20 Mei 2009

KAJIAN SINGKAT IKAN TUNA NASIONAL

Kemana larinya produksi ikan tuna nasional ?

Oleh : Suhana

Kepala Riset Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim

Publikasi Badan Pangan Internasional (FAO 2009) dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UN 2009) tentang perikanan dunia—termasuk Indonesia—telah menambah kenyakinan kepada penulis tentang tingginya praktek IUU Fishing di Indonesia. Data FAO (2009) menunjukan bahwa produksi ikan tuna nasional dalam kurun waktu 1989-2006 mengalami pertumbuhan sebesar 4,74 persen per tahun. Sementara itu produksi ikan tuna nasional yang berasal dari impor dalam kurun waktu 1989-2007 mengalami pertumbuhan sebesar 1.799 persen per tahun. Al hasil total produksi tuna nasional –sudah ditambah volume impor—pada tahun 2006 sebesar 575.087,85 ton.

Data UN (2009) menunjukan bahwa volume ekspor ikan tuna nasional dalam kurun waktu 1989-2007 mengalami pertumbuhan sebesar 5,21 persen per tahun. Total volume ekspor ikan tuna tahun 2006 sebesar 35.459,96 ton. Artinya kalau dilihat dengan total produksi nasional, total produksi ikan tuna yang diekspor tahun 2006 hanya sebesar 6,17 persennya saja. Atau dengan kata lain dari data tersebut menunjukan bahwa sekitar 93,83 persen produksi ikan tuna nasional belum terserap oleh pasar ekspor. Data UN (2009) dan FAO (2009) menunjukan bawah total produksi ikan tuna nasional yang tidak diserap oleh pasar ekspor tersebut dalam kurun waktu 1989-2007 rata-rata mencapai 91,43 persen per tahun (Lihat Gambar). Inilah yang menambah kecurigaan penulis, karena dalam beberapa tahun terakhir, khususnya pasca kenaikan harga BBM banyak perusahaan-perusahaan pengalengan tuna nasional yang kekurangan bahan baku. Padahal kalau melihat data yang ada justru setiap tahunnya produksi bahan baku ikan tuna nasional sangat melimpah. Sehingga pertanyaannya adalah kemana larinya produksi ikan tuna nasional ?

Misalnya pada Juni 2005 Ketua Umum Asosiasi Pengalengan Ikan Indonesia (APII) mendesak kepada pemerintah untuk tidak lagi mengizinkan pembangunan industri pengalengan ikan tuna yang baru di Pulau Jawa, Bali, Sumatera Utara, dan Sulawesi Utara. Alasannya, kehadiran industri di keempat daerah tersebut sudah terlalu banyak, sedangkan suplai bahan baku sangat terbatas sehingga tidak sedikit industri pengalengan ikan yang tutup. Menurut catatan APII empat tahun lalu tersebar tujuh industri pengalengan ikan tuna di Jawa Timur. Tetapi, kini empat unit di antaranya tidak berproduksi lagi. Di Sulawesi Utara, yang semula memiliki empat industri yang sama, sekarang tinggal dua industri yang beroperasi. Itu pun setelah diambil alih investor dari Filipina. Sementara itu, di Bali juga tinggal satu unit, padahal sebelumnya ada dua industri pengalengan ikan tuna.

Selain itu juga, kalau kita lihat dari data potensi sumberdaya ikan yang ada di wilayah perairan Indonesia khususnya Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) sangat memungkinkan untuk berkembangnya industri pengalengan ikan tuna di Indonesia. Misalnya menurut catatan Departemen Kelautan dan Perikanan (2003) potensi sumberdaya ikan pelagis besar ekonomis di wilayah Samudera Hindia yang dominan adalah Albakora yaitu sebesar 3.987.000 ton per tahun. Setelah itu disusul oleh jenis ikan Tuna Sirip Biru (84.000 ton), Cakalang (21.000 ton), Tuna Mata Besar (13.000 ton) dan Madidihiang (10.000 ton). Besarnya potensi sumber daya ikan tersebut tersebar di seluruh wilayah Samudera Hindia.

Perikanan Illegal dan WOC

Permasalahan IUU (illegal, unreported and unregulated) fishing di perairan Indonesia merupakan permasalahan klasik sektor perikanan dan kelautan yang sampai sekarang belum terselesaikan dengan baik. Sehingga dikhawatirkan praktek IUU Fishing tersebut akan mengancam perekonomian nasional dan kelestarian sumberdaya ikan.

Permasalahan IUU Fishing di perairan Indonesia tidak hanya mencakup problem klasik pencurian ikan (illegal fishing), tetapi juga masalah perikanan yang tidak dilaporkan (unreported fishing) dan perikanan yang tidak diatur (unregulated fishing). Penulis menilai bahwa data FAO (2009) dan UN (2009) menunjukan tingginya praktek Praktek perikanan yang tidak dilaporkan (unreported fishing) dan pencurian ikan (illegal fishing) di Indonesia.

Maraknya IUU fishing di perairan Indonesia akan berdampak terhadap keterpurukan ekonomi perikanan nasional. Hal ini dapat dapat dilihat dari beberapa parameter, yaitu Pertama, kontribusi perikanan tangkap ke PDB. Dengan adanya aktivitas IUU fishing di perairan Indonesia akan mengurangi kontribusi perikanan laut ZEEI atau laut lepas kepada ekonomi nasional dan mendorong kearah hilangnya rent sumber daya perikanan.

Kedua, ketenagakerjaan. IUU fishing akan mengurangi potensi ketenagakerjaan nasional dalam sektor perikanan seperti perusahaan penangkapan ikan, pengolahan ikan dan sektor lainnya yang berhubungan.

Ketiga, Pendapatan Ekspor. Melihat data FAO (2009) dan UN (2009) tersebut menunjukan setiap tahunnya ikan tuna yang tidak jelas keberadaannya mencapai 433.512,39 ton per tahun dengan nilai sebesar 471.571,19 US $.

Keempat, Pendapatan Pelabuhan Perikanan. IUU fishing akan mengurangi potensi untuk tempat pendaratan ikan nasional (pelabuhan perikanan nasional) dan nilai tambah. Hal ini dikarenakan kapal-kapal penangkapan ikan illegal tersebut umumnya tidak mendaratkan ikan hasil tangkapannya di pelabuhan perikanan nasional. Kelima, Pendapatan dari jasa dan pajak dari operasi yang sah. IUU fishing akan mengurangi sumber daya perikanan yang pada gilirannya akan mengurangi pendapatan dari perusahaan yang memiliki izin penangkapan yang sah.

Keenam, Multiplier effects. Langsung atau pun tidak dampak multiplier IUU Fishing ini memiliki hubungan dengan penangkapan ikan nasional. Karena aktivitas penangkapan ikan nasional akan terkurangi dengan hilangnya potensi akibat aktivitas IUU fishing.

Dengan melihat hal tersebut diatas maka hendaknya pemerintah saat ini untuk merumuskan langkah-langlah komprehensif dalam menangani IUU fishing tersebut. Ada beberapa hal yang dapat dilakukan oleh pemerintah dalam menangani IUU fishing tersebut, yaitu pertama, mempercepat revisi UU Perikanan yang saat ini sedang dipersiapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI). Revisi UU tersebut hendaknya dapat dijadikan payung hukum dalam memberantas IUU fishing di perairan Indonesia.

Kedua, peningkatan kesadaran dan kerjasama antar seluruh stakeholders perikanan dan kelautan nasional dalam pemberantasan praktek IUU fishing. Hal ini perlu dilakukan karena praktek IUU fishing selama ini banyak dilakukan oleh stakeholders perikanan itu sendiri, termasuk pemerintah dan pengusaha perikanan.

Ketiga, peningkatan peran Indonesia dalam kerjasama pengelolaan perikanan regional. Diskusi terbatas Sinar Harapan (25/03/2009) mengamanatkan agar momentum Word Ocean Conference (WOC) yang akan berlangsung pada bulan Mei 2009 ini hendaknya dijadikan upaya pemerintah untuk mendesak negara-negara pelaku IUU Fishing di perairan Indonesia untuk sama-sama memberantas praktek haram tersebut. Beberapa negara yang nelayannya sering melakukan aktivitas perikanan illegal di perairan Indonesia adalah Thailand, Filipina, Taiwan, Korea, Panama, Cina, Vietnam, Malaysia, Kamboja, dan Myanmar. Dengan menerapkan kebijakan anti IUU fishing secara regional, upaya pencurian ikan oleh kapal asing dapat ditekan serendah mungkin.

Hemat penulis pemberantasan praktek IUU fishing di perairan Indonesia saat ini tidak bisa ditawar-tawar lagi. Artinya pemerintah dan stakeholders perikanan dan kelautan lainnya perlu bekerjasama untuk memberantas praktek illegal tersebut. Karena apabila hal ini tidak secepatnya dilakukan maka dikhawatirkan perekonomian dan kelestarian sumberdaya perikanan nasional akan semakin terpuruk.

Tidak ada komentar:

Saatnya Mewujudkan Negara Kepulauan Indonesia

"UUD 1945 Pasal 25E telah mengamantkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang"
”Untuk membangun Indonesia menjadi negara besar, negara kuat, negara makmur, negara damai yang merupakan National Building bagi negara Indonesia, maka negara dapat menjadi kuat jika dapat menguasai lautan. Untuk menguasai lautan, kita harus menguasai armada yang seimbang.” (Pidato Bung Karno yang disampaikan dalam National Maritime Convention I tahun 1963)