22 Februari 2011

Swasembada Garam 2015


Pemerintah melalui kementerian kelautan dan perikanan sudah mencanangkan swasembada garam tahun 2015. Hal ini didorong oleh kondisi yang menunjukan bahwa sebaga negara kepulauan indonesia sampai saat ini merupakan negara pengimpor garam. Selain itu juga kondisi petambak garam di indonesia terlihat belum mengalami peningkatan dari tahun-ketahun. Hal ini seiring dengan harga garam dari petambak nasional yang tidak mengalami peningkatan yang berarti, bahkan yang terjadi dibeberapa daerah diperparah lagi dengan rendahnya kualitas garam hasil produksi petambak nasional. Untuk mewujudkan swasembada garam di Indonesia bukan permasalahan yang mudah.
Tantangan utamanya adalah kondisi cuaca, hasil studi penulis (2010) di kabupaten pamekasan jawa timur, menunjukan bahwa para petambak garam di kabupaten pamekasan sepanjang tahun 2010 tidak melakukan aktivitas penggaraman dikarenakan terjadinya hujan sepanjang tahun 2010 di wilayah tersebut.
Menurut catatan para petambak, normalnya para petambak dalam setahun bisa melakukan aktivitas penggaraman selama 6 bulan dan dalam 1 bulan biasanya bisa panen garam sekitar 2-4 kali panen. Artinya dalam setahun mereka dapat melakukan panen sekitar 12-24 kali panen. Akan tetapi sepanjang tahun 2010 ternyata mereka tidak satu kalipun melakukan panen garam. Inilah tantangan utama yang perlu dipertimbangkan oleh pemerintah dalam mencanangkan program swasembada garam tahun 2015. Pemerintah perlu bekerjasama dengan badan meteorologi dan geofisika dalam menentukan wilayah-wilayah yang dapat dijadikan lokasi penggaraman yang ideal, artinya musim penghujannya lebih rendah dibandingkan musim kemarau. Sebagai negara tropis pertimbangan musim dalam menentukan lokasi penggararam nasional guna mencapai target swasembada garam 2015 menjadi keharusan.
Selain faktor cuaca, faktor lain yang perlu mendapatkan perhatian adalah masalah pencemaran perairan. Kita ketahui bahwa di beberapa wilayah perairan indonesia diduga sudah mengalami pencemaran yang akut. Faktor pencemaran perairan ini akan sangat menentukan kualitas garam yang di produksi, misalnya apabila di suatu perairan tersebut sudah tercemar timbal, maka secara logika garam yang diproduksi akan mengandung timbal juga, karena timbal tidak ikut menguap seperti air, timbal akan terikat di kristal-kristal garam yang diproduksi oleh para petambak garam. Dengan demikian apabila garam tersebut dikonsumsi oleh manusia, maka dengan sendirinya akan terkena dampaknya, seperti gangguang kesehatan. Berdasarkan hal tersebut survey kualitas perairan di lokasi penggaraman menjadi suatu kebutuhan yang mendesak, agar produksi garam nasional terlindung dari zat pencemar yang dapat merugikan masyarakat.

Bersambung .........

07 Februari 2011

Impor Ikan Bakal Melonjak

Impor Ikan Bakal Melonjak

Senin, 07 Februari 2011
Sektor Perikanan , Produksi Anjlok Akibat Mahalnya Biaya Operasi

JAKARTA – Tingginya biaya produksi dan terbatasnya pasokan bahan bakar minyak (BBM) memicu mahalnya harga produk ikan di dalam negeri sehingga sulit bersaing dengan produk impor. Akibatnya, impor produk ikan tahun ini diprediksi bakal mengalami lonjakan. “Saat ini, ikan dan produk perikanan impor mulai mengancam hasil tangkapan nelayan dan pembudi daya ikan. Produk kita kalah bersaing karena dari sisi biaya produksi lebih mahal dibandingkan dengan negara asia lain,” kata Kepala Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim Suhana kepada Koran Jakarta, Minggu (6/2).

Berdasarkan data PBB/UN Comtrade, hingga akhir 2010, Indonesia masuk tujuh besar negara importir ikan terbesar di Asia. Urutan pertama ditempati China dengan volume impor 47 persen, Thailand 12 persen, Vietnam delapan persen, Jepang delapan persen, Malaysia delapan persen, Korea Selatan lima persen, dan Indonesia empat persen. Suhana memprediksi peta perdagangan ikan dan produk perikanan akan terus berubah, dan impor ikan yang dilakukan Indonesia akan melonjak jika tidak ada langkah-langkah serius dari pemerintah.

Sampai saat ini, pemerintah masih memilih impor saat terjadi paceklik untuk menjaga pasokan dan tidak menyelamatkan hasil produksi nelayan dan pembudi daya ikan saat produksi melimpah. “KKP harus melindungi produk ikan dalam negeri dari masuknya ikan dan produk ikan impor. Distribusi perdagangan ikan antarwilayah perlu diperbaiki sehingga tidak terjadi penumpukan di sentra perikanan. Langkah itu perlu sehingga produk pembudi daya bisa terserap,” ungkapnya. Selain itu, kata Suhana, KKP perlu menyiapkan langkah konkret untuk menekan biaya produksi.

Pasalnya, saat ini, pembudi daya dan nelayan tangkap masih berkutat pada persoalan mahalnya harga pakan serta terbatasnya pasokan BBM. Kepedulian Pemerintah Menurut Wakil Ketua Komisi IV DPR Herman Khaeron, kepedulian pemerintah terhadap nelayan tangkap dan budi daya ikan domestik masih minim. Ia menyatakan jika persoalan mahalnya harga pakan tidak mampu diselesaikan pemerintah, angka impor ikan dan produk ikan berpotensi melonjak. “Jika masalah harga pakan tidak teratasi, daya saing produk ikan dalam negeri akan lemah dan impor ikan akan terus meningkat. Pakan ikan itu 40 persen dari biaya produksi pembudi daya,” jelasnya.

Kondisi itu berakibat pada perbedaan harga produk ikan dalam negeri dibandingkan impor. Ia mencontohkan saat ini harga jual lele di dalam negeri 10 ribu-11 ribu rupiah per kilogram, sedangkan lele impor dari Malaysia hanya 7.500 rupiah per kilogram. Murahnya harga lele dari Malasysia, kata Herman, dipicu oleh murahnya biaya produksi dan dukungan pemerintah terhadap pembudi daya. Selain didukung subsidi, pemerintah Malaysia melindungi pasar domestiknya dengan pengenaan bea masuk yang kompetitif. Dari kondisi itu, kata Herman, KKP perlu melakukan langkah perlindungan bagi pembudi daya, di antaranya memberikan subsidi pakan untuk menekan ongkos produksi.

Cuaca Buruk

Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (P2HP) Martani Husaeni mengakui terjadinya lonjakan harga ikan laut disebabkan minimnya produksi ikan darat serta minimnya hasil tangkapan ikan karena banyak nelayan tidak melaut. Berdasarkan data dari KKP, 473.983 nelayan di 41 kabupaten/ kota tidak bisa melaut karena cuaca buruk. Untuk mengurangi dampak sosial, menurut Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad, pemerintah akan mempercepat penyaluran bantuan sosial bagi para nelayan. Bantuan tersebut dikeluarkan karena terdapat sekitar 457 ribu nelayan di 20 provinsi yang tidak bisa melaut akibat cuaca buruk.

Percepatan pencairan dana bansos bagi nelayan akan dilakukan tanpa menunggu prosedur yang berbelit-belit dalam pencairan dana. Dana bansos yang dapat digunakan dalam APBN 2011 sebesar 540 miliar rupiah dalam bentuk dana dekonsentrasi. Dana itu ada dalam pos anggaran Kementerian Sosial.
aan/ito/E-12


Sumber : http://www.koran-jakarta.com/berita-detail.php?id=74647

Lampiran


Saatnya Mewujudkan Negara Kepulauan Indonesia

"UUD 1945 Pasal 25E telah mengamantkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang"
”Untuk membangun Indonesia menjadi negara besar, negara kuat, negara makmur, negara damai yang merupakan National Building bagi negara Indonesia, maka negara dapat menjadi kuat jika dapat menguasai lautan. Untuk menguasai lautan, kita harus menguasai armada yang seimbang.” (Pidato Bung Karno yang disampaikan dalam National Maritime Convention I tahun 1963)