30 Juli 2013

Dual Ekonomi dan Konservasi Berbasis Lokal



Oleh : Suhana
Kepala Riset Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim


Konservasi merupakan salah satu upaya untuk melindungi sumberdaya sumberdaya ikan dan biota laut lainnya dari kepunahan. Berbagai upaya telah dilakukan baik oleh masyarakat lokal dan pemerintah dalam upaya melakukan konservasi di wilayah laut. Namun demikian pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah dengan masyarakat lokal sangat jauh berbeda. Pemerintah lebih mengedepankan peran asing dalam melakukan konservasi diwilayah nasional, sehingga mulai dari konsep dan sistem pendanaannya pun sangat menggantungkan dari utang dan hibah luar negeri. Sementara itu pendekatan yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam melindungi sumberdaya diwilayah laut dan pesisir adalah dengan pendekatan dual ekonomi (ekonomi ganda) yang sudah berjalan turun temurun dimasyarakat.
Konservasi Berbasis Utang
Konservasi berbasis utang luar negeri yang dikembangkan oleh pemerintah melalui program rehabilitasi dan pengelolaan terumbu karang (Coremap) tidak berjalan optimal, sehingga akhirnya hanya menambah beban utang luar negeri nasional. Hasil audit BPK (2013) menyimpulkan bahwa program Coremap yang telah dilakukan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan dan dinas kelautan dan perikanan provinsi/kabupaten/kota belum efektif dilaksanakan secara optimal. Kesimpulan BPK (2013) tersebut didasarkan pada temuan-temuan dilapagan, yaitu kegiatan penyadaran masyarakat belum efektif, perangkat kelembagaan perlindungan ekosistem terumbu karang tidak optimal, pengelolaan dana bergulir desa belum optimal, pengelolaan prasarana fisik desa yang berasal dari dana COREMAP tidak optimal, kegiatan pengembangan matapencaharian alternatif (MPA) pada Kota Batam dan Kabupaten Bintan Kepulauan Riau tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat, pembangunan fasilitas pondok informasi untuk mengakses informasi pengelolaan terumbu karang tidak efektif, Radio Sistem MCS milik PMU Kabupaten Buton tahun 2010 senilai Rp. 1.800.000.000 yang berasal dari dana pinjaman luar negeri dan APBD tidak dimanfaatkan, pengawasan dan perlindungan di kawasan terumbu karang dengan menggunakan perahu pengawas tidak tercapai, indikator biofisik dan sosial ekonomi di lokasi COREMAP tidak menunjukan pencapaian signifikan, dan program Coremap II belum efektif menjamin perlindungan terumbu karang.
Namun demikian walaupun hasil audit BPK menunjukan ketidakefektifan program konservasi berbasis utang tersebut, Kementerian Kelautan dan Perikanan tetap tidak peduli. KKP tetap memilih memperbesar utang luar negeri untuk membiayai program-program yang sudah terbukti tidak efektif tersebut, dibandingkan untuk melihat dan memperdalam sistem konservasi yang sudah berjalan turun-temurun di masyarakat nusantara. Padahal sistem konservasi berbasis lokal tersebut terbukti cukup efektif bagi kelestarian lingkungan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.  
Dual Ekonomi dan Sistem Konservasi Lokal
Sistem konservasi laut yang berkembang dimasyarakat lokal lebih didorong oleh sistem dual ekonomi yang ada dimasyarakat pesisir. Dual ekonomi (ekonomi ganda) adalah kegiatan ekonomi masyarakat pesisir berbasis kelautan/perikanan dan pertanian. Model dual economics ini sudah berkembang di wilayah pesisir, khususnya masyarakat di pulau-pulau kecil yang ada di seluruh wilayah Indonesia. Tinjauan penulis di dua lokasi yang berbeda, yaitu di Desa Pulau Lemukutan Kabupaten Bengkayang Kalimantan Barat (2013) dan Desa Autubun Kabupaten Maluku Tenggara Barat (2007) menunjukkan bahwa sistem dual ekonomi tersebut cukup efektif dalam menjaga kelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat lokal.
Tinjauan penulis (2013) di masyarakat Pulau Lemukutan Kabupaten Bengkayang Kalimantan Barat sistem ekonominya cenderung dibentuk oleh musim Cengkeh dan Ikan. Cengkeh merupakan komoditas utama penggerak ekonomi masyarakat Pulau Lemukutan. Musim Cengkeh biasanya berlangsung pada Bulan April-Juli setiap tahunnya. Pada musim Cengkeh, aktivitas menangkap ikan cenderung tidak dilakukan oleh masyarakat Pulau Lemukutan. Masyarakat lebih terkonsentrasi dalam memanen cengkeh. Harga cengkeh saat ini di Pulau Lemukutan sekitar Rp. 100.000 – Rp. 130.000 per kilogram, sementara harga Cengkeh di Kota Singkawang tempat masyarakat menjual hasil panen nya berkisar antara Rp. 130.000 – Rp. 150.000 per kilogram. Harga tersebut tentu lebih tinggi dibandingkan harga ikan yang cenderung tidak pernah mengalami peningkatan. Berhentinya aktivitas menangkap ikan disaat musim panen cengkeh ternyata berdampak positip bagi kelestarian sumberdaya ikan dan ekosistem pesisir seperti terumbu karang. Hasil survey (2013) menunjukan bahwa di sekitar Pulau Lemukutan tersebut masih ditemukan ikan-ikan kerapu dengan panjang lebih dari satu meter yang berenang bebas di sekitar perairan tersebut. Selain itu juga kondisi terumbu karang masih sangat terjaga dengan baik, ikan-ikan karang pun masih cukup banyak. Inilah sistem ekonomi yang berdampak baik bagi kesejahteraan masyarakat dan kelestarian sumberdaya alam yang ada di sekitarnya. Oleh sebab itu sistem ekonomi yang sudah berlangsung secara turun temurun tersebut perlu didukung oleh kebijakan pemerintah dan pemerintah daerah yang berpihak pada keberlangsungan sistem ekonomi lokal tersebut.
Hal yang sama juga terjadi di masyarakat gugusan Kepulauan Tanimbar Kabupaten Maluku Tenggara Barat, khususnya di desa Autubun Kecamatan Wertambrian. Masyarakat disana masih memiliki kearifan lokal yang sampai saat ini masih terjaga secara baik, yaitu sasi. Sasi merupakan aturan adat yang melarang pengambilan/pemanenan hasil laut atau hasil kebun (kelapa) pada periode tertentu. Larangan ini akan dicabut oleh  Latupati  yang menandai masa panen atau biasa disebut “buka sasi”. Jika sasi diperlakukan di pesisir, maka wilayahnya sampai pada meti- istilah lokal untuk daerah pasang surut. Setiap wilayah sasi memiliki petuanan, kalau di Saumlaki disebut sebagai Mangfwaluruk. Sasi yang ada di Desa Autubun dapat dibagi menjadi dua, yaitu pertama, sasi darat, yaitu sasi yang dilakukan diwilayah darat, seperti sasi kelapa, sasi kayu besi, sasi kayu lenggoa, sasi kemiri dan sasi kayu kuning. Kedua, sasi laut, yaitu sasi yang diterapkan di wilayah perairan laut, seperti sasi lola, sasi teripang dan sasi batulaga.
            Berdasarkan hal tersebut, perbedaan mendasar dari konservasi berbasis lokal dengan utang luar negeri adalah dalam sistem lokal, sistem ekonomi yang dibentuk di masyarakat adalah dual ekonomi. Sehingga masyarakat memiliki aktivitas ekonomi ganda yang saling mendukung dan selaras dengan upaya melestarikan sumberdaya ikan dan biota lainnya yang ada disekitar pesisir. Sementara dalam sistem konservasi yang diusung pemerintah selama ini lebih memfokuskan untuk mengembangkan Mata Pencaharian Alternatif (MPA) guna mengurangi aktifitas penangkapan ikan atau biota lainya di wilayah perairan,sehingga wajar hasilnya pun hanya sebatas alternatif saja. Akibatnya sistem konservasi berbasis MPA tersebut tidak berdampak terhadap kelestarian sumberdaya ikan dan biota laut lainnya.
Alhasil, pendekatan pelestarian sumberdaya pulau-pulau kecil, pesisir dan laut hendaknya mengedepankan nilai-nilai lokal yang telah berkembang turun temurun diwilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di seluruh wilayah nusantara. Sementara itu pelestarian sumberdaya pulau-pulau kecil, pesisir dan laut berbasiskan utang asing hanya akan mencederai tujuan mulia tersebut dan hanya akan membebani utang pemerintah.

Catatan :
Tulisan ini dimuat pada Harian Sinar Harapan Edisi Tanggal 19 Juli 2013.
Linknya dapat dilihat di : http://cetak.shnews.co/web/read/2013-07-19/15494/dual.ekonomi.dan.konservasi.berbasis.lokal#.Ufc2rm2CDwU

Saatnya Mewujudkan Negara Kepulauan Indonesia

"UUD 1945 Pasal 25E telah mengamantkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang"
”Untuk membangun Indonesia menjadi negara besar, negara kuat, negara makmur, negara damai yang merupakan National Building bagi negara Indonesia, maka negara dapat menjadi kuat jika dapat menguasai lautan. Untuk menguasai lautan, kita harus menguasai armada yang seimbang.” (Pidato Bung Karno yang disampaikan dalam National Maritime Convention I tahun 1963)