31 Agustus 2009

Melaut di Indonesia, Sekolah di Filipina

Melaut di Indonesia, Sekolah di Filipina

Minggu, 30 Agustus 2009 | 03:37 WIB

Iwan Santosa/Agung Setyahadi

Mencari nafkah sehari-hari di perairan Indonesia dan menuntut ilmu hingga kuliah di Filipina. Itulah kekhasan masyarakat Indo-Filipina yang tersebar di Tobelo, Maluku Utara, Kabupaten Sangihe-Talaud, di Sulawesi Utara, hingga pesisir selatan Mindanao, Filipina, dari Cotabato-Balud-Sarangani-General Santos dan Davao.

Sebagian besar anak nelayan Indo-Filipina yang di Sulawesi Utara (Sulut) dikenal sebagai komunitas ”Sapi” alias ”Sangir-Pilipina”, mempunyai kemampuan linguistik yang unik di tengah keterbatasan ekonomi. Mereka berkomunikasi dengan ayah Indonesia-nya dalam bahasa Melayu dan berdialek Visayag atau Tagalog dengan ibunya, serta berbahasa Inggris saat bersekolah di Filipina.

”I want to work as nurse in the Philippines. I want to take good care of my parent (Saya ingin jadi perawat di Filipina. Saya ingin merawat orangtua saya). Saya juga suka tinggal di Indonesia seperti sekarang,” kata Crystal Gae Manabong (14), gadis ”Sangir-Pilipina” yang ditemui di rumah ayahnya di pesisir Pantai Tobelo, Maluku Utara.

Sehari-hari, Crystal dan adiknya, Cydney B Manabong (12), berbicara dalam empat bahasa dengan komunitas yang berasal dari Sangihe-Talaud, Mindanao, dan Cebu. Demikian pula sepupu mereka, Rose (8), yang besar di Indonesia, putri pasangan Indo-Filipina, Rapol Sahal dan Owingce Minabo. Namun, Rose tidak bisa berbahasa Inggris karena bersekolah di Indonesia.

Crystal yang tiba di Tobelo akhir 2008, mulai lancar berbahasa Indonesia. Crystal yang bersekolah setingkat SMP di General Santos, Filipina, semula hanya berbicara dalam bahasa Inggris, Sangir, Visayag, dan Tagalog.

Ketika disapa ”Mahal Kita” (sayangku) dalam bahasa Tagalog, Crystal tertawa. Saat ditanya ”Balai ikau sa Balud?” (rumah kamu di Balud, Mindanao?) Crystal menggeleng kepala dan menjawab, ”General Santos.”

Rose yang sedang ditinggal orangtuanya ke Balud, diawasi sepupunya, Marbeline (18). Rumah mereka tidak jauh dari pondok kelompok nelayan Akmas Manabong. Komunitas gado-gado itu bergantian mendengarkan siaran radio bahasa Tagalog dan berbahasa Indonesia untuk mendapatkan informasi di tempat yang terpencil itu.

Sekolah di Filipina

”Anak saya kembali sekolah bulan November di Gensan (General Santos). Sebagian besar anak Indo-Filipina bersekolah di Filipina karena banyak kemudahan. Mereka punya banyak kerabat di Filipina dari perkawinan campur orangtua. Banyak yang kuliah lalu jadi pegawai negeri atau tenaga profesional di kota besar, seperti General Santos atau Davao,” kata Luz Manabong (40), wanita Filipina, istri dari Akmas Manabong (46), nelayan asal Tahuna, Kabupaten Talaud.

Sebelum Luz dan dua putrinya menyusul Akmas ke Tobelo, mereka tinggal di General Santos. Biasanya, Akmas-lah yang menjenguk keluarga dan berlayar dari Tobelo-Pulau Maroreh, lalu tiba di General Santos.

Luz mengaku, bersekolah di Filipina, seperti di Genral Santos dan Davao, menjanjikan perbaikan nasib bagi anak-anak peranakan Indo-Filipina. ”Setahu saya tidak ada yang kuliah di Manado,” kata Luz dalam bahasa Inggris yang lancar.

Kota General Santos berada di dekat Pulau Balud dan Pulau Sarangani, yang menjadi sentra hunian warga Indonesia asal Sangihe-Talaud. Warga Indonesia di sana berjumlah puluhan ribu orang di pulau yang berada beberapa puluh mil sebelah barat Pulau Miangas, titik paling utara Republik Indonesia.

Mantan Konsul Muda RI di KJRI Davao FX Soekirno Soetohardjo menerangkan, hampir sepuluh ribu warga Indonesia bermukim di Filipina Selatan pada awal 1980-an. ”Waktu itu saya membuat beberapa rukun warga dan rukun tetangga agar memudahkan koordinasi. Mereka sering ditekan gerilya komunis New People’s Army (NPA) dan pemberontak Moro,” kata dia.

Laut Indonesia kaya

Untuk mencari ikan, para nelayan Indo-Filipina mengaku lebih mudah melaut di perairan Indonesia. ”Kalau di Filipina, semalam melaut paling banyak dapat 1.000 peso sampai 2.000 peso (sekitar Rp 250.000 hingga Rp 500.000). Hasil itu dibagi dua orang atau tiga orang yang bekerja dalam satu perahu kecil. Kalau melaut di Indonesia bisa dapat di atas tiga juta rupiah hingga lima juta rupiah dengan bekerja dua atau tiga hari. Hasil itu dibagi satu kelompok kami sebanyak sepuluh orang,” kata Luther Mandome (52), nelayan.

Melaut hingga jauh sudah menjadi tradisi orang Sangir. John Mamalu (35), yang pernah bekerja di kapal ikan Taiwan, berkata, nelayan Sangir melaut hingga Laut Pasifik Selatan di sekitar Tuvalu, Vanuatu, Kepulauan Solomon, dan Papua Niugini. ”Orang Sangir bekerja di kapal ikan, berkebun di sekitar pesisir Mindanao, hingga Maluku Utara atau mendulang emas,” kata Mamalu menjelaskan profesi tradisional masyarakatnya.

Nelayan Sangir mengadopsi perahu Pam Boat Filipina. Berbekal teknologi Filipina, Akmas masih bisa mencari ikan di Maluku Utara saat ombak besar melanda. Sekolah di Filipina juga menjadi pilihan untuk memperbaiki nasib generasi penerus keluarga Indo-Filipina.

Sumber : http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/30/03373684/melaut.di.indonesia.sekolah.di.filipina

26 Agustus 2009

WILAYAH KEPULAUAN : Nusa Utara Bergantung pada Ombak

Nusa Utara Bergantung pada Ombak

Rabu, 26 Agustus 2009 | 03:09 WIB

Oleh Agus Mulyadi

”Saya sebenarnya ingin, saat rombongan dari Jakarta ini datang ke Tahuna dan Marore, ombak mencapai 4 meter atau lebih. Orang Jakarta harus tahu kondisi sebenarnya di kepulauan ini. Kok, sekarang ombak sangat bagus,” ujar Bupati Sangihe W Salindeho mengemukakan hal itu ketika berbincang di atas kapal Pelni yang disewa khusus menuju Pulau Marore, Sulawesi Utara, Minggu (16/8).

Pemimpin rombongan pejabat dari Jakarta, yakni Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil Departemen Kelautan dan Perikanan Alex Retraubun, tersenyum mendengar ucapan bupati. ”Kami datang dengan hati bersih dan niat yang baik sehingga laut pun bersahabat,” kata Alex.

Dalam perjalanan laut mulai dari Pelabuhan Bitung, Sabtu (15/8) pukul 17.00 Wita, hingga Pelabuhan Tahuna esok harinya pukul 08.00 Wita, ombak memang terus tenang.

Memasuki Teluk Tahuna, setelah 13 jam berlayar dari Bitung, melihat laut yang begitu jernih dan alun ombak yang begitu tenang, ingin rasanya terjun dari kapal dan berenang di laut biru.

Laut memang sedang bersahabat. Sebagian masa lain dalam setahun, ombak di perairan Sangihe sangat tidak bersahabat. Seorang anak buah kapal Pelni yang membawa rombongan menyebutkan, ombak kadang setinggi 4 meter lebih. Kalau seperti itu, barang-barang di kapal harus diturunkan ke lantai agar tidak berjatuhan.

”Kami, para nelayan, tidak ada yang berani mencari ikan,” ujar Jimmy (22), nelayan asal Pulau Marore.

Pulau Marore, pulau terluar berpenduduk 669 jiwa, berhadapan langsung dengan kawasan Filipina selatan. Dari Manado, pulau itu berjarak 206 mil laut (381,5 kilometer), sedangkan dari Pulau Balut (Filipina selatan) hanya 40 mil laut (74 kilometer). Marore dapat ditempuh hampir dua hari jika menggunakan kapal perintis yang rutin melayani kawasan itu.

Marore yang 90 persen penduduknya bekerja sebagai nelayan terletak 40 mil laut Pulau Balut di Filipina selatan. Itulah sebabnya, sejak dahulu kala telah terjalin interaksi ekonomi di antara dua wilayah berbeda negara tersebut. Namun, jalinan itu tetap bergantung pada ombak laut.

Ombak laut bagi warga Kepulauan Sangihe serta dua kabupaten tetangganya, Kepulauan Talaud dan Sitaro, memang menjadi momok. Tiga daerah yang awalnya tergabung dalam Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Talaud itu dikenal pula dengan nama Nusa Utara.

Kalau selama satu bulan, misalnya, ombak terus-menerus setinggi 4 meter, itu berarti tidak ada penghasilan yang didapat penduduk. Sekitar 90 persen warga yang mencari nafkah sebagai nelayan terpaksa mengurung diri di rumah.

Pasokan berbagai kebutuhan pokok pun terhenti. Tidak ada lagi kiriman beras, gula, dan lainnya. Siapa yang berani menembus ombak setinggi 4 meter hanya dengan perahu-perahu motor kecil bercadik? Bahkan kapal-kapal perintis yang melayani kawasan itu pun bisa berhenti beroperasi. Pengelolanya pun kerap mengubah jadwal sesuka mereka, mengikuti kondisi ombak.

Kalau sudah begini, warga kepulauan tidak dapat bepergian ke pulau lain untuk mencari nafkah atau membeli berbagai bahan kebutuhan pokok.

Pasar Marore yang terdiri atas belasan kios di salah satu sudut pulau bakal tak berisi lagi. Tak ada kiriman baik dari Tahuna maupun Balut. ”Kondisi seperti itu kadang terjadi,” kata Boy (55), seorang pedagang.

Ombak tidak hanya membuat nelayan tidak berpenghasilan dan bahan pokok ludes. Jadwal kapal perintis yang melayani ke pulau-pulau terluar pun menjadi tidak tentu.

Bupati Salindeho pun untuk kesekian kali menyampaikan unek-unek warganya kepada pejabat pemerintah pusat. Si pejabat pusat, Alex Retraubun, ketika ditanya kembali berujar, ”Akan saya sampaikan kepada instansi terkait.”

Penanganan pulau-pulau terluar saat ini memang digarap secara bersama-sama oleh sejumlah instansi. Keberadaan mereka diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2005. Tim kerja itulah yang pada pertengahan Agustus lalu mengunjungi Marore, sekaligus memperingati Hari Kemerdekaan Ke-64 bersama warga dan pemerintah daerah setempat.

Saat ini terdapat tiga kapal perintis yang melayani pulau-pulau terluar dan kecil di Sangihe. Kapal-kapal itu adalah KM Daraki Nusa, KM Maliku Nusa, dan KM Berkat Talodo. Kapal-kapal itu umumnya mampir ke Tahuna, ibu kota Sangihe.

Selain tiga kapal perintis tersebut, menurut Komandan Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai Pelabuhan Tahuna S Soeganda, terdapat beberapa kapal motor penumpang lain berukuran lebih kecil. Kapal-kapal itu melayani rute Manado-Bitung.

Hidup di wilayah kepulauan yang terletak di lautan bebas memang merepotkan dan serba pasrah pada kehendak alam. Untuk saling berhubungan, warga kepulauan itu benar-benar bergantung pada kapal perintis dan ombak. Padahal, tidak sedikit pulau yang harus dilayani.

Di Kabupaten Sangihe yang berpenduduk 132.448 jiwa, misalnya, terdapat 26 pulau berpenghuni dari total 105 pulau yang ada di kabupaten itu.

Hidup mereka benar-benar bergantung pada ombak.

Sumber : http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/26/03092799/nusa.utara.bergantung.pada.ombak

25 Agustus 2009

Asin Pahitnya Garam Rakyat

Asin Pahitnya Garam Rakyat

Selasa, 25 Agustus 2009 | 03:13 WIB

Oleh Hendriyo Widi dan Suprapto

Yasir (65) tersenyum melihat butir-butir garam beralas pasir mulai mengkristal. Hari itu ia sedang rehat di pondok tepi tambak di Desa Banyudono, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah.

Sehari lagi air tambak akan mengering dan menjadi garam. Kalau garam itu bersih, harganya Rp 300 per kilogram. Namun, kalau ada kotor atau berwarna putih kecoklatan, hanya Rp 235 per kilogram,” kata Yasir.

Yasir bukan penduduk asli Banyudono. Ia buruh tani garam asal Desa Tamansari, Kecamatan Jaken, Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Demi ”kristal” Rp 235-Rp 300 per kilogram, setiap hari ia menempuh jarak sekitar 36 kilometer dari rumah menuju lahan tambak di Desa Banyudono.

Setiap minggu, Yasir memanen 10 ton garam; 5 ton garam menjadi haknya, sedangkan sisanya untuk pemilik tambak.

Lantaran kerap dibantu Maskuri (30), anaknya, Yasir memberikan 2 ton garam kepada Maskuri. ”Dalam seminggu, saya memperoleh Rp 705.000. Saya mempergunakan uang itu untuk menghidupi keluarga, membayar utang, dan menyekolahkan anak-anak,” ujar ayah empat anak itu.

Demikian halnya Parmin (50), buruh tani garam Desa Sambiyan, Kecamatan Kaliori. Ayah tiga anak itu memperoleh penghasilan dari menjual 3 ton ”kristal” tersebut senilai Rp 822.500 per minggu.

Bagi Joko Hartoyo (31), petani garam di Desa Kedung, Kecamatan Kedung, Jepara, garam bisa dirasakan pahit, tetapi juga manis. ”Pahit jika harganya anjlok. Sebaliknya berubah manis ketika harga berubah tinggi,” tutur Joko.

Ayah dua anak yang masih berumur lima tahun dan dua tahun ini sejak lima tahun terakhir menekuni usaha garam curah atau lebih populer disebut garam rakyat.

Setiap tahun, saat cuaca panas, musim garam bisa berlangsung selama tiga bulan. ”Minimal bisa menghasilkan 75-150 ton garam curah. Jika harga garam rakyat seperti sekarang ini, yaitu Rp 22.000 per kuintal atau Rp 220 per kilogram, lumayan untungnya,” ujar Joko.

Di Jawa Tengah, konsentrasi lahan garam berada di Kabupaten Rembang, Pati, Jepara, dan Demak. Wilayah terluas berada di Rembang.

Di Rembang terdapat 781 pemilik lahan garam dan 4.739 buruh tani garam yang mengerjakan lahan seluas 1.185 hektar. Kapasitas produksi garam krosok (garam kasar untuk industri) mencapai 100.000 ton per tahun.

Menurut catatan PT Garam di Madura—seperti dikutip Dini Purbani dari Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumber Daya Nonhayati Badan Riset Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan—walau merupakan negara kepulauan, pusat pembuatan garam di Tanah Air ternyata hanya terkonsentrasi di Pulau Jawa dan Pulau Madura. Di Pulau Jawa, luas lahan garam 10.231 hektar dan terluas di Pulau Madura, yaitu 15.347 hektar. Secara rinci, Jawa Barat memiliki 1.159 hektar lahan garam, Jawa Tengah 2.168 hektar, dan Jawa Timur (di luar Pulau Madura) 6.904 hektar.

Panen lebih awal

Sebagian besar petani dan buruh tani garam di pesisir Jawa Tengah itu menyebut garam sebagai ”kristal” sing nguripi atau yang menghidupi keluarga. Artinya, garam mampu menggerakkan roda perekonomian mereka. Tidak mengherankan jika mereka memanen garam dalam hitungan standar minimal panen, 4-5 hari.

Padahal, untuk mendapatkan kandungan natrium klorida (NaCl) yang bagus, petani harus memanen garam pada hari ke-15 hingga 20. Hal itu membuat kualitas garam rakyat atau tradisional kalah dari kualitas garam impor.

Seperti di Rembang, produksi garam rakyat di Jepara dan Demak relatif sama, yaitu masih berupa garam rakyat dengan kualitas kurang baik bila dibandingkan dengan Rembang dan Pati. Juga, sama-sama belum memiliki perusahaan garam beryodium sehingga nilai jualnya rendah.

Berbagai upaya sebetulnya telah dilakukan pemerintah setempat untuk memperbaiki mutu garam rakyat.

Menurut Joko, sekitar tiga tahun lalu Pemerintah Kabupaten Jepara membangun satu unit mesin pemroses garam rakyat menjadi garam briket. Upaya lainnya termasuk mendirikan koperasi, mewajibkan pegawai negeri membeli garam rakyat, hingga memberi dana talangan. ”Semuanya hanya berjalan sesaat, akhirnya kandas sama sekali,” tutur Joko.

Kepala Subbidang Sosial dan Budaya Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Rembang Imam Teguh Susatyo mengatakan, sebelum 2006, masyarakat Rembang, terutama dari golongan miskin, tak mampu membedakan garam konsumsi dan garam krosok. Selisih harga yang cukup mencolok membuat keluarga miskin memilih membeli garam krosok untuk konsumsi sehari-hari.

Padahal, garam krosok merupakan garam kotor yang mengandung kalium iodida (KI03) di bawah Standar Nasional Indonesia, 30 part per million (ppm). Garam itu berfungsi untuk mengawetkan dan mengasinkan ikan, serta salah satu bahan campuran pakan ternak.

”Pedagang harus menandai wadah garam itu dengan tulisan ’garam pakan ternak’. Ini pesan bahwa setiap pembeli garam krosok sama dengan ternak,” kata Teguh.

Teguh menambahkan, pemerintah pun melarang peredaran garam konsumsi di bawah standar. Puluhan merek garam konsumsi di bawah standar telah dilarang beredar dan kini tinggal empat merek yang bertahan.

Namun, Kepala Bagian Produksi UD Apel Merah Djono meminta pemerintah tidak sekadar mengawasi dan melarang peredaran garam tidak beryodium atau beryodium rendah. Pemerintah perlu membuat terobosan baru melalui teknologi terapan untuk meningkatkan kualitas garam rakyat.

Impor garam yang telah berlangsung sejak 1997 hingga saat ini diperkirakan masih akan terus berlangsung.

Luas tambak garam nasional yang pernah mencapai 25.000 hektar (akhir 1997) tidak beranjak meluas secara signifikan, bahkan kemungkinan besar menyusut karena alih fungsi lahan.

Produksi rata-rata per tahun juga tak lagi mencapai 1.790.000 ton pada 1997, bahkan merosot di bawah 1 juta ton per tahun. Inilah ironi bagi negara dengan garis pantai 95.181 kilometer, terpanjang keempat di dunia.

Sumber : http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/25/03130480/asin.pahitnya.garam.rakyat

24 Agustus 2009

PERBATASAN : Bangun Pendekatan Berbasis Sosial-Kultural

Bangun Pendekatan Berbasis Sosial-Kultural

Senin, 24 Agustus 2009 | 03:11 WIB

Jakarta, Kompas - Dalam mengelola perbatasan, pemerintah hendaknya tidak hanya mengedepankan pendekatan berbasiskan keamanan. Pemerintah seharusnya mengutamakan pula pendekatan sosial, budaya, dan ekonomi. Selain akan menunjukkan wajah asli Indonesia, pendekatan itu lebih efektif untuk membangun kesejahteraan rakyat di perbatasan karena berdampak pula pada penguatan pertahanan nasional.

”Penguatan itu, antara lain, berupa penyelenggaraan pendidikan yang lebih bermutu dan kemudahan mengakses pelayanan kesehatan,” kata dosen Fakultas Hukum Universitas Cenderawasih, Papua, Bambang Sugiono, kepada Kompas di Jakarta, Sabtu (22/8).

Bambang dimintai tanggapan terkait menipisnya nasionalisme warga di perbatasan Indonesia dengan negara lain. Kondisi ini terjadi karena minimnya kehadiran negara di daerah perbatasan itu (Kompas, 10-22/8).

Namun, kata Bambang, fasilitas pendidikan dan kesehatan di daerah perbatasan tak memadai. Perhatian pemerintah di wilayah itu kurang. Sebaliknya, pemerintah bereaksi berlebihan saat terjadi gejolak di perbatasan.

Jika terjadi sesuatu, misalnya warga terpaksa menyeberang ke negara lain, mereka dicap tidak cinta Indonesia. Padahal, selama ini pemerintah mungkin kurang bisa meyakinkan bahwa menjadi warga Indonesia lebih terjamin hak dan kesejahteraannya.

Bambang mengakui, sebenarnya wacana peningkatan kesejahteraan warga di daerah perbatasan kerap dibahas dalam seminar-seminar. Namun, semua itu berakhir dalam wacana saja. Hadirnya Undang-Undang tentang Wilayah Batas Negara ternyata tak dimanfaatkan menjadi momentum mengembangkan perbatasan. Pemerintah terjebak pada paradigma lama, yaitu tetap menggunakan pendekatan simbolik dengan membangun fasilitas fisik dan pos pengamanan.

Lebih dari itu, penguatan basis dan warga di perbatasan kurang diupayakan. Program sektoral, lanjut Bambang, hanya berhenti di wilayah perkotaan. Akibatnya, kondisi perbatasan kian terpuruk.

Secara terpisah, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Ikrar Nusa Bhakti, mengingatkan tak sedikit penelitian dan kunjungan sebagai bagian untuk mengatasi persoalan di perbatasan. Bahkan, sudah ada UU No 43/2008 tentang Wilayah Negara yang bisa dipakai sebagai acuan untuk memperbaiki keadaan di perbatasan. Namun, kondisi di perbatasan memang tak beranjak menjadi lebih baik secara signifikan.

”Bemper” pertahanan

”Selama ini masalah perbatasan cuma dipandang dari sisi keamanan sehingga tak aneh yang didirikan terlebih dahulu adalah pos polisi atau TNI. Padahal, masalah di sana tak cuma keamanan dan pertahanan,” ujar Ikrar.

Akibat ketidakjelasan paradigma dan kebijakan pemerintah, sering kali persoalan yang muncul di perbatasan pun coba dituntaskan dengan menggunakan pendekatan keamanan dan pertahanan. Misalnya, warga perbatasan hanya dicekoki soal dasar negara, doktrin pertahanan, dan isu keamanan lain. Nasib dan kesejahteraan mereka terlupakan. Padahal, mereka seharusnya dibuat nyaman dan bangga menjadi orang Indonesia.

”Seharusnya masalah kurangnya teknokrat atau tenaga ahli di daerah perbatasan tak perlu ada jika saja pemerintah memang punya konsep pembangunan perbatasan yang jelas, mulai dari pendidikan, kesehatan, perekonomian, dan lainnya,” ujar Ikrar.

Dengan memberikan jaminan kesejahteraan, pendidikan, pekerjaan, dan pengembangan ekonomi, kebanggaan sebagai warga negara Indonesia akan semakin tinggi. Secara tidak langsung persoalan perbatasan semacam keamanan juga bisa teratasi.

Terkait keberadaan Badan Pengelola Kawasan Perbatasan, baik di pusat maupun daerah, diharapkan bisa membuat perubahan dan perbaikan signifikan. Ikrar berharap keberadaan badan baru itu tidak malah terjebak persoalan birokrasi dan ego sektoral yang sekarang masih terjadi.

”Jadi, mulai sekarang dipikirkan apa yang akan kita bangun untuk memperbaiki kondisi perbatasan. Tidak perlu muluk-muluk. Jika masyarakat di sana hidup dari nelayan, bangun misalnya pabrik pengolahan ikan. Jangan sampai yang seperti itu tak bisa dilakukan hanya karena di daerah tersebut listrik belum masuk,” ujar Ikrar.

Sosiolog dari Universitas Airlangga, Surabaya, Bagong Suyanto, pun mengakui wilayah perbatasan selama ini hanya dijadikan sebagai bemper pertahanan Indonesia. Akibat kebijakan pemerintah yang melulu mengedepankan pertahanan, masyarakat di wilayah perbatasan tidak merasakan sungguh-sungguh kehadiran negara.

”Untuk daerah perbatasan, penanganan yang dilakukan adalah sentralisasi. Kian jauh daerah itu dari pusat, cenderung ditelantarkan. Masyarakat di wilayah perbatasan makin sedikit menikmati kue pembangunan. Separatisme yang terjadi selama ini bukan hanya didorong oleh idealisme, tetapi dipengaruhi faktor struktural ekonomi pula. Mereka merasa diperlakukan tidak adil, dianaktirikan,” kata Bagong.

Ia melanjutkan, masyarakat di perbatasan tak hanya merasakan negara tidak hadir di sana, tetapi juga merasa resisten terhadap kebijakan negara. Problem wilayah perbatasan tidak bisa hanya dilakukan dengan langkah insidentil dan reaktif.

”Keinginan masyarakat di perbatasan adalah negara betul-betul hadir dan menjadi pengayom bagi kehidupan mereka di sana. Keluhan dianggap sebagai anak tiri seharusnya disikapi dengan bijaksana dengan mengubah model pembangunan yang selama ini terpusat,” kata Bagong.

Direktur Jenderal Pembinaan Pengembangan Masyarakat Kawasan Transmigrasi Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi Joko Sidik Pramono menambahkan, wilayah perbatasan bisa dijaga oleh transmigran. Permukiman transmigran yang dibangun bukan sekadar untuk memindahkan penduduk, tetapi juga harus mampu mendorong penduduk itu mandiri dan memiliki penghasilan yang layak.

Namun, pemerintah juga harus melengkapi infrastrukturnya, seperti jalan, pasar, serta fasilitas pendidikan dan kesehatan.(jos/sie/mam/dwa/vin)

Sumber : http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/24/0311137/bangun.pendekatan.berbasis.sosial-kultural

22 Agustus 2009

KLIPING NASIONALISME DI TAPAL BATAS

NASIONALISME : Satu Hati Dua Bendera

Satu Hati Dua Bendera

Sabtu, 22 Agustus 2009 | 03:17 WIB

B Josie Susilo Hardianto

Garis putih itu makin pudar, tergerus roda dan terompah. Debu dan pasir laut yang menutupi makin menyamarkan garis batas wilayah Indonesia-Timor Leste. Mereka yang lalu lalang di atas Jembatan Mota’ain, tempat garis itu digambar, tak banyak memerhatikannya.

Perhatian lebih tertumpah pada peluk hangat antarkerabat, tawa dan canda riang para porter dan penukar uang, para sopir yang saling menukar catatan daftar penumpang, dan anak-anak Desa Silawan yang sibuk berlari ke sana ke mari, bermain berkejaran. Para ajuda lodan—porter asal Timor Leste—yang duduk di atas pagar jembatan Mota’ain tersenyum melihat tingkah anak-anak itu.

”Eh, adik, itu ada lagi yang tiba,” seru Manimo Pareira sambil menunjuk ke arah sebuah travel yang tiba dengan memalingkan wajahnya ke arah pantai, di mana travel yang membawa penumpang dari Dili itu tiba.

Mengapa tidak dia sendiri? Ternyata ada kesepakatan, setiap penumpang yang tiba dari Timor Leste, para porter dari Indonesia yang datang melayani. Sebaliknya, para porter dari Timor Leste yang ganti melayani ketika ada pelintas batas tiba dari Atambua dan hendak melintas ke Timor Leste.

Pembagian itu membuat rezeki terbagi dengan adil di perbatasan. Tidak ada saling rebut, bahkan mereka kerap makan bersama, berbagi rokok dan cerita. ”Sebagian dari kami memang masih memiliki hubungan kekerabatan,” kata Manino Pareira yang tetap fasih berbahasa Indonesia.

Mengungsi

Namun, gejolak politik menjelang dan sesudah jajak pendapat digelar pada tanggal 30 Agustus 1999 terpaksa membuat mereka berpisah. Ratusan ribu warga Timor Timur kala itu berduyun-duyun meninggalkan kampung halaman mereka, menyelamatkan diri dari amuk yang mematikan.

Data Satkorlak Penanggulangan Bencana dan Pengungsian Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) tahun 2005 menyebutkan, jumlah pengungsi asal Timor Timur yang tersebar di berbagai wilayah NTT dan Sumba mencapai 104.436 jiwa.

Kabupaten Belu tercatat sebagai wilayah yang menampung pengungsi paling banyak, yaitu 15.274 kepala keluarga atau sebanyak 70.453 jiwa.

Mereka tinggal di kamp-kamp pengungsian dengan daya dukung yang nyaris tidak ada. Sebagian besar dari mereka pergi dengan hanya membawa baju yang melekat di badan. Tiba pada malam hari di perkampungan dan bertahan hidup dengan makanan seadanya.

Hari-hari berikutnya adalah hari-hari penuh kenestapaan, tidak hanya bagi para pengungsi itu, tetapi juga bagi warga kampung di mana para pengungsi itu tinggal.

Kabupaten Belu adalah daerah tandus. Warga setempat umumnya petani dengan ladang terbatas yang ditanami jagung dan ubi ketika musim hujan tiba. Jaminan hidup itu kerap harus dibagi bersama dengan para pengungsi yang turut memanfaatkan lahan untuk bercocok tanam.

Sempat terjadi kala itu warga mendesak pemerintah untuk segera memulangkan para pengungsi selain karena sudah dianggap aman, juga karena warga merasa terbebani oleh kehadiran pengungsi itu. Sebagian pengungsi memang kembali ke Timor Leste, tetapi sebagian tidak dengan berbagai alasan, umumnya karena khawatir terhadap kemungkinan balas dendam.

Kilas balik

Kamp Merdeka, Kabupaten Kupang, 2001, seorang anak usia tujuh tahun berjalan tergesa. Langkahnya terhenti, dengan tangan kiri ia meraih cepat permen yang ditawarkan kepadanya. Sementara itu, di tangan kanannya ia memegang erat sebilah belati berhulu tanduk rusa.

”Ini pemberian bapakku,” katanya. Ia menerimanya seminggu sebelum jajak pendapat digelar.

Bersama-sama dengan pemuda di desanya serta bapaknya yang adalah kepala desa, bocah itu menyisir satu per satu rumah warga. Ia nyaris saja menggunakan belati itu untuk membunuh neneknya karena ia melihat neneknya menyimpan foto Xanana Gusmao di rumahnya.

Niat itu terhenti karena bapaknya melarang. Jajak pendapat digelar dan sebagian besar warga Timor Timur memilih merdeka. Bocah tersebut akhirnya terpaksa mengungsi. Saat itu ia mengaku enggan untuk kembali ke Timor Leste. Ia takut orang-orang akan memburu dan membunuhnya, seperti apa yang mereka lakukan kepada bapaknya.

Dalam buku Jembatan Air Mata, Tragedi Manusia Pengungsi Timor Timur, Navita Kristi Astuti, seorang relawan yang tergabung dalam Jesuit Refugee Service (JRS), menuliskan, perjalanan panjang rakyat Timor Leste sejak tahun 1975 sampai 1999 menempa mereka menjadi bangsa yang penuh dendam dan amarah.

Perbedaan sikap politik dalam menentukan nasib berbangsa menjerumuskan mereka untuk saling berbalas. Akibatnya, korban berjatuhan. Semuanya itu saling menumpuk seperti lingkaran setan.

Ada yang dulu jadi korban dan saat ini membalas dendam dan menjadi pelaku bagi korban lainnya. Ada yang dulunya menjadi pelaku dan mendapatkan pembalasan dendam dari korbannya pada masa lalu.

Dendam tak berkesudahan. Mungkinkah nilai-nilai perdamaian ditanamkan?

Masa lalu

Namun, semua itu telah lampau. ”Setiap hari, sapi-sapi kami merumput di padang di Timor Leste dan kami pun kerap mencari kayu api dan daun bebak di sana,” kata Hendrikus Halek, Kepala Dusun Maninu, Desa Silawan, Belu.

Padang itu ada di seberang sungai, sekitar 100 meter di belakang garis batas wilayah Indonesia-Timor Leste. ”Kadang-kadang, ketika kami mencari kayu api, kami bertemu dengan patroli dari Timor Leste. Mereka hanya memperingatkan saja agar kami tidak merusak pohon-pohon besar,” kata Hendrikus menambahkan.

Menurut dia, mereka saling memahami karena memang sejak dulu padang itu menjadi tempat di mana sapi-sapi milik warga Dusun Maninu digembalakan. Di situ pula warga Maninu mencari bebak untuk membuat rumah. Kekerabatan antarwarga di perbatasan, tutur Hendrikus, terjalin sejak dulu.

Perkawinan antarwarga yang dulu terjadi hingga saat ini pun masih terjadi. ”Pernah ada, dari arah bukit itu, seorang pemuda Timor Leste berseru kepada seorang gadis di desa ini, ’Adik, aku cinta padamu,’” kata Hendrikus.

Menurut dia, keadaan sudah kembali membaik dan pulih seperti sediakala. Keputusan politik tidak memupus ikatan kekerabatan itu.

Joseph Untung, Kepala Desa Silawan, pun mengakuinya. Bahkan, ia masih kerap berkunjung ke Timor Leste karena dua anak perempuannya menikah dengan pemuda asal Timor Leste. Hanya karena keterbatasan dana yang menyebabkan anak dan menantunya jarang berkunjung ke Silawan. Namun, relasi di antara mereka tetap hangat, kata Joseph yang pernah menjadi pegawai di Timor Leste ketika negara itu masih menjadi bagian dari Indonesia.

Harapan

”Benar, sekarang semua telah kembali menjadi lebih baik. Tak perlu ada dendam dan curiga, apalagi banyak di antara kami masih berkerabat. Memang politik telah memaksa kami berpisah. Namun, hati kami tetap satu walau di bawah dua bendera yang berbeda,” kata Manino Pareira di atas tapal batas yang tergambar di Jembatan Mota’ain ketika sebuah truk besar dengan bak tertutup berukuran 20 kaki melintas membawa berbagai barang, seperti mi instan, terigu, minyak goreng, dan beras, pesanan toko-toko kelontong yang dikelola warga Indonesia di Dili, Timor Leste.

Angin dari putaran roda-roda dan laju truk itu mengempas pasir-pasir yang ada di tengah jalan. Sejenak pasit itu beterbangan dalam terik udara siang hari. Lalu luruh kembali ke jalan dan menutup garis batas wilayah itu.

Dari arah Dili, beberapa pemuda turun dari travel. Mereka menjinjing tas besar dan berjalan mantap ke arah gerbang perbatasan wilayah Indonesia. ”Mereka hendak ke Kupang dan Surabaya. Mereka bersekolah di sana,” kata Manino Pareira.

Tak ada lagi ketegangan seperti pernah terjadi dulu. Derak roda moda transportasi dari dua negara itu telah turut menjadi bagian dari sebuah perjalanan perubahan di tapal batas. Menjadi bagian dari harapan yang dibangun bersama antara warga dua bangsa.

Sumber : http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/22/03174294/satu.hati.dua.bendera

21 Agustus 2009

Do'a Malaikat Jibril jelang Ramadhan

Do'a Malaikat Jibril jelang Ramadhan:"Ya Allah tolong abaikan puasa
ummat Muhammad bila sebelum Ramadhan tidak saling memaafkan terhadap
kedua orang tua selagi masih hidup, kepada suami/isteri dan kepada
warga sekitar lingkungannya. Rasul mengamini sebanyak tiga kali." Oleh
karena
itu, saya beserta keluarga mengucapkan maaf lahir dan bathin dan
selamat menempuh bulan suci Ramadhan

Suhana

Nasionalisme "Paripurna" di Tapal Batas

Nasionalisme "Paripurna" di Tapal Batas

Jumat, 21 Agustus 2009 | 03:15 WIB

Hariadi Saptono

Ucapan Bung Karno menguatkan kembali pertanyaan kita tentang kinerja negara ini selama 64 tahun merdeka: ”Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah. Perjuanganmu lebih susah karena melawan bangsamu sendiri.”

Pertanyaan kita, benarkah kita dan republik ini sebuah negara bangsa yang berdaulat dan telah memasuki gerbang negara bangsa yang kokoh dan paripurna—negeri makmur dan aman, dan berkeadilan sosial—alias gemah ripah lohjinawi tata tentrem kerta raharja?

Dalam bentuk poster yang dipajang pada gapura di salah satu kota menjelang peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus pekan lalu, dengan ucapannya itu jauh hari Bung Karno sudah melihat negeri ini bakal meniti buih lebih lama ketika merampungkan ”integrasi nasionalnya” dalam berbagai perspektifnya.

Ketika The Failed States Index 2009 baru-baru ini memasukkan Indonesia di dalamnya, dan Indonesia dinyatakan dalam kondisi in danger, peringatan Soekarno dan sebenarnya rakyat banyak sejak beberapa tahun terakhir adalah sebagai peringatan serius betapa situasi kita sebagai negara bangsa sangat memprihatinkan. Para perintis bangsa dan kita semua tentu tidak mau melihat Indonesia longsor sebagai failed state, negara yang gagal.

Namun, kita juga tahu, nasionalisme tidak serta-merta mekar hanya bermodal kemerdekaan, terpenuhinya hak asasi manusia, dan integrasi nasional.

Dalam konteks ini, tesis pakar politik dan sejarah Benedict R Anderson tentang syarat munculnya nasionalisme bangsa-bangsa, yang dirumuskannya sebagai imagined communities (komunitas khayal), setidaknya bagi negara berkembang seperti Indonesia menjadi lebih runyam. Belum lagi ”pekerjaan” integrasi nasional dituntaskan, nyaris semua kesadaran dan platform politik dan birokrasi negara diguncang dan ”ditarik” oleh paham internasionalisme atau globalisme serta problem global yang merata ditanggung oleh bangsa-bangsa—dipicu kemajuan pesat teknologi dan tata informasi global, dan celaka atau justru berkahnya (?)—bersifat borderless itu....

Masalah besar

Ada sejumlah catatan dan kesimpulan dari 10 hari laporan Kompas tentang ”Nasionalisme di Tapal Batas” (10-20 Agustus 2009). Ke-10 liputan meliputi wilayah Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) (10/8), Kepulauan Siberut (Sumbar) (11/8), Kepulauan Riau (12/8), Kalimantan Barat (13/8), Kalimantan Timur (14/8), Kepulauan Miangas dan Marore (Sulawesi Utara) (15/8), Maluku Utara (16/8), Perbatasan NTT- Timor Leste (18/8), Papua Selatan (19/8), serta perbatasan Papua-Papua Niugini (20/8).

Kami mencatat, sebagian besar wilayah liputan itu mengalami masalah secara gradual menyangkut kehadiran dan peran negara: dari tidak optimalnya kehadiran hingga tak berfungsinya birokrasi pusat maupun birokrasi lokal karena kurangnya teknokrat/tenaga profesional, tidak adanya koordinasi dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan budget atas sejumlah masalah. Kasus Aceh, bocornya anggaran daerah, dan macetnya dinas-dinas yang dibuat tanpa subsidi dana dan dukungan ahli, dan di sisi lain munculnya friksi Gerakan Aceh Merdeka yang melahirkan senjang sosial dan ketegangan politik baru, semuanya itu adalah gambaran proses ”negara bangsa” yang belum tuntas dan masih amat jauh dari kondisi paripurna (mantap dan kuat).

Di lapangan, lemahnya kondisi infrastruktur dan berbagai prasarana dan sarana publik dari tingkat sama sekali tidak dibangun, sampai operasinya yang buruk di bawah standar, hingga kondisi terbengkalai.

Masalah minimnya infrastruktur dan fasilitas publik sumber penyebabnya karena tiadanya koordinasi, tidak jelasnya siapa yang bertanggung jawab, serta minim dan kurang strategisnya alokasi dana.

Di beberapa daerah, infrastruktur dan fasilitas publik itu tertinggal karena pemda salah menetapkan prioritas dan tidak paham investasi kunci yang mana yang seharusnya didahulukan. Sebutlah, misalnya, fasilitas sekolah dan ketersediaan guru di sejumlah daerah—kami anggap strategis karena output-nya pengembangan manusia kreatif dan mandiri (SDM) sesuai jenjang pendidikan mereka.

Pembangunan jaringan listrik, jalan raya lintas kabupaten, air bersih, rumah sakit—ini dominan kami temukan di Kalimantan, Sulawesi, NTT, dan Papua—jika prasarana-prasarana itu tersedia dengan standar minimal saja, sektor-sektor lain akan bersilang-guna mengisi sehingga peran negara yang menjamin, melindungi, dan akhirnya menyejahterakan bangsa itu riil.

”Tolonglah Pak, kami bisa dapat bantuan untuk membangun sumur-sumur pompa, balai latihan keterampilan remaja,” kata Mak Nyiam (68), pengusaha toko kelontong dan adik kandung Panglima Nayau (panglima perang suku Dayak saat berkonfrontasi dengan Malaysia), dari Desa Pelenggang, Kecamatan Sekayam, Kabupaten Sanggau. Di perbatasan Kalimantan, Miangas-Marore, maupun Kepulauan Riau, rasa lapar yang dahsyat akan taraf hidup layak itu begitu kentara di lapangan. Puluhan ribu—bahkan jutaan—tenaga kerja Indonesia tak pernah jera menjadi TKI di luar negeri. Atau potret ribuan remaja perempuan—yang kurang pendidikan dan tidak ada kerja pilihan—menjadi pelayan kedai makan di sepanjang jalan pedalaman Kalimantan.... Ngeri sekali.

Catatan dari Provinsi Maluku Utara, khususnya dari Pulau Morotai, adalah gambaran penantian rakyat yang sunyi sepi sekian puluh tahun, menunggu uluran tangan negara. Sebab apa? Sebab, sampai kini, tidak pernah ada pejabat negara dari pusat—setingkat menteri saja—yang turun, melihat sendiri, merasakan, mendengar, dan kemudian membela mereka dengan menjamin dan memenuhi kebutuhan dasar mereka sebagai warga negara yang tak sekadar punya kewajiban bayar pajak dan berbagai pungutan, tetapi tak punya hak untuk sejahtera.

Rumpun problem kedua serius ialah lemahnya dan sikap anggap enteng kita (negara dan bangsa ini) akan penguatan dan pengembangan nilai-nilai dan kesadaran kebangsaan bukan lagi dengan slogan, tetapi dengan program kreatif dan produktif. Ibarat sambil menyelam minum air, tanggung jawab mengembangkan dan menjaga nation building dan character building sesungguhnya bisa diwujudkan lewat cara-cara yang bisa juga produktif dari sisi ekonomi. Tantangannya cuma satu: harus kreatif.

Pikiran liar lain yang muncul mengiringi pilihan topik ”nasionalisme di tapal batas” adalah kekhawatiran kita semua bahwa semangat nasionalisme masyarakat (baca: kebanggaan, ketergantungan, dan keterikatan pada negara) sebenarnya dalam kondisi kritis.

Sebutlah untuk wilayah NAD, Papua, dan perbatasan NTT-Timor Leste..., di sana ungkapan untuk lepas merdeka dari Republik ini bukan tabu.

Inilah mengapa tugas mengawal dan membina negara kebangsaan yang paripurna benar-benar bukan pekerjaan mudah.

Sumber : http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/21/03155539/nasionalisme.paripurna.di.tapal.batas

20 Agustus 2009

Melahirkan Generasi Peneliti

Melahirkan Generasi Peneliti
Kamis, 20 Agustus 2009 | 05:00 WIB


Doni Koesoema A

Telah jamak dikeluhkan, pendidikan di Indonesia kurang mampu melahirkan periset yang dapat mengembangkan disiplin ilmunya.

Minimnya akademisi yang menulis di jurnal ilmiah, baik di tingkat nasional maupun internasional, hanyalah salah satu gejala dari proses pendidikan yang tidak dikelola secara sinambung dari pendidikan dasar sampai tinggi. Melahirkan generasi peneliti tidak terjadi dalam sehari.

Bukan sekadar tradisi

Salah satu alasan yang disampaikan tentang sulitnya melahirkan generasi peneliti adalah tidak adanya tradisi untuk memublikasikan hasil riset dan cekaknya dana penelitian. Melahirkan generasi peneliti sebenarnya bukan sekadar urusan pendanaan dan tradisi memublikasikan hasil penelitian. Salah besar jika pendanaan dan tradisi memublikasikan riset dianggap sebagai cara efektif untuk melahirkan generasi peneliti.

Masalah pokoknya adalah sistem dalam kurikulum nasional beserta evaluasi yang ada memang tidak memberi tempat bagi lahirnya generasi peneliti. Akibatnya, kultur pengajaran dalam lembaga pendidikan kita amat jauh dari reksa penelitian. Karena itu, tugas utama yang harus segera dilakukan para pendesain kurikulum pendidikan nasional adalah mengarahkan anak didik untuk berpikir kritis, mampu membuat analisis, mengadakan penelitian sederhana dan melaporkan kepada publik (teman di sekolah, guru, dan lainnya).

Rasa kagum

Jiwa peneliti terlahir dari rasa kagum yang melahirkan tanya. Karena itu, menanamkan sikap tak pernah berhenti bertanya tentang berbagai macam gejala dalam kehidupan harus menjadi budaya yang hadir di sekolah-sekolah kita. Untuk ini, para pendidik harus membebaskan anak didik agar mereka berani bereksplorasi dengan pemikirannya dan mencoba memandu aneka capaian pemahaman berdasarkan disiplin ilmu yang dia punya. Mengajak anak didik untuk mengadakan penelitian sederhana merupakan strategi efektif untuk menanamkan rasa ingin tahu dan membangkitkan rasa kagum dalam diri anak didik.

Dalam bahasa Parker J Palmer (1998), ruang pembelajaran harus terbuka sekaligus berpusat. Sebagai contoh, ketika guru menunjukkan sebuah lukisan atau gambar, para siswa diminta membuat analisis dan tanggapan atas lukisan atau gambar itu. Di satu sisi, pembelajaran memusat dan terbatas pada lukisan itu sekaligus anak diajak menganalisis gambar melalui pengalamannya sendiri. Karena itu, menciptakan ruang lingkup pembelajaran sekaligus membiarkan para siswa melahirkan tanggapan dan reaksinya sendiri merupakan salah satu cara pedagogis untuk membuka sumber-sumber kreativitas dalam diri siswa.

Adanya dialog dan keterlibatan aktif dari siswa dalam proses pembelajaran akan menjadi semakin ramah (hospitable). ”Keramahan dalam ruang kelas bukan hanya saat kita memperlakukan para siswa dengan penuh adab dan bela rasa, tetapi juga mengundang para siswa dan cercahan-cercahan pemikiran (insight) yang mereka miliki sebagai bagian dari pembicaraan” (Palmer, 1998, 79).

Harus ada keterbukaan dari para pendidik agar mereka mau menghargai pengalaman anak didik sebagai bagian dari proses maju berpengetahuan yang ia jalani selama menjalani masa pendidikan. Pendidik tidak pernah boleh mematikan tanya dalam diri para siswa.

Guru peneliti

Agar melahirkan peneliti, guru pun harus menjadi teladan sebagai peneliti. Dalam banyak hal, penelitian tindakan kelas (PTK) sudah mulai dipraktikkan para guru. Namun, PTK ini belum banyak berkembang karena para guru masih menganggap PTK merupakan tugas para akademisi di tingkat universitas yang menggunakan metode penelitian yang amat rumit yang sepertinya bukan menjadi kultur mengajar mereka di kelas.

”Penelitian sering diasosiasikan dengan sebuah pekerjaan yang terelaborasi dan tersistematisasi dengan baik, yang mengandaikan keahlian dan pelatihan khusus. Karena itu, guru jarang memiliki pemikiran bahwa penelitian tindakan kelas itu sebenarnya merupakan bagian esensial dari kinerjanya sebagai guru” (Albertus, 2009, 173). Sebenarnya, menjadi guru tak lain adalah menjadi peneliti.

Begitu masuk kelas, guru sebenarnya langsung terlibat penelitian kelas (classroom inquiry). Guru mendengarkan, mengamati, membuat hipotesis, dan menganalisis situasi kelas (kesiapan siswa menerima pelajaran, menjelaskan di mana proses belajar yang telah mereka lalui dan sedang mereka pelajari, dan lainnya). Dari sini guru diajak untuk senantiasa mengevaluasi kinerja pengajarannya di sekolah. Hal terpenting yang menjadi sasaran penelitian tindakan kelas adalah dampaknya bagi perkembangan proses belajar-mengajar di kelas, bukan terutama demi penemuan baru atau publikasi.

Membangkitkan rasa ingin tahu, menumbuhkan rasa kagum, menghargai pengalaman siswa dalam memahami materi pelajaran, dan menjadi guru peneliti hanya akan efektif jika sistem pendidikan mendukung terlahirnya kultur penelitian di sekolah. Sayang, proses pembelajaran dan sistem evaluasi standar melalui ujian nasional tidak mampu mengevaluasi kinerja penelitian. Evaluasi pendidikan dengan model pilihan ganda paling tinggi bisa mengevaluasi kemampuan analisis siswa. Namun, model pilihan ganda tetap tidak dapat menampung hal esensial dalam kinerja penelitian, seperti berbagi hasil observasi, diskusi, yang merupakan proses normal kinerja penelitian.

Melahirkan peneliti membutuhkan kerja keras semua pihak. Perubahan sistem evaluasi pendidikan diperlukan jika kita ingin melihat pendidikan melahirkan generasi peneliti. Evaluasi pendidikan yang integral akan dapat menumbuhkan kultur penelitian sejak dini dalam diri siswa kita. Mungkin inilah salah satu tugas yang harus menjadi perhatian calon Menteri Pendidikan Nasional mendatang.

Doni Koesoema AAlumnus Boston College Lynch School of Education, Amerika Serikat

Sumber : http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/20/05004392/melahirkan.generasi.peneliti

NASIONALISME DI TAPAL BATAS : Dulu Sumber Penghidupan

Dulu Sumber Penghidupan, Kini Sumber Persoalan
Kamis, 20 Agustus 2009 | 03:12 WIB

Aryo Wisanggeni Genthong

Hujan deras yang mengguyur Timika, ibu kota Kabupaten Mimika, Papua, pada Senin (20/7) malam itu tidak menyejukkan hati Atina Uwamang. Enam jam sebelumnya, Jonas Uwamang, mertua Atina, dicokok polisi.

Victor Beanal, kepala suku Amungme dari Kampung Tsinga, yang Senin siang itu bertandang ke rumah Jonas untuk merembuk rencana pernikahan kerabat mereka juga ditangkap.

”Lima polisi memasuki rumah kami, menendang pintu rumah, membongkar lemari, mengambil sejumlah barang kami. Polisi tidak memberi tahu mengapa mereka ditangkap,” tutur Atina lirih.

Jonas dan Victor adalah dua dari puluhan orang yang ditangkap terkait upaya polisi mengungkap rangkaian aksi pembakaran bus dan serangkaian penembakan areal PT Freeport Indonesia (PTFI) yang terjadi sejak 8 Juli lalu. Jonas, Victor, dan puluhan orang lainnya akhirnya dilepas polisi karena tak cukup bukti terlibat aksi penembakan di lereng Gunung Ertsberg dan Grasberg.

Polisi masih menahan delapan tersangka yang membantu pelaku penembakan. Namun, hingga Rabu pekan lalu, pelaku utama penembakan belum ditemukan. Justru tiga penembakan terjadi lagi di areal PTFI Selasa pekan lalu.

”Di areal Freeport, kepentingan terlalu banyak. Kami tidak pernah memiliki kepentingan di situ. Kami hanya memiliki gunung itu (Ertsberg dan Grasberg). Namun, isinya kami tidak pernah tahu. Sekian tahun kami sudah miskin, satu hari pun tidak pernah makan tiga kali. (Penembakan) Itu orang lain punya persoalan. Kami rakyat mau hidup tenang. Saya minta, kembalikan warga yang ditangkap,” kata Thomas Wamang, salah satu tokoh suku Amungme, dalam dialog di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Mimika, 24 Juli lalu.

Anggota DPRD Kabupaten Mimika, Martinus Maturbongs, berpendapat, skeptisisme publik itu buah trauma panjang masyarakat suku Amungme dan Kamoro akibat berbagai peristiwa sejak PTFI beroperasi di tanah ulayat mereka. ”Trauma masyarakat Amungme-Kamoro berlangsung sejak tahun 1970-an dan sampai sekarang tidak ada proses hukum (atas pelanggaran HAM yang terjadi). Bagaimana orang dimasukkan dalam kontainer, dihilangkan. Masyarakat Amungme dan Kamoro merasa selalu jadi sasaran dan disudutkan,” kata Maturbongs di Timika, 24 Juli.

Tanah ulayat Gunung Ertsberg dan Grasberg dari generasi ke generasi menghidupi suku Amungme; sebagai tempat tinggal, lahan bercocok tanam, sekaligus tempat spiritual suku Amungme. Dalam pandangan orang Amungme, gunung itu adalah ibu, yang air susunya menghidupi mereka. ”Namun, kami harus pergi meninggalkan tempat-tempat itu karena aktivitas pertambangan PTFI. Salah satu lokasi keramat kami, misalnya, kini menjadi bengkel di Tembagapura,” tutur Thomas Wamang.

PTFI mengupas kulit Gunung Ertsberg dan Grasberg untuk mendapatkan bijih batuan induk emas dan tembaga. Kupasan batuan kulit itu harus dibuang dan Cekungan Wanagon menjadi tempat penimbunan itu. Padahal, Cekungan Wanagon, yang juga tempat sakral bagi orang Amungme, khususnya penduduk Kampung Waa, Arowanop, dan Tsinga, tidak boleh diganggu. Setidaknya ada dua kecelakaan bendungan danau pecah yang mengakibatkan korban manusia maupun hewan (Laporan Tanggapan Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Jayapura, Februari 2001).

Jutaan hingga miliaran metrik ton batuan induk tubuh bijih emas dan tembaga telah dan akan terus dikeruk dari Grasberg, untuk digerus agar kandungan emas dan tembaganya bisa dipisahkan. Sisa gerusan itu menjadi lumpur lembut (tailing) yang dialirkan ke areal seluas 230 kilometer persegi daerah pengendapan yang dimodifikasi di Sungai Ajkwa. Proses pembuangan tailing itu telah disetujui pemerintah, melalui persetujuan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) 300K pada 1997 (Laporan Berkarya Menuju Pembangunan Berkelanjutan 2008, PTFI).

Sungai Ajkwa dan beberapa anak sungainya dari generasi ke generasi menjadi sumber penghidupan suku Kamoro. Di daerah aliran sungai itulah masyarakat peramu Kamoro hidup dengan budaya sungai, sagu, dan sampan mereka. Namun, justru di tempat peramu Kamoro menokok sagu, berburu binatang liar, menombak buaya, menangkap kepiting, ataupun mencari ikan itulah lumpur tailing harus diendapkan.

Tokoh suku Kamoro di Kampung Ayuka, Pius Nimaipouw, mengeluhkan hutan sagu ulayatnya yang kebanjiran limpahan air dan lumpur tailing. Akibatnya, rasa sagu mereka tidak enak. Mereka pun kemudian memilih membeli sagu di pasar.

Harus diakui, keberadaan PTFI adalah perintis pengakuan hak ulayat masyarakat pribumi di Indonesia. Tahun 1974 PTFI menyepakati Perjanjian Januari dengan para suku Amungme yang hak ulayatnya digunakan PTFI. Sejak 1996 hingga kini, sudah ada 300 juta dollar AS dana kemitraan (dana 1 persen) yang disalurkan PTFI kepada tujuh suku yang berbatasan dengan areal kontrak karya PTFI dan tinggal di Mimika.

Sejak 2001, PTFI juga memberikan kompensasi rekognisi hak ulayat atas kerugian delapan kampung suku Amungme dan Kamoro yang secara langsung terkena dampak aktivitas pertambangan PTFI. Menurut Laporan Berkarya Menuju Pembangunan Berkelanjutan 2008, total nilai dana perwalian itu sudah mencapai 26 juta dollar AS. Dan setiap tahun akan dikucurkan dana perwalian 1 juta dollar AS untuk Kampung Waa-Banti, Arwanob, Tsinga (ketiganya kampung suku Amungme), Koperapoka, Nayaro, Nawaripi, Ayuka, dan Tipuka (kelimanya kampung suku Kamoro).

Namun, Thomas Wamang justru berpendapat kucuran uang besar itu menjadi masalah baru. ”Dahulu kami sangat berhati-hati dengan uang. Sekarang, uang yang atur kehidupan kami. Ketika uang di saku, yang terjadi justru bar-bir-bor (pergi ke bar, mabuk bir, lalu ke lokalisasi).”

PTFI memang memberi manfaat besar bagi banyak pihak. Pajak, royalti, dan dividen yang dibayarkan kepada pemerintah pada 2007 mencapai 1,8 miliar dollar AS. PTFI menyerap tenaga kerja hingga 9.800 orang dan 98 persen di antaranya warga negara Indonesia. Total upah dan gaji karyawan sejak 1992 telah mencapai 1,4 miliar dollar AS. Sejumlah 45 persen produk domestik regional bruto (PDRB) Provinsi Papua dan 96 persen PDRB Kabupaten Mimika bersumber dari PTFI. Dan 25 persen pendapatan rumah tangga di Papua disediakan oleh PTFI.

Perputaran uang besar di Timika pun menjadi magnet bagi banyak orang untuk datang ke Timika dan menghasilkan persoalan sosial yang tak berujung.

Pertikaian antarkelompok, perang tradisional antarsuku, dan pendulangan emas dari tailing yang mengandung merkuri hanya sebagian contoh. Ditambah serangkaian penembakan misterius di areal PTFI, lengkap sudah tumpukan masalah di Mimika.

Sumber : http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/20/03124363/dulu.sumber.penghidupan.kini.sumber.persoalan

19 Agustus 2009

NASIONALISME DI TAPAL BATAS : Lilin Selalu Menyala di Ufuk Timur

Lilin Selalu Menyala di Ufuk Timur

Rabu, 19 Agustus 2009 | 03:20 WIB

Nasrullah Nara dan Korano Nicholash LMS

Theresia Sado Gebze (12) menyambut kehadiran pak guru di depan kelas dengan mata berbinar.

Dua rekan sebaya yang duduk di bangku kiri-kanannya, Hermina Ndiken dan Agatha Belagaize, antusias membolak-balik buku pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial.

Hari itu, Senin, 3 Agustus 2009, siswa kelas VI SD Yos Sudarso, Kampung Kuper, Distrik Semangga, Kabupaten Merauke, Papua, itu belajar materi pelajaran tentang transaksi jual beli. Supardi (41) tak ingin menjejali siswanya dengan bahan teks. Karena itu, ia mengajak muridnya ke pasar desa, tak jauh dari sekolah mereka.

Di sana berlangsung transaksi jual beli hasil bumi dan bahan kebutuhan pokok yang melibatkan warga asli Merauke dan kaum pendatang.

”Jangan lupa bikin laporan untuk didiskusikan di depan kelas,” ujar Supardi, pria asal keluarga transmigran dari Jawa Tengah.

Sementara itu, murid-murid kelas V dengan riuh merubung sebuah sumur di halaman sekolah. Dari bibir tembok sumur, para siswa melongok mengamati timba yang ditarik ulur seorang murid. Di sekolah itu, timba, sumur, dan airnya adalah alat peraga untuk pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam, khususnya tentang gravitasi atau gaya tarik bumi. Adapun pasar tradisional yang mempertemukan beragam komunitas suku Marind-anim dan suku-suku pendatang adalah alat peraga Ilmu Pengetahuan Sosial.

Lenda Tahapari, guru SD di Erambu, dekat pos perbatasan RI-Papua Niugini, menjadikan pembelajaran kontekstual sekaligus sebagai kiat untuk merangsang anak giat bersekolah. Kegandrungan akan alam bebas membuat anak-anak Papua suka membolos dari sekolah, terlebih jika diajak orangtua ikut berburu.

Untuk pelajaran Biologi, Yoseph Ngara, guru SMP di Erambu, mengarahkan siswanya bercocok tanam di halaman sekolah. Tanaman kacang-kacangan diharapkan membangun pemahaman siswa tentang perkecambahan, fotosintesis, dan pembuahan pada tumbuhan.

Terletak di ujung timur wilayah republik ini, pelaku pendidikan di Merauke selalu ketinggalan menerima perkembangan informasi terbaru mengenai kebijakan pendidikan yang sentralistik. Contohnya, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) diterapkan secara nasional, tetapi di Merauke baru gencar disosialisasikan, terutama di sekolah swasta.

Sekolah negeri pun tak luput dari kesenjangan. Kepala SD Inpres Mopah Baru, LL Salamun, menggerutu karena buku-buku pelajaran kiriman Departemen Pendidikan Nasional telat tiba di sekolah. Buku pelajaran Bahasa Indonesia, Sains, dan Matematika yang mestinya digunakan tahun 2008 baru tiba di sekolah itu awal Agustus 2009.

”Kalau bukan karena ujian nasional, sebetulnya tidak perlu kita repot mengurusi KTSP,” kata Teodora Siti Raya Prapat, guru di SD itu.

Bagi Hendrikus Kariwop, Ketua Yayasan Pendidikan dan Persekolahan Katolik (YPPK) Merauke, yang menaungi 163 SD-perguruan tinggi di Merauke dan sekitarnya, kisah di atas membuatnya gundah dan optimistis.

Gundah karena pada era otonomi sekolah, substansi dan proses pendidikan masih saja harus berformat sentralistik, termasuk kurikulum. Optimistis karena di tengah keterbatasan fasilitas, guru tetap bersemangat untuk menjalankan tugas pembelajaran dengan segala daya upayanya.

Hendrikus, yang akrab disapa Romo Hengky, memandang pembelajaran kontekstual adalah formula jitu bagi anak Merauke. Karakteristik tumbuh kembang anak-anak itu lekat dengan alam raya.

Sonny Betaubun, Ketua Pengurus Satuan Wilayah Yayasan Pendidikan Kristen (YPK) Merauke, pun menilai kreativitas muncul di tengah berbagai keterbatasan yang ada.

Keterbatasan jumlah guru dan biaya penyelenggaraan pendidikan melilit 38 sekolah dalam naungan YPK Merauke. Misalnya, guru tetap yang mengasuh 29 SD hanya ada 146 orang. Dengan total 3.217 siswa SD, masih diperlukan tambahan 80 guru. Di dua SMP hanya tersedia 24 siswa. Masih diperlukan tambahan 11 guru untuk total 582 siswa.

Keterbatasan dana juga tetap klasik. Bagi SD-SMP negeri, dana bantuan operasional sekolah (BOS) memang cukup menopang penyelenggaraan pendidikan. Namun, bagi sekolah swasta, dana BOS justru menjadi buah ”simalakama”. Menerima dana BOS berarti sekolah tidak boleh lagi memungut biaya dari orangtua siswa. Menolak dana BOS berarti mencekik napas keberlangsungan sekolah.

Faktor historis dan ikatan emosional warga setempat membuat kondisi sekolah swasta di Papua berbeda dengan di daerah lain. Di daerah lain, sekolah swasta umumnya diminati anak-anak keluarga berada, sementara sekolah negeri banyak dihuni anak-anak kalangan menengah ke bawah.

Sonny Betaubun mengungkapkan, di Merauke, anak-anak miskin di pelosok pun cenderung memilih sekolah swasta ketimbang sekolah negeri. Repotnya, jika sekolah swasta menerima dana BOS, pengelola tak boleh lagi memungut dana dari orangtua siswa.

Sonny dan Hendrikus mengkritik iklan layanan sekolah gratis yang gencar ditayangkan televisi sebagai informasi menyesatkan. Gratis yang dimaksudkan pemerintah adalah gratis terbatas, hanya pada aspek tertentu.

Pada masa lalu, untuk mengimbangi aktivitas kolonisasinya, Belanda melalui Politik Etis mulai mengurus tatar Melanesia ini awal tahun 1900-an dengan misi pencerahan berbasis gereja.

Romantisme pendidikan ala Belanda, antara lain, diungkapkan Simon Resubun (67), pensiunan guru. Pria asal Kei, Maluku Tenggara, ini menghabiskan masa dinasnya di Mappi, pedalaman Merauke, sejak lulus sekolah guru berasrama zaman Belanda tahun 1961.

Dosen Universitas Musamus, Merauke, Frederikus Gebze, menggambarkan, kalau bukan karena semangat nasionalisme, manalah mungkin para guru pendatang bisa hidup tenang dan betah.

Betapa mudahnya menemukan guru-guru pendatang dari Jawa, Bali, Sulawesi, dan Maluku di hampir setiap sekolah di Merauke. Mereka adalah keluarga transmigran Jawa-Bali, serta perantau dari suku Bugis, Toraja, Manado, dan Kei. Semua bisa hidup rukun berdampingan dan mendinamisasi pendidikan Merauke.

Mereka ibarat lilin tak kenal padam.

Sumber : http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/19/03204539/lilin.selalu.menyala.di.ufuk.timur

18 Agustus 2009

Pekerjaan Rumah Pascapenyelaman Massal

Pekerjaan Rumah Pascapenyelaman Massal

Selasa, 18 Agustus 2009 | 03:55 WIB

Manado, Kompas - Pantai Malalayang banyak dijumpai bebatuan masif berukuran besar dan kecil. Material itu berasal dari letusan gunung api pada masa purba di daratan Manado.

”Kawasan tersebut memang tergolong memiliki aktivitas vulkanik dan tektonik aktif di wilayah pesisirnya,” ujar Wahjoe S Hantoro, pakar paleoseismologi dari Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Di wilayah pesisir dekat Pantai Malalayang, tempat penyelenggaraan penyelaman massal selama dua hari hingga Minggu (17/8), menurut Roy Pangalila dari WWF Manado, yang turut dalam kegiatan itu, dasar laut di daerah tersebut didominasi oleh pasir. Oleh karena itu, relatif aman dilihat dari sisi lingkungan hidup perairan meskipun di dasar berpasir tersebut juga didiami beberapa biota laut, seperti alga, bintang laut, ular laut, krustasea atau kerang-kerangan.

Malalayang sesungguhnya merupakan zona penyangga Bunaken, yang berjarak sekitar 20 kilometer barat laut taman nasional itu. Oleh karena itu, pascapenyelaman, Roy khawatir para peserta ajang tersebut akan terdorong mengunjungi kawasan Bunaken.

Hal itu karena berdasarkan survei dan kajian daya dukung pada tahun 2004, telah ada beberapa titik penyelaman yang telah overload atau terlalu sering ”terganggu” oleh kehadiran manusia, antara lain di Likuan.

Menurut Roy, diperlukan ketegasan dalam pengelolaan Taman Nasional Bunaken. ”Para operator diving harus ditata sehingga pembatasan kegiatan penyelamatan dapat tercapai,” ujarnya. (YUN/ZAL)

Sumber : http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/18/03554722/pekerjaan.rumah.pascapenyelaman.massal
Dua Rekor Dunia Terpecahkan
Penyelam Terbanyak dan Upacara di Bawah Air

Selasa, 18 Agustus 2009 | 03:24 WIB

Manado, Kompas - Dalam dua hari, Indonesia mampu memecahkan rekor dunia penyelaman massal. Pemecahan rekor ini dilaksanakan di pesisir Malalayang, Kota Manado, Sulawesi Utara, dalam rangkaian kegiatan Sail Bunaken 2009 dan menyambut Hari Kemerdekaan Ke-64 RI.

Rekor pertama dicapai pada Minggu (16/8) untuk penyelaman massal. Dari 2.818 peserta yang mendaftar, ada 2.465 orang yang ikut penyelaman.

Mereka menyelam selama 29 menit dengan membentuk formasi yang telah ditentukan. Lokasi penyelaman sekitar 300 meter dari garis pantai dan pada kedalaman 15 hingga 20 meter dari permukaan laut.

Selam massal itu diikuti unsur TNI, peneliti dari lembaga riset dan perguruan tinggi, anggota Persatuan Olahraga Selam Indonesia, juga peserta dari 10 negara. Ikut pula sebagai peserta kehormatan antara lain Wakil Kepala Staf TNI Angkatan Laut Laksamana Madya Mokhlas Sidik, Gubernur Sulut Sinyo H Sarundajang, dan Gubernur Gorontalo Fadel Muhammad.

Prestasi tersebut mematahkan rekor yang dicapai para penyelam di Maladewa tahun 2006 yang melibatkan 958 orang. Menurut data dari Guinness Book of Records, tradisi penyelaman massal diawali Australia tahun 2004 yang diikuti 600 penyelam, disusul Thailand tahun 2005 dengan melibatkan 725 penyelam.

Upacara di bawah air

Pada Senin pagi diciptakan rekor dunia baru versi Guinness Book of Records dalam bentuk pelaksanaan upacara proklamasi kemerdekaan di bawah air. Pengibaran bendera, menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya, dan penghormatan bendera semuanya dilakukan di bawah air selama 20 menit.

Sertifikat rekor dunia selam Senin malam diserahkan di Manado oleh Lucia Sinigagliesi dari Guinness Book of Records London, Inggris, kepada panitia.

Kepala Dinas Penerangan TNI AL Laksamana Pertama Iskandar Sitompul mengatakan, dua pemecahan rekor dunia di Manado membuktikan kejayaan Indonesia di dunia maritim. ”Saya rasa rekor ini akan bertahan lama. Kalau ada negara yang memecahkan rekor ini, kita akan buat lagi dengan 3.000 penyelam,” katanya.

Ribuan penyelam dari beberapa provinsi di Tanah Air berada dalam euforia begitu keluar dari permukaan air. Nyanyian kemenangan terdengar di sepanjang ruas Jalan Malalayang. (ZAL/YUN)

Sumber : http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/18/03245618/dua.rekor.dunia.terpecahkan

NASIONALISME DI TAPAL BATAS : Mereka Memilih Bertemu di Tapal Batas

Mereka Memilih Bertemu di Tapal Batas

Selasa, 18 Agustus 2009 | 03:27 WIB

Kornelis Kewa Ama dan Fandri Yuniarti

Minggu (2/8) pagi, pagar besi jembatan di gerbang masuk Motaain, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur—dari Timor Leste—diduduki sejumlah orang.

Ada porter, penjual jasa angkut barang, sampai warga Timor Leste maupun warga Indonesia, khususnya warga eks Timor Timur, yang menanti kedatangan rekan atau keluarga mereka.

”Saya sudah sembilan tahun lebih tidak bertemu keluarga, sejak Timor Timur berpisah dari NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) 1999. Dari sepuluh bersaudara (lima di antaranya masih hidup), hanya saya sendiri yang menjadi WNI,” kata Dacosta (53)—sebut saja demikian karena yang bersangkutan tidak bersedia menyebutkan namanya—dengan mata yang terus diarahkan ke kawasan Timor Leste.

Pukul 08.30 itu Dacosta, yang masih aktif di TNI, ditemani iparnya, Gaudens (bukan nama sebenarnya), asal Larantuka, NTT, serta seorang anak laki-laki 16 tahun bernama Ramon Amaral.

Ramon bercerita, pertengahan Agustus 1999, Dacosta berkunjung ke Dili, Timor Leste. Ketika akan kembali ke NTT, Dacosta mengajaknya. ”Saya pun ikut. Tapi, tak lama kemudian (akhir Agustus 1999) Timor Timur merdeka (lepas dari NKRI). Jadi, sejak saat itu saya tak pernah lagi bertemu ibu-bapak serta empat saudara saya,” kata anak lelaki yang kini belajar di salah satu sekolah menengah kejuruan di Atambua, ibu kota Belu, itu datar.

Menurut Dacosta, sejak Timor Leste merdeka, ia tidak pernah tahu bagaimana keadaan keluarganya. Ia benar-benar kehilangan kontak. ”Tapi, sekitar dua pekan lalu, tiba-tiba adik saya, Fransisco Gutteres (42), telepon. Katanya, ia mendapat nomor telepon rumah saya (di Atambua) dari warga Timor Leste yang sering berkunjung ke NTT. Karena itu, ia berjanji pagi ini menemui saya di perbatasan ini,” kata Dacosta, yang tubuhnya dibalut jaket kuning bertuliskan Secaba (Sekolah Calon Bintara).

Setelah menunggu sekitar setengah jam, Fransisco yang dinanti-nanti pun mengabarkan telah sampai di Pos Lintas Batas Batugade (kawasan Timor Leste). Dacosta segera menjemputnya dan membawanya ke wilayah RI. Jembatan di atas sungai kering di Motaain pun menjadi saksi sejarah pertemuan mereka. ”Ini, ia sudah datang,” kata Dacosta kepada Kompas, dengan mata berkaca-kaca. ”Sebentar, saya lapor dulu ke (petugas) Imigrasi.”

Tiga menit kemudian, Dacosta kembali menemui Fransisco. ”Ini, ambillah,” ujar Dacosta, sambil menyerahkan sebungkus rokok Gudang Garam kepada adik bungsunya itu.

Fransisco yang mengenakan celana pendek loreng dan kemeja kotak-kotak berwarna lusuh menerimanya dengan tersenyum. Ia juga mengeluarkan bungkusan rokok serupa, isinya tinggal beberapa batang dan menyerahkannya kepada Gaudens (40). Mereka merokok, dan lalu berbicara dalam bahasa Tetum, bahasa ibu mereka. ”Bagaimana keadaan bapak?” tanya Dacosta.

”Tak lama setelah kakak kembali ke NTT, Oktober 1999, ia meninggal di tempat pengungsian di Viqueque (Timor Leste),” jawab Fransisco, bekas sopir di Dili yang kini menganggur.

”Bapak meninggal karena ditembakkah?” tanya Dacosta penasaran.

”Bukan, ia meninggal karena sakit. Mungkin sedih dan stres berat. Waktu itu (seusai penentuan pendapat di Timor Timur 1999), Liberta kena tembak di bagian kaki. Tapi, ia selamat. Tidak ada kabar tentang keberadaan kakak. Kelihatannya bapak sangat terpukul,” kata Fransisco, seraya menambahkan keadaan tiga saudara mereka—termasuk Liberta—baik-baik saja.

Di sela-sela obrolan kakak beradik tersebut, Ramon menerima satu kantong plastik penganan dari ibunya. Tak lama kemudian, Fransisco mengeluarkan plastik bening—seperti pembungkus gula pasir—berisi surat-surat dan uang dari kantong celananya. Plastik dibukanya, lalu ditariknya satu lembaran 10 dollar AS, disusul satu lembaran serupa, dan menyerahkannya kepada Ramon. ”Ini, ambil,” katanya tanpa perubahan ekspresi.

Ramon, Dacosta, Fransisco, ataupun yang lainnya seperti berupaya menahan letupan emosi kebahagiaan. Tak ada tangis atau tawa keras bahagia dalam pertemuan tersebut. Sekalipun mereka terlihat senang, semua dilakukan bak pertemuan antarteman di tengah jalan. Percakapan di udara yang cerah tersebut hanya berlangsung lebih kurang 30 menit. Setelah itu, masing-masing kembali pulang.

Dacosta, Ramon, dan Gaudens ke Atambua (NTT), sedangkan Fransisco dan istrinya naik angkutan umum ke Dili.

Mercy (25), warga Dili, dan Maya (20), warga Atambua, pun begitu. Mercy mengaku sudah enam tahun lebih tidak bertemu Maya, adiknya. ”Tapi, kami sering kontak melalui telepon,” kata Mercy, yang ke tapal batas berboncengan motor sekitar tiga jam dengan suaminya, Jeffry (27).

Menurut petugas Imigrasi Motaain, Jasser, tapal batas di Motaain—yang berjarak sekitar 34 kilometer dari Atambua—cukup sering dijadikan tempat pertemuan warga kedua negara. Sebab, mereka pada umumnya tidak memiliki paspor, di samping menghindari pengurusan dan pembayaran fiskal.

Alasan lain mengadakan pertemuan di perbatasan adalah karena warga eks Timor Timur umumnya merasa belum aman mudik ke kampung mereka. ”Baru-baru ini (2 Agustus 2009) ada seorang pedagang asal Pulau Adonara (NTT) yang dibunuh di sana (Timor Leste). Itu kasus pertama warga negara Indonesia yang menggunakan paspor dibunuh di sana,” kata Jasser.

Komandan Komando Resor Militer 161/Wirasakti Kupang Kolonel Dody Usodo Hargo Suseno menceritakan, 9 Agustus lalu, Sekretaris Camat Kobalima Martinus Bere, warga Dusun Lekekun Atas Selatan, Kabupaten Belu, NTT—yang memasuki wilayah Timor Leste bersama istrinya—ditangkap kepolisian Timor Leste di Dili. ”Padahal, Martinus ke sana dilengkapi dokumen keimigrasian resmi. Martinus saat itu hendak mengunjungi keluarganya di Distrik Suai. Ia dituduh bekas anggota milisi (tahun 1999). Padahal, Komisi Kebenaran dan Persahabatan antara Timor Leste dan Indonesia telah selesai (membahas persoalan masa lalu). Sampai sekarang Martinus masih ditahan di Dili,” papar Dody.

Motaain, satu dari tujuh pos lintas batas di NTT, menurut Jasser maupun Isnin Muhammad (dari Bea dan Cukai Motaain), setiap hari dimanfaatkan sekitar 100 pelintas batas.

Kekerabatan di antara warga bertetangga tersebut tampaknya cukup terjalin baik. Sabtu itu, misalnya, sejumlah warga Timor Leste masuk ke Motaain dengan membawa kue dan bir, biasanya untuk pesta keluarga.

Kekerabatan seperti itu biasanya juga terlihat di kawasan perbatasan lain di Turiskain (Kabupaten Belu), Haumeniana, dan Wini (di Kabupaten Timor Tengah Utara). ”Kadang ada yang minta izin melayat (ke Timor Leste). Biasanya izin diberikan sekitar tiga hari,” kata Letnan Dua Fandi, Komandan Satuan Tugas Pengamanan Perbatasan Turiskain.

Pada era kemerdekaan ini, warga kedua negara bertetangga itu memang relatif bebas bergerak. Tapi, bisakah dikatakan mereka sudah benar-benar ”merdeka”?

(Iwan Setyawan)

Sumber : http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/18/03273910/mereka.memilih.bertemu.di.tapal.batas

16 Agustus 2009

Rekor selam dunia 2009

Djuanda dan Visi Negara Kepulauan

KBR68H

14-08-2008
Djuanda Kartawidjaja

Tak banyak yang kenal Djuanda Kartawidjaja, meski namanya diabadikan jadi nama jalan, bendungan, stasiun kereta api serta bandar udara di Surabaya.

Padahal perannya banyak, dari guru sampai pembangun infrastruktur kereta api, juga penjaga lautan Indonesia. Reporter KBR68H Irvan Imamsyah menulis profil Djuanda berikut ini.

4 Kali jadi menteri
Djuanda Kartawidjaja punya banyak predikat. Guru, insinyur, pejuang, tokoh Muhammadiyah, perunding ulung menghadapi Belanda, pembangun infrastruktur kereta api, perdana menteri, bahkan pejabat presiden. Saking seringnya menjabat menteri, ia sampai dijuluki 'menteri marathon'. Dari 1946 sampai 1963, dalam kurun waktu 17 tahun, Djuanda pernah sekali menjabat menteri muda, 14 kali sebagai menteri dan sekali perdana menteri. Sejarawan Anhar Gonggong.

Anhar Gonggong: "Sejak awal kemerdekaan dia selalu punya peranan. Dia orang pertama yang diangkat dari sekjen dewan perancang nasional, cikal bakal Bappenas. Lalu kemudian memasuki arena politik, menjadi menteri non partai"

Anhar Gonggong mencatat hal-hal istimewa dalam diri Djuanda: tidak partisan serta lebih banyak bekerja ketimbang bicara.

Anhar Gonggong: "Itu juga tidak menjadi merk yang menyebabkan dia jadi politikus yang ini. Mungkin ada kekhasan pribadi beliau yang perlu diteliti secara political psikologi, beda dia dengan Yamin. Yamin sering menampakan diri dengan seorang independen. Tapi orang orang tahu Yamin dekat dengan orang Murba. Tapi Djuanda nggak pernah ada orang katakan dia dekat dengan ini atau dengan itu. Semua orang menganggap dia dekat sengan siapa saja"

Waduk Jatiluhur
Salah satu bukti kerja Djuanda adalah membangun sistem kereta api semasa menjabat menteri muda perhubungan. Djuanda jugalah tokoh di balik pembangunan Waduk Jatiluhur. Cucu Djuanda, Sahandra Hanitoyo.

Shahandra Hanitoyo: "Juga untuk PU yang terkait dengan Djuanda adalah waduk Jatiluhur. Itu kan Waduk Insinyur Haji Djuanda. Dua hal yang lumayan sering. Karena bolak balik ganti jabatan di kabinet. Waktu itu pernah jadi menteri keuangan, PU dan perhubungan. Tapi ada dua menteri yang saya perhatikan sering digunakan Bung Karno untuk menaruh dia pada posisi tersebut"

Lulus Institut Teknologi Bandung, Djuanda mengawali karir di pemerintahan ketika diangkat sebagai Menteri Muda Perhubungan di Kabinet Sutan Sjahrir pada 1946. Sejak itu ia menjabat menteri di sejumlah kabinet, seperti Kabinet Amir Sjarifuddin, Bung Hatta, Republik Indonesia Serikat, dan Muhammad Natsir. Wartawan tiga masa, Rosihan Anwar.

Rosihan Anwar: "Ya, karena dia tak punya musuh banyak, dia orang pintar. Dia punya prinsip tetap mengabdi, bakti kepada bangsa dan tanah air. Tokoh-tokoh lain sudah jelas, atau dia pro Soekarno atau dia anti Soekarno. Jadi siapa yang bisa dipilih? Dia. Dia artinya netral. Dia punya kualifikasi bagus. Dia dijadikan perdana menteri. Dia harus laksanakan keputusan Soekarno yang tak menyenangkan. Hei gebuk orang-orang militer yang berontak. Dia yang laksanakan bersama Nasution. Dalam hatinya juga gak senang, tapi dia tetap lakukan"

Ketika Djuanda menjabat Perdana Menteri pada 8 April 1957, hubungan Bung Karno dan Bung Hatta renggang. Hatta tak setuju dengan niat Bung Karno memberlakukan Demokrasi Terpimpin. Dwi Tunggal Soekarno-Hatta akhirnya pecah setelah Hatta mundur pada 1956. Untuk mendamaikan Dwi Tunggal, Djuanda menggelar Musyawarah Nasional. Kembali sejarawan Anhar Gonggong.

Meredam pergolakan
Anhar Gonggong: "Mungkin kemampuan mengolah hubungan pribadi itu yang lebih memungkinkan dia dekat dengan Soekarno, kemudian dekat dengan siapa saja, dengan Hatta. Ketika situasi kacau tahun 1950an, ketika Bung Hatta mengundurkan diri dia berusaha mengadakan musyawarah nasional untuk mendekatkan Soekarno dengan Hatta. Meski gagal tapi dia berhasil menciptakan piagam yang di tandatangani Soekarno-Hatta bahwa kedua pihak harus bekerjasama.Musyawarah ini juga bertujuan meredam berbagai pergolakan daerah. Misalnya pemberontakan DI/TII di Jawa Barat, Aceh dan Sulawesi Selatan; juga pemberontakan Republik Maluku Selatan, RMS"

Setelah ketegangan pusat daerah reda, Djuanda kembali menancapkan prestasi dengan mencanangkan deklarasi yang menyatukan wilayah kepulauan dan laut menjadi satu, yaitu Indonesia. Ini dikenal sebagai Deklarasi Djuanda.

Deklarasi Djuanda: "Segala perairan di sekeliling dan di antara pulau-pulau di Indonesia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari daratan dan berada di bawah kedaulatan Indonesia".

Negara kepulauan
Dengan deklarasi ini, demikian sejarawan Anhar Gonggong, Indonesia menyatakan diri sebagai negara kepulauan. Deklarasi Djuanda diprotes antara lain oleh Amerika Serikat dan Australia. Alasannya, kawasan laut yang semula bebas digunakan berbagai negara, kini diubah menjadi satu wilayah Indonesia. Tapi protes-protes itu berhasil diredam oleh Djuanda, sang diplomat ulung.

Anhar Gonggong: "Di situ lagi keunggulan diplomasi dia. Bagaimana dia bisa menggerahkkan diplomat kita untuk meyakinkan negara lain menerima itu. Amerika salah satu yang menentang. Sampai sekarang pun Amerika tak terlalu happy dengan deklarasi Djuanda. Tapi ternyata Djuanda berhasil. Artinya apa kemampuan dia gunakan sumber daya diplomasi kita untuk yakinkan hak kita. Hak perairan kita. Itu yang hebatnya diä"

Berkat kegigihan Djuanda, konsep negara kepulauan ditetapkan Konvensi Hukum Laut PBB tahun 1982. Berdasarkan Deklarasi Djuanda, wilayah laut Indonesia bertambah sekitar 5.8 juta kilometer persegi. PBB juga mencatat ada 17.500 pulau di negara kepulauan Indonesia, dikelilingi garis pantai sepanjang 81 ribu kilometer.

Kehilangan hak
Tapi Deklarasi Djuanda seolah tak bernyawa ketika Indonesia kehilangan hak atas pulau dan terus bersengketa soal batas wilayah. Kini yang disorot adalah kemampuan para penerus untuk menjaga dan mengelola apa yang sudah diklaim Djuanda. Pulau Sipadan dan Ligitan di Kalimantan Timur lepas dari Indonesia sesuai keputusan Mahkamah Internasional PBB. Ahli Hukum Laut, Hasyim Djalal.

Hasyim Djalal: "Kita gak pandai. Misalnya ikan. Kurang kita jaga, kemampuan kita tidak tumbuh sebanyak itu. Jadi kalau kekayaan alam Indonesia yang diklaim Djuanda diberikan kemudian hasil perjuangan hukum laut itu. Barang kali di laut saja lebih dari enam puluh kali lebih luas dari pada yang ada waktu proklamasi, pertanyaannya, kemampuan kita menjaga dan memeihara tumbuhkan 60 kali. Soalnya laut indonesia sekitar enam juta kilometer persegi"

Sayangnya kemampuan diplomasi memperjuangkan batas wilayah ini masih lemah. Apalagi pemerintah juga belum selesai menamai sekitar 6700an pulau terluar Indonesia. Jika dibiarkan tanpa nama, pulau-pulau tersebut sangat mungkin dituntut oleh negara lain. Ahli hukum laut dan bekas perunding kedaulatan wilayah Indonesia di PBB, Hasyim Djalal mengatakan, Indonesia butuh Djuanda baru untuk mengobarkan lagi semangat menjaga wilayah perbatasan.

Pemikiran jangka panjang
Hasyim Djalal: "2008 Seratus tahun keindonesiaan kita. Dan lima puluh tahun kita mencoba mengimplementasikan keindonesiaan itu setelah kemerdekaan kita diakui PBB. Saya itu ingin lihat visi kita 50 tahun yang akan datang paling tidak apa. Jadi kalau visi 50 tahun pertama pemuka-pemuka bangsa kita mencoba menjatidirikan Indonesia menjadi satu bangsa dan satu negara, 50 tahun kedua dia mencoba menikmati itu dalam satu negara yang merdeka dengan kewilayahnnya, maka 50 tahun ketiga apa ke mana? Atau seratus tahun kedua ke mana? Saya tak lihat ada pemikiran seperti itu, karena sekarang pemikiran terarah lima tahun yang akan datang"

Daratan dan lautan Indonesia butuh Djuanda baru, supaya kedaulatan tetap terjaga.

Rompas: "Sekarang apakah pemimpin kita punya kekuatan begitu, punya visi? Itu yang dipersoalkan. Bukan tidak ada, boleh saya katakan visi Djuanda belum ada yang bisa turuti. Kita perlu orang yang demikian, harus berani. Karena geopolitik sekarang tidak lewat udara, tidak lewat darat, tapi lewat laut dan ini akan mengancam negara kita"

Anhar Gonggong: "Terus terang aja tidak ada. Kapasitas pemimpin kita taka da yang bisa menyamai tahun 1950-an. Gak ada, terus terang saja. Kita sekarang kelemahannya karena kita tidak punya pemimpin yang visioner. Pemimpin kita sekarang kan hanya sekarang yang dia lihat. Akibatnya apa yang terjadi, anggota DPR korupsi semua, kan?"

Sumber : http://static.rnw.nl/migratie/www.ranesi.nl/tema/budaya/negara_kepulauan080814-redirected

NASIONALISME DI TAPAL BATAS : Berjalan sendiri

Warga Kepulauan yang Dibiarkan Berjalan Sendiri

Minggu, 16 Agustus 2009 | 04:06 WIB

Iwan Santosa dan Agung Setyahadi

Ratusan warga Daruba, kota teramai di Pulau Morotai, berjejal memadati jembatan sandar Pelabuhan HMS Lastory. Mereka menanti kedatangan kapal penumpang dari Tobelo yang sudah berada di depan mata. Saat kapal sandar, para buruh angkut dan ojek berebutan naik ke kapal menjajakan jasa.

Mirod Bane (34) dengan sigap melompat ke atas dek Kapal Motor Galang Samudra. Pria tinggi kurus itu lincah menembus kerumunan orang di atas dek sambil menawarkan jasa ojek. Jika memperoleh penumpang yang minta diantar ke Berebere, sekitar 90 kilometer arah utara Daruba, ia bakal mengantongi minimal Rp 250.000.

Kedatangan kapal selalu menggairahkan masyarakat Pulau Morotai di Kabupaten Morotai, Provinsi Maluku Utara, yang berbatasan laut dengan Republik Palau. Kapal pelayaran rakyat selalu membawa rezeki bagi buruh angkut, ojek, dan pelaku ekonomi mikro lainnya.

Transportasi laut yang dibangun oleh masyarakat inilah yang selama ini menghubungkan Morotai di bibir Samudra Pasifik dengan pusat perekonomian di Maluku Utara, seperti Tobelo dan Ternate, serta Bitung di Sulawesi Utara. Lalu lintas barang dan penumpang serta geliat perekonomian sangat bergantung pada pelayaran rakyat.

Gairah seperti itu juga dijumpai di sebagian besar wilayah Maluku dan Maluku Utara yang berisi 954 pulau. Kapal selalu dinanti, mulai dari Pulau Wetar di ujung tenggara yang perbatasan dengan Timor Leste hingga Morotai di ujung utara di perbatasan Indonesia-Palau. Pelayaran rakyat mengisi ruang kosong jalur pelayaran kapal-kapal PT Pelni dan perintis.

Di Pulau Wetar, misalnya, kapal perintis datang setiap 21 hari, itu pun hanya di ibu kota kecamatan. Maka muncullah kapal-kapal pelayaran rakyat yang menghubungkan Wetar dengan pusat perekonomian di Saumlaki maupun Kupang di Nusa Tenggara Timur.

Minimnya infrastruktur yang disediakan pemerintah itu telah memicu perdagangan dengan masyarakat di Timor Leste. Mereka menukar hasil bumi dan beras dengan minyak atau barang lain. Bahkan, sebagian warga Wetar jika sakit berobat ke Dili karena hanya 4 jam perjalanan kapal. Barter juga terjadi antara warga Sopi di ujung utara Morotai dan para nelayan Filipina.

Simon Mosley, sewaktu menjabat Camat Wetar pada tahun 2007-an, secara tegas mengizinkan warganya bertukar barang dengan warga Timor Leste. ”Kalau pemerintah mau melarang, sebaiknya berkaca dulu. Kehadiran pemerintah sudah bisa menjamin kebutuhan masyarakat apa belum,” kata Simon.

Setali tiga uang, di Morotai kondisi transportasi antarpulau sangat minim. Transportasi laut yang lancar hanya di Daruba. Setiap hari ada pelayaran rakyat bolak-balik rute Daruba-Tobelo. Kapal perintis KM Kie Raha 2 dari Ternate datang sekali sebulan. Ada juga feri penyeberangan Tobelo-Daruba. Ibu kota kecamatan lain, yaitu Sangowo (Morotai Timur), Berebere (Morotai Utara), Wayabula (Morotai Selatan Barat), dan Sopi (Morotai Jaya), sangat bergantung pada pelayaran rakyat. Itu pun macet total saat musim gelombang besar, seperti Juli-Agustus. Pada Oktober-Desember pelayaran macet karena ombak Pasifik sekitar 4 meter tingginya. Kondisi Sopi di ujung utara Morotai yang menghadap Samudra Pasifik paling terisolasi. ”Jangan coba-coba ke Sopi kalau musim ombak, nanti bisa celaka,” ujar Hamka Goraahe, Asisten II Bidang Administrasi Umum Kabupaten Morotai.

Sepanjang akhir bulan Juli hingga awal Agustus 2009, ratusan kapal penumpang, barang, dan speedboat di pelabuhan-pelabuhan Ternate, Sofifi, Sidangoli, Tobelo, hingga Morotai tertambat berhari-hari menanti ombak mereda untuk berlayar ke kawasan Maluku Utara. ”Kalau omba’ tinggi tra (tidak) bisa berangkat. Harga barang juga jadi mahal,” kata Bahrudin, nakhoda KM Sandra Jaya, rute Daruba-Tobelo.

Pada Kamis (6/8) siang, Sandra Jaya yang berbobot mati 58 ton berangkat dari Pelabuhan HMS Lastory di Daruba, Morotai, menuju Pelabuhan Tobelo. Kapal bermuatan 70-an orang itu mengangkut penumpang dan kopra. Ongkos tiap orang Rp 45.000 untuk perjalanan selama dua setengah jam menempuh jarak sekitar 25 mil laut atau 40-an kilometer di darat. Betapa mahal ongkos transportasi yang dibayar rakyat Maluku Utara. Jika di Pulau Jawa, ongkos Rp 45.000 dapat menempuh jarak Jakarta-Cirebon sejauh 275 kilometer ataupun bus AC dari Jakarta-Bandung sejauh 150 kilometer.

”Dua minggu lalu kami nyaris celaka, sepanjang perjalanan kapal dihantam ombak 3 meteran. Setiap kali anjungan naik, air masuk di bagian belakang. Kondisi seperti itu sudah jadi ’makanan’ kami,” ujar Atta (34), awak KM Sandra Jaya.

Para operator pelayaran rakyat memang sering memaksa berangkat saat ombak sedikit mereda. Para pelaut itu seolah sudah putus urat nyalinya demi mengejar setoran operasional kapal. KM Sandra Jaya, misalnya, yang berkapasitas 70 penumpang itu bisa dipaksa mengangkut 120 penumpang. Jika penumpang penuh, pendapatan tiket bisa Rp 5,4 juta.

Di wilayah utara Morotai, seperti Berebere dan Sopi, musim ombak berarti tidak bisa menjual kopra ke Tobelo. Kapal-kapal pelayaran rakyat tidak ada yang beroperasi. Padahal, kopra adalah sumber pendapatan utama masyarakat. Saat ini harga kopra per kilogram Rp 2.500. Jika memiliki 700 pohon, bisa memperoleh 6 ton kopra tiap panen 3 bulan, ini setara Rp 15 juta.

Amin Bowulo (40), Kepala Desa Kenari, Kecamatan Morotai Utara, mengatakan, musim ombak juga menyengsarakan nelayan karena tidak bisa mencari ikan. Di saat penghidupan rakyat dipermainkan ganasnya ombak lautan, para pejabat di Maluku Utara justru sulit ditemui di kantor-kantor pemerintah. Di kantor pemerintah provinsi, kota, dan kabupaten di Maluku Utara, setiap akhir pekan—Jumat, Sabtu, dan Minggu—bisa dipastikan para pejabat tidak ada di tempat.

Dalam pemantauan Kompas di kantor-kantor pemerintah di Ternate, Tobelo, dan Morotai, selepas pukul 13.00 suasana kantor pemerintah sudah sepi. Terlebih pada akhir pekan, banyak pejabat tidak bisa ditemui karena berada di Jakarta, Manado, atau Makassar. ”Mohon dimaklumi. Kami kabupaten pemekaran baru sehingga banyak pejabat pergi ke kabupaten induk dan ibu kota provinsi atau pun ke Jakarta untuk konsultasi program kerja,” kata Hamka Goraahe, Asisten II Bidang Administrasi Umum Morotai.

Alasan konsultasi penyusunan program kerja itu ditertawakan oleh seorang staf perencanaan di Bappeda Maluku Utara sebab para pejabat baru itu ternyata tak pernah muncul untuk berkonsultasi. Jadi, bisa dibayangkan ke mana perginya uang hibah Rp 8,8 miliar untuk pemerintah Morotai yang lahir akhir 2008 itu.

Harapan perbaikan nasib dari pemekaran pun mulai kabur, seperti Pulau Morotai dari kejauhan yang tertutup buih-buih ombak.

Sumber : http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/16/04065362/warga.kepulauan.yang.dibiarkan.berjalan.sendiri

15 Agustus 2009

Soal Karakter Terlupakan

Perhatikan Visi Kelautan dalam Pendidikan

Sabtu, 15 Agustus 2009 | 03:49 WIB

Jakarta, Kompas - Pengalaman pendidikan perwira pascaperang kemerdekaan di Belanda yang dijalani ratusan teruna meninggalkan pesan yang masih relevan untuk bangsa ini, antara lain, pembentukan karakter dan memerhatikan visi kelautan dalam pendidikan kehidupan bangsa.

Demikian diungkapkan Laksamana Pertama TNI (Purn) Eddy Tumengkol, Ketua Tim Penulis buku Dan Toch Maar terbitan Penerbit Buku Kompas yang diluncurkan di Jakarta, Jumat (14/8). Buku yang sebelumnya diterbitkan di Belanda pada Juni lalu merangkum pengalaman kolektif kadet Angkatan Laut Indonesia yang menjalani pendidikan di Koninklijk Instituut Voor de Marine (KIM) atau lembaga pendidikan tertinggi dari Angkatan Laut Belanda.

Eddy menjelaskan Dan Toch Maar dalam bahasa Belanda bisa diartikan ’maju terus’. Semangat itu untuk menggambarkan tekad tentara Indonesia yang menjalani pendidikan militer di negeri penjajah sebagai salah satu hasil keputusan dari Konferensi Meja Bundar tahun 1949.

”Kami mengalami perpeloncoan, tetapi bukan dalam artian pelampiasan rasa dendam dari senior kepada yunior yang membabi buta. Dalam pendidikan yang dijalani itu, pembentukan karakter para teruna menjadi persoalan paling utama,” ujar Eddy Tumengkol.

Kembali ke visi kelautan

Penulisan buku itu juga dimaksudkan untuk kembali mengingatkan bangsa ini agar kembali kepada visi kelautan. Indonesia mesti menjadikan laut sebagai hal yang penting dalam pembangunan. Penekanan kembali visi kelautan yang paling efektif antara lain melalui pendidikan.

Saleh A Djamhari, sejarawan yang selama 30 tahun meneliti sejarah TNI, mengatakan, cerita mengenai teruna yang menjalani pendidikan perwira di KIM itu tidak banyak diungkap.

”Mereka susah payah menjalani pendidikan, tetapi saat kembali ke Tanah Air justru dianggap antek-antek Belanda. Ceritanya bukan dari sumber-sumber tertulis, tetapi dari cerita lisan para pelaku. Buku sejarah model ini sangat menarik dan berguna,” kata Saleh.

Jaleswari Pramodhawardani dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia mengatakan bahwa kekuatan tentara tidak hanya pada teknologi militer. Yang penting justru pada kekuatan karakter tentara. ”Namun, kerusakan karakter itu terjadi jika tentara sudah masuk politik dan bisnis,” ujar Jaleswari. (ELN)

Sumber : http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/15/03491378/soal.karakter..terlupakan

NASIONALISME DI TAPAL BATAS : Ironi diantara simbol dan realitas

Ironi di Antara Simbol dan Realitas

Sabtu, 15 Agustus 2009 | 03:09 WIB

Jean Rizal Layuck dan Edna C Pattisina

Kapal Perintis Meliku Nusa tiba di Pulau Miangas, Senin (3/8) pagi. Perjalanan dari ibu kota Kabupaten Talaud, Melonguane, memakan waktu 30 jam, melewati sudut Samudra Pasifik yang bergelombang 4 meter.

Ini menyambung perjalanan 17 jam Manado-Melonguane. Hanya ada tiga kapal perintis sebagai sarana transportasi masyarakat di pulau-pulau di atas garis 4° Lintang Utara alias paling utara dari republik ini. Tak ada jadwal pasti karena angin dan gelombanglah yang menentukan.

Ombak 2 meter di perairan Miangas membuat kapal enggan bersandar. Biasanya ada perahu motor masyarakat yang menjemput manusia dan perbekalan, mulai dari bangku sekolah, semen, kasur, beras, hingga telur. Namun, sudah tiga jam tak ada tanda-tanda kedatangan perahu motor.

”Tidak ada bensin, solar, dan minyak tanah di Miangas ini. Sudah hampir setahun seperti itu. Penumpang kapal perintis dilarang bawa BBM (bahan bakar minyak), padahal tidak ada cara lain,” kata Agus Tege, Kepala Sekolah Dasar Negeri Miangas.

Pagi itu akhirnya beberapa warga patungan mengumpulkan 8 liter bensin agar keluarga dan perbekalan bisa diangkut ke darat.

Tidak ada perahu motor yang berani mengangkut BBM karena jarak dengan pusat kecamatan tetangga, Nanusa, sekitar 232 kilometer, sementara tinggi gelombang bisa mencapai 7 meter.

Akhirnya, cara satu-satunya adalah dengan menyembunyikan jeriken minyak ke dalam koper, dibungkus dengan baju-baju. Bensin dan minyak tanah ”selundupan” itu dijual dengan harga Rp 15.000 dan Rp 12.000 per liter.

”ABK (anak buah kapal) suka razia. Kalau ketahuan, yah jeriken ditinggal di pelabuhan,” cerita Kepala Desa Miangas DJ Namare.

Sekitar 790 jiwa warga Desa Miangas tinggal di pojok barat daya pulau ini.

Rumah-rumah di Desa Miangas terbagi di dua jalan utama yang sejajar, terbuat dari semen dengan lebar sekitar 4 meter.

Bagian pulau lainnya terdiri dari kebun kelapa dan rawa-rawa. Pulau berpantai pasir putih dengan bebatuan itu dapat ditelusuri dengan berjalan kaki dalam waktu sekitar tiga jam.

Kalau laut sedang todo alias teduh, nelayan yang mengail biasa pulang dengan ikan-ikan cakalang sepanjang 1 meter—yang ”terpaksa” dimakan sendiri atau dibagikan ke tetangga. Tak ada pasar di sana karena memang tak ada pembeli.

Kebutuhan air didapat dari sumur dan menampung hujan, sementara listrik mengalir pukul 17.30-23.30. Kalau mau menghitung jumlah motor, ya bisa dihitung dengan sebelah tangan saja.

Sementara soal bahasa, hanya orang-orang tua yang bisa berbicara Tagalog. Itulah sebabnya, walau bisa menangkap siaran radio Filipina—sementara sinyal RRI tak ada—sebagian warga masyarakat yang mampu lebih suka menonton televisi swasta nasional. Syaratnya harus membeli piringan penerima (antena) seharga Rp 3 juta.

Menjelang Hari Kemerdekaan RI bulan ini, setiap malam selama seminggu, ratusan warga berkumpul di Pendapa Miangas untuk menonton Miangas Idol dengan lagu wajib ”Sepasang Mata Bola”. Sorenya para siswa SD dan SMP setiap hari latihan baris-berbaris sejak pukul 15.00. ”Siaaaappppp...! Bisaaaaa...!” teriak anak-anak ini sekuat-kuatnya setiap diberi instruksi.

Sebagian besar penduduk asli yang terdiri dari 12 rumpun keluarga besar memiliki kebun kelapa. Ukurannya tidak terlalu besar karena telah dibagi-bagi sebagai warisan.

DJ Namere, misalnya, memiliki kebun kebun kelapa seluas 400 meter persegi. Dalam setahun ia bisa empat kali panen yang masing-masing menghasilkan 300 kilogram kopra seharga Rp 750.000. ”Padahal, semua mahal. Kalau angin sedang kencang, tidak ada ikan. Kami makan beras raskin dan telur, sebutir Rp 2.000,” katanya.

Karena tidak ada minyak, rumah-rumah kini memasak dengan tempurung dan kayu kelapa. Nelayan yang merupakan profesi 80 persen penduduk tidak bisa melaut karena angin selatan dan minim BBM.

Sebagian besar warga masyarakat pernah berhubungan dengan masyarakat atau produk Filipina, baik untuk menjual ikan hasil tangkapan mereka sampai membeli Coca-Cola atau bekerja di perusahaan perikanan di Davao.

Namun, kondisi ekonomi bagian negara tetangga itu tidak dianggap masyarakat Miangas cukup menarik.

”Lebih parah di sana. Dan juga, di sinilah tanah kami,” kata Gusti Papea, tetua adat Mangkubumi I, yang juga menegaskan, pengibaran bendera Filipina tahun 2005 disebabkan emosi warga karena salah satu kerabat mereka tewas di tangan polisi.

Gagasan tentang keindonesia- an dibangun lewat simbol-simbol fisik. Di depan dermaga, Monumen Santiago—pahlawan setempat—yang beratnya lebih dari 1,5 ton sedang dibangun. Monumen yang rencananya akan diresmikan Panglima TNI ini akan menjadi tugu keempat setelah Tugu Perbatasan Negara yang diresmikan tahun 2008, Tugu NKRI yang ditandatangani LB Moerdani, dan sebuah tugu tak selesai yang disebut masyarakat Tugu Megawati.

Masalahnya, pengembangan nasionalisme lewat simbol-simbol monumen, tetapi tanpa dibarengi perhatian terhadap realitas sehari-hari, justru menimbulkan ironi. Dan masyarakat merasakan ironi seperti itu.

Sentuhan pada kebutuhan masyarakat oleh pemerintah mereka rasakan kesannya setengah hati. Lihat saja, selama 2004-2008 ada 10 motor tempel dan 7 perahu motor diberikan pemerintah ke kawasan itu. Namun, semuanya teronggok—sebab tanpa suplai BBM secara rutin ke kepulauan itu. Ironis, atau yang begini sudah jatuh menjadi tragis?

Tiga tangki minyak selalu kosong sejak dibangun setahun lalu. Demikian juga gudang Dolog (Depot Logistik) yang megah tetapi melompong sejak berdiri.

Pasar yang dibangun tanpa melihat budaya barter masyarakat kini tinggal reruntuhan. Satu lagi tambahan ironi....

SMK Kelautan Miangas sudah dibuat beberapa tahun lalu. Ideal sebenarnya, tetapi guru tak ada.

Bahkan, janji lima anggota DPR yang dipidatokan di Pendapa Miangas untuk mengangkat lima anak dan menyekolahkan mereka di Pulau Jawa lenyap ditelan angin.

Koneng Langu (20), yang tahun 2005 keluar dari SMA 1 Beo karena dipilih untuk program ini, bercerita, ia dan empat kawannya akhirnya hanya terkatung-katung tanpa kabar di Tahuna, ibu kota Kabupaten Sangihe.

”Kami, masyarakat Miangas, mau percaya sama siapa lagi kalau terus dibohongi pemerintah,” kata Gusti Papea.

Hingga saat kami meninggalkan Miangas, gelombang laut masih tinggi di perairan itu. Kapal-kapal kecil takut masuk, melaut ke sana.... (Agus Susanto)

sumber : http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/15/03092381/ironi.di.antara.simbol.dan.realitas

14 Agustus 2009

NASIONALISME DI TAPAL BATAS : Nunukan

Nunukan, Kota "Daur Ulang" untuk Penghasil Devisa

Jumat, 14 Agustus 2009 | 03:18 WIB

M Syaifullah

Kapal Mid East Express baru saja tiba di Pelabuhan Tunon Taka, Nunukan, Kalimantan Timur, Kamis (30/7) pukul 18.00.

Kapal itu mengangkut 110 tenaga kerja Indonesia (TKI) ilegal yang baru dideportasi dari Tawau, Malaysia.

Saat diminta keluar satu per satu dari kapal, tidak ada kegembiraan di wajah para TKI ilegal tersebut. Yang ada hanyalah wajah-wajah kelelahan.

Hal ini bisa dipahami karena mereka berbulan-bulan mendekam di penjara-penjara di wilayah Sabah sebelum dideportasi. Para TKI itu kemudian dibawa ke ruang tunggu di pelabuhan. Kesibukan yang menonjol justru terlihat dari sejumlah petugas perusahaan pengerah jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI).

Mereka mendata sebanyak-banyaknya TKI ilegal tersebut. Para petugas PJTKI itu menjadi penjamin untuk mereka yang terdata selama di Nunukan.

Sebagian lagi diserahkan kepada puluhan orang yang menunggu di balik dinding kaca ruang pelabuhan tersebut. Kepada petugas, mereka mengaku sebagai keluarga dari beberapa TKI tersebut.

Hanya dalam hitungan satu jam, para TKI itu sudah ”ludes” dari pelabuhan tersebut.

Oleh orang-orang yang menjadi penjamin tadi, mereka dibawa ke rumah-rumah yang menjadi tempat penampungan. Dari proses inilah sebagian besar mereka kembali terlibat dalam ”daur ulang” untuk bisa masuk lagi ke Sabah menjadi TKI lagi.

Dalam enam bulan terakhir, Kantor Imigrasi Kelas II Nunukan mencatat sedikitnya 2.000 orang dipulangkan dari Sabah.

Setiap minggu ada dua kali pemulangan TKI ilegal yang merapat di Pelabuhan Tunon Taka. Mereka inilah yang menjadi incaran para petugas PJTKI ataupun calo TKI untuk bisa dipekerjakan kembali.

Lain PJTKI lain pula yang dilakukan para calo TKI. Adapun yang diincar adalah mereka yang tidak mendapat jaminan dari PJTKI di Nunukan.

Oleh calo, mereka dikirim kembali ke Sabah melalui jalur-jalur tikus dengan perahu jongkong, yakni perahu bermesin. Di sana sudah ditunggu para mandor kebun, yang juga kebanyakan warga Indonesia.

Yang menempuh cara ini, kata Syafaruddin, Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat Nunukan, biasanya tidak mau berlama-lama di Nunukan karena tidak memiliki uang cukup.

”Saya sudah sebulan di sini. Pembuatan dokumen belum juga selesai. Saya tetap memilih kembali bekerja di Sabah, Malaysia, dan tidak mau pulang kampung di Sulawesi,” kata Muslim (25), yang enam tahun terakhir bekerja di perkebunan kelapa sawit Hap Seng di Sabah.

Kepala Kantor Imigrasi Kelas II Nunukan Malfa Aldi mengatakan, pihaknya tidak bisa melarang mereka yang mau kembali bekerja di Sabah. Sepanjang mereka punya identitas kependudukan, yakni warga negara Indonesia, petugas imigrasi tetap akan melayani mereka dalam pembuatan paspor.

Pengurusan dokumen, kata Haris, rekan Muslim, juga makan dan penginapan ditanggung oleh pihak PJTKI.

Untuk mengurus dokumen satu orang TKI, jelas Maman, petugas PJTKI yang ditemui di salah satu rumah penampungan TKI di Jalan Pesantren, Nunukan, biayanya Rp 700.000-Rp 1 juta. Semua biaya selama di Nunukan tadi dianggap sebagai utang. Begitu bekerja lagi, mereka dipungut sedikitnya 360 ringgit, yang dibayar secara mencicil per bulan.

Di Sabah, para TKI hampir 90 persen bekerja di perkebunan kelapa sawit. Gajinya 11-15 ringgit atau Rp 33.000-Rp 45.000 per hari.

Nilai upah inilah yang menjadi magnet para TKI untuk datang ke sana. Apalagi, pekerjaan ini tidak butuh banyak keahlian. Mereka cuma membersihkan kebun, memetik, dan mengangkut sawit.

Namun, pengurusan dokumen TKI di Nunukan sekarang melesu. Hal itu terjadi karena para TKI yang habis masa berlaku dokumen keimigrasiannya sejak ada program pemutihan dokumen keimigrasian di Sabah mulai Agustus 2008 tidak banyak lagi yang pulang ke Nunukan untuk mengurusnya.

Karena kondisi inilah para TKI ilegal yang dideportasi menjadi incaran PJTKI. Mereka dipekerjakan kembali di Sabah. Cara ini lebih menguntungkan dibandingkan dengan harus mengongkosi pengiriman para calon TKI yang didatangkan seperti dari Nusa Tenggara, Jawa, dan Sulawesi.

Sebelum Agustus 2008, ungkap Kepala Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Nunukan M Syafri, per bulan PJTKI mengirim sekitar 3.000 TKI ke Sabah.

”Sekarang, pengiriman ke sana hanya puluhan orang per bulan. Itu pun dari 15 PJTKI yang aktif,” katanya.

Meski sudah bisa mengurus dokumen keimigrasian di Sabah, kata Syafri, penanganan TKI ilegal di sana belum juga selesai. Sampai Maret 2009 baru 10 persen selesai dari sekitar 217.000 TKI ilegal yang mengikuti program pemutihan dokumen.

Selebihnya terpaksa kucing-kucingan dengan aparat setempat untuk bisa bertahan. Jika tertangkap, mereka dideportasi. Ironisnya, begitu tiba di Nunukan, mereka tidak bisa pulang kampung karena ketiadaan uang yang cukup dan pemerintah sendiri tidak menyediakan dana untuk mereka kembali ke kampungnya masing-masing.

Tidak heran kegiatan ”daur ulang” TKI ilegal di Nunukan masih subur.

Sumber : http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/14/03181723/nunukan.kota.daur.ulang.untuk.penghasil.devisa

Saatnya Mewujudkan Negara Kepulauan Indonesia

"UUD 1945 Pasal 25E telah mengamantkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang"
”Untuk membangun Indonesia menjadi negara besar, negara kuat, negara makmur, negara damai yang merupakan National Building bagi negara Indonesia, maka negara dapat menjadi kuat jika dapat menguasai lautan. Untuk menguasai lautan, kita harus menguasai armada yang seimbang.” (Pidato Bung Karno yang disampaikan dalam National Maritime Convention I tahun 1963)