13 Agustus 2012

Ribuan Pulau Indonesia Belum Terdaftar di PBB

Ribuan Pulau Indonesia Belum Terdaftar di PBB
Jurnas.com | NASIB pulau-pulau terluar di Indonesia masih banyak yang belum diperhatikan. Bahkan masih banyak ribuan pulau yang belum diberi nama, serta belum terdaftar resmi di Perserikatan Bangsa-Bangsa. Data terakhir dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) baru sekitar 13.466 pulau yang bernama dan terdaftar di PBB pada 2010.

Dari pendataan terakhir pada 2011, jumlah pulau berkurang sebanyak 24 pulau, sehingga sekarang total jumlahnya 17.480 pulau. "Itu karena ada perubahan iklim, sehingga ada yang ada beberapa pulau kecil yang tidak terlihat (tenggelam) ," ujar Staf Humas Pusat Data, Statistik dan Informasi KKP Kusdiantoro kepada Jurnal Nasional saat dihubungi, Jumat (10/9).

Jumlah pulau tersebut berbeda dengan pedataan Badan Informasi Geospasial-dulu Bakorsurtanal, yang menyebutkan kini jumlah pulau berkurang menjadi 13.466 pulau. Kusdiantoro mengatakan, perbedaan tersebut hanya pada masalah metodologi yang dipakai. Pihaknya melakukan pendataan saat kondisi air laut surut, sehingga beberapa titik pulau-pulau kecil terlihat.

Wakil Ketua Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat Herman Khaeron mengatakan bahwa pemberian nama itu penting. Sementara untuk pendaftaran ke PBB itu juga kewajiban konvensi internasional, untuk menghindari adanya sengketa kepemilikan antarnegara.

Herman mengatakan untuk proses penamaan pemrintah dinilai lamban karena sudah diprogramkan sejak setahun 2005. Ia memahami adanya kesulitan akses untuk menjangkau pulau-pulau yang ada.

Namun begitu, katanya, untuk pendaftaran ke PBB lebih diprioritaskan sebab jika titik-titik koordinat pulau yang ada sudah terdaftar berarti aman dari gugatan. "Karena itu sudah terintegrasi dengan wilayah Indonesia, itu yang terpenting," ujar politisi Partai Demokrat tersebut saat dihubungi.

Dikatakan Herman, sebetulnya secara tradisi setempat, pulau-pulau yang ada sudah memiliki nama lokal, hanya itu belum dikenal secara nasional dan internasional.

Sementara itu Kepala Riset LSM Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim Suhana mengatakan saat ini sudah ada 92 pulau terluar Indonesia yang diakui internasional dan hingga kini tidak ada yang bermasalah.

Persoalan yang dihadapi pulau-pulau kecil dan terluar adalah masalah alam dan rawan konflik. Namun, Ia mengatakan yang terpenting dari identitas sebuah pulau adalah titik koordinat. Meskipun nantinya pulau tersebut saat pasang tenggelam, tidak menjadi masalah karena sudah teridentifikasi.

Saat ini, katanya, salah satu contoh pulau yang rawan hilang karena alam adalah Pulau Fani, Kabupaten Raja Ampat, Papua yang berbatasan dengan negara Palau. Berada di Samudera Pasifik, pulau tersebut setiap tahun terkena abrasi sampai 1-2 meter. Sebetulnya, katanya, sudah banyak sebetulnya secara alami pulau-pulau kecil hilang, tapi juga ada karena faktor penambangan pasir seperti kejadian di Kepulauan Riau.

Sumber : http://www.jurnas.com/news/68618/Ribuan_Pulau_Indonesia_Belum_Terdaftar_di_PBB/1/Nasional/Politik

09 Agustus 2012

Rekonstruksi Kebijakan Ekonomi Kelautan dan Perikanan Perikanan Nasional


Rekonstruksi Kebijakan Ekonomi Kelautan dan Perikanan Perikanan Nasional
Oleh : Suhana
Kepala Riset Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim


Kebijakan pembangunan kelautan dan perikanan sejak awal reformasi sampai saat ini terlihat belum memberikan hasil yang signifikan terhadap perbaikan ekonomi perikanan dan kesejahteraan masyarakat, khususnya nelayan dan pembudidaya ikan. Hal ini disebabkan kebijakan pembangunan kelautan dan perikanan yang berkembangan sejak awal reformasi sampai saat ini hanyalah kebijakan-kebijakan yang terus berulang, padahal sudah terbukti kebijakan tersebut telah mengalami kegagalan.
Kebijakan-kebijakan tersebut hanya berganti nama saja setiap periode pemerintahan. Pada periode pemerintahan Gus Dur, Departemen Eksplorasi Laut dan Perikanan mencanangkan program peningkatan produksi ikan atau yang dikenal dengan istilah Protekan 2003. Target dari Protekan 2003 tersebut adalah meningkatkan produksi ikan pada tahun 2003 menjadi 9 juta ton dengan nilai ekspor yang diharapkan mencapai 10 milyar $ US. Namun demikian, sampai akhir tahun 2003 target tersebut tidak dapat tercapai. Data FAO (2009) menunjukan bahwa produksi ikan nasional pada tahun 2003 hanya mencapai sekitar 5,8 juta ton dengan nilai ekspor dibawah 1,7 milyar $ US.
Memasuki periode pemerintahan Megawati, pada tanggal 11 Oktober 2003 kembali dicanangkan Program Gerbang Mina Bahari di Teluk Tomini Provinsi Gorontalo. Target dari program tersebut adalah peningkatan produksi ikan nasional sebesar 9,5 juta ton pada tahun 2006 dengan target nilai devisa ekspor sebesar 10 milyar $ US. Target program Gerbang Mina Bahari tersebut sama dengan target Program Protekan 2003, namun berbeda nama program saja. Kegagalan yang sama terjadi juga pada program Gerbang Mina Bahari. Data FAO (2009) menunjukan bahwa produksi ikan nasional pada tahun 2006 hanya mencapai sekitar 6,2 juta ton. Sementara itu nilai ekspor produk perikanan hanya mampu mencapai 2 miliar $ US.
Periode pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) jilid I, pemerintah kembali mencanangkan program serupa dengan nama Revitalisasi Kelautan dan Perikanan. Target dari program Revitalisasi Kelautan dan Perikanan tersebut adalah peningkatan produksi ikan pada tahun 2009 sebesar 9,7 juta ton dengan nilai ekspor sebesar 5 milyar $ US. Namun demikian, sampai akhir periode KIB jilid I target revitalisasi kelautan dan perikanan tersebut kembali tidak tercapai. Data FAO (2009) memprediksi produksi perikanan nasional tidak akan melebihi 7 juta ton dan nilai ekspor diperkirakan hanya mencapai 2,1 milyar $ US.
Kegagalan demi kegagaan program peningkatan produksi perikanan pada tiga periode pemerintahan sebelumnya ternyata tidak membuat Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk berfikir ekstra guna menyusun terobosan baru. Hal ini dapat dilihat dari kebijakan pembangunan kelautan dan perikanan 2009-2014 yang kembali mereinkarnasi kebijakan peningkatan produksi perikanan dengan berganti nama menjadi kebijakan Minapolitan. Target program Minapolitan tersebut adalah peningkatan produksi ikan sebesar 50 Juta Ton dan nilai ekspor sebesar 11 milyar $ US. Namun demikian, program minapolitan tersebut saat ini sudah berhenti ditengah jalan, seiring dengan beralihnya Menteri Kelautan dari Fadel Muhamad ke Sharif Cicip Sutardjo.
Memasuki periode Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif Cicip Sutardjo, arah kebijakan kelautan dan perikanan berubah dari pendekatan produksi ikan menjadi Industrialisasi Perikanan berbasiskan Unit Pengolahan Ikan (UPI). Namun demikian, perubahan kebijakan tersebut terlihat tidak didukung perencanaan yang matang. Hal ini terlihat dari industrialisasi perikanan yang dikembangkan ternyata basisnya di Pulau Jawa yang sudah tidak memiliki dukungan bahan baku ikan. Akibatnya KKP kembali dengan gegap gempita menyakinkan publik dan Dewan Perwakilan Rakyat akan pentingnya ikan impor untuk memasok kebutuhan bahan baku UPI nasional, dan akhirnya impor ikan  kembali dilegalkan.
Namun demikian publik, termasuk penulis tidak yakin ikan yang diimpor tersebut hanya untuk kebutuhan bahan baku UPI nasional, akan tetapi banyak yang langsung masuk ke pasar-pasar tradisional. Ketidakyakinan penulis tersebut didasarkan pada hasil analisis terhadap dugaan maraknya impor ikan illegal yang masuk ke Indonesia tahun 2010. Hasil analisis tersebut menunjukan bahwa dugaan impor ikan illegal Indonesia dari China pada Tahun 2010 mencapai 51,28 persen dari total nilai impor ikan Indonesia dari China. Namun demikian walaupun terjadi peningkatan impor ikan nasional, ternyata tidak berpengaruh signifikan terhadap jumlah kapasitas terpakai pada Industri pengolahan ikan nasional. Hasil survey Bank Indonesia menunjukan bahwa pada periode 2010 kapasitas industri perikanan yang terpakai hanya mencapai dibawah 70 persen, tidak jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Artinya bahwa impor ikan tersebut tidak sepenuhnya diperuntukan bagi pasokan kebutuhan bahan baku UPI, akan tetapi langsung dipasarkan ke pasar-pasar dalam negeri.

Asing Kuasai Sektor Perikanan
Ketidak jelasan dan ketidak konsistenannya kebijakan kelautan dan perikanan tersebut telah berdampak pada investasi sektor perikanan yang semakin dikuasai oleh asing. Kalau kita kembali melihat dorongan pemangku kepentingan sektor perikanan tahun sejak tahun 2007 untuk membatasi kepentingan asing di sektor perikanan sangat tinggi, puncaknya ketika Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi mengesahkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen-KP) No 5 Tahun 2008 tentang izin usaha perikanan tangkap. Dan dipertegas kembali dengan disahkannya revisi UU No 31 Tahun 2004 tentang Perikanan menjadi UU No 45 Tahun 2009 tentang Perikanan pada masa akhir periode Pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu jilid I dan DPR-RI periode 2004-2009. Dimana pada kedua peraturan perundang-undangan tersebut kepentingan asing di sektor perikanan sangat diperketat dan lebih mendorong keterlibatan nelayan, pembudidaya ikan, investor dalam negeri dan pengusaha ikan nasional.
Akibatnya, investasi asing pada sector perikanan tahun 2008 dan 2009 menurun drastis, dan minat investasi dalam negeri cenderung meningkat. Data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM 2011) menunjukan bahwa investasi asing (PMA) tahun 2007 mencapai 24,7 juta US $ dan menurun drastic pada tahun 2008 hanya mencapai 2,4 juta US $ dan akhir tahun 2009 kembali meningkat menjadi 5,1 juta US $. Sementara itu pasca keluarnya Permen KP No 5 Tahun 2008 minat investasi dalam negeri mulai tumbuh. Data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM 2011) menunjukan bahwa investasi dalam negeri (PMDN) tahun 2007 hanya sebesar 3,1 milyar rupiah menjadi 24,7 milyar rupiah pada tahun 2009.
Namun demikian, memasuki periode Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhamad, (Permen-KP) No 5 Tahun 2008 tentang izin usaha perikanan tangkap diupayakan untuk direvisi kembali dengan memasukan kembali kepentingan asing. Akibatnya investasi asing kembali menguasai sektor perikanan. Data BKPM (2012) menunjukan bahwa 99,89 persen investasi perikanan tahun 2011 bersumber dari asing (PMA) dan pada triwulan 1 2012 investasi sektor perikanan 100 persen dari asing. Secara lengkap perkembangan investasi sektor perikanan dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Perkembangan Persentase Investasi Asing (PMA) di Sektor Perikanan
Tahun 2006-2012

Ekspor Ikan Illegal
Selain itu juga, ketidakjelasan arah kebijakan sektor perikanan tersebut telah berdampak pada tingginya aktivitas kejahatan perikanan, terutama aktivitas perikanan yang tidak dilaporkan (unreforted fishing). Misalnya perdagangan ikan tuna antara Indonesia dengan Thailan. Data UN-Comtrade (2011) mengindikasikan semakin maraknya ekspor ikan Tuna  illegal dari Indonesia ke Thailand. Pada Tahun 2000 tercatat dugaan ekspor ikan tuna Albacore secara illegal mencapai 52 persen dari total volume ekspor ikan tuna Albacore Indonesia ke Thailand, yaitu mencapai 271.419 Kg dengan nilai mencapai 1.070.630 US $. Sementara itu pada Tahun 2010, dugaan ekspor ikan tuna Albacore illegal ke Thailand semakin meningkat sampai 69,20 persen dari total volume ekspor ikan tuna Albacore Indonesia ke Thailand. Volume ekspor ikan tuna Albacore illegal dari Indonesia ke Thailand tahun 2010 diperkirakan mencapai 2.352.724 Kg dengan nilai mencapai 8.326.839 US $.
Pasokan bahan baku illegal tersebut rupanya dimanfaatkan oleh Thailand untuk memasok kebutuhan bahan baku Industri Pengolahan Ikan yang ada di negara tersebut. Thailand selama ini terkenal didunia sebagai pemasok utama produk ikan olahan, padahal sekitar 90 persen pasokan bahan bakunya berasal dari Indonesia dan Philipina. Hal ini terbukti pada Tahun 2010 UN-Comtrade memposisikan Thailand sebagai negara kedua terbesar dunia sebagai pemasok produk ikan olahan setelah China, sementara Indonesia hanya  puas di posisi ke 10 terbesar dunia. Total kontribusi Thailand terhadap total ekspor produk ikan olahan mencapai 20,2 persen, sementara Indonesia hanya berkontribusi sebesar 2,7 persen dari total ekspor produk ikan olahan dunia.
Berdasarkan hal tersebut sungguh sangat ironis, sumberdaya ikan Indonesia yang memiliki nilai ekonomis tinggi seperti tuna ternyata tidak dinikmati oleh para nelayan dan Industri Pengolahan Ikan dalam negeri. Di sisi lain, Unit Pengolahan Ikan Nasional setiap tahunnya berlomba-lomba terus meningkatkan impor bahan baku ikan pindang dan ikan asin. Kebijakan pengembangan industri pengolahan ikan pindang dan asin secara besar-besaran oleh KKP menunjukkan bahwa secara sistematis masyarakat Indonesia akan disuguhi oleh konsumsi ikan pindang dan ikan asin, dimana nilai kandungan gizi nya sangat rendah bahkan cenderung tidak ada. Sementara itu ikan segar yang memiliki kandungan gizi baik, lebih banyak di ekspor baik legal maupun illegal ke pasar internasional. Sehingga sangat wajar apabila kwalitas sumberdaya manusia Indonesia sulit untuk dapat berkembangan secara baik karena hanya disediakan konsumsi ikan pindang dan ikan asin.
Rekonstruksi Kebijakan Kelautan dan Perikanan
Berdasarkan kondisi tersebut, pemerintah dan para pemangku kebijakan kelautan dan perikanan hendaknya dapat duduk bersama dalam merekonstruksi kebijakan kelautan dan perikanan di masa yang akan datang. Keberpihakan kepada kelestarian sumberdaya ikan dan kepentingan nasional harus menjadi komitmen bersama. Oleh sebab itu ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam merekonstruksi kebijakan kelautan dan perikanan nasional, yaitu pertama, perlu ada grand design industrialisasi perikanan yang berpihak pada pengembangan sumberdaya manusia Indonesia di masa yang akan datang. Indonesia akan lebih maju kalau didukung oleh sumberdaya manusia yang baik dan SDM yang baik bisa dibentuk dengan adanya asupan gizi yang lebih baik. Oleh sebab itu industrialisasi perikanan nasional harus dapat mendukung pengembangan SDM nasional yang lebih baik. Namun demikian, kalau industrialisasi perikanan yang digalakan pemerintah saat ini penulis khawatir SDM nasional kedepan akan semakin terpuruk. Industrialisasi perikanan yang ada saat ini lebih mementingkan pemgembangan SDM negara lain, dibandingkan SDM negaranya sendiri. Hal ini terbukti dengan target industrialisasi perikanan untuk mengekspor ikan-ikan kwalitas baik dari Indonesia, seperti tuna, cakang, udang, ikan-ikan karang dan ikan-ikan kwalitas baik lainnya. Sementara itu kebutuhan konsumsi ikan dalam negeri cukup disediakan ikan asin dengan bahan baku impor dari negara lain. Pertanyaannya sekarang, ahli gizi mana yang dapat menjelaskan  bahwa ikan asin dapat meningkatkan kwalitas SDM nasional.
Pemerintah harusnya tetap konsisten dalam menjalankan undang-undang perikanan nasional. Dalam Pasal 25B Ayat (2) UU No 45 Tahun 2009 tentang Perubahan UU No 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan ditegaskan bahwa pengeluaran hasil produksi usaha perikanan ke luar negeri (ekspor) dilakukan apabila produksi dan pasokan di dalam negeri telah mencukupi kebutuhan konsumsi nasional. Pasal 25B ini jelas sangat berpihak pada kepentingan nasional, namun demikian dalam implementasi dilapangan belum diikuti dengan kebijakan yang nyata. Hal ini terbukti dengan kebijakan Industrialisasi perikanan yang lebih mementingkan kebutuhan ikan negara lain. Industrialisasi perikanan jangan hanya dipandang bagaimana meningkatkan nilai ekspor produk perikanan saja, akan tetapi perlu memiliki agenda pembangunan SDM nasional yang lebih baik. Oleh sebab itu implementasi Pasal 25B Ayat (2) tersebut saat ini diperlukan guna meningkatkan kualitas SDM Nasional.  
Kedua, industrialisasi perikanan yang dikembangkan harus berbasiskan bahan baku dalam negeri, jangan impor, sehingga pengembangan Industri pengolahan ikan jangan dipusatkan di pulau Jawa, akan tetapi harus dikembangkan di pusat-pusat bahan baku seperti di kawasan Indonesia Bagian Timur. Oleh sebab itu dukungan infrastruktur seperti listrik, bahan bakar minyak, air bersih dan transportasi antar pulau di kawasan Indonesia Bagian Timur perlu segera dibenahi. Sementara itu, untuk menjaga ketersediaan bahan baku sepanjang tahun, pemerintah perlu secepatnya membentuk Bulog Perikanan. Hal ini diperlukan mengingat produksi ikan para nelayan sangat tergantung kondisi cuaca, sehingga keberadaan Bulog Perikanan diperlukan guna mengatur manajemen ketersediaan bahan baku ikan untuk UPI dan kebutuhan konsumsi langsung masyarakat.
Ketiga, pengembangan industrialisasi perikanan hendaknya tidak hanya difokuskan untuk komoditas ikan, akan tetapi perlu dikembangkan untuk industri pengolahan rumput laut. Hal ini disebabkan dalam sepuluh tahun terakhir produksi rumput laut terus menunjukkan peningkatan yang sangat signifikan, bahkan saat ini kontribusinya sudah diatas 60 persen dari total produksi perikanan budidaya.
Keempat, untuk mencegah semakin tingginya kasus ekspor ikan illegal dari Indonesia ke negara lain, Kementerian Kelautan dan Perikanan perlu meningkatkan pengawasan di perairan Indonesia. Karena dugaan kuat ekspor ikan illegal tersebut dilakukan di tengah laut oleh para oknum nelayan dan pengusaha perikanan nasional. Alhasil tanpa adanya perubahan perencanaan pembangunan perikanan yang baik, manajemen perikanan nasional akan semakin amburadul. Oleh sebab itu KKP perlu segera mereformulasi kebijakan perikanan nasional. 

Sumber : Tabloid Inspirasi, Agustus 2012

Saatnya Mewujudkan Negara Kepulauan Indonesia

"UUD 1945 Pasal 25E telah mengamantkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang"
”Untuk membangun Indonesia menjadi negara besar, negara kuat, negara makmur, negara damai yang merupakan National Building bagi negara Indonesia, maka negara dapat menjadi kuat jika dapat menguasai lautan. Untuk menguasai lautan, kita harus menguasai armada yang seimbang.” (Pidato Bung Karno yang disampaikan dalam National Maritime Convention I tahun 1963)