18 Februari 2008

MENATA PULAU-PULAU KECIL PERBATASAN


TINJAUAN BUKU

JUDUL : MENATA PULAU-PULAU KECIL PERBATASAN
PENULIS : MUSTAFA ABUBAKAR
EDITOR : SUHANA
PENERBIT : PENERBIT BUKU KOMPAS (PBK), JAKARTA
CETAKAN PERTAMA : NOVEMBER 2006

Perhatian masyarkat Indonesia terhadap wilayah NKRI sampai saat ini terus meningkat, terutama terhadap pemilikan pulau-pulau kecil oleh warga Asing. Kasus Sipadan dan Ligitan seakan tidak pernah hilang dari ingatan seluruh warga Indonesia. Masyarakat menginginkan agar kasus Sipadan dan Ligitan tidak terulang lagi di pulau-pulau lain yang ada di Indonesia. Seperti telah kita ketahui bersama bahwa kalahnya Indonesia oleh Malaysia pada perebutan Pulau Sipadan dan Ligitan dengan tiga alasan, yaitu Malaysia secara terus-menerus berada di pulau tersebut, penguasaan efektif pulau, dan perlindungan serta pelestarian ekologis. Dengan melihat pentingnya pendekatan effectivites (penguasaan efektif) tersebut maka hendaknya pemerintah Indonesia kedepan perlu melakukan pengelolaan sumber daya alam yang ada di pulau-pulau kecil tersebut dilakukan dengan cara yang lebih komprehensif. Selain itu juga harus berpegang teguh pada prinsip-prinsip otonomi daerah. Pemerintah pusat dan daerah dalam pengelolaan sumber daya alam di pulau-pulau kecil saat ini lebih terfokus pada penumbuhan kekuatan ekonomi lokal yang dikelola oleh masyarakat dan pemerintahan yang ada di wilayah tersebut. Selain itu pemerintah pusat dan daerah sebaiknya mempercepat pengembangan armada transportasi antarpulau di wilayah perbatasan. Hal ini dimaksudkan untuk menghilangkan keterisoliran masyarakat dan memperlancar arus ekonomi dari dan ke pulau-pulau kecil tersebut. Pengembangan armada pelayaran tersebut sesuai dengan Intruksi Presiden tentang pelayaran nasional yang baru saja di tanda-tangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Namun demikian saat ini beberapa pulau-pulau kecil di wilayah perbatasan ada yang “dikuasai” oleh warga negara asing. Catatan Media Indonesia (2006) menunjukan bahwa sedikitnya ada empat pulau terluar yang kini diketahui dikuasai atau dimiliki warga negara asing. Semuanya berada di Nusa Tenggara Timur (NTT), yakni Pulau Sture (dimiliki warga Malaysia), Pulau Kukusan (dimiliki warga Selandia Baru), Pulau Bidadari (dikuasai warga Inggris), dan Pulau Mengkudu (dikuasai warga Australia) (Tabel 1). Oleh sebab itu sangat wajar apabila masyarakat kembali “berteriak” menghimbau kepada pemerintah untuk memperhatikan keempat pulau tersebut. Hal ini menunjukan bahwa rasa kepedulian masyarakat terhadap kedaulatan NKRI sangat tinggi. Oleh sebab itu rasa kepedulian masyarakat tersebut hendaknya diikuti dengan adanya upaya yang jelas dan tegas dari para pemangku kepentingan.

Makna Hilangnya Pulau Perbatasan
Djalal (2005) menyatakan bahwa makna hilangnya sebuah pulau dapat dipandang dari empat sudut pandang, yaitu ekonomi, politik, hukum dan bencana alam. Namun demikian bukti hukum merupakan kekuatan yang utama dalam kepemilikan sebuah pulau. Sementara yang lainnya merupakan pendorong terhadap hilangnya sebuah pulau kecil perbatasan dari suatu negara, sebelum mendapatkan kekuatan hukum yang jelas dari Mahkamah Internasional.
Secara ekonomi pulau-pulau kecil dapat dikatakan hilang apabila pulau kecil tersebut dikelola oleh negara lain padahal secara hukum pulau kecil tersebut merupakan milik Indonesia. Negara lain dalam mengelola pulau-pulau kecil tersebut bisa saja didapat secara legal dari pemerintah Indonesia, misalnya dengan cara menyewa atau bisa juga secara illegal.
Namun secara ekonomi juga sebuah bangsa—termasuk Indonesia—dapat memenangkan pengajuan klaim sebuah pulau kecil yang disengketakan oleh kedua negara atau lebih. Misalnya yang dilakukan oleh Malaysia dalam kasus perebutan pulau Sipadan dan Ligitan dengan Indonesia di Mahkamah Internasional beberapa tahun yang lalu. Secara lengkap kasus Sipadan dan Ligitan tersebut telah diuraikan pada Bab Bercermin Dari Kasus Sipadan dan Ligitan.
Secara politik pulau-pulau kecil dapat dikatakan hilang apabila masyarakat di pulau-pulau kecil tersebut lebih mengakui negara lain dibandingkan negaranya sendiri. Misalnya di Pulau Miangas, secara hukum pulau tersebut milik Indonesia tetapi secara politik merupakan milik Filipina karena bahasa yang dipakai dalam percakapan sehari-hari adalah bahasa Tagalog bukannya bahasa Indonesia. Begitu juga dengan mata uang yang dipakai, mayarakat dipulau tersebut lebih banyak menggunakan mata uang Peso bukannya Rupiah.
Secara hukum, pulau-pulau kecil dapat dikatakan hilang apabila ada keputusan secara hukum internasional yang menyatakan bahwa pulau-pulau kecil tersebut merupakan milik negara lain. Biasanya hilangnya pulau-pulau kecil tersebut memerlukan waktu yang cukup lama karena harus melalui berbagai perundingan di tingkat internasional dan bahkan peperangan. Selain itu juga memerlukan bukti-bukti ilmiah yang dapat menunjukan keberadaan pulau-pulau kecil tersebut diwilayahnya. Sementara itu secara alam, pulau-pulau kecil akan hilang apabila terjadi bencana alam yang menenggelamkan keberadaan pulau kecil tersebut, seperti abrasi, gempa bumi dll.
Berdasarkan hal tersebut maka kepemilikan sebuah pulau secara hukum hendaknya diikuti dengan upaya-upaya lain yang terkait dengan kegiatan ekonomi dan politik. Dengan demikian perlu adaya upaya untuk “Merebut” kembali secara utuh kepemiilikan beberapa pulau yang secara ekonomi dan politik telah dikuasai oleh warga negara asing. Tanpa adanya upaya tersebut dikhawatirkan kasus Sipadan dan Ligitan akan terulang kembali di pulau-pulau kecil tersebut.
Bagaimana strategi merebut kembali secara utuh kepemilikan pulau kecil perbatasan ? secara lengkap dapat anda lihat yang ada dalam buku Menata Pulau Kecil Perbatasan. Penulis buku secara detail memberikan beberapa laternatif kebijakan berdasarkan hasil penelitiannya.

Tidak ada komentar:

Saatnya Mewujudkan Negara Kepulauan Indonesia

"UUD 1945 Pasal 25E telah mengamantkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang"
”Untuk membangun Indonesia menjadi negara besar, negara kuat, negara makmur, negara damai yang merupakan National Building bagi negara Indonesia, maka negara dapat menjadi kuat jika dapat menguasai lautan. Untuk menguasai lautan, kita harus menguasai armada yang seimbang.” (Pidato Bung Karno yang disampaikan dalam National Maritime Convention I tahun 1963)