30 April 2011

Ekonomi Perikanan, CAFTA dan MEA 2015

Sumber : Sinar Harapan, 30.04.2011 10:06

Ekonomi Perikanan, CAFTA, dan MEA 2015

Penulis : Suhana*



Oleh karena itu, sangat wajar apabila diimplementasikan CAFTA, Indonesia tidak siap menghadapi gempuran produksi China, termasuk serbuan ikan impor dari China. Hal yang sama akan terjadi pada MEA 2015 apabila pemerintah tidak mempersiapkan secara sistematis MEA 2015.

Pembangunan ekonomi perikanan tahun 2010 merupakan periode yang berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, karena dimulainya kesepakatan perdagangan bebas antara China dan ASEAN (Free Trade Agremeent China–ASEAN (CAFTA).

Sektor perikanan menjadi tonggak kembalinya kekuatan asing.(foto:dok/ist)

Sebagai dampak dari tidak adanya persiapan dan perencanaan yang sistematis tahun-tahun sebelumnya, implementasi CAFTA di sektor perikanan menjadi tonggak kembalinya kekuatan asing dalam menguasai sektor perikanan.

Hal ini ditunjukkan dengan tiga indikator, yaitu pertama meningkatnya investasi asing di sektor perikanan. Data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM 2011) menunjukkan bahwa investasi asing (PMA) tahun 2010 meningkat 71,67 persen dibandingkan dengan tahun 2009, yaitu dari US$ 5,1 juta tahun 2009 meningkat menjadi US$ 18 juta tahun 2010.

Hal yang berbeda terjadi pada penanaman modal dalam negeri (PMDN). Data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM 2011) menunjukkan bahwa PMDN tahun 2010 turun Rp 23,7 miliar dibandingkan dengan tahun 2009, di mana pada 2010 investasi dalam negeri hanya mencapai Rp 1 miliar, sementara tahun 2009 investasi dalam negeri mencapai Rp 24,7 miliar.

Menurunnya investasi dalam negeri dan meningkatnya investasi asing di sektor perikanan sejalan dengan tidak konsistennya kebijakan yang dikeluarkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan. Kalau kita kembali melihat dorongan pemangku kepentingan sektor perikanan sejak 2007 untuk membatasi kepentingan asing di sektor perikanan sangat tinggi, puncaknya ketika Menteri Kelautan dan Perikanan mengesahkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen-KP) No 5 Tahun 2008 tentang izin usaha perikanan tangkap.

 Dipertegas kembali dengan disahkannya revisi UU No 31 Tahun 2004 tentang Perikanan menjadi UU No 45 Tahun 2009 tentang Perikanan pada masa akhir periode Pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu jilid I dan DPR periode 2004-2009. Pada kedua peraturan perundang-undangan tersebut kepentingan asing di sektor perikanan sangat diperketat dan lebih mendorong keterlibatan nelayan, pembudi daya ikan, investor dalam negeri, dan pengusaha ikan nasional.

Akibatnya, investasi asing pada sektor perikanan tahun 2008 dan 2009 menurun drastis, dan minat investasi dalam negeri cenderung meningkat. Data BKPM (2011) menunjukkan bahwa PMA tahun 2007 mencapai US$ 24,7 juta dan menurun drastis pada 2008 hanya mencapai US$ 2,4 juta dan akhir 2009 kembali meningkat menjadi US$ 5,1 juta. Sementara itu, pascakeluarnya Permen KP No 5 Tahun 2008 minat investasi dalam negeri mulai tumbuh. Data BKPM (2011) menunjukkan bahwa PMDN tahun 2007 hanya sebesar Rp 3,1 miliar menjadi Rp 24,7 miliar pada 2009.

Namun demikian, memasuki periode Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II, (Permen-KP) No 5 Tahun 2008 tentang izin usaha perikanan tangkap diupayakan untuk direvisi kembali dengan memasukkan kepentingan asing. Draf Revisi Permen KP No 5 Tahun 2008 Pasal 2 Ayat (1) poin d menyebutkan bahwa jenis usaha perikanan tangkap meliputi penangkapan ikan terpadu.

Sementara itu, dalam Pasal 36 Ayat 2 disebutkan bahwa usaha perikanan tangkap terpadu dilaksanakan oleh (1) usaha perikanan tangkap terpadu dengan fasilitas penanaman modal dalam negeri dan (2) usaha perikanan tangkap terpadu dengan fasilitas penanaman modal asing.

Sementara itu, dalam Pasal 37 Ayat 1 disebutkan perusahaan perikanan dengan fasilitas penanaman modal asing wajib membangun dan/atau memiliki sekurang-kurangnya unit pengolahan ikan (UPI) serta menggunakan tenaga kerja berkewarganegaraan Indonesia sesuai ketentuan yang berlaku.

Berdasarkan beberapa ayat dalam Draf Revisi Permen KP No 5 Tahun 2008 tersebut jelas sarat dengan kepentingan pengusaha asing dalam mengeksploitasi sumber daya ikan di Indonesia. Apalagi fasilitas penanaman modal asing dalam draf permen kelautan dan perikanan tersebut diberikan peluang untuk langsung mengekspor ikan langsung ke luar negeri, karena hanya diwajibkan membangun beberapa unit pengolahan ikan saja di dalam negeri.

Padahal, dalam Permen KP No 5 Tahun 2008 sudah jelas bahwa 100 persen hasil tangkapan harus diolah di dalam negeri. Walaupun implementasi Permen KP No 5 Tahun 2008 tersebut sampai saat ini belum optimal.

Kedua, besarnya laju pertumbuhan impor ikan nasional. Data UN-Comtrade (2011) menunjukkan bahwa laju pertumbuhan nilai impor ikan dan produk perikanan Indonesia tahun 2010 meningkat tajam sebesar 31,13 persen dibandingkan 2009. Sementara itu, laju pertumbuhan nilai ekspor ikan dan produk perikanan Indonesia tahun 2010 hanya meningkat sebesar 15,18 persen dibandingkan tahun 2009.

Pascaimplementasi CAFTA, ikan impor dari China sangat mendominasi ikan impor yang masuk ke Indonesia, yaitu mencapai 38,41 persen dari total impor ikan Indonesia (UN-Comtrade 2011).

Tingginya laju impor ikan dari China telah berdampak terhadap penurunan nilai Indeks Spesialisasi Perdagangan (ISP) ikan dan produk perikanan Indonesia ke China. Sementara nilai ekspor ikan dari Indonesia ke China tahun 2010 cenderung menurun sehingga neraca perdagangan ikan dan produk perikanan Indonesia menjadi negatif. Fenomena seperti ini sebenarnya sudah terjadi sejak 2009, namun pada 2010 ini terus mengalami penurunan.

Dalam periode 1996-2008, nilai ISP ikan dan produk perikanan Indonesia ke China masih bernilai positif dengan nilai rata-rata sebesar 0,75 (UN Comtrade 2011). Artinya bahwa pada periode 1996-2008 sebenarnya ekspor ikan Indonesia ke China sudah menuju tingkat kematangan.

Namun, memasuki tahun 2009 dan 2010 perdagangan ikan dan produk perikanan Indonesia terus mengalami penurunan yang drastis seiring dengan terus meningkatnya laju impor ikan dan produk perikanan dari China ke Indonesia. Oleh sebab itu, apabila kondisi tersebut tidak ditanggulangi secara cepat dan tepat, dikhawatirkan daya saing ikan dan produk perikanan Indonesia ke China akan semakin terpuruk.

Ketiga, tidak berkembangnya industri pengolahan ikan nasional. Tingginya laju impor tahun 2010 ternyata tidak berdampak nyata terhadap peningkatan kapasitas industri perikanan yang terpakai.

Data Bank Indonesia (2011) menunjukkan bahwa rata-rata kapasitas industri perikanan yang terpakai mengalami penurunan menjadi 71,76 persen dari sebelumnya (2009) yang tercatat sebesar 74,05 persen. Hal ini menunjukkan bahwa ikan dan produk perikanan yang masuk ke Indonesia bukan merupakan sumber bahan baku bagi industri pengolahan perikanan nasional, tetapi lebih didominasi oleh ikan dan produk perikanan yang siap konsumsi.

Ketiga indikator tersebut terlihat berjalan secara sistematis sehingga berkuasanya kembali kekuatan asing di sektor perikanan berlangsung secara cepat. Alhasil, apabila kondisi tersebut tidak mengalami perubahan maka tidak menutup kemungkinan MEA 2015 akan semakin mengancam kelestarian sumber daya ikan, pendapatan perikanan nasional, penyerapan tenaga kerja perikanan dan kesejahteraan nelayan serta pembudi daya ikan.

*Penulis adalah Kepala Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim

Tidak ada komentar:

Saatnya Mewujudkan Negara Kepulauan Indonesia

"UUD 1945 Pasal 25E telah mengamantkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang"
”Untuk membangun Indonesia menjadi negara besar, negara kuat, negara makmur, negara damai yang merupakan National Building bagi negara Indonesia, maka negara dapat menjadi kuat jika dapat menguasai lautan. Untuk menguasai lautan, kita harus menguasai armada yang seimbang.” (Pidato Bung Karno yang disampaikan dalam National Maritime Convention I tahun 1963)