22 Mei 2009

Resolusi Kongres Nelayan Tradisional Indonesia



Manado, 11 – 15 Mei 2009

Kami nelayan tradisional yang tergabung dalam Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia yang terdiri dari perwakilan nelayan Sumatera Utara, Riau, Lampung, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Gorontalo telah melakukan serangkaian kegiatan pada Forum Internasional Kelautan dan Keadilan Perikanan (FIKKP), 10 -14 Mei 2009 di Manado, Sulawesi Utara, telah menyepakati dan menghasilkan resolusi sebagai berikut:

* Bahwa sejak rezim Orde Baru, nasib nelayan dan masyarakat pesisir Indonesia senantiasa terpinggirkan. Program pembangunan yang dilakukan lebih menitikberatkan pada persoalan pertanian dan pembangunan infrastruktur darat. Nelayan dan masyarakat pesisir tidak menjadi sektor penting bagi program pembangunan. Padahal faktanya, lebih dari 67% kabupaten/kota di Indonesia merupakan kabupaten/kota pesisir atau yang berhadapan langsung dengan perairan laut. Kenyataan lainnya, lebih dari 65% total penduduk Indonesia tinggal dan menggantungkan hidupnya pada sumber daya pesisir dan laut;

* Kami percaya bahwa kegiatan WOC (World Ocean Conference) bukan sebuah kegiatan yang memikirkan dampak perubahan iklim terhadap nelayan tradisional, tapi lebih sebagai upaya untuk menggantikan media laut yang sebelumnya sebagai aset masyarakat lokal, menjadi aset negara-negara industri, dan bahkan untuk diperdagangkan;
* Kami percaya bahwa proyek CTI merupakan proyek konservasi kacamata kuda yang tidak memimikirkan keterkaitan wilayah CTI dengan wilayah tangkap nelayan tradisional yang bisa dipastikan tidak akan mensejahterakan nelayan tradisional. Proyek tersebut lebih sebagai upaya membersihkan diri negara-negara maju diantaranya Amerika Serikat, yang belum menunjukkan kesungguhannya untuk menurunkan produski emisi karbonnya ke atmosfer—yang sesungguhnya menjadi substansi dari perubahan iklim;
* Bahwa rezim SBY-JK tidak lebih baik dari pada rezim-rezim sebelumnya. Politik ekonomi yang dibangun oleh rezim ini masih merujuk pada watak dan corak kepemimpinan yang anti rakyat, menghamba dan tunduk-tertindas pada kekuatan pemodal dan sangat tergantung pada utang luar negeri dan dana-dana asing, termasuk untuk kegiatan kelautan dan perikanan;
* Bahwa rezim SBY-JK telah dengan sengaja mempertontonkan keberpihakannya kepada pemodal sekaligus anti nelayan melalui UU No.27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (UU PWP-PPK). Dengan sertifikat HP-3 (Hak Penguasaan Perairan Pesisir) pengurus negara memberikan keistimewaan pada pemodal besar untuk menguasai dan mengeksploitasi sumber-sumber kehidupan nelayan dan masyarakat yang berada di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, hingga lebih dari 20 tahun. Demikian sama halnya, dengan keberadaan UU No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UUPM)..
* Bahwa politik konservasi laut yang dianut oleh SBY-JK, telah membatasi akses nelayan untuk mengelola sumber-sumber kehidupan di wilayah laut dan pesisir. Pendekatan konservasi laut yang bias darat, anti nelayan, dan syarat utang luar negeri terbukti telah menyebabkan konflik yang merugikan kehidupan nelayan baik berupa harta benda hingga korban jiwa. Kasus Taman Nasional Komodo di Nusa Tenggara Timur (2003-2004); Taman Nasional Wakatobi di Sulawesi Tenggara (2002-2007); dan Taman Nasional Bunaken di Sulawesi Utara (2001-2005) adalah sejumlah konflik yang melibatkan aparat keamanan (TNI/POLRI), Balai Pengelola Taman Nasional, dan di sokong oleh lembaga-lembaga konservasi internasional seperti WWF, TNC, NRM dan CI;
* Bahwa pemerintahan SBY-JK dengan sengaja membiarkan praktek-praktek pembuangan limbah tambang dan industri (tailing) yang mengakibatkan tercemar dan hancurnya sumber-sumber kehidupan nelayan di laut. Laut bukanlah tong sampah bagi kepentingan industri;
* Bahwa politik pembangunan yang dijalankan dewasa ini, masih menempatkan perempuan nelayan sebagai sub-ordinat dari kepentingan pembangunan sektor kelautan dan perikanan;
* Bahwa politik adu-domba untuk memecah-belah kelompok nelayan dan masyarakat pesisir melalui dana pemberdayaan masyarakat (community development) yang berasal dari perusahan-perusahaa n perusak lingkungan (seperti industri tambang dan migas) telah memicu konflik dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dibanyak wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Indonesia;
* Bahwa konflik perikanan antara nelayan tradisional Indonesia berhadapan dengan industri perikanan dan kapal-kapal asing semakin marak terjadi akhir-akhir ini. Kasus nelayan tradisional di kabupaten Bengkalis propinsi Riau melawan kelompok Jaring Batu/Jaring Dasar sejak tahun 1983 sampai sekarang, dapat disebut mewakili konflik tersebut. Pemerintah pusat dan daerah terlihat terus membiarkan konflik terjadi hingga menimbulkan korban jiwa dan material. Setidaknya tercatat 5 (lima) orang nelayan tradisional telah tewas dalam konflik ini;
* Bahwa kami juga menilai politik klaim atas nama Nelayan Indonesia yang senantiasa diterapkan pemerintah melalui organisasi seperti Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) selama ini, sama sekali tidak membawa manfaat yang optimal bagi kesejahteraan dan peningkatan kualitas hidup masyarakat nelayan dan pesisir Indonesia;
* Bahwa berdasarkan kesaksian, penilaian, dan fakta-fakta di atas, maka Kami menuntut kepada pengurus negara:

Pertama, segera meningkatkan jaminan keselamatan serta kesejahteraan nelayan dan masyarakat pesisir dengan menerapkan kebijakan ekonomi politik yang lebih berpihak pada pemenuhan kebutuhan dasar nelayan dan masyarakat pesisir termasuk aman dari ancaman bencana. Bentuknya nyatanya dapat dimulai dengan memberikan asuransi keselamatan jiwa bagi seluruh nelayan tradisional Indonesia, termasuk memenuhi akses informasi terkait waktu dan tempat penangkapan ikan, serta akses permodalan;

Kedua, Segera merubah total seluruh kebijakan ekonomi politik untuk tidak lagi menghamba pada kuasa pemodal serta tergantung pada utang luar negeri dari lembaga-lembaga keuangan internasional yang selama ini membiayai proyek-proyek kelautan dan perikanan di Indonesia, seperti Bank Dunia (World Bank) dan Bank Pembangunan Asia (ADB); termasuk bantuan dari lembaga-lembaga konservasi internasional seperti WWF, TNC, NRM, dan CI yang anti-rakyat dan justru memperdagangkan sumber-sumber kehidupan nelayan;

1. Cabut UU No.27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
2.. Hentikan pengaplingan dan zonasi kawasan pesisir dan laut atas nama Taman Nasional dan konservasi laut;
3. Hentikan program reklamasi pantai diseluruh wilayah Indonesia
4. Hentikan praktek perikanan ilegal (illegal fishing) di seluruh perairan Indonesia;
5. Hentikan ekspansi industri pertambakan dan perikanan;
6. Hentikan pembuangan limbah tambang ke laut;
7. Hentikan eksploitasi sumberdaya pesisir dan laut, seperti pasir laut;
8. Hentikan tindak kekerasan dan kriminalisasi terhadap nelayan di seluruh Indonesia;
9. Tingkatkan kualitas hidup perempuan nelayan untuk mendapatkan hak-haknya atas pengelolaan sumberdaya laut dan pesisir.
10. Berikan jaminan pendidikan gratis yang layak bagi nelayan dan masyrakat pesisir
11. Cabut Keputusan Menteri Nomer 06 Tahun 2008 tentang pelegalan penggunaan jaring Trawl
12. Lindungi hutan mangrove yang masih tersisa dari segala macam konversi yang dilakukan oleh siapapun
13. Jaminan kesehatan bagi nelayan tradisional (ketersediaan fasilitas kesehatan, dokter, dan paramedis)

Kami menyerukan seluruh nelayan tardisional di seluruh Indonesia untuk bergabung dalam KESATUAN NELAYAN TRADISIONAL INDONESIA sebagai wadah alternatif perjuangan nelayan tradisional Indonesia.

Kami menyerukan kepada organisasi masyarakat sipil di Indonesia untuk terus merapatkan barisan dan mengokohkan persatuan rakyat demi terwujudnya kesejahteraan nelayan Indonesia. Demikian resolusi nelayan dan masyarakat pesisir Indonesia ini kami sampaikan.

Manado, 15 Mei 2009.

Hormat Kami

Presidium Nasional

1. Rustam, Kalimantan Timur
2. Sugeng Nugroho, Jawa Timur
3. Tajruddin Hasibuan, Sumatera Utara
4. Jul Takaliwang, Sulawesi Utara
5.. Amin Abdullah, Nusa Tenggara Barat

Tidak ada komentar:

Saatnya Mewujudkan Negara Kepulauan Indonesia

"UUD 1945 Pasal 25E telah mengamantkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang"
”Untuk membangun Indonesia menjadi negara besar, negara kuat, negara makmur, negara damai yang merupakan National Building bagi negara Indonesia, maka negara dapat menjadi kuat jika dapat menguasai lautan. Untuk menguasai lautan, kita harus menguasai armada yang seimbang.” (Pidato Bung Karno yang disampaikan dalam National Maritime Convention I tahun 1963)