring Systems), misalnya, dapat dilakukan.
Menurut hemat penulis, pemberantasan illegal fishing di perairan Indonesia saat ini tidak bisa ditawar-tawar lagi. Artinya, pemerintah dan para pemangku kepentingan perikanan dan kelautan lainnya perlu bekerja sama untuk memberantasnya. Karena apabila hal ini tidak secepatnya dilakukan, maka program minapolitan hanya akan menjadi jargon seperti program-program sebelumnya, yaitu Protekan 2003, Gerbang Mina Bahari, dan Revitalisasi Perikanan. Sudah saatnya potensi sumber daya ikan di perairan Indonesia dimanfaatkan secara penuh oleh masyarakat Indonesia sendiri.

Penulis adalah Kepala Riset Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim.

Sumber : http://www.sinarharapan.co.id/cetak/berita/back_to/indeks-lalu/read/men-kp-jangan-abaikan-illegal-fishing/?tx_ttnews[years]=2010&tx_ttnews[months]=08&tx_ttnews[days]=13&cHash=088b9da33a

Saatnya Mewujudkan Negara Kepulauan Indonesia

"UUD 1945 Pasal 25E telah mengamantkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang"
”Untuk membangun Indonesia menjadi negara besar, negara kuat, negara makmur, negara damai yang merupakan National Building bagi negara Indonesia, maka negara dapat menjadi kuat jika dapat menguasai lautan. Untuk menguasai lautan, kita harus menguasai armada yang seimbang.” (Pidato Bung Karno yang disampaikan dalam National Maritime Convention I tahun 1963)