20 Juli 2009

“Menangkap Ikan pun Dikapling”

Headline Ekonomi
Sektor Kelautan | Proporsi itu Tidak Menguntungkan bagi Nelayan Kecil

Koran Jakarta, Rabu, 15 Juli 2009 01:35 WIB

Pengelolaan perikanan tangkap akan dilakukan secara klaster dengan batasan wilayah sebesar koordinat daerah penangkapan ikan. Pemberlakuan klaster ini mulai 2010.

Pengelolaan perikanan tangkap akan dilakukan secara klaster dengan batasan wilayah sebesar koordinat daerah penangkapan ikan. Pemberlakuan klaster ini mulai 2010.

Kebijakan sektor kelautan dan perikanan semakin memihak kepada pemodal besar, sementara nelayan kecil terus termarginalkan. Contoh teranyar adalah rencana realisasi Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 5/2008 tentang Usaha Perikanan Tangkap.

Mengacu pada ketentuan Pasal 74 dalam beleid itu, pengelolaan perikanan tangkap akan dilakukan secara klaster dengan batasan wilayah sebesar koordinat daerah penangkapan ikan. Pemberlakuan klaster ini mulai 2010. Pengelolannya secara ekslusif diberikan pada pihak tertentu dengan sistem tender. Artinya, pengelolaan perikanan akan semakin dikotak-kotakkan dan nelayan kecil yang umumnya tidak memiliki izin di wilayah koordinat tersebut akan semakin tersingkirkan.

Sistem klaster perikanan tangkap akan diterapkan di 11 wilayah pengelolaan perikanan (WPP). Dirjen Perikanan Tangkap DKP Dedi Heryadi Sutisna mengabarkan penerapan klaster perikanan tangkap masih menunggu hasil kajian ilmiah. “Sebelum diterapkan akan dilakukan uji coba,” tegasnya di Jakarta, Minggu (12/7).

Zonasi perikanan tangkap akan diterapkan mulai dari pinggir pantai sampai melampaui Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) atau di atas 12 mil laut. “Penetapan klaster atau pengaplingan kawasan perairan akan mendorong pengawasan sumber daya ikan, peningkatan kesejahteraan nelayan, keuntungan pengusaha, maupun pendapatan negara,” ujar Dedi.

Area WPP itu adalah Selat Malaka dan Laut Andaman; Samudra Hindia sebelah barat Sumatera dan Selat Sunda; Samudra Hindia sebelah selatan Jawa hingga sebelah selatan Nusa Tenggara, Laut Sawu, dan Laut Timor bagian barat; Selat Karimata, Laut Natuna, dan Laut China Selatan; Laut Jawa; Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores, dan Laut Bali; Laut Sulawesi dan sebelah utara Pulau Halmahera; Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Seram, dan Teluk Berau; Laut Banda; Teluk Cendrawasih dan Samudra Pasifik; Laut Aru, Laut Arafuru, dan Laut Timor sebelah timur.

Dedi menegaskan aturan baru itu sebenarnya memberikan kesempatan berusaha kepada pelaku usaha perikanan tangkap secara lebih adil, yaitu dengan dilakukan pembatasan jangka waktu berlakunya SIUP yang sebelumnya berlaku selama perusahaan menjalankan usahanya, menjadi selama 30 tahun dan dapat diperpanjang.

Dijelaskannya, SIUP yang selama ini identik dengan pembagian alokasi menjadi tidak dikuasai oleh pelaku usaha tertentu, akan tetapi dapat diberikan kepada pelaku usaha yang lain. Selain itu, jangka waktu realisasi SIUP juga dibatasi. “Dengan demikian, diharapkan tidak ada lagi SIUP atau alokasi yang idle,” kata Dedi.

Di samping itu, pelaksanaan pengawasan terhadap illegal fishing juga diharapkan akan lebih efektif karena berada dalam pengawasan pemerintah daerah yang bersangkutan. “Kewajiban untuk melaporkan ikan hasil tangkapan yang tidak harus didaratkan kepada pengawas periakanan setempat kan diatur di permennya,” terang dia.

Tidak Menguntungkan

Direktur Pengawasan dan Pengendalian Sumber Daya Kelautan dan Perikanan DKP Aji Sularso menambahkan pemberian hak pengelolaan kawasan penangkapan ikan pada pihak tertentu tetap mewajibkan keterlibatan armada dan nelayan lokal dalam pengelolaannya.

Dia menjelaskan pengelola klaster perikanan tangkap terdiri dari armada inti berkapasitas di atas 30 GT berkisar 75 persen. “Adapun armada lokal dengan kapasitas di bawah 30 GT sekitar 25 persen,” tuturnya.

Namun, Kepala Riset Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim Suhana menilai proporsi itu tidak menguntungkan bagi nelayan kecil. Pasalnya, struktur dan komposisi armada perikanan tangkap nasional masih didominasi armada skala kecil (< 30 GT).

“Jumlahnya sekitar 99,04 persen. Artinya bahwa sampai saat ini armada perikanan nasional sebagian besar masih beroperasi di sekitar perairan pesisir, sehingga dikhawatirkan dengan diterapkannya sistem perikanan klaster nasib para nelayan kecil tersebut akan semakin termarginalkan,” tegasnya.

Menurut dia, jika kondisi semacam ini tetap dipertahankan dalam proses pembangunan ekonomi perikanan, maka yang terjadi adalah menguatnya hegemoni pemilik modal besar dan birokrasi lokal.

Adapun guru besar Fakultas Perikanan dan Kelautan IPB Rokhmin Dahuri menegaskan pengavlingan laut ini berbahaya karena pengusaha yang memenangi tender belum diketahui track record-nya.

“Pemenang tender kemungkinan besar akan memberikan kesempatan pada teman-temannya untuk melakukan eksploitasi besar-besaran sementara nelayan tradisional tidak diberikan kesempatan. Aturan yang mewajibkan pembangunan industri pengolahan juga berpotensi dilanggar,” tuturnya.

Sementara Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan Riza Damanik berpendapat pembentukan klaster perikanan tangkap mencederai semangat desentralisasi pengelolaan sumberdaya perikanan, prinsip-prinsip keberlanjutan dan keadilan perikanan.

“Proses mengatasi illegal fishing juga akan semakin sulit dilakukan. Menyusul tersisihnya peran negara dan partisipasi aktif nelayan dalam mengelola sumber daya laut,” kata Riza. ims/lha/E-8

Sumber: http://www.koran- jakarta.com/ ver02/detail- news.php? id=13155&&idkat=53

Tidak ada komentar:

Saatnya Mewujudkan Negara Kepulauan Indonesia

"UUD 1945 Pasal 25E telah mengamantkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang"
”Untuk membangun Indonesia menjadi negara besar, negara kuat, negara makmur, negara damai yang merupakan National Building bagi negara Indonesia, maka negara dapat menjadi kuat jika dapat menguasai lautan. Untuk menguasai lautan, kita harus menguasai armada yang seimbang.” (Pidato Bung Karno yang disampaikan dalam National Maritime Convention I tahun 1963)