29 Februari 2012

Bincang Malam Mata Mahasiswa TVRI

 
Sebagai Salah Satu Narasumber pada Acara Bincang Malam Mata Mahasiswa di TVRI pada Hari Senin, 27 Pebruari 2012 dengan Tema Kenapa Kita Selalu Kekurangan Garam ?. Narasumber lainnya : 3 Mahasiswa UNDIP, Ketua Komisi 4 DPR-RI dan Dirjen Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan 

22 Februari 2012

Manajemen Perikanan Amburadul

22.02.2012 09:26

Manajemen Perikanan Amburadul

Penulis : Suhana*   
(foto:dok/ist)
Kisruh impor ikan dalam dua tahun terakhir belum menemukan titik terang dalam penyelesaiannya. Hal ini menunjukkan bahwa manajemen pengelolaan perikanan nasional semakin amburadul. Amburadulnya manajemen perikanan nasional terlihat dari tidak konsistennya arah kebijakan perikanan nasional.
Arah kebijakan perikanan nasional dalam periode Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II ini terlihat tidak fokus. Pada periode Fadel Muhammad sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan, arah kebijakan perikanan lebih menekankan pada peningkatan produksi ikan nasional sampai 353 persen, sehingga pada periode tersebut impor ikan secara tegas diminta untuk dihentikan.
Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan gegap gempita meyakinkan publik bahwa kebutuhan ikan nasional dapat dipenuhi oleh produksi dalam negeri, jadi tidak perlu impor ikan.
Dukungan publik terhadap kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tersebut sangat tinggi. Namun demikian, publik masih belum yakin 100 persen terhadap penghentian impor ikan tersebut karena di lapangan banyak ditemukan ikan-ikan impor yang sudah merembes ke pasar-pasar tradisional.
Memasuki periode Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif Cicip Sutardjo, arah kebijakan kelautan dan perikanan berubah dari pendekatan produksi ikan menjadi industrialisasi perikanan berbasis unit pengolahan ikan (UPI). Namun demikian, perubahan kebijakan tersebut terlihat tidak didukung perencanaan yang matang.
Hal ini terlihat dari industrialisasi perikanan yang dikembangkan ternyata berbasis di Pulau Jawa yang sudah tidak memiliki dukungan bahan baku ikan. Akibatnya, KKP kembali dengan gegap gempita menyakinkan publik dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akan pentingnya ikan impor untuk memasok kebutuhan bahan baku UPI nasional, dan akhirnya impor ikan kembali dilegalkan.
Namun demikian, publik—termasuk penulis—tidak yakin ikan yang diimpor tersebut hanya untuk kebutuhan bahan baku UPI nasional, namun banyak yang langsung masuk ke pasar-pasar tradisional. Ketidakyakinan penulis tersebut didasarkan pada hasil analisis terhadap dugaan maraknya impor ikan ilegal yang masuk ke Indonesia tahun 2010.
Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa dugaan impor ikan ilegal Indonesia dari China pada 2010 mencapai 51,28 persen dari total nilai impor ikan Indonesia dari China. Namun demikian, walaupun impor ikan nasional meningkat, ternyata tidak berpengaruh signifikan terhadap jumlah kapasitas terpakai pada industri pengolahan ikan nasional.
Hasil survei Bank Indonesia menunjukkan bahwa pada periode 2010, kapasitas industri perikanan yang terpakai hanya mencapai di bawah 70 persen, tidak jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Artinya, impor ikan tersebut tidak sepenuhnya diperuntukkan bagi pasokan kebutuhan bahan baku UPI, namun langsung dipasarkan ke pasar-pasar dalam negeri.
Ekspor Ikan Ilegal
Di tengah tingginya laju impor ikan nasional, penulis menemukan data yang menunjukkan aktivitas ekspor ikan ilegal dari Indonesia ke negara lain, khususnya Thailand, semakin tinggi. Data UN-Comtrade (2011) mengindikasikan semakin maraknya ekspor ikan tuna ilegal dari Indonesia ke Thailand.
Pada 2000, tercatat dugaan ekspor ikan tuna albacore secara ilegal mencapai 52 persen dari total volume ekspor ikan tuna albacore Indonesia ke Thailand, yaitu 271.419 kg dengan nilai mencapai US$ 1.070.630.
Sementara itu, pada 2010, dugaan ekspor ikan tuna albacore ilegal ke Thailand semakin meningkat sampai 69,20 persen dari total volume ekspor ikan tuna albacore Indonesia ke Thailand. Volume ekspor ikan tuna albacore ilegal dari Indonesia ke Thailand tahun 2010 diperkirakan mencapai 2.352.724 kg dengan nilai mencapai US$ 8.326.839.
Pasokan bahan baku ilegal tersebut rupanya dimanfaatkan Thailand untuk memasok kebutuhan bahan baku industri pengolahan ikan yang ada di negara tersebut. Thailand selama ini terkenal di dunia sebagai pemasok utama produk ikan olahan, padahal sekitar 90 persen pasokan bahan bakunya berasal dari Indonesia dan Filipina.
Hal ini terbukti pada tahun 2010 UN-Comtrade memosisikan Thailand sebagai negara kedua terbesar dunia sebagai pemasok produk ikan olahan setelah China, sementara Indonesia hanya puas di posisi 10 terbesar dunia.
Total kontribusi Thailand terhadap total ekspor produk ikan olahan mencapai 20,2 persen, sementara Indonesia hanya berkontribusi 2,7 persen dari total ekspor produk ikan olahan dunia.
Tidak Dinikmati 
Berdasarkan hal tersebut, sungguh ironis sumber daya ikan Indonesia yang memiliki nilai ekonomi tinggi seperti tuna ternyata tidak dinikmati oleh para nelayan dan industri pengolahan ikan dalam negeri. Di sisi lain, Unit Pengolahan Ikan Nasional setiap tahunnya berlomba-lomba terus meningkatkan impor bahan baku ikan pindang dan ikan asin.
Kebijakan pengembangan industri pengolahan ikan pindang dan asin secara besar-besaran oleh KKP menunjukkan bahwa secara sistematis masyarakat Indonesia akan disuguhi oleh konsumsi ikan pindang dan ikan asin, di mana nilai kandungan gizinya sangat rendah, bahkan cenderung tidak ada.
Sementara itu, ikan segar yang memiliki kandungan gizi baik lebih banyak di ekspor, baik legal maupun ilegal ke pasar internasional. Dengan demikian, sangat wajar apabila kualitas sumber daya manusia Indonesia sulit berkembang dengan baik karena hanya disediakan konsumsi ikan pindang dan ikan asin.
Berdasarkan kondisi tersebut, KKP hendaknya segera mengevaluasi kembali kebijakan industrialisasi perikanan berbasis bahan baku impor. Industrialisasi perikanan yang dikembangkan harus berbasis bahan baku dalam negeri, sehingga pengembangan industri pengolahan ikan jangan dipusatkan di Pulau Jawa, tapi harus dikembangkan di pusat-pusat bahan baku seperti di kawasan Indonesia bagian timur.
Oleh sebab itu, dukungan infrastruktur seperti listrik, bahan bakar minyak, air bersih, dan transportasi antarpulau di kawasan Indonesia bagian timur perlu segera dibenahi.
Sementara itu, untuk menjaga ketersediaan bahan baku sepanjang tahun, pemerintah perlu secepatnya membentuk Bulog Perikanan. Hal ini diperlukan mengingat produksi ikan para nelayan sangat tergantung kondisi cuaca, sehingga keberadaan Bulog Perikanan diperlukan guna mengatur manajemen ketersediaan bahan baku ikan untuk UPI dan kebutuhan konsumsi langsung masyarakat.
Selain itu, pengembangan industrialisasi perikanan hendaknya tidak hanya difokuskan untuk komoditas ikan, tetapi perlu dikembangkan untuk industri pengolahan rumput laut.
Hal ini karena dalam 10 tahun terakhir produksi rumput laut terus menunjukkan peningkatan yang sangat signifikan, bahkan saat ini kontribusinya sudah di atas 60 persen dari total produksi perikanan budi daya.
Sementara itu, demi mencegah semakin tingginya kasus ekspor ikan ilegal dari Indonesia ke negara lain, Kementerian Kelautan dan Perikanan perlu meningkatkan pengawasan di perairan Indonesia. Ini karena dugaan kuat ekspor ikan ilegal tersebut dilakukan di tengah laut oleh para oknum nelayan dan pengusaha perikanan nasional.
Alhasil tanpa adanya perubahan perencanaan pembangunan perikanan yang baik, manajemen perikanan nasional akan semakin amburadul. Oleh sebab itu, KKP perlu segera mereformulasi kebijakan perikanan nasional.
*Penulis adalah Kepala Riset Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim.

Sumber : http://www.sinarharapan.co.id/content/read/manajemen-perikanan-amburadul/

15 Februari 2012

Pulau-pulau Kecil Terancam


14.02.2012 09:29

Pulau-pulau Kecil Terancam

Penulis : Suhana*   
(foto:dok/ist)
Di tengah hiruk-pikuk perpolitikan nasional, nasib pulau kecil yang ada di Indonesia semakin terancam. Namun, perhatian para politikus nasional, pemerintah, dan pemangku kepentingan lainnya belum melihat hal tersebut menjadi sebuah ancaman serius bagi keutuhan bangsa dan negara.
Padahal saat ini keberadaan pulau-pulau kecil tersebut sudah sangat mendesak untuk diperhatikan, dibandingkan dengan gejolak politik yang tidak jelas arahnya mau ke mana.
Nasib pulau kecil saat ini perlu penanganan yang cepat, tepat, dan tegas. Hal ini disebabkan keberadaan pulau kecil tersebut sangat menentukan keutuhan wilayah Negara Republik Indonesia, termasuk keutuhan ekonomi nasional.
Publikasi terbaru dari Badan Informasi Geospasial, atau dulu terkenal dengan nama Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakorsurtanal), menunjukkan jumlah pulau yang ada di Indonesia saat ini ternyata tinggal 13.466 pulau, bukan 17.508 pulau seperti yang diyakini pemerintah selama ini.
Menurunnya jumlah pulau tersebut disebabkan pulau gosong tidak lagi dimasukkan sebagai pulau, karena tidak sesuai dengan definisi pulau yang dikeluarkan Perserikatan Bangsa-Bangsa, yaitu objek yang masih tampak saat air laut pasang. Sementara pulau gosong hanya muncul ketika air laut surut dan akan tenggelam pada saat air laut pasang (Kompas, 8/2/2012).
Selain itu, menurunnya jumlah pulau tersebut disebabkan kerusakan sumber daya pesisir, seperti mangrove dan terumbu karang, serta banyaknya aktivitas penambangan pasir di sekitar pulau kecil tersebut.
Data Kementerian Kelautan dan Perikanan (2011) menunjukkan 28 pulau kecil di Indonesia sudah tenggelam dan ada sekitar 24 pulau kecil yang terancam tenggelam.
Beberapa pulau yang sudah tenggelam dan terancam tenggelam tersebut dua di antaranya pulau kecil terluar yang dijadikan titik dasar (TD) kepulauan Indonesia, yaitu Pulau Nipa (TD 190 dan 190A) dan Pulau Maratua (TD 039). Penyebab utama tenggelamnya pulau kecil di Indonesia adalah penambangan pasir dan abrasi pantai.
Catatan Kompas (9/2/2012) menunjukan abrasi pantai yang terjadi di Pulau Maratua disebabkan gelombang tinggi dan banyaknya masyarakat yang membangun rumah di tepi pantai.
Pasal 23 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil menyatakan pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya diprioritaskan untuk kegiatan (1) konservasi, (2) pendidikan dan pelatihan, (3) penelitian dan pengembangan, (4) budi daya laut, (5) pariwisata, (6) usaha perikanan dan kelautan dan industri perikanan secara lestari, (7) pertanian organik, dan (8) peternakan.
Namun yang terjadi saat ini prioritas pemanfaatan pulau-pulau kecil tersebut sudah tidak sejalan lagi dengan amanat undang-undang tersebut.
Data Kementerian Kelautan dan Perikanan (2011) menunjukkan aktivitas pertambangan yang tidak direkomendasikan untuk dilakukan di pulau kecil sampai saat ini masih terjadi, seperti yang terjadi di Pulau Lemo, Pulau Buaya, dan Pulau Laburoko Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara, yang dijadikan tempat penambangan nikel.
Selain itu, perkebunan sawit saat ini banyak merambah pulau-pulau kecil yang ada di Indonesia, seperti yang terjadi di Pulau Bawal Kabupaten Ketapang Kalimantan Barat.
Tindakan Afirmatif
Berdasarkan kondisi di atas, permasalahan yang mendesak ditangani saat ini adalah pertama, masalah investasi pembangunan di pulau kecil. Investasi yang tidak sejalan dengan peraturan perundang-undangan, khususnya Undang-Undang 27/2007 hendaknya ditinjau kembali, seperti investasi pertambangan dan perkebunan sawit.
Hal ini disebabkan keberadaan kedua aktivitas ekonomi tersebut apabila dipaksakan dilakukan di pulau kecil akan sangat mengancam keberadaannya, termasuk keberadaan masyarakat yang ada di pulau-pulau kecil.
Kasus tenggelamnya pulau kecil yang terjadi selama ini hendaknya dijadikan pelajaran utama, di mana penyebab utamanya adalah aktivitas pertambangan di pulau kecil. Hal yang sama apabila perkebunan kelapa sawit dipaksakan di pulau kecil tidak menutup kemungkinan akan mengancam ekosistem yang ada di pulau kecil tersebut.
Kedua, kerusakan ekosistem di pulau kecil. Kerusakan ekosistem pulau kecil tersebut selain disebabkan oleh aktivitas ekonomi yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, juga disebabkan laju pertumbuhan penduduk pulau kecil yang terus meningkat. Akibatnya, kebutuhan akan lahan untuk permukiman akan terus meningkat.
Dengan melihat keterancaman pulau kecil dari investasi dan kerusakan lingkungan tersebut, saat ini diperlukan tindakan afirmatif, yaitu tindakan khusus untuk mencapai kondisi pengelolaan pulau kecil yang ramah lingungan, keadilan bagi pengembangan ekonomi masyarakat lokal, dan demi menjaga keutuhan wilayah Negara Republik Indonesia.
Tindakan afirmatif tersebut diperlukan mulai dari pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota.
Di tingkat pusat, panduan investasi di pulau-pulau kecil hendaknya dapat ditingkatkan menjadi sebuah keputusan presiden atau peraturan pemerintah agar dapat dijadikan panduan oleh semua instansi yang berwenang menarik investasi ke wilayah Indonesia, termasuk ke pulau kecil.
Saat ini panduan investasi tersebut baru sebatas Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan, sehingga sangat sulit untuk dijadikan acuan bagi semua instansi, mengingat ego sektoral sampai saat ini masih sangat tinggi. Pandangan penulis, mengubah aturan jauh lebih mudah daripada menghilangkan ego sektoral yang ada di setiap instansi.
Selain itu juga program-program pembangunan di pulau-pulau kecil hendaknya dapat menjadi perhatian oleh semua kementerian yang ada di pemerintah. Program tanam pohon di pulau kecil, adopsi pulau kecil oleh pihak perguruan tinggi, dan pengembangan infrastruktur transportasi antarpulau hendaknya didukung anggaran yang memadai.
Oleh sebab itu dukungan politik anggaran dari pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk kepentingan penyelamatan dan pengelolaan pulau kecil saat ini sangat mendesak.
Di tingkat pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota), izin investasi harus memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku di wilayah Negara Republik Indonesia. Pelaksanaan otonomi daerah jangan dijadikan momentum untuk menarik investasi daerah tanpa adanya pertimbangan kerusakan lingkungan di wilayah pulau-pulau kecil.
Pemerintah pusat melalui Kementerian Dalam Negeri hendaknya dapat terus berperan aktif dalam mengawasi peraturan daerah, khususnya yang terkait investasi di pulau-pulau kecil.
Sesuai dengan amanat Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pengawasan dan Pembinaan Pemerintah Daerah, terutama Pasal 37 Ayat (4) yang menyatakan Peraturan Daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan dengan Peraturan Presiden berdasarkan usulan Menteri Dalam Negeri.
Keterpaduan dukungan pemerintah pusat, DPR, dan Pemerintah Daerah saat ini mendesak untuk dilakukan. Tanpa adanya tindakan afirmatif yang cepat, tepat, dan tegas dari pemerintah pusat, DPR, dan Pemerintah Daerah tersebut dikhawatirkan keberadaan pulau kecil, masyarakat pulau kecil, dan keutuhan wilayah Negara Republik Indonesia akan terus terancam.
*Penulis adalah Kepala Riset Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim.

Sumber : http://www.sinarharapan.co.id/content/read/pulau-pulau-kecil-terancam/

Saatnya Mewujudkan Negara Kepulauan Indonesia

"UUD 1945 Pasal 25E telah mengamantkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang"
”Untuk membangun Indonesia menjadi negara besar, negara kuat, negara makmur, negara damai yang merupakan National Building bagi negara Indonesia, maka negara dapat menjadi kuat jika dapat menguasai lautan. Untuk menguasai lautan, kita harus menguasai armada yang seimbang.” (Pidato Bung Karno yang disampaikan dalam National Maritime Convention I tahun 1963)