23 September 2009

Jalur Nenek Moyang, Jalur Ilegal Masuk Filipina Selatan

[ Selasa, 22 September 2009 ]
Jalur Nenek Moyang, Jalur Ilegal Masuk Filipina Selatan
Nelayan Pemberani Pasang Tarif Rp 3 Juta

Sebanyak 35 nama militan Indonesia yang terdeteksi di kamp-kamp Minda­nao Selatan dan Tengah diperkirakan bertambah. Sebab, jalur masuk Indonesia-Filipina relatif "mudah" diterobos oleh pendatang ilegal.

---

JALUR masuk itu melalui pulau-pulau terluar di Sulawesi Utara (biasa disebut Kepulauan Nusantara Utara, disingkat Nusa Utara, Red), kemudian masuk ke Mindanao. Banyak jalur untuk masuk secara ilegal dari Sulawesi Utara (Sulut) ke Mindanao. Begitu pula sebaliknya.

Orang-orang di sana biasa menyebutnya sebagai "jalur nenek moyang", mengacu pada rute perjalanan yang ditempuh orang-orang Sangihe dan Mindanao Selatan zaman dulu. Sepanjang 2008, Polda Sulut memperkirakan, total pelintas batas -baik legal maupun ilegal- 30 ribu orang. Bila satu persennya saja kelompok militan, berarti sekitar 300 orang belajar militer secara ilegal setiap tahun.

Banyak rute yang menghubungkannya. Di antaranya, "jalur resmi" via Pulau Marore dan Pulau Miangas. Yang dimaksud jalur resmi adalah semacam pos imigrasi yang memberikan pass border hanya untuk warga sekitar. ''Namanya border crossing area,'' kata Kasi Umum Imigrasi Tahuna Stevie Warouw.

Artinya, pos imigrasi itu ditujukan untuk pelintas batas warga sekitar yang memang keperluannya mengharuskan mondar-mandir Filipina-Indonesia. Untuk itu, imigrasi memberikan semacam pass border kepada mereka.

Dari Pulau Marore, biasanya mereka menuju Pulau Balut atau Saranggani di Filipina sebelum sampai di Kota General Santos. Ada pos imigrasi Filipina di dua pulau itu. Total perjalanan yang dibutuhkan bila menggunakan rute via Marore-Mindanao Selatan sekitar 28 jam dari Pulau Sangihe.

Dari Miangas, biasanya mereka langsung ke Pelabuhan Davao, yang hanya berjarak empat jam perjalanan. Ada lagi jalur resmi lainnya. Yakni, ikut kapal barang dari Manado ke Davao. Biasanya, kapal tersebut berangkat sebulan sekali dengan jadwal yang tak bisa ditentukan.

Untuk jalur tak resmi, pilihannya lebih banyak lagi. Yakni, menyewa kapal pump boat dari Indonesia langsung ke Jen-San (pelafalan orang-orang sekitar sebagai akronim dari Kota General Santos). Tak semua pulau menjadi sentra ''carteran" pump boat. Pump boat adalah semacam kapal kayu bermesin dengan jukung berukuran sekitar 2 x 6 meter.

Tentu saja, pulau-pulau tersebut minim penjagaan. Berdasar penelusuran Jawa Pos, orang-orang yang bersedia menyeberangkan berasal dari Pulau Tinakareng, Pulau Kawaluso, atau Pulau Matutuang.

Namun, yang paling terkenal adalah Pulau Tinakareng. Pulau yang hanya mempunyai empat kampung (dan bila penduduk kampung A mau ke kampung B harus lewat laut) tersebut sejak dulu dikenal sebagai kampung nelayan-nelayan pemberani. Selain itu, pulau tersebut dikenal sebagai sentra penyelundupan. Hingga kini, Pulau Tinakareng masih menjadi jujukan para pencari minuman beralkohol kelas atas dari Filipina dengan harga sangat miring.

Di antara tiga pulau itu, Jawa Pos menjajaki tarif dan lamanya rute nenek moyang tersebut. Ada beberapa alternatif. Bila ingin sedikit nyaman, bisa menyewa perahu fuso, sebuah perahu barang agak besar. Namun, tarifnya sangat tinggi. Di Kawaluso saja (yang relatif lebih dekat ke Jen-San), nelayan mematok paling rendah Rp 8 juta.

Namun, bila kenyamanan agak diabaikan (karena toh tak berbeda jauh tingkat kenyamanannya), bisa menggunakan pump boat. Di Tinakareng, Jawa Pos bertemu seorang nelayan yang mau mengantarkan ke Jen-San dengan harga miring. Yakni, Rp 3 juta sebagai ongkos perjalanan plus Rp 900 ribu sebagai ongkos beli solar.

''Nanti Mas saya jemput di Petta (salah satu pelabuhan di Pulau Sangihe, Red) karena ketat di sini (Tinakareng, Red). Kalau jadi, kita berangkat siang supaya ketika masuk Fili­pina malam. Kalau masuk siang, ditangkap tentara Filipina. Ka­rena pump boat dilarang masuk kalau siang,'' ucap Raffles, nama nelayan yang bersedia mengantar tersebut.

Perjalanan ke Jen-San menempuh waktu 15 jam. Risikonya tinggi karena kapal sekecil itu harus menempuh lautan lepas Pasifik sebelum masuk Filipina. Apalagi, cuaca laut Juni-Desember tak pernah bisa diprediksi.

Sebenarnya, upaya pengetatan dan pengawasan telah dilakukan. Kebetulan yang jadi Kapolda Sulut adalah Brigjen Pol Bekto Suprapto, mantan Kadensus 88 Antiteror Mabes Polri. Karena menguasai betul, Kapolda menempatkan personel di sejumlah pulau-pulau tersebut. ''Sebisa mungkin kami meminimalkan jalur ilegal tersebut,'' tegas jenderal bintang satu itu.

Pengetatan itu terasa di Tinakareng. Ketika Jawa Pos masuk ke sana, sudah ada pos polisi dan pos militer di kampung yang hanya berpenduduk sekitar 20 KK tersebut. Selain diperiksa oleh tim dari Batalyon 712 Manado, Jawa Pos digeledah dan ditanya-tanya oleh personel Densus yang ditempatkan di sana.

Namun, tetap saja pengetatan itu belum secara maksimal mampu ''membendung" arus jalur nenek moyang tersebut. Buktinya, Jawa Pos bisa mendapatkan perahu dari Sangihe ke Jen-San, yang berarti jalur tersebut masih sangat mungkin menjadi jalur utama.

Selain itu, ada jalur dari Sandakan, Kalimantan, kemudian ke Tawi-Tawi, berlanjut ke Sulu, Basilan, dan Zamboanga. Dari sana langsung ke Cotabato City atau daerah mana pun yang menjadi areal kekuasaan MILF maupun Abu Sayyaf.

Begitu pula sebaliknya dari Filipina. Ketika Jawa Pos ke Jen-San, juga tak terlalu sulit mendapatkan perahu untuk mengantarkan balik ke Indonesia. Tarifnya pun lebih murah, yaitu 15 ribu Php (Philipines peso) atau sekitar Rp 3,5 juta. Itu sudah termasuk semua. Lebih murah lagi bila mencari pump boat dari Pulau Balut. ''Saya punya banyak teman di sa­na. Bisa dapat 13 ribu peso. Kalau serius, nanti saya hu­bungi,'' ucap Rico, nama nelayan yang juga mengaku sebagai orang Sangir (sebutan untuk Pulau Sangihe, Red) tersebut. Bahkan, dia menawarkan diri untuk mengantar hingga Dermaga Tahuna, bukan hanya Tinakareng. (ano/kum)

sumber : http://www.jawapos.co.id/halaman/index.php?act=detail&nid=91480

Tidak ada komentar:

Saatnya Mewujudkan Negara Kepulauan Indonesia

"UUD 1945 Pasal 25E telah mengamantkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang"
”Untuk membangun Indonesia menjadi negara besar, negara kuat, negara makmur, negara damai yang merupakan National Building bagi negara Indonesia, maka negara dapat menjadi kuat jika dapat menguasai lautan. Untuk menguasai lautan, kita harus menguasai armada yang seimbang.” (Pidato Bung Karno yang disampaikan dalam National Maritime Convention I tahun 1963)