11 Juli 2009

Utamakan Membangun Daerah Perbatasan

Sinar Harapan, Kamis, 09 Juli 2009 14:37


OLEH: AT PARUNTU

Lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan serta upaya Malaysia mengklaim kawasan perairan Ambalat serta ditemukannya pemindahan patok perbatasan darat oleh masyarakat perbatasan sehingga jauh masuk ke wilayah Indonesia, kemudian ditanami pohon sawit, adalah indikasi bahwa kawasan perbatasan mengandung banyak potensi konflik apabila tidak diambil langkah-langkah konkret dengan membangunnya.
Wilayah Indonesia berbatasan darat dengan Malaysia di Kalimantan Barat (Kalbar) dan Kalimantan Timur (Kaltim), dan di Papua dengan Papua Nugini (PNG). Sementara itu, perbatasan laut Indonesia dengan Malaysia ada di Selat Malaka dan Laut China Selatan, serta perbatasan laut dengan Thailand di Selat Malaka dan Laut Andaman.
Selain itu, perbatasan laut Indonesia dengan Australia ada di selatan Pulau Tanimbar dan Pulau Timor; perbatasan laut dengan India di Samudra Hindia; perbatasan laut dengan Vietnam, PNG, dan Kepulauan Palau dengan Filipina. Kesemua perbatasan laut dengan negara tetangga telah ditandatangani perjanjiannya, secara yurisdiksi daerah dasar laut dan tanah di bawahnya adalah yuridiksi eksklusif Indonesia.

Membangun di Darat
Penulis mengusulkan sejumlah langkah untuk mengamankan wilayah perbatasan darat, yakni: pertama, penegasan perbatasan dengan membuat patok yang sulit dibongkar yang sudah disetujui kedua negara dalam komite perbatasan/General Border Committee yang bersidang setahun sekali, dipimpin Menteri Pertahanan (Menhan) Republik Indonesia (RI) dan Menhan Malaysia, serta Menhan RI dan Menhan PNG.
Kedua, TNI melaksanakan pengawasan dalam bentuk pengecekan langsung patok, apakah terjadi kerusakan, serta diperbaiki atau dilaporkan pada sidang GBC.
Ketiga, pilih kampung yang terdekat, kurang lebih 20-30 km dari perbatasan negara tetangga kemudian dibangun sarana dasar sosial, seperti sekolah dasar hingga sekolah kejuruan, puskesmas, serta pasar bagi rakyat.
Dengan demikian rakyat dapat menjual hasil pertanian serta mendapatkan kebutuhan pokok, dan para tokoh koperasi pemerintah daerah (pemda) setempat diajukan ke daerah perkembangan perbatasan.
Keempat, membuat jalan dengan aspal Buton yang menghubungkan dengan titik perbatasan negara tetangga dilengkapi dengan pos imigrasi serta pos Bea dan Cukai serta unsur keamanan pos polisi. Militer dengan kekuatan kecil digilir menempati barak yang tersedia di kampung yang dikembangkan.
Selanjutnya, ruas jalan ditarik ke belakang menghubungkan dengan kecamatan terdekat yang merupakan titik sentra ekonomi bagi masyarakat di perbatasan dan titik aju penugasan aparat keamanan untuk daerah perbatasan. Di tempat ini dibuat helipad, bila perlu dibuat air strip untuk didarati pesawat kecil seperti di Papua.
Kelima, dirikan stasiun relay untuk TV, radio, dan telepon nirkabel.

Bangun Daerah
Perbatasan Laut
Konsekuensi RI sebagai satu negara kepulauan terbesar di dunia maka tercatat 11.000 pulau yang belum diberi nama serta 16.000 pulau yang tidak ada penghuninya. Mengapa hal ini terjadi, ada beberapa kemungkinan, antara lain: 1) jarak yang jauh untuk dijangkau dengan transportasi laut/udara, 2) tidak tersedia air bersih, dan 3) kendala cuaca.
Bagaimana agar pulau-pulau itu tidak lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)? Jawaban paling gampang adalah dijaga dan ada patroli TNI. Padahal, Alutsista yang dimiliki TNI tidak memadai lagi. Pada sisi lain nilai kekayaan laut kita tak terhingga yang dicuri, akibat ketidakmampuan TNI menghadirkan kekuatan di laut perbatasan.
Belajar dari proses pengadilan di Mahkamah Internasional dengan lepasnya Sipadan dan Ligitan adalah pembelaan Malaysia dengan dalil effective occupation, yaitu Malaysia menggunakan pulau tersebut sebagai tempat pariwisata serta melakukan kegiatan lainnya. Padahal, sejak 1969 pulau tersebut menjadi status quo pemilikan RI-Malaysia yang 33 tahun kemudian pada 17 Desember 2002 menjadi kedaulatan Malaysia.
Strategi tunda pihak Malaysia berhasil, dan kini wilayah perairan Ambalat tidak boleh lepas juga dengan cara Malaysia menggunakan gun boat diplomacy. Kemudian, strategi tunda untuk penyelesaian yang sudah dimulai sejak perundingan 2005. Potensi pulau terluar yang merupakan bagian dari kedaulatan RI berpeluang seperti Sipadan-Ligitan sebagai daerah pariwisata atau tempat berlindung nelayan menghadapi cuaca yang tidak bersahabat, seperti tingginya gelombang ataupun kerusakan mesin.
Namun, bagi pulau terluar yang berdekatan dengan negara tetangga, beberapa hal yang memerlukan perhatian pemerintah 1) bangun landasan pesawat yang dapat didarati pesawat kecil, 2) bangun sarana jalan yang mengitari pulau tersebut guna menarik pariwisata dalam/luar negeri, 3) bangun sarana sosial puskesmas, SD, dan sekolah kejuruan, 4) bangun pasar setempat; bangun stasiun relay penyiaran dan telekomunikasi, 5) bangun fasilitas air bersih/sumur dalam, 6) bagi pulau-pulau terluar yang tidak punya potensi wisata kita bangun tugu yang besar model pintu gerbang, bertuliskan “Selamat Datang di Indonesia/Welcome to Indonesia”
Bagaimana pun pengaturan lalu lintas damai diketahui negara sahabat, yakni ALKI 1 sampai 3. Jadi bagi kapal asing yang melintasi laut teritorial dengan tidak melalui ALKI adalah kapal yang menyalahi aturan sehingga dapat ditangkap kapal patroli polisi serta kapal Bea Cukai, kapal Departemen Kelautan Perikanan, serta kapal perang RI.
Kelemahan kita adalah banyak kapal yang ditangkap tidak diproses sesuai hukum, padahal bila perlu ditenggelamkan bila mencoba melarikan diri. Di sinilah letak maraknya pencurian ikan, padahal apabila kita urut cara penginderaan, yang dilakukan angkatan udara (AU) serta angkatan laut (AL) yang melihat pelanggaran di laut segera didekati, kemudian diusir keluar atau didekati kapal perang yang sedang berpatroli dekat sasaran.
Kejadian pada 1998, di mana pesawat TNI AU berhasil mengusir kapal perang Prancis untuk melanjutkan perjalanannya dari Selat Sunda serta mendekati kapal perang Amerika Serikat (AS) di Laut Ambon untuk melanjutkan perjalanan dan tidak boleh berhenti, sesuai ketentuan UNCLOS 1982.
Pada sisi lain, kita manfaatkan nelayan untuk temuan dini kehadiran kapal asing yang tidak berlayar di ALKI. Temuan dilaporkan kepada polisi serta pos AL yang ada di darat dengan memberikan laporan jelas. Bentuk laporan disebut SALUTE, yakni Size-banyak kapal, Activity-kegiatan yang dilihat Location-lokasi, Uniform–pakaian, Time-waktu melihat dan Equipment–perlengkapan.
Contoh, laporan nelayan dengan radio ke induk/radio pantai dan diteruskan ke pos polisi serta pos AL: saya kapten kapal Andi melihat (S) 2 kapal tangkap ikan (A) sedang menarik jaring trawl (L) berada di sekitar Pulau Miangas (U) mereka berpakaian sebagaimana ABK penangkap ikan/kapal perang (T) tanggal 8 Juli jam 21.00 (E) perlengkapan menggunakan trwal/kapal yang bongkar muat di laut.
Apabila nelayan dapat menggunakan cara pelaporan dengan baik, kapal pencuri ikan akan jera apabila ditindaklanjuti aparat keamanan. Pola seperti ini diterapkan China ketika kapal nelayannya memergoki kehadiran kapal peneliti AL AS di sekitar perairan Pulau Hainan serta peran nelayan Vietnam melaporkan kekuatan laut AS di Vietnam Selatan.
Persoalannya, dalam debat capres beberapa waktu lalu soal membangun perbatasan ini disinggung, namun apa yang akan mereka lakukan bila hal ini terganjal di DPR menyangkut anggaran? Apakah pembangunan perbatasan hanya dibebankan kepada daerah, dibantu pemerintah pusat, atau menjadi proyek pemerintah pusat?
Apabila dilaksanakan oleh pemerintah pusat, ditugaskan di kementerian apa?

Penulis beberapa kali menjadi anggota Delegasi RI pada Sidang General Border Committtee.

Sumber : http://www.sinarharapan.co.id/cetak/detail-cetak/article/utamakan-membangun-daerah-perbatasan/

Tidak ada komentar:

Saatnya Mewujudkan Negara Kepulauan Indonesia

"UUD 1945 Pasal 25E telah mengamantkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang"
”Untuk membangun Indonesia menjadi negara besar, negara kuat, negara makmur, negara damai yang merupakan National Building bagi negara Indonesia, maka negara dapat menjadi kuat jika dapat menguasai lautan. Untuk menguasai lautan, kita harus menguasai armada yang seimbang.” (Pidato Bung Karno yang disampaikan dalam National Maritime Convention I tahun 1963)