Ikan Subsidi dan “Degrowth” Ekonomi Perikanan
Suhana* | Selasa, 11 Desember 2012 - 14:55:48 WIB
: 107
(dok/ist)
Pemerintah harus menyediakan aturan yang tegas.
Kebijakan ekonomi perikanan sampai saat
ini belum menemukan suatu konsep yang benar-benar berpihak pada
kepentingan rakyat dan masa depan bangsa dan negara.
Menurut catatan
penulis, berbagai kebijakan ekonomi perikanan mulai dari Protekan
2003, Gerbang Mina Bahari, Revitalisasi Perikanan, Minapolitan dan
Blue Economic saat ini, semuanya berorientasi pada kepentingan asing,
terutama dalam memenuhi kebutuhan negara-negara maju akan sumber daya
ikan yang berkualitas tinggi.
Hal ini tercermin dari target indikator
kinerja utama Kementerian Kelautan dan Perikanan yang mengedepankan
peningkatan volume ekspor ikan dan produk perikanan, dibandingkan
perbaikan dan peningkatan pasar dalam negeri. Lebih prihatin lagi,
pasokan ikan untuk memenuhi kebutuhan negara-negara maju tersebut
difasilitasi dengan BBM bersubsidi.
Penggunaan BBM bersubsidi untuk usaha
perikanan saat ini diatur dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia
Nomor 15 Tahun 2012 tentang Harga Jual Eceran dan Konsumen Pengguna
Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu.
Dalam lampiran perpres tersebut
dijelaskan bahwa usaha perikanan termasuk yang memiliki yang dimaksud
dengan usaha perikanan tersebut adalah (a) Nelayan yang menggunakan
kapal ikan Indonesia dengan ukuran maksimum 30 GT dan diberikan
kebutuhan BBM paling banyak 25 (dua puluh lima) kiloliter/bulan untuk
kegiatan penangkapan ikan; (b) Nelayan yang menggunakan kapal ikan
Indonesia dengan ukuran di atas 30 GT dan diberikan kebutuhan BBM
paling banyak 25 (dua puluh lima) kiloliter/bulan untuk kegiatan
penangkapan ikan; (c) Pembudi daya-ikan kecil yang menggunakan sarana
pembudidayaan ikan untuk operasional perbenihan dan pembesaran.
Tingginya kepentingan asing di sektor
perikanan tercermin juga dari tingginya nilai investasi asing di
sektor kelautan dan perikanan. Data Badan Koordinasi Penanaman Modal
(BKPM 2012) menunjukan bahwa sampai triwulan 2 2012, investasi sektor
perikanan 94,11 persen dikuasai asing.
Bahkan, dalam dua tahun
terakhir (2010 dan 2011) investasi asing di sektor perikanan mencapai
di atas 99 persen. Bahkan, informasi di lapangan menunjukkan
kapal-kapal perikanan yang bersumber dari investasi asing tersebut
semuanya berbendera Indonesia, hal ini dimaksudkan supaya mereka bisa
menikmati BBM bersubsidi yang disediakan pemerintah.
Subsidi perikanan (BBM, pakan, kapal,
dll) sampai saat ini penulis masih memandang sangat diperlukan untuk
mendukung usaha perikanan nasional, khususnya usaha perikanan kecil
dan menengah (UMKM Perikanan).
Dengan adanya subsidi perikanan
tersebut diharapkan ikan-ikan yang dihasilkan oleh subsidi perikanan
tersebut dapat seratus persen dimanfaatkan dan dinikmati masyarakat
Indonesia sendiri, melalui ketersediaan ikan-ikan kualitas baik
dengan harga subsidi.
Namun demikian, yang terjadi sampai
saat ini ikan-ikan hasil tangkapan nelayan dan perusahaan perikanan
skala industri yang telah memanfaatkan BBM bersubsidi sebagian besar
diekspor ke pasar-pasar negara maju, seperti Jepang, Uni Eropa dan
Amerika Serikat, terutama untuk ikan-ikan kualitas 1 dan 2.
Hasil
survei lapangan penulis di beberapa lokasi sentra produksi perikanan
menunjukkan bahwa ikan-ikan berkualitas 1 dan 2 rata-rata diekspor ke
Jepang, Amerika dan Uni Eropa, sementara ikan kualitas 3, 4 dan ikan
asin rata-rata untuk konsumsi restoran dan pasar lokal.
Artinya bahwa
selama ini pemerintah secara sistematis telah berperan dalam
menyediakan pasokan kebutuhan ikan negara maju dengan memanfaatkan
uang rakyat.
Peningkatan Gizi Rakyat
Polanco (2012) menyatakan bahwa
konsumsi ikan masyarakat merupakan fungsi dari pendapatan yang dapat
dibelanjakan dan harga ikan. Dengan meningkatnya pendapatan atau
menurunnya harga ikan maka akan berdampak positif terhadap
peningkatan konsumsi ikan masyarakat.
Peran subsidi perikanan adalah
untuk menurunkan biaya produksi yang harus ditanggung para nelayan
dan pengusaha perikanan. Biaya produksi perusahaan perikanan 60-70
persen merupakan biaya untuk bahan bakar minyak.
Dengan demikian,
seharusnya ikan-ikan segar yang berkualitas bagus yang dihasilkan
kapal-kapal perikanan bersubsidi tersebut dipasarkan di dalam negeri
dengan harga terjangkau (harga subsidi). Ini karena anggaran subsidi
BBM tersebut berasal dari uang rakyat, jadi sudah sepantasnya juga
ikan hasil produksinya dinikmati rakyat Indonesia.
Selain itu, ketersediaan ikan subsidi
berkualitas baik tersebut diperlukan guna meningkatkan kualitas
sumber daya manusia Indonesia yang saat ini kondisi gizinya sangat
mengkhawatirkan, terutama sumber daya manusia di sentra-sentra
produksi ikan.
Dokumen Bappenas (2010) menunjukkan bahwa bayi yang
kekurangan gizi masih sangat tinggi, terutama di provinsi-provinsi
berbasis sektor kelautan dan perikanan.
Misalnya Maluku (27,8
persen), Maluku Utara (22,8 persen), Nusa Tenggara Timur (33,6
persen), Nusa Tenggara Barat (24,8 persen), Sulawesi Tenggara (27,6
persen), Papua (21,2 persen), Papua Barat (23,2 persen), Gorontalo
(25,4 persen), Riau (21,4 persen), Kalimantan Barat (22,5 persen),
dan Kalimantan Timur (19,3 persen).
Berdasarkan kondisi
tersebut sudah saatnya ikan-ikan yang dihasilkan dari subsidi
perikanan dapat dinikmati seluruh masyarakat Indonesia. Oleh sebab
itu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan pemerintah, yaitu
pertama reorientasi kebijakan ekonomi perikanan dari pertumbuhan
volume ekspor ikan (growth) ke penurun volume ekspor (degrowth).
Hal
ini sesuai dengan amanat Pasal 25B Ayat (2) UU No 45 Tahun 2009
tentang Perubahan UU No 31 Tahun 2004 tentang Perikanan yang secara
tegas menyatakan bahwa pengeluaran hasil produksi usaha perikanan ke
luar negeri (ekspor) dilakukan apabila produksi dan pasokan di dalam
negeri telah mencukupi kebutuhan konsumsi nasional.
Kedua, pemerintah harus menyediakan
aturan yang tegas terkait siapa saja yang dapat memanfaatkan BBM
bersubsidi di sektor perikanan. Industri perikanan yang akan
memanfaatkan BBM bersubsidi diharuskan membuat nota kesepahaman agar
ikan-ikan yang dihasilkan industri tersebut 100 persen untuk
kepentingan masyarakat Indonesia.
Industri perikanan nasional harus
didorong untuk berkomitmen dalam meningkatkan kualitas sumber daya
manusia Indonesia yang baik melalui ketersediaan ikan-ikan
berkualitas gizi yang baik dengan harga yang terjangkau. Sementara
itu, kapal-kapal asing berbendera Indonesia dilarang 100 persen
menggunakan BBM bersubsidi.
Ketiga, tindak tegas
para pelaku ekspor dan impor ikan ilegal. Data UN-Comtrade (2011)
mengindikasikan semakin maraknya ekspor ikan tuna ilegal dari
Indonesia ke Thailand. Pada 2000 tercatat dugaan ekspor ikan tuna
Albacore secara ilegal mencapai 52 persen dari total volume ekspor
ikan tuna Albacore Indonesia ke Thailand, yaitu mencapai 271.419
kg dengan nilai mencapai US$ 1.070.630.
Sementara itu, pada 2010, dugaan ekspor ikan tuna Albacore ilegal ke
Thailand semakin meningkat sampai 69,20 persen dari total volume
ekspor ikan tuna Albacore Indonesia ke Thailand. Volume ekspor ikan
tuna Albacore ilegal dari Indonesia ke Thailand tahun 2010
diperkirakan mencapai 2.352.724 kg dengan nilai mencapai US$
8.326.839.
Jadi, pemerintah perlu menyusun
kebijakan yang berpihak pada kepentingan rakyat dan masa depan bangsa
melalui “Degrowth” Ekonomi Perikanan dan Gerakan Makan Ikan Segar
Produksi Dalam Negeri.
*Penulis adalah Kepala Riset Pusat
Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim.
Sumber : http://www.shnews.co/detile-12072-ikan-subsidi-dan-%E2%80%9Cdegrowth%E2%80%9D-ekonomi-perikanan.html#
Tidak ada komentar:
Posting Komentar