23 Mei 2009

Deklarasi Manado Sarat Kepentingan Negara Maju

Konferensi Kelautan | Deklarasi Manado Sarat Kepentingan Negara Maju

" Sepakat tapi Tidak Mengikat "
Sabtu, 23 Mei 2009 01:22 WIB
Posting by : warso

Sebanyak 75 negara peserta Konferensi Kelautan Dunia menandatangani Deklarasi Kelautan Manado. Sayang, kesepakatan yang memasukkan dimensi laut dalam pembahasan global itu ditentang AS dan Australia.



Sebanyak 75 negara peserta Konferensi Kelautan Dunia menandatangani Deklarasi Kelautan Manado. Sayang, kesepakatan yang memasukkan dimensi laut dalam pembahasan global itu ditentang AS dan Australia.

Hajatan besar Konferensi Kelautan Dunia (World Ocean Summit/WOC) dan KTT Prakarsa Segitiga Terumbu Karang (Coral Triangle Initiatif/CTI) yang digelar selama sepekan di Manado, Sulawesi Utara, telah berakhir 15 Mei lalu. Konferensi itu menghasilkan dua agenda penting, yakni penandatanganan Deklarasi Kelautan Manado (Manado Ocean Deklaration/MOD) dan komitmen enam negara dalam CTI. Agenda lain yang dititipkan Indonesia adalah penetapan Bunaken sebagai Marine Mega Biodiversity.

Deklarasi Manado yang disepakati 75 negara peserta WOC merupakan langkah awal memengaruhi pembahasan global mengenai perubahan iklim, dan menjadikan dimensi laut sebagai arus utama di dalamnya. “Saya senang bahwa konferensi itu mampu menghasilkan Deklarasi Manado,” kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Rencananya, Deklarasi Manado mengikat secara hukum (legally binding) para anggotanya. Sayangnya, AS dan Australia menentang hal ini sejak pertemuan di Papua Nugini, Maret 2009. “Sangat disayangkan Deklarasi Manado akhirnya tidak mengikat. Lalu, so what setelah adanya Deklarasi Manado ini?” ungkap Direktur Riset dan Kajian Strategis Institut Pertanian Bogor (IPB) Arif Satria.

Sementara itu, CTI berfokus pada bentang laut, perikanan, daerah perlindungan laut, perubahan iklim, dan mengurangi daftar jenis biota laut yang terancam punah dari daftar Badan Konservasi dan Sumber Daya Alam Internasional (IUCN).

Wilayah coral triangle (CT) berbentuk segi tiga kaya sumber daya alam seluas 75 ribu kilometer persegi. Wilayah ini melintasi enam negara, yakni Malaysia, Indonesia, Filipina, Kepulauan Solomon, Timor Leste, dan Papua Nugini. Mereka kemudian dikenal dengan CT-6.

Kawasan ini mengandung lebih 600 spesies terumbu karang atau 53 persen terumbu karang dunia. Terdapat 3 ribu spesies ikan, yang dipagari hutan mangrove terluas di dunia, tempat pemijahan tuna terbesar di dunia. Perputaran ekonomi kawasan ini menghasilkan keuntungan tak kurang dari 2,3 triliun dollar AS per tahun.

Kepala negara dari CT-6 menyepakati peluncuran Coral Triangle Initiative on Coral Reefs, Fisheries and Food Security and adaptation to climate change (CTI-CFFC), serta secara aklamasi menyatakan untuk mengadopsi Regional Plan of Action (RPOA). Dalam konteks ini, Indonesia berkomitmen mengucurkan dana 5 juta dollar AS, Papua Nugini 2 juta dollar AS, Filipina 5 juta dollar AS, dan Malaysia 1 juta dollar AS.

Komitmen yang disampaikan negara-negara CT-6 tersebut di luar negara atau lembaga internasional yang selama ini sudah menyatakan komitmen, seperti AS sebesar 41,6 juta dollar AS, Global Environment Facilities (GEF) sebesar 63 juta dollar AS, dan Australia 2 juta dollar AS.


Melupakan Nelayan

Sayangnya, hiruk-pikuk CTI ini hanya terdengar di antara LSM konservasi, pemerintah, lembaga keuangan, akademisi, peneliti, dan para konsultan. “Inilah fakta yang teramat mengherankan. Sementara suara komunitas pesisir maupun nelayan senyap terdengar di tengah promosi pemerintah tentang banyaknya manfaat yang akan didapat dari agenda WOC dan CTI,” tutur Kepala Divisi Riset Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim (PK2PM) Suhana.

Ketua Sidang Senior Official Meeting (SOM) pada WOC Eddy Pratomo mengakui belum melibatkan nelayan dan masyarakat pesisir. Kali ini, lanjut Eddy, memang dikhususkan bagi wakil-wakil dari pemerintah dengan tujuan untuk mendapatkan dukungan politik dari negara-negara peserta WOC. "Pada waktunya nanti kita mencari formulasi untuk melibatkan mereka pada forum mendatang," katanya.

Menurut Suhana, komitmen Pemerintah Indonesia untuk memperluas kawasan konservasi 20 juta hektare hingga 2020 kian menyempitkan dan menjauhkan nelayan dari wilayah kelolaannya. Pada sisi lain, konservasi membuka peluang cukup besar pada industri pariwisata. “Dalam National Plan of Action CTI, ekspansi industri pariwisata justru diberikan peluang yang besar bahkan telah menjadi tujuan sejak awal,” katanya.


Sarat Kepentingan

Suhana menambahkan, WOC dan proyek CTI juga sarat motif ekonomi negara-negara maju pada proyek CTI. Misalnya, kepentingan pengaturan perikanan tuna di perairan Samudera Hindia dan Pasifik yang memasok lebih dari 70 persen produksi tuna dunia, terutama jenis Sourthern Bluefin Tuna (SBT) yang harganya paling mahal di pasar dunia. Hingga kini, pasar dunia untuk jenis tersebut dikendalikan tiga negara, yaitu Jepang, Australia, dan Selandia Baru, baik dari aspek kuota, pemasaran, penangkapan, fishing ground, maupun harga.

Motif ekonomi lain, sambung Suhana, adalah nafsu negara maju untuk menguasai sumber daya minyak dan gas yang berada di dasar laut di kawasan CTI. Sejak puluhan tahun, negara-negara CT merupakan kawasan keruk perusahaan-perusahaan tambang dan migas asing. Perusahaan-perusahaan tersebut mendapat bantuan lembaga keuangan, perbankan, dan penjamin yang mendukung perusahaan tambang, seperti HSBC Bank, ANZ Bank, Macguarie Bank, dan Meryll Lynch.
lha/E-8

Sumber : http://www.koran-jakarta.com/ver02/detail-news.php?id=8657&&idkat=53

Tidak ada komentar:

Saatnya Mewujudkan Negara Kepulauan Indonesia

"UUD 1945 Pasal 25E telah mengamantkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang"
”Untuk membangun Indonesia menjadi negara besar, negara kuat, negara makmur, negara damai yang merupakan National Building bagi negara Indonesia, maka negara dapat menjadi kuat jika dapat menguasai lautan. Untuk menguasai lautan, kita harus menguasai armada yang seimbang.” (Pidato Bung Karno yang disampaikan dalam National Maritime Convention I tahun 1963)