18 Februari 2008

Rumponisasi, Konflik Nelayan dan Kelestarian Sumberdaya Ikan

Oleh : Suhana

Peneliti Pada Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL-IPB)

Alamat Elektronik : Email : suhana10197804@yahoo.com, Blog : http://ocean.iuplog.com, Hp. 081310858708


Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP-RI) bersama beberapa Pemerintah Daerah (Pemda) sedang dan akan terus mengembangkan program rumponisasi di seluruh perairan Indonesia. Program tersebut bertujuan untuk lebih mengefisiensikan usaha nelayan kecil, dengan cara menghemat biaya operasional penangkapan ikan. Harapan pemerintah terhadap penggunaan rumpon sebagai alat bantu penangkapan ikan dapat memberikan keuntungan kepada nelayan, seperti nelayan tidak perlu melakukan penangkapan ikan dengan cara mengejar (mengikuti) kemana ikan bergerak, menciptakan daerah penangkapan ikan buatan sehingga nelayan cukup menangkap ikan di sekitar rumpon, memberikan kepastian dalam menentukan daerah penangkapan, mendekatkan daerah penangkapan ikan (fishing ground) dengan nelayan, mampu menekan biaya operasional penggunaan BBM (solar) hingga sebesar 30%, dan mampu meningkatkan produksi penangkapan ikan hingga mencapai 300%.

Namun demikian langkah pemerintah tersebut tidak dibarengi dengan langkah penguatan kelembagaan pengelolaan rumpon. Padahal apabila rumpon tersebut tidak diatur dengan sistem kelembagaan yang kuat maka dikhawatirkan program rumponisasi dapat menimbulkan berbagai dampak negative, seperti, pertama, konflik horizontal antara nelayan pengguna rumpon dengan yang tidak menggunakan rumpon. Misalnya hasil studi penulis di sekitar perairan Teluk Palabuhanratu Sukabumi Jawa Barat menunjukan bahwa di perairan teluk Palabuhanratu telah terjadi konflik antara kelompok nelayan payang dengan nelayan rumpon. Konflik tersebut menurut analisis penulis lebih disebabkan tidak adanya sisitem kelembagaan yang dibangun oleh pemerintah daerah dan masyarakat, misalnya bagaimana sistem keterlibatan antara nelayan pemilik rumpon dengan bukan pemilik dan sistem koordinasi antar nelayan yang memiliki alat tangkap yang berbeda.

Konflik antara kelompok perahu payang dengan kelompok nelayan rumpon sudah berlangsung sejak diperkenalkannya rumpon kepada para nelayan di sekitar Teluk Palabuhanratu, yaitu sekitar tahun 2002. Pada tahun 2002 di perairan Teluk Palabuhanratu dibangun 5 unit rumpon yang pengelolaan dan pemanfaatannya diserahkan kepada kelompok nelayan pancing. Namun karena penempatan rumpon tersebut dianggap telah mengganggu jalur penangkapan ikan nelayan jaring, terutama nelayan payang dan gillnet maka keberadaan rumpon tersebut hanya bertahan selama 6 bulan. Menurut pengakuan nelayan jaring kepada pihak dinas kelautan dan perikanan keberadaan rumpon tersebut telah menyebabkan jaring mengalami kerusakan akibat tersangut pada rumpon. Dan akhirnya para nelayan jaring tersebut “menebas” habis rumpon yang ada di sekitar perairan Teluk Palabuhanratu.

Pada tahun 2005 Yayasan Anak Nelayan Indonesia (YANI) kembali memasang rumpon 2 unit di perairan Teluk Palabuhanratu, akan tetapi letaknya berada di luar teluk. Hal ini dimaksudakan selain untuk menghindari konflik dengan nelayan jaring juga untuk “menggaet” sumberdaya ikan yang ada di perairan Samudera Hindia. Namun demikian ternyata keberadaan rumpon milik YANI tersebut juga di protes oleh para nelayan jaring karena dianggap telah turut memperburuk hasil tangkapan nelayan jaring. Menurut aparat Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi konflik ini disebabkan karena adanya salah pemahaman dari kelompok nelayan jaring, khususnya nelayan payang yang beranggapan bahwa penurunan produksi penangkapan perahu payang akibat dari keberadaan rumpon di luar teluk. Sehingga ikan-ikan yang seharusnya beruaya ke dalam teluk tertahan di rumpon yang ada di luar tersebut. Akhirnya pada akhir tahun 2005 sampai triwulan pertama tahun 2006 Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi melakukan sosialisasi rumpon kepada seluruh nelayan di Teluk Palabuhanratu. Hal ini dimaksudkan selian untuk menghindari kesalahpahaman juga untuk memberikan pemahaman kepada para nelayan agar mempu memanfaatkan rumpun guna mengefetifkan pencarian ikan dan meningkatkan produksi penangkapan.

Pada tahun 2006 Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi kembali memasang rumpon di dalam teluk sebanyak 4 unit guna memperpendek jarak jangkauan dan supaya dapat dimanfaatkan oleh perahu yang kecil sedangkan diluar teluk sebanyak 6 unit dari Anggaran Pembangunan Belanja Negara Propinsi (APBNP) Jawa Barat 1 Unit. Pengelolaan sepuluh rumpon tersebut diserahkan kepada sepuluh kelompok pengelola rumpon. Pembagian sepuluh pengelola tersebut tidak hanya didominasi oleh nelayan pancing, tetapi juga melibatkan kelompok nelayan payang dan beleketek. Kesepuluh kelompok tersebut membentuk sebuah forum pengelola rumpon yang diberi nama Perkumpulan Nelayan Bahtera.

Namun demikian, pemasangan rumpon tersebut saat ini masih menyisakan konflik dilapangan. Menurut sebagian besar nelayan payang menyatakan bahwa konflik tersebut lebih disebabkan tidak dilibatkannya seluruh nelayan payang dan bagan dalam pembangunan rumpon di perairan Teluk Palabuhanratu. Sehingga masih ada dari para nelayan yang tidak menerima keberadaan rumpon di Teluk Palabuhanratu. Misalnya penebasan jangkar rumpon oleh nelayan payang pada pertengahan tahun 2006 yang menyebabkan tiga unit rumpon di dalam Teluk Palabuhanratu hilang terbawa arus. Selain itu juga menurut Ketua Kelompok Nelayan Pancing Karang Deet Kecamatan Pelabuharatu yang mengelola rumpon di sekitar perairan Sukawayana, kelompoknya terpaksa memindahkan rumpon yang dikelolanya ke lokasi lain karena rumpon tersebut dijadikan tempat bersandarnya bagan apung milik nelayan bagan.

Kedua, terancamnya populasi ikan tuna. Menurut Asosiasi Tuna Indonesia (ASTUIN) pemasangan rumpon sangat mengancam keberlangsungan ikan tuna. Hal ini disebabkan ikan tuna yang ditangkap di sekitar areal rumpon adalah baby tuna dengan ukuran 3 sampai 10 kg. Padahal idealnya tuna yang layak ditangkap adalah yang berukuran 20 sampai 60 kg per ekor. Sementara rumpon yang dipasang hanya dapat mengumpulkan dan menangkap tuna-tuna kecil yang nota bene masih produktif bertelur (Tabloid Maritim No 452). Dengan demikian apabila program rumpon tersebut terus dikembangkan maka 5 tahun ke depan populasi ikan tuna akan terancam.

Kekhawatiran pengusaha ikan tuna tersebut sangat beralasan, karena sampai saat ini pemasangan rumpon di perairan Indonesia tidak dibarengi dengan sistem kelembagaan yang kuat. Misalnya sampai saat ini belum ada aturan mengenai jenis dan ukuran ikan yang boleh ditangkap oleh para nelayan rumpon, berapa jumlah ikan yang boleh ditangkap oleh setiap kelompok nelayan rumpon, dan bagaimana tanggungjawab nelayan rumpon dalam menjaga kelestarian sumberdaya ikan. Selama ini pemerintah hanya mengatur tentang bagimana mendapatkan ijin pemasangan rumpon saja, tanpa dibarengi dengan beberapa aturan yang penulis sebutkan sebelumnya.

Pendekatan Sistem Kelembagaan

Berdasarkan kedua permasalahan dampak dari rumponisasi tersebut sebenanrnya dapat dicegah dengan melakukan beberapa langkah terkait dengan penguatan sistem kelembagaan pengelolaan rumpon di perairan Indonesia. Beberapa sistem kelembagaan yang perlu ada adalah pertama, sistem koordinasi antara kelompok nelayan pemilik rumpon dengan bukan pemilik rumpon yang ingin turut serta mengambil ikan di sekitar rumpon. Kedua, sistem koordinasi antara kelompok nelayan rumpon dengan kelompok nelayan dengan alat tangkap lain. Sistem kelembagaan ini sebenarnya lebih kepada pengaturan jalur penangkapan ikan, sehingga keberadaan rumpon tidak mengganggu jalur penangkapan ikan yang menggunakan alat tangkap lain, seperti payang dan gillnet.

Ketiga, sistem kelembagaan yang mengatur jenis dan ukuran ikan yang boleh ditangkap, misalnya jenis ikan yang menjadi indikator keberlanjutan sumberdaya tidak boleh ditangkap dan ikan dengan ukuran yang masih kecil tidak boleh ditangkap, serta ikan yang sedang bertelur tidak boleh ditangkap. Dengan adanya aturan-aturan tersebut diharapkan kelestarian sumberdaya ikan dapat terjaga dengan baik.

Hemat penulis dengan adanya sistem kelembagaan yang kuat untuk mendukung program rumpon, rumponisasi tersebut selain akan berdampak terhadap peningkatan kesejahteraan nelayan juga dapat menjamin kelestarian sumberdaya ikan. Oleh sebab itu sudah saatnya pemerintah untuk mengembangkan sistem kelembagaan rumpon tersebut.


Keterangan Gambar : Nelayan rumpon di Teluk Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi Jawa Barat. Photo ini diambil pada saat penelitian Tesis di Teluk Palabuhanratu Desember 2007

Tidak ada komentar:

Saatnya Mewujudkan Negara Kepulauan Indonesia

"UUD 1945 Pasal 25E telah mengamantkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang"
”Untuk membangun Indonesia menjadi negara besar, negara kuat, negara makmur, negara damai yang merupakan National Building bagi negara Indonesia, maka negara dapat menjadi kuat jika dapat menguasai lautan. Untuk menguasai lautan, kita harus menguasai armada yang seimbang.” (Pidato Bung Karno yang disampaikan dalam National Maritime Convention I tahun 1963)