25 Juni 2009

PRODUK EKONOMI KREATIF BERBASIS KELAUTAN

Mengembangkan Ekonomi Kreatif Kelautan


Dalam sebuah diskusi terbatas di Jakarta beberapa waktu yang lalu, begawan ekonomi Indonesia Dawam Raharjo menyatakan bahwa kedepan pengembangan ekonomi harus diarahkan untuk pengembangan ekonomi yang berbasiskan sumberdaya dan pengetahuan lokal. seperti diketahui bahwa Indonesia sangat kaya dengan sumberdaya dan pengetahuan lokal, salah satunya adalah sumberdaya laut.
Istilah "ekonomi kreatif" pertama kali ditawarkan John Howkins, penulis buku Creatif Economy, How People make money from Ideas. Ia produser film di Inggris yang paling aktif menyuarakan ekonomi kreatif pada pemerintah Inggris dan banyak terlibat dalam diskusi pembentukan ekonomi kreatif di Eropa (Subardjo 2009).
Dr. Ricard Florida, penulis The Rise of Creative class dan Cities and Creative Class serta pemegang nobel ekonomi Robert Lucas menyatakan kekuatan yang menggerakan pertumbuhan dan pembangunan ekonomi kota atau daerah dapat dilihat dari tingkat produktivitas cluster, orang-orang bertalenta kreatif atau manusia-manusia yang menggunakan ilmu pengetahuan (Subardjo 2009).
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat pembukaan Trade Expo Indonesia (TEI) 2008 di Pekan Raya Jakarta, 21 Oktober 2008, menyatakan ekonomi kreatif telah menjadi salah satu lokomotif perekonomian Indonesia. Ini terlihat dari pergeseran sektor pertanian dan industri ke jasa ekonomi kreatif (Subardjo 2009).
Di sektor kelautan, aktivitas ekonomi kreatif sebenarnya sudah mulai terlihat. Misalnya pengembangan kerajinan berbahan baku kulit kerang, pemanfaatan buah mangrove dll. Namun demikian dibeberapa wilayah hasil-hasil kreatif para masyarakat pesisir tersebut masih terkendala dengan pemasaran hasil produksi. Kurangnya perhatian pengembangan pemasaran ini sangat menghambat berkembangnya ekonomi kretaif berbasikan sumberdaya laut tersebut.

24 Juni 2009

Ikan Patin : Impor atau Menyelamatkan Produk Dalam Negeri ?

Membaca dua berita dibawah ini sungguh menggelikan, tapi harus diakui bahwa inilah kinerja pemerintah (DKP) dalam menangani perikanan. Disatu sisi pemerintah pusat mengatakan bahwa kita kekurangan produksi ikan patin sehingga harus megimpor ikan patin. Sementara di Jambi, pemeritah daerah menyebutkan Jambi sejak tahun 2008 sudah kelebihan Ikan Patin dan kesulitan pemasaran. Bahkan hasil riset saya sendiri di wilayah Kalimantan Tengah, pada tahun 2007-2008 juga mengalami kelimpahan produksi ikan patin di tingkat pembudidaya ikan. Kenapa pemerintah kita lebih senang mengimpor ikan patin daripada menampung dan memasarkan hasil budidaya ikan nasional ?

Suhana
Kontak : 081310858708



Berita 1. Indonesia Masih Impor Ikan Patin dan Kembung

By Republika Newsroom
Selasa, 23 Juni 2009 pukul 15:50:00
YOGYAKARTA -- Budidaya ikan lele dan ikan patin di Indonesia dinilai masih cukup prospektif. Pasalnya hingga saat ini untuk memenuhi konsumsi dalam negeri pemerintah masih impor ikan Patin 1.300 Ton/tahun dari Vietnam.

''Karenanya harus mulai dipikirkan sejak sekarang bagaimana budidaya ikan tawar baik patin maupun lainnya di Indonesia,'' tandas Martani Husaini, Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan Departemen kelautan dan Perikanan (DKP) pada acara //catfish day// di Yogyakarta, Selasa kemarin.

Menurutnya, untuk memenuhi konsumsi ikan tawar dalam negeri, Indonesia masih tergantung impor dari beberapa negara tertangga seperti Vietnam untuk ikan Patin dan Pakistan untuk Ikan Kembung. Dengan kenyataan ini maka budidaya ikan air tawar dalam negeri sebenarnya cukup menjanjikan.

Untuk itulah, guna mendorong tumbuhnya budidaya perikanan darat, DKP dalam kesempatan tersebut memberikan bantuan sebesar Rp 1,8 miliar untuk 49 kelompok petani ikan air tawar di DI Yogyakarta. Dana itu diharapkan dapat membantu petani meningkatkan produksi ikan budidaya yang tengah dijalankan.

Martani menambahkan melihat kecenderungan atau trend dunia ada penurunan tangkapan ikan laut secara global. Mengantisipasi kondisi tersebut, kebutuhan masyarakat akan protein yang banyak terkandung dalam ikan disubtitusi dari hasil perikanan budidaya.

"Besarnya pasar ikan patin di dunia, tak boleh terlewat. Targetnya di tahun 2020 kalau bisa kebutuhan konsumsi dalam negeri bisa terpenuhi," tegasnya.

Dicontohkan, keberhasilan petani Vietnam dalam budidaya ikan patin, mulai diadopsi oleh petani ikan provinsi Jambi setelah mereka melakukan kunjungan ke negeri tersebut . Caranya dengan meniru cara petani di Vietnam yang memanfaatkan sungai Mekong untuk budidaya.

"Saya kira, hal serupa juga bisa diterapkan di daerah lain. Provinsi Jawa Tengah punya Bengawan Solo, di Yogyakarta ada Code, Selokan Mataram dan sungai lain seperti Mahakam di Kalimantan Timur, bisa dimanfaatkan untuk budidaya ikan patin," kata Martani Husaini. yli/ahi

Berita 2. Petani Keramba Ikan Patin Kesulitan Pemasaran

Jambi, Batak Pos, Senin, 2009 Maret 23

Ratusan petani ikan keramba jenis Patin Jambi mengeluhkan sulitnya pemasaran hasil budidaya ikan mereka. PT.Manggalindo, satu-satunya perusahaan procesing ikan Patin Jambi tidak mampu menampung hasil panen petani ikan keramba tersebut.

Bahkan kini petani keramba ikan patin Jambi mengalihkan jenis ikan keramba ke ikan Nila dan ikan mas. Hal itu dilakukan karena sulitnya memasarkan ikan patin di Jambi. Selain kesulitan pemasaran, harga juga kurang menguntungkan petani.

Ketua Kelompok Tani Desa Lopak Aur, Muarojambi, Amin, kepada Batak Pos, Kamis (18/3) mengatakan, produksi budidaya petani ikan keramba kini mulai resah akibat tidak adanya pemasaran yang jelas. Para petani meminta agar perusahaan PT Manggalindo menampung seluruh hasil panen petani.

“Perusahaan itu menjual paken ikan ratusan ton setiap minggunya. Mereka menjanjikan akan menampung hasil panen ikan keramba petani. Namun, panen raya Juli lalu, tidak semuanya ditampung dengan alasan kesulitan mengekspor ikan patin dengan alasan jalan kurang memadai,”katanya.

Menurut Amin, produksi petani keramba di Desa Lopak Aur mencapai puluhan ton per keramba. Sementara panen raya sekali dalam enam bulan dengan jumlah keramba 50 unit keramba. Bahkan penambahan keramba tahun 2008 lalu mencapai 400 unit keramba.

Bantauan program budidaya ikan patin Jambi dari Dinas Perikanan dan Kelauatan (DKP) Provinsi Jambi akan sia-sia karena tidak menguntungkan petani. Bahkan kini petani mulai meninggalkan keramba ikan di Sungai Batanghari dan beralih ke ikan tambak.

Menanggapi keluhan petani keramba Lopak Aur, Anggota DPRD Provinsi Jambi, Ir Sjafril Alamsyah mengakatan, proses pelaksanaan budidaya ikan keramba sudah menyimpang dari jalur.

“Seharusnya pihak eksekutif dari awal memikirkan pemasaran hasil produksi ikan keramba tersebut. Sehingga hasil panen keramba langsung terdistribusi sehingga petani tidak merugi. Kita minta eksekutif menyikapi keluhan masyarakat tersebut,”katanya.

Menurutnya, sebaiknya Pemerintah Provinsi Jambi mengalihkan program budidaya ikan patin Jambi ke ikan nila atau ikan mas. Karena jenis ikan tersebut lebih mendapat pangsa pasar di Jambi serta menguntungkan petani ikan. ruk

22 Juni 2009

Pelabuhan Mengkhawatirkan

" Pelabuhan Mengkhawatirkan "
Senin, 22 Juni 2009 01:46 WIB
Posting by : warso

JAKARTA , Gabungan Asosiasi Pengusaha Perikanan Indonesia (Gappindo) menyatakan masih sedikit pengusaha siap menghadapi wajib sertifikasi hasil perikanan tangkap untuk ekspor ke Uni Eropa (UE) pada 2010. Sementara pengamat mengkhawatirkan kesiapan pemerintah dalam membenahi infrastruktur pelabuhan perikanan.

Anggaran DKP yang minim akan menyulitkan pemenuhan target revitalisasi pelabuhan perikanan. Ekspor sulit meningkat apabila kondisi pelabuhan tetap buruk.

JAKARTA , Gabungan Asosiasi Pengusaha Perikanan Indonesia (Gappindo) menyatakan masih sedikit pengusaha siap menghadapi wajib sertifikasi hasil perikanan tangkap untuk ekspor ke Uni Eropa (UE) pada 2010. Sementara pengamat mengkhawatirkan kesiapan pemerintah dalam membenahi infrastruktur pelabuhan perikanan.

“Sebagian masih banyak yang belum siap. Hanya beberapa yang sudah siap, seperti dari asosiasi tuna, saya rasa mereka yang paling siap,” kata Ketua Umum Gabungan Asosiasi Pengusaha Perikanan Indonesia (Gappindo) Herwindo di Jakarta, Minggu (21/6).

Asosiasi lain yang menurut dia cukup siap menghadapi wajib sertifikasi hasil perikanan tangkap yang diterapkan Uni Eropa tanggal 1 Januari 2010 yakni Himpunan Pengusaha Penangkapan Udang Indonesia (HPPI). “HPPI sepertinya sudah ada sertifikasi itu, karena saya lihat mereka sudah sangat teratur (dalam pendataan),” ujar Herwindo.

Sertifikasi itu merupakan bagian dari pemberantasan illegal, unregulated, unreported (IUU) fishing. Ketentuan ini tidak berlaku bagi produk perikanan hasil kegiatan budi daya (air tawar, payau, dan laut), produk perikanan air tawar, ikan hias, kekerangan, rumput laut, scallops, oyster, dan ikan lainnya.

Pengamat perikanan dan kelautan optimistis, para pengusaha, terutama yang bisnisnya sudah berorientasi ekspor, akan mampu memenuhi persyaratan itu. Menurut Kepala Divisi Riset Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim (PK2PM) Suhana, titik rawan kegagalan sertifikasi ini justru pada kesiapan pemerintah dalam membenahi infrastruktur pelabuhan. “Kondisi pelabuhan perikanan yang masih sangat buruk dan belum ada satu pun yang memenuhi standar UE,” tuturnya.

Bayang-bayang kegagalan itu, tambah Suhana, terlihat dari anggaran Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) yang sangat minim. Untuk 2010, DKP hanya dikucuri 3,097 triliun atau turun 10,14 persen dibandingkan anggaran 2009. Padahal, DKP berencana merevitalisasi sekitar 175 titik lokasi pelabuhan pada tahun ini.

“Angka ini jauh sekali dari yang didapatkan Departemen Pertanian yang mendapatkan anggaran 18 triliun rupiah hanya untuk subsidi benih dan pupuk subsidi 18 triliun. Sementara anggaran Deptan sendiri mencapai 8 triliun rupiah,” terangnya.

Bila infrastruktur pelabuhan terus terbengkalai, kata Suhana, tidak ada harapan lagi untuk menggenjot ekspor produk perikanan ke UE. Padahal, pemerintah telah menargetkan kenaikan ekspor hasil perikanan ke UE senilai 10 juta dollar AS per tahun. Ekspor perikanan ke US pada 2007 mencapai 298 juta dollar AS.

Direktur Pemasaran Luar Negeri DKP, Saut P Hutagalung, menegaskan Indonesia harus siap menghadapi wajib sertifikasi perikanan itu. “Semua dalam tahap persiapan dan perlu waktu. Para pelaku usaha tentu ada kekhawatiran hal ini dapat mengganggu kelancaran ekspor perikanan. DKP mulai melakukan sosialisasi pendahuluan pada Oktober-November 2008,” ujarnya.



Produksi Meningkat

Sementara itu, produksi perikanan laut di Jawa Tengah cenderung meningkat. Kabag Produksi Pusat Koperasi Unit Desa (Puskud) Mina Baruna Jateng, Mahmud, mengatakan hingga Mei 2009, hasil produksi tangkapan ikan di wilayah itu mencapai 51.518,87 ton dengan nilai 291,28 miliar rupiah.

“Jumlah tersebut meningkat dibandingkan pada Mei 2008 sebesar 49.783,64 ton dengan nilai 258,10 miliar rupiah,” ujarnya. Hasil tersebut merupakan perolehan hasil keseluruhan produksi perikanan dari 77 tempat pelelangan ikan (TPI) yang ada di Jateng.

Pada 2008, total produksi ikan hasil tangkapan nelayan di Jateng mencapai 148.597,17 ton dengan nilai 830,69 miliar rupiah. Menurut Mahmud, sebagian besar produksi perikanan itu diekspor seperti rajungan, lobster, ikan tuna, layur, ikan teri nasi, ikan bawal, dan cakalang. (lha/SM/Ant/N-1)

Sumber : http://www.koran-jakarta.com/ver02/detail-news.php?idkat=31&&id=11214

10 Juni 2009

Atlantic Bluefin Tuna

The Food and Agriculture Organisation takes an up-close look at Thunnus thynnus , the Bluefin Tuna.
FAO

Diagnostic Features

A very large species, deepest near middle of first dorsal fin base. Gillrakers 34 to 43 on first arch. Second dorsal fin higher than first dorsal; pectoral fins very short, less than 80 per cent of head length (16.8 to 21. per cent of fork length), never reaching the interspace between the dorsal fins.

Ventral surface of liver striated. Swimbladder present. Vertebrae 18 precaudal plus 21 caudal. Colour: lower sides and belly silvery white with colourless transverse lines alternated with rows of colourless dots (the latter dominate in older fish), visible only in fresh specimens; first dorsal fin yellow or bluish; the second reddish-brown; anal fin and finlets dusky yellow edged with black; median caudal keel black in adults.

Distribution Map
Geographical Distribution

There are at least 2 subspecies, one in the Atlantic and one in the Pacific.The Atlantic subspecies is found from Labrador and Newfoundland south into the Gulf of Mexico and the Caribbean Sea and is also known off Venezuela and Brazil in the western Atlantic; in the eastern Atlantic it occurs from the Lofoten Islands off Norway south to the Canary Islands and the Mediterranean Sea. There is also a population off South Africa. The Pacific subspecies is known from the Gulf of Alaska to southern California and Baja California in the eastern Pacific; in the western Pacific, it occurs from Sakhalin Island in the southern Sea of Okhotsk south to the northern Philippines.
Habitat and Biology

Epipelagic, usually oceanic but seasonally coming close to shore.Northern bluefin tuna tolerate a wide range of temperatures. Up to a size of 40 to 80 kg, they school by size, sometimes together with albacore, yellowfin, bigeye, skipjack, frigate tuna, eastern Pacific bonito and/or yellowtail amberjack (Seriola lalandi).

In the northeastern Pacific, T. thynnus tend to migrate northward along the coast of Baja California and California from June to September. Off the Pacific coast of Japan they migrate northward in summer and southward during winter. Large fish may enter the Sea of Japan from the south in early summer and move as far north as the Okhotsk Sea; most leave the Sea of Japan through Tsugara Strait, north of Honshu. Onset of maturity is at about 4 or 5 years,and large adults (age 10 +) are known to spawn in the Gulf of Mexico and in the Mediterranean Sea. In the Pacific, spawning occurs northeast of the Philippines. In recent surveys, larvae have been discovered east of the Kuroshio, in the transitional fronts.

Females weighing between 270 to 300 kg may produce as many as 10 million eggs per spawning season. Variations in the food spectrum are attributed primarily to behavioural differences in feeding. 'Vigorous pursuit' would be required to prey on small schooling fishes (anchovies, sauries, hakes) or on squids, while 'modified filter-feeding' is used to feed on red crabs and other less agile organisms.In turn, northern bluefin tuna are preyed upon by killer whales (Orcinus orca), pilot whales and blackfish. However, the rather large size of adults drastically reduces the number of potential predator species.
Size

Maximum fork length over 300 cm; common to 200 cm. The all-tackle angling record is a 679 kg fish of 304 cm fork length taken off Aulds Cove, Nova Scotia in 1979. The biggest fish in the various North Atlantic fisheries range between 540 and 560 kg in recent years. In the warmer waters off the Canary Islands, the biggest fish in commercial catches range between 350 and 400 kg.

Global Capture production for
Thunnusthynnus
(Fao Fishery Statistic)


Global Aquaculture production for
Thunnusthynnus
(Fao Fishery Statistic)
Interest to Fisheries

Catch statistics were reported by 25 countries for 9 fishing areas, Fishing Area 61 alone accounting for almost half the total. The country taking the largest catches of northern bluefin tuna is Japan (28 628 t in 1981), and it operates in almost all fishing areas with its long-distance fleets. World catches of T. thynnus have remained more or less stable oscillating around 36 000 t between 1975 and 1980, while in 1981 they increased to 46 000 t (FAO, 1983). T. thynnus is caught with different types of gear, such as trap nets, purse seines, longlines, trolling lines and others. Some of the oldest fisheries documented are Mediterranean trap fisheries. Off Sicily, northern bluefin tuna are traditionally caught in the "tonnare" (Tuna trap fishing), or by harpooning from the "antenna" vessels. Traps similar to the "tonnare" are also used off southern Spain and Morocco. The species also formed the basis of ancient specialized fisheries off the eastern USA and Canada, and is presently avidly sought by big game fishermen on hooks and lines.

It is marketed fresh or deep frozen in Japan; the belly portion fetches particularly high prices when containing much fat.In late 1982, the International Commission for the Conservation of Atlantic Tunas (ICCAT) increased the 1983 catch limit for the western Atlantic to 2 660 t. This quota is subsequently divided among the contracting parties (Canada, Japan and USA). Concern about the continued low level of abundance of small northern bluefin tuna resulted in an ICCAT decision to limit the catch of fish smaller than 120 cm to 15% by weight of the total catch in the western Atlantic.

In these waters, the fisheries are also controlled through number of licences, limitation of fishing season, minimum size and maximum-catch-per-boat-and-day-regulations. The sport fishing boats are also obliged to report a descriptive log of their operations on a weekly basis, and use prescribed gear. The total catch reported for this species to FAO for 1999 was 53 536 t. The countries with the largest catches were Japan (15 868 t) and France (6 741 t).

June 2009

Saatnya Mewujudkan Negara Kepulauan Indonesia

"UUD 1945 Pasal 25E telah mengamantkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang"
”Untuk membangun Indonesia menjadi negara besar, negara kuat, negara makmur, negara damai yang merupakan National Building bagi negara Indonesia, maka negara dapat menjadi kuat jika dapat menguasai lautan. Untuk menguasai lautan, kita harus menguasai armada yang seimbang.” (Pidato Bung Karno yang disampaikan dalam National Maritime Convention I tahun 1963)