22 Agustus 2009

NASIONALISME : Satu Hati Dua Bendera

Satu Hati Dua Bendera

Sabtu, 22 Agustus 2009 | 03:17 WIB

B Josie Susilo Hardianto

Garis putih itu makin pudar, tergerus roda dan terompah. Debu dan pasir laut yang menutupi makin menyamarkan garis batas wilayah Indonesia-Timor Leste. Mereka yang lalu lalang di atas Jembatan Mota’ain, tempat garis itu digambar, tak banyak memerhatikannya.

Perhatian lebih tertumpah pada peluk hangat antarkerabat, tawa dan canda riang para porter dan penukar uang, para sopir yang saling menukar catatan daftar penumpang, dan anak-anak Desa Silawan yang sibuk berlari ke sana ke mari, bermain berkejaran. Para ajuda lodan—porter asal Timor Leste—yang duduk di atas pagar jembatan Mota’ain tersenyum melihat tingkah anak-anak itu.

”Eh, adik, itu ada lagi yang tiba,” seru Manimo Pareira sambil menunjuk ke arah sebuah travel yang tiba dengan memalingkan wajahnya ke arah pantai, di mana travel yang membawa penumpang dari Dili itu tiba.

Mengapa tidak dia sendiri? Ternyata ada kesepakatan, setiap penumpang yang tiba dari Timor Leste, para porter dari Indonesia yang datang melayani. Sebaliknya, para porter dari Timor Leste yang ganti melayani ketika ada pelintas batas tiba dari Atambua dan hendak melintas ke Timor Leste.

Pembagian itu membuat rezeki terbagi dengan adil di perbatasan. Tidak ada saling rebut, bahkan mereka kerap makan bersama, berbagi rokok dan cerita. ”Sebagian dari kami memang masih memiliki hubungan kekerabatan,” kata Manino Pareira yang tetap fasih berbahasa Indonesia.

Mengungsi

Namun, gejolak politik menjelang dan sesudah jajak pendapat digelar pada tanggal 30 Agustus 1999 terpaksa membuat mereka berpisah. Ratusan ribu warga Timor Timur kala itu berduyun-duyun meninggalkan kampung halaman mereka, menyelamatkan diri dari amuk yang mematikan.

Data Satkorlak Penanggulangan Bencana dan Pengungsian Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) tahun 2005 menyebutkan, jumlah pengungsi asal Timor Timur yang tersebar di berbagai wilayah NTT dan Sumba mencapai 104.436 jiwa.

Kabupaten Belu tercatat sebagai wilayah yang menampung pengungsi paling banyak, yaitu 15.274 kepala keluarga atau sebanyak 70.453 jiwa.

Mereka tinggal di kamp-kamp pengungsian dengan daya dukung yang nyaris tidak ada. Sebagian besar dari mereka pergi dengan hanya membawa baju yang melekat di badan. Tiba pada malam hari di perkampungan dan bertahan hidup dengan makanan seadanya.

Hari-hari berikutnya adalah hari-hari penuh kenestapaan, tidak hanya bagi para pengungsi itu, tetapi juga bagi warga kampung di mana para pengungsi itu tinggal.

Kabupaten Belu adalah daerah tandus. Warga setempat umumnya petani dengan ladang terbatas yang ditanami jagung dan ubi ketika musim hujan tiba. Jaminan hidup itu kerap harus dibagi bersama dengan para pengungsi yang turut memanfaatkan lahan untuk bercocok tanam.

Sempat terjadi kala itu warga mendesak pemerintah untuk segera memulangkan para pengungsi selain karena sudah dianggap aman, juga karena warga merasa terbebani oleh kehadiran pengungsi itu. Sebagian pengungsi memang kembali ke Timor Leste, tetapi sebagian tidak dengan berbagai alasan, umumnya karena khawatir terhadap kemungkinan balas dendam.

Kilas balik

Kamp Merdeka, Kabupaten Kupang, 2001, seorang anak usia tujuh tahun berjalan tergesa. Langkahnya terhenti, dengan tangan kiri ia meraih cepat permen yang ditawarkan kepadanya. Sementara itu, di tangan kanannya ia memegang erat sebilah belati berhulu tanduk rusa.

”Ini pemberian bapakku,” katanya. Ia menerimanya seminggu sebelum jajak pendapat digelar.

Bersama-sama dengan pemuda di desanya serta bapaknya yang adalah kepala desa, bocah itu menyisir satu per satu rumah warga. Ia nyaris saja menggunakan belati itu untuk membunuh neneknya karena ia melihat neneknya menyimpan foto Xanana Gusmao di rumahnya.

Niat itu terhenti karena bapaknya melarang. Jajak pendapat digelar dan sebagian besar warga Timor Timur memilih merdeka. Bocah tersebut akhirnya terpaksa mengungsi. Saat itu ia mengaku enggan untuk kembali ke Timor Leste. Ia takut orang-orang akan memburu dan membunuhnya, seperti apa yang mereka lakukan kepada bapaknya.

Dalam buku Jembatan Air Mata, Tragedi Manusia Pengungsi Timor Timur, Navita Kristi Astuti, seorang relawan yang tergabung dalam Jesuit Refugee Service (JRS), menuliskan, perjalanan panjang rakyat Timor Leste sejak tahun 1975 sampai 1999 menempa mereka menjadi bangsa yang penuh dendam dan amarah.

Perbedaan sikap politik dalam menentukan nasib berbangsa menjerumuskan mereka untuk saling berbalas. Akibatnya, korban berjatuhan. Semuanya itu saling menumpuk seperti lingkaran setan.

Ada yang dulu jadi korban dan saat ini membalas dendam dan menjadi pelaku bagi korban lainnya. Ada yang dulunya menjadi pelaku dan mendapatkan pembalasan dendam dari korbannya pada masa lalu.

Dendam tak berkesudahan. Mungkinkah nilai-nilai perdamaian ditanamkan?

Masa lalu

Namun, semua itu telah lampau. ”Setiap hari, sapi-sapi kami merumput di padang di Timor Leste dan kami pun kerap mencari kayu api dan daun bebak di sana,” kata Hendrikus Halek, Kepala Dusun Maninu, Desa Silawan, Belu.

Padang itu ada di seberang sungai, sekitar 100 meter di belakang garis batas wilayah Indonesia-Timor Leste. ”Kadang-kadang, ketika kami mencari kayu api, kami bertemu dengan patroli dari Timor Leste. Mereka hanya memperingatkan saja agar kami tidak merusak pohon-pohon besar,” kata Hendrikus menambahkan.

Menurut dia, mereka saling memahami karena memang sejak dulu padang itu menjadi tempat di mana sapi-sapi milik warga Dusun Maninu digembalakan. Di situ pula warga Maninu mencari bebak untuk membuat rumah. Kekerabatan antarwarga di perbatasan, tutur Hendrikus, terjalin sejak dulu.

Perkawinan antarwarga yang dulu terjadi hingga saat ini pun masih terjadi. ”Pernah ada, dari arah bukit itu, seorang pemuda Timor Leste berseru kepada seorang gadis di desa ini, ’Adik, aku cinta padamu,’” kata Hendrikus.

Menurut dia, keadaan sudah kembali membaik dan pulih seperti sediakala. Keputusan politik tidak memupus ikatan kekerabatan itu.

Joseph Untung, Kepala Desa Silawan, pun mengakuinya. Bahkan, ia masih kerap berkunjung ke Timor Leste karena dua anak perempuannya menikah dengan pemuda asal Timor Leste. Hanya karena keterbatasan dana yang menyebabkan anak dan menantunya jarang berkunjung ke Silawan. Namun, relasi di antara mereka tetap hangat, kata Joseph yang pernah menjadi pegawai di Timor Leste ketika negara itu masih menjadi bagian dari Indonesia.

Harapan

”Benar, sekarang semua telah kembali menjadi lebih baik. Tak perlu ada dendam dan curiga, apalagi banyak di antara kami masih berkerabat. Memang politik telah memaksa kami berpisah. Namun, hati kami tetap satu walau di bawah dua bendera yang berbeda,” kata Manino Pareira di atas tapal batas yang tergambar di Jembatan Mota’ain ketika sebuah truk besar dengan bak tertutup berukuran 20 kaki melintas membawa berbagai barang, seperti mi instan, terigu, minyak goreng, dan beras, pesanan toko-toko kelontong yang dikelola warga Indonesia di Dili, Timor Leste.

Angin dari putaran roda-roda dan laju truk itu mengempas pasir-pasir yang ada di tengah jalan. Sejenak pasit itu beterbangan dalam terik udara siang hari. Lalu luruh kembali ke jalan dan menutup garis batas wilayah itu.

Dari arah Dili, beberapa pemuda turun dari travel. Mereka menjinjing tas besar dan berjalan mantap ke arah gerbang perbatasan wilayah Indonesia. ”Mereka hendak ke Kupang dan Surabaya. Mereka bersekolah di sana,” kata Manino Pareira.

Tak ada lagi ketegangan seperti pernah terjadi dulu. Derak roda moda transportasi dari dua negara itu telah turut menjadi bagian dari sebuah perjalanan perubahan di tapal batas. Menjadi bagian dari harapan yang dibangun bersama antara warga dua bangsa.

Sumber : http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/22/03174294/satu.hati.dua.bendera

Tidak ada komentar:

Saatnya Mewujudkan Negara Kepulauan Indonesia

"UUD 1945 Pasal 25E telah mengamantkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang"
”Untuk membangun Indonesia menjadi negara besar, negara kuat, negara makmur, negara damai yang merupakan National Building bagi negara Indonesia, maka negara dapat menjadi kuat jika dapat menguasai lautan. Untuk menguasai lautan, kita harus menguasai armada yang seimbang.” (Pidato Bung Karno yang disampaikan dalam National Maritime Convention I tahun 1963)