Diinformasikan bagi para pengunjung blog ini, Blog ini sudah lama tidak saya update, update informasi terkini terkait kelautan dan perikanan bisa di akses di www.suhana.web.id. Terima kasih
Salam
Suhana
Pengelole Blog
Archipelago Economic Center
Membangun Ekonomi Kepulauan Nusantara
03 Maret 2017
10 September 2013
RUU PESISIR MASIH MENYIMPAN POTENSI MELANGGAR UUD 1945
RUU PESISIR MASIH MENYIMPAN POTENSI MELANGGAR UUD 1945[1]
OLEH : SUHANA[2]
Berdasarkan Draft Naskah RUU Perubahan Atas UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, terlihat masih terdapat pasal-pasal yang berpotensi melanggar UUD 1945. Dalam Draft RUU Pesisir Pasal 22 disebutkan Ayat (1) dijelaskan bahwa Izin lokasi tidak dapat diberikan pada zona inti di kawasan konservasi, alur laut, kawasan pelabuhan dan pantai umum. Artinya bahwa wilayah hak ulayat perairan dapat diberikan izin lokasi kepada pihak swasta. Keberadaan Pasal 22 tersebut sejalan dengan Pasal 21B Draft RUU pesisir yang menyataakan bahwa pemberian izin lokasi dalam wilayah hak ulayat perairan dapat dilakukan setelah memperoleh persetujuan dari masyarakat hukum adat.
Dengan diberikannya peluang pemberian izin lokasi di wilayah hak ulayat perairan menunjukan bahwa RUU ini tidak berupaya untuk memberikan perlakuan khusus bagi masyarakat adat guna mencapai keadilan seperti yang diamanatkan dalam UUD 1945. Amanat UUD 1945 Pasal 18 B Ayat (2) menyatakan “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”. Sementara itu dalam Pasal 28 H Ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa (1) setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.
Selain itu juga dengan diberikannya peluang pemberian izin dilokasi wilayah hak ulayat perairan berpotensi menimbulkan konflik antara masyarakat adat dengan pemilik izin lokasi tersebut. Kita perlu belajar dari kasus konflik masyarakat adat sasi di Maluku Tenggara dengan salah satu perusahaan perikanan terbesar yang ada di wilayah Tual Maluku Tenggara (Lihat Boks) pada tahun 2009.
|
Selain itu juga yang perlu mendapatkan perlindungan adalah wilayah tangkap nelayan kecil/tradisional. Penelusuran Penulis dengan Tim Ekspedisi Pesisir Jakarta Tahun 2007 yang digagas oleh Harian Umum Sinar Harapan menemukan bahwa adanya nelayan pesisir Jakarta seakan tidak lagi memiliki akses terhadap kawasan yang mereka tempati selama beberapa tahun kebelakang. Untuk mendaratkan perahu serta ikan tangkapannya di beberapa titik pesisir Teluk Jakarta pun sulit. Seperti di sepanjang kawasan industri Tanjungpriok dan Cilincing, para nelayan sama sekali tak dapat menjangkau pantai-pantai yang kini dimiliki pihak swasta tersebut. Dari sepanjang kurang lebih 23 kilometer panjang wilayah pesisir Jakarta (Cilincing hingga Muara Kamal), para nelayan tradisional itu hanya dapat mendarati beberapa pantai yang panjangnya hanya beberapa kilometer. Sisanya harus mereka “relakan” karena penguasaannya telah beralih kepada perorangan, badan swasta ataupun badan usaha milik Negara (BUMN).
Sumber : Harian Umum Sinar Harapan, Selasa, 28 Agustus 2007
Berdasarkan hal tersebut untuk memberikan penguatan dan perlindungan yang optimal terhadap masyarakat adat, Pasal 22 Ayat (1) harusnya berbunyi "Izin lokasi tidak dapat diberikan pada zona inti di kawasan konservasi, alur laut, kawasan pelabuhan, wilayah hukum adat (baik tertulis maupun tidak tertulis), wilayah tangkap nelayan kecil/tradisional dan pantai umum. Sejalan dengan perubahan bunyi Pasal 22 Ayat (1), maka keberadaan Pasal 21B RUU Pesisir perlu dibatalkan.
Stop Peran Asing Di Wilayah Pesisir
Pasal 23 Ayat (4) RUU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil menyatakan bahwa Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan pemanfaatan perairan di sekitarnya oleh orang asing harus mendapat persetujuan Menteri. Artinya bahwa orang asing diberikan peluang untuk “menguasai” perairan pesisir. Ketentuan Pasal 23 Ayat (4) ini bertentangan dengan Pasal 18 RUU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil, dimana izin lokasi hanya diberikan bagi orang warga negara Indonesia atau badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia. Selain itu juga diperbolehkannya orang asing dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir merupakan bentuk penjajahan ekonomi seperti yang terjadi saat ini disektor perikanan dan pariwisata bahari. Berdasarkan hal tersebut keberadaan Pasal 23 Ayat (4) perlu ditiadakan.
Diakhir tulisan singkat ini penulis menegaskan bahwa tanpa adanya perlakuan dan perlindungan khusus bagi masyarakat hak ulayat dan nelayan tradisional, dikhawatirkan RUU Pesisir dan Pulau Kecil ini akan kembali melanggar UUD 1945.
Referensi
Harian Umum Sinar Harapan, 2007. Tempat Berlabuh yang Terenggut Pembangunan. Edisi Selasa, 28 Agustus 2007;
Koalisi Tolak HP-3. Menghidupkan Kembali Konstitusi Kepulauan. Perjuangan Nelayan di Mahkamah Konstitusi. Diterbitkan oleh KIARA, Cetakan Pertama April 2012;
Suhana, 2011. Ekonomi Politik Kebijakan Kelautan Indonesia. Penerbit Intrans Publishing, Cetakan Pertama Mei 2011;
Undang-Undang Dasar 1945
[1]
Disampaikan dalam Konsultasi Publik dan Jaring Pendapat dalam Rangka
Pembahasan RUU Tentang Perubahan Atas UU No 27 Tahun 2007 Tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Kerjasama Direktorat
Kajian Strategis dan Kebijakan Pertanian (Dit. KSKP) IPB dengan Komisi
IV DPR-RI dan Kementerian Kelautan dan Perikanan.
[2] Kepala Riset Pusat Kajian Pembangunan Kelautan Dan Peradaban Maritim. Alamat Kontak : Email : suhanaipb@gmail.com, Blog : http://pk2pm.wordpress.com dan http://suhana-ocean.blogspot.com , HP : 081310858708Link Berita Diskusi Publik bisa di akses di :
http://jogja.antaranews.com/berita/315403/ipb-kompeten-beri-masukan-revisi-uu-pengelolaan-pesisir
Suhana
30 Juli 2013
Dual Ekonomi dan Konservasi Berbasis Lokal
Oleh : Suhana
Kepala Riset Pusat Kajian
Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim
Konservasi merupakan salah satu
upaya untuk melindungi sumberdaya sumberdaya ikan dan biota laut lainnya dari
kepunahan. Berbagai upaya telah dilakukan baik oleh masyarakat lokal dan
pemerintah dalam upaya melakukan konservasi di wilayah laut. Namun demikian
pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah dengan masyarakat lokal sangat jauh
berbeda. Pemerintah lebih mengedepankan peran asing dalam melakukan konservasi
diwilayah nasional, sehingga mulai dari konsep dan sistem pendanaannya pun
sangat menggantungkan dari utang dan hibah luar negeri. Sementara itu
pendekatan yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam melindungi sumberdaya
diwilayah laut dan pesisir adalah dengan pendekatan dual ekonomi (ekonomi
ganda) yang sudah berjalan turun temurun dimasyarakat.
Konservasi Berbasis Utang
Konservasi berbasis utang luar
negeri yang dikembangkan oleh pemerintah melalui program rehabilitasi dan
pengelolaan terumbu karang (Coremap) tidak berjalan optimal, sehingga akhirnya
hanya menambah beban utang luar negeri nasional. Hasil audit BPK (2013)
menyimpulkan bahwa program Coremap yang telah dilakukan oleh Kementerian
Kelautan dan Perikanan dan dinas kelautan dan perikanan provinsi/kabupaten/kota
belum efektif dilaksanakan secara optimal. Kesimpulan BPK (2013) tersebut didasarkan
pada temuan-temuan dilapagan, yaitu kegiatan penyadaran masyarakat belum
efektif, perangkat kelembagaan perlindungan ekosistem terumbu karang tidak
optimal, pengelolaan dana bergulir desa belum optimal, pengelolaan prasarana
fisik desa yang berasal dari dana COREMAP tidak optimal, kegiatan pengembangan
matapencaharian alternatif (MPA) pada Kota Batam dan Kabupaten Bintan Kepulauan
Riau tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat, pembangunan fasilitas pondok
informasi untuk mengakses informasi pengelolaan terumbu karang tidak efektif, Radio
Sistem MCS milik PMU Kabupaten Buton tahun 2010 senilai Rp. 1.800.000.000 yang
berasal dari dana pinjaman luar negeri dan APBD tidak dimanfaatkan, pengawasan
dan perlindungan di kawasan terumbu karang dengan menggunakan perahu pengawas
tidak tercapai, indikator biofisik dan sosial ekonomi di lokasi COREMAP tidak
menunjukan pencapaian signifikan, dan program Coremap II belum efektif menjamin
perlindungan terumbu karang.
Namun demikian walaupun hasil
audit BPK menunjukan ketidakefektifan program konservasi berbasis utang
tersebut, Kementerian Kelautan dan Perikanan tetap tidak peduli. KKP tetap
memilih memperbesar utang luar negeri untuk membiayai program-program yang
sudah terbukti tidak efektif tersebut, dibandingkan untuk melihat dan
memperdalam sistem konservasi yang sudah berjalan turun-temurun di masyarakat
nusantara. Padahal sistem konservasi berbasis lokal tersebut terbukti cukup
efektif bagi kelestarian lingkungan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Dual Ekonomi dan Sistem
Konservasi Lokal
Sistem konservasi laut yang
berkembang dimasyarakat lokal lebih didorong oleh sistem dual ekonomi yang ada
dimasyarakat pesisir. Dual ekonomi (ekonomi ganda) adalah kegiatan ekonomi
masyarakat pesisir berbasis kelautan/perikanan dan pertanian. Model dual economics ini sudah berkembang di wilayah pesisir, khususnya masyarakat di pulau-pulau kecil yang ada di
seluruh wilayah Indonesia. Tinjauan penulis di dua lokasi yang berbeda, yaitu di Desa Pulau
Lemukutan Kabupaten Bengkayang Kalimantan Barat (2013) dan Desa Autubun
Kabupaten Maluku Tenggara Barat (2007) menunjukkan bahwa sistem dual ekonomi
tersebut cukup efektif dalam menjaga kelestarian lingkungan dan kesejahteraan
masyarakat lokal.
Tinjauan penulis (2013) di masyarakat
Pulau Lemukutan Kabupaten Bengkayang Kalimantan Barat sistem ekonominya
cenderung dibentuk oleh musim Cengkeh dan Ikan. Cengkeh merupakan komoditas
utama penggerak ekonomi masyarakat Pulau Lemukutan. Musim Cengkeh biasanya
berlangsung pada Bulan April-Juli setiap tahunnya. Pada musim Cengkeh,
aktivitas menangkap ikan cenderung tidak dilakukan oleh masyarakat Pulau
Lemukutan. Masyarakat lebih terkonsentrasi dalam memanen cengkeh. Harga cengkeh
saat ini di Pulau Lemukutan sekitar Rp. 100.000 – Rp. 130.000 per kilogram,
sementara harga Cengkeh di Kota Singkawang tempat masyarakat menjual hasil
panen nya berkisar antara Rp. 130.000 – Rp. 150.000 per kilogram. Harga tersebut
tentu lebih tinggi dibandingkan harga ikan yang cenderung tidak pernah
mengalami peningkatan. Berhentinya aktivitas menangkap ikan disaat musim panen
cengkeh ternyata berdampak positip bagi kelestarian sumberdaya ikan dan
ekosistem pesisir seperti terumbu karang. Hasil survey (2013) menunjukan bahwa
di sekitar Pulau Lemukutan tersebut masih ditemukan ikan-ikan kerapu dengan
panjang lebih dari satu meter yang berenang bebas di sekitar perairan tersebut.
Selain itu juga kondisi terumbu karang masih sangat terjaga dengan baik,
ikan-ikan karang pun masih cukup banyak. Inilah sistem ekonomi yang berdampak
baik bagi kesejahteraan masyarakat dan kelestarian sumberdaya alam yang ada di
sekitarnya. Oleh sebab itu sistem ekonomi yang sudah berlangsung secara turun
temurun tersebut perlu didukung oleh kebijakan pemerintah dan pemerintah daerah
yang berpihak pada keberlangsungan sistem ekonomi lokal tersebut.
Hal yang sama juga terjadi di masyarakat gugusan Kepulauan Tanimbar Kabupaten Maluku Tenggara Barat, khususnya di desa Autubun
Kecamatan Wertambrian. Masyarakat disana masih memiliki kearifan lokal yang sampai saat ini masih
terjaga secara baik, yaitu sasi. Sasi merupakan aturan adat yang melarang
pengambilan/pemanenan hasil laut atau hasil kebun (kelapa) pada periode
tertentu. Larangan ini akan dicabut oleh
Latupati yang menandai
masa panen atau biasa disebut “buka sasi”. Jika sasi diperlakukan
di pesisir, maka wilayahnya sampai pada meti- istilah lokal untuk daerah
pasang surut. Setiap
wilayah sasi memiliki petuanan, kalau di Saumlaki disebut sebagai
Mangfwaluruk. Sasi yang ada di Desa
Autubun dapat dibagi menjadi dua, yaitu pertama,
sasi darat, yaitu sasi yang dilakukan diwilayah darat, seperti sasi kelapa,
sasi kayu besi, sasi kayu lenggoa, sasi kemiri dan sasi kayu kuning. Kedua,
sasi laut, yaitu sasi yang diterapkan di wilayah perairan laut, seperti sasi
lola, sasi teripang dan sasi batulaga.
Berdasarkan
hal tersebut, perbedaan mendasar dari konservasi berbasis lokal dengan utang
luar negeri adalah dalam sistem lokal, sistem ekonomi yang dibentuk di
masyarakat adalah dual ekonomi. Sehingga masyarakat memiliki aktivitas ekonomi
ganda yang saling mendukung dan selaras dengan upaya melestarikan sumberdaya
ikan dan biota lainnya yang ada disekitar pesisir. Sementara dalam sistem
konservasi yang diusung pemerintah selama ini lebih memfokuskan untuk
mengembangkan Mata Pencaharian Alternatif (MPA) guna mengurangi aktifitas
penangkapan ikan atau biota lainya di wilayah perairan,sehingga wajar hasilnya pun
hanya sebatas alternatif saja. Akibatnya sistem konservasi berbasis MPA
tersebut tidak berdampak terhadap kelestarian sumberdaya ikan dan biota laut
lainnya.
Alhasil, pendekatan pelestarian
sumberdaya pulau-pulau kecil, pesisir dan laut hendaknya mengedepankan
nilai-nilai lokal yang telah berkembang turun temurun diwilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil di seluruh wilayah nusantara. Sementara itu pelestarian
sumberdaya pulau-pulau kecil, pesisir dan laut berbasiskan utang asing hanya
akan mencederai tujuan mulia tersebut dan hanya akan membebani utang
pemerintah.
Catatan :
Tulisan ini dimuat pada Harian Sinar Harapan Edisi Tanggal 19 Juli 2013.
Linknya dapat dilihat di : http://cetak.shnews.co/web/read/2013-07-19/15494/dual.ekonomi.dan.konservasi.berbasis.lokal#.Ufc2rm2CDwU
22 Mei 2013
Keindahan Alam diatas Perairan Antara Biak-Makassar
Photo ini diambil pada hari Minggu, 19 Mei 2013 diatas perairan antara Biak sampai Makassar. Pesawat merpati yang membawa saya dari Jayapura ke Jakarta, transit dulu di Biak dan Makassar.
Sunrise di Atas Danau Sentani Jayapura
Sunrise diatas Danau Sentani Jayapura merupakan hasil bidikan sendiri dalam perjalanan ke Jayapura pada hari Sabtu, 18 Mei 2013. Keindahan alam di Jayapura sangat menarik untuk dijadikan salah satu tujuan kunjungan wisata bahari, terlebih Jayapura saat ini terlihat sangat rapi dan bersih.
12 Desember 2012
Ikan Subsidi dan “Degrowth” Ekonomi Perikanan
Ikan Subsidi dan “Degrowth” Ekonomi Perikanan
Suhana* | Selasa, 11 Desember 2012 - 14:55:48 WIB
: 107
(dok/ist)
Pemerintah harus menyediakan aturan yang tegas.
Kebijakan ekonomi perikanan sampai saat
ini belum menemukan suatu konsep yang benar-benar berpihak pada
kepentingan rakyat dan masa depan bangsa dan negara.
Menurut catatan
penulis, berbagai kebijakan ekonomi perikanan mulai dari Protekan
2003, Gerbang Mina Bahari, Revitalisasi Perikanan, Minapolitan dan
Blue Economic saat ini, semuanya berorientasi pada kepentingan asing,
terutama dalam memenuhi kebutuhan negara-negara maju akan sumber daya
ikan yang berkualitas tinggi.
Hal ini tercermin dari target indikator
kinerja utama Kementerian Kelautan dan Perikanan yang mengedepankan
peningkatan volume ekspor ikan dan produk perikanan, dibandingkan
perbaikan dan peningkatan pasar dalam negeri. Lebih prihatin lagi,
pasokan ikan untuk memenuhi kebutuhan negara-negara maju tersebut
difasilitasi dengan BBM bersubsidi.
Penggunaan BBM bersubsidi untuk usaha
perikanan saat ini diatur dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia
Nomor 15 Tahun 2012 tentang Harga Jual Eceran dan Konsumen Pengguna
Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu.
Dalam lampiran perpres tersebut
dijelaskan bahwa usaha perikanan termasuk yang memiliki yang dimaksud
dengan usaha perikanan tersebut adalah (a) Nelayan yang menggunakan
kapal ikan Indonesia dengan ukuran maksimum 30 GT dan diberikan
kebutuhan BBM paling banyak 25 (dua puluh lima) kiloliter/bulan untuk
kegiatan penangkapan ikan; (b) Nelayan yang menggunakan kapal ikan
Indonesia dengan ukuran di atas 30 GT dan diberikan kebutuhan BBM
paling banyak 25 (dua puluh lima) kiloliter/bulan untuk kegiatan
penangkapan ikan; (c) Pembudi daya-ikan kecil yang menggunakan sarana
pembudidayaan ikan untuk operasional perbenihan dan pembesaran.
Tingginya kepentingan asing di sektor
perikanan tercermin juga dari tingginya nilai investasi asing di
sektor kelautan dan perikanan. Data Badan Koordinasi Penanaman Modal
(BKPM 2012) menunjukan bahwa sampai triwulan 2 2012, investasi sektor
perikanan 94,11 persen dikuasai asing.
Bahkan, dalam dua tahun
terakhir (2010 dan 2011) investasi asing di sektor perikanan mencapai
di atas 99 persen. Bahkan, informasi di lapangan menunjukkan
kapal-kapal perikanan yang bersumber dari investasi asing tersebut
semuanya berbendera Indonesia, hal ini dimaksudkan supaya mereka bisa
menikmati BBM bersubsidi yang disediakan pemerintah.
Subsidi perikanan (BBM, pakan, kapal,
dll) sampai saat ini penulis masih memandang sangat diperlukan untuk
mendukung usaha perikanan nasional, khususnya usaha perikanan kecil
dan menengah (UMKM Perikanan).
Dengan adanya subsidi perikanan
tersebut diharapkan ikan-ikan yang dihasilkan oleh subsidi perikanan
tersebut dapat seratus persen dimanfaatkan dan dinikmati masyarakat
Indonesia sendiri, melalui ketersediaan ikan-ikan kualitas baik
dengan harga subsidi.
Namun demikian, yang terjadi sampai
saat ini ikan-ikan hasil tangkapan nelayan dan perusahaan perikanan
skala industri yang telah memanfaatkan BBM bersubsidi sebagian besar
diekspor ke pasar-pasar negara maju, seperti Jepang, Uni Eropa dan
Amerika Serikat, terutama untuk ikan-ikan kualitas 1 dan 2.
Hasil
survei lapangan penulis di beberapa lokasi sentra produksi perikanan
menunjukkan bahwa ikan-ikan berkualitas 1 dan 2 rata-rata diekspor ke
Jepang, Amerika dan Uni Eropa, sementara ikan kualitas 3, 4 dan ikan
asin rata-rata untuk konsumsi restoran dan pasar lokal.
Artinya bahwa
selama ini pemerintah secara sistematis telah berperan dalam
menyediakan pasokan kebutuhan ikan negara maju dengan memanfaatkan
uang rakyat.
Peningkatan Gizi Rakyat
Polanco (2012) menyatakan bahwa
konsumsi ikan masyarakat merupakan fungsi dari pendapatan yang dapat
dibelanjakan dan harga ikan. Dengan meningkatnya pendapatan atau
menurunnya harga ikan maka akan berdampak positif terhadap
peningkatan konsumsi ikan masyarakat.
Peran subsidi perikanan adalah
untuk menurunkan biaya produksi yang harus ditanggung para nelayan
dan pengusaha perikanan. Biaya produksi perusahaan perikanan 60-70
persen merupakan biaya untuk bahan bakar minyak.
Dengan demikian,
seharusnya ikan-ikan segar yang berkualitas bagus yang dihasilkan
kapal-kapal perikanan bersubsidi tersebut dipasarkan di dalam negeri
dengan harga terjangkau (harga subsidi). Ini karena anggaran subsidi
BBM tersebut berasal dari uang rakyat, jadi sudah sepantasnya juga
ikan hasil produksinya dinikmati rakyat Indonesia.
Selain itu, ketersediaan ikan subsidi
berkualitas baik tersebut diperlukan guna meningkatkan kualitas
sumber daya manusia Indonesia yang saat ini kondisi gizinya sangat
mengkhawatirkan, terutama sumber daya manusia di sentra-sentra
produksi ikan.
Dokumen Bappenas (2010) menunjukkan bahwa bayi yang
kekurangan gizi masih sangat tinggi, terutama di provinsi-provinsi
berbasis sektor kelautan dan perikanan.
Misalnya Maluku (27,8
persen), Maluku Utara (22,8 persen), Nusa Tenggara Timur (33,6
persen), Nusa Tenggara Barat (24,8 persen), Sulawesi Tenggara (27,6
persen), Papua (21,2 persen), Papua Barat (23,2 persen), Gorontalo
(25,4 persen), Riau (21,4 persen), Kalimantan Barat (22,5 persen),
dan Kalimantan Timur (19,3 persen).
Berdasarkan kondisi
tersebut sudah saatnya ikan-ikan yang dihasilkan dari subsidi
perikanan dapat dinikmati seluruh masyarakat Indonesia. Oleh sebab
itu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan pemerintah, yaitu
pertama reorientasi kebijakan ekonomi perikanan dari pertumbuhan
volume ekspor ikan (growth) ke penurun volume ekspor (degrowth).
Hal
ini sesuai dengan amanat Pasal 25B Ayat (2) UU No 45 Tahun 2009
tentang Perubahan UU No 31 Tahun 2004 tentang Perikanan yang secara
tegas menyatakan bahwa pengeluaran hasil produksi usaha perikanan ke
luar negeri (ekspor) dilakukan apabila produksi dan pasokan di dalam
negeri telah mencukupi kebutuhan konsumsi nasional.
Kedua, pemerintah harus menyediakan
aturan yang tegas terkait siapa saja yang dapat memanfaatkan BBM
bersubsidi di sektor perikanan. Industri perikanan yang akan
memanfaatkan BBM bersubsidi diharuskan membuat nota kesepahaman agar
ikan-ikan yang dihasilkan industri tersebut 100 persen untuk
kepentingan masyarakat Indonesia.
Industri perikanan nasional harus
didorong untuk berkomitmen dalam meningkatkan kualitas sumber daya
manusia Indonesia yang baik melalui ketersediaan ikan-ikan
berkualitas gizi yang baik dengan harga yang terjangkau. Sementara
itu, kapal-kapal asing berbendera Indonesia dilarang 100 persen
menggunakan BBM bersubsidi.
Ketiga, tindak tegas
para pelaku ekspor dan impor ikan ilegal. Data UN-Comtrade (2011)
mengindikasikan semakin maraknya ekspor ikan tuna ilegal dari
Indonesia ke Thailand. Pada 2000 tercatat dugaan ekspor ikan tuna
Albacore secara ilegal mencapai 52 persen dari total volume ekspor
ikan tuna Albacore Indonesia ke Thailand, yaitu mencapai 271.419
kg dengan nilai mencapai US$ 1.070.630.
Sementara itu, pada 2010, dugaan ekspor ikan tuna Albacore ilegal ke
Thailand semakin meningkat sampai 69,20 persen dari total volume
ekspor ikan tuna Albacore Indonesia ke Thailand. Volume ekspor ikan
tuna Albacore ilegal dari Indonesia ke Thailand tahun 2010
diperkirakan mencapai 2.352.724 kg dengan nilai mencapai US$
8.326.839.
Jadi, pemerintah perlu menyusun
kebijakan yang berpihak pada kepentingan rakyat dan masa depan bangsa
melalui “Degrowth” Ekonomi Perikanan dan Gerakan Makan Ikan Segar
Produksi Dalam Negeri.
*Penulis adalah Kepala Riset Pusat
Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim.
Sumber : http://www.shnews.co/detile-12072-ikan-subsidi-dan-%E2%80%9Cdegrowth%E2%80%9D-ekonomi-perikanan.html#
Langganan:
Postingan (Atom)
Saatnya Mewujudkan Negara Kepulauan Indonesia
"UUD 1945 Pasal 25E telah mengamantkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang"