Oleh : Suhana
Kepala Riset Pusat Kajian
Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim
Konservasi merupakan salah satu
upaya untuk melindungi sumberdaya sumberdaya ikan dan biota laut lainnya dari
kepunahan. Berbagai upaya telah dilakukan baik oleh masyarakat lokal dan
pemerintah dalam upaya melakukan konservasi di wilayah laut. Namun demikian
pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah dengan masyarakat lokal sangat jauh
berbeda. Pemerintah lebih mengedepankan peran asing dalam melakukan konservasi
diwilayah nasional, sehingga mulai dari konsep dan sistem pendanaannya pun
sangat menggantungkan dari utang dan hibah luar negeri. Sementara itu
pendekatan yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam melindungi sumberdaya
diwilayah laut dan pesisir adalah dengan pendekatan dual ekonomi (ekonomi
ganda) yang sudah berjalan turun temurun dimasyarakat.
Konservasi Berbasis Utang
Konservasi berbasis utang luar
negeri yang dikembangkan oleh pemerintah melalui program rehabilitasi dan
pengelolaan terumbu karang (Coremap) tidak berjalan optimal, sehingga akhirnya
hanya menambah beban utang luar negeri nasional. Hasil audit BPK (2013)
menyimpulkan bahwa program Coremap yang telah dilakukan oleh Kementerian
Kelautan dan Perikanan dan dinas kelautan dan perikanan provinsi/kabupaten/kota
belum efektif dilaksanakan secara optimal. Kesimpulan BPK (2013) tersebut didasarkan
pada temuan-temuan dilapagan, yaitu kegiatan penyadaran masyarakat belum
efektif, perangkat kelembagaan perlindungan ekosistem terumbu karang tidak
optimal, pengelolaan dana bergulir desa belum optimal, pengelolaan prasarana
fisik desa yang berasal dari dana COREMAP tidak optimal, kegiatan pengembangan
matapencaharian alternatif (MPA) pada Kota Batam dan Kabupaten Bintan Kepulauan
Riau tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat, pembangunan fasilitas pondok
informasi untuk mengakses informasi pengelolaan terumbu karang tidak efektif, Radio
Sistem MCS milik PMU Kabupaten Buton tahun 2010 senilai Rp. 1.800.000.000 yang
berasal dari dana pinjaman luar negeri dan APBD tidak dimanfaatkan, pengawasan
dan perlindungan di kawasan terumbu karang dengan menggunakan perahu pengawas
tidak tercapai, indikator biofisik dan sosial ekonomi di lokasi COREMAP tidak
menunjukan pencapaian signifikan, dan program Coremap II belum efektif menjamin
perlindungan terumbu karang.
Namun demikian walaupun hasil
audit BPK menunjukan ketidakefektifan program konservasi berbasis utang
tersebut, Kementerian Kelautan dan Perikanan tetap tidak peduli. KKP tetap
memilih memperbesar utang luar negeri untuk membiayai program-program yang
sudah terbukti tidak efektif tersebut, dibandingkan untuk melihat dan
memperdalam sistem konservasi yang sudah berjalan turun-temurun di masyarakat
nusantara. Padahal sistem konservasi berbasis lokal tersebut terbukti cukup
efektif bagi kelestarian lingkungan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Dual Ekonomi dan Sistem
Konservasi Lokal
Sistem konservasi laut yang
berkembang dimasyarakat lokal lebih didorong oleh sistem dual ekonomi yang ada
dimasyarakat pesisir. Dual ekonomi (ekonomi ganda) adalah kegiatan ekonomi
masyarakat pesisir berbasis kelautan/perikanan dan pertanian. Model dual economics ini sudah berkembang di wilayah pesisir, khususnya masyarakat di pulau-pulau kecil yang ada di
seluruh wilayah Indonesia. Tinjauan penulis di dua lokasi yang berbeda, yaitu di Desa Pulau
Lemukutan Kabupaten Bengkayang Kalimantan Barat (2013) dan Desa Autubun
Kabupaten Maluku Tenggara Barat (2007) menunjukkan bahwa sistem dual ekonomi
tersebut cukup efektif dalam menjaga kelestarian lingkungan dan kesejahteraan
masyarakat lokal.
Tinjauan penulis (2013) di masyarakat
Pulau Lemukutan Kabupaten Bengkayang Kalimantan Barat sistem ekonominya
cenderung dibentuk oleh musim Cengkeh dan Ikan. Cengkeh merupakan komoditas
utama penggerak ekonomi masyarakat Pulau Lemukutan. Musim Cengkeh biasanya
berlangsung pada Bulan April-Juli setiap tahunnya. Pada musim Cengkeh,
aktivitas menangkap ikan cenderung tidak dilakukan oleh masyarakat Pulau
Lemukutan. Masyarakat lebih terkonsentrasi dalam memanen cengkeh. Harga cengkeh
saat ini di Pulau Lemukutan sekitar Rp. 100.000 – Rp. 130.000 per kilogram,
sementara harga Cengkeh di Kota Singkawang tempat masyarakat menjual hasil
panen nya berkisar antara Rp. 130.000 – Rp. 150.000 per kilogram. Harga tersebut
tentu lebih tinggi dibandingkan harga ikan yang cenderung tidak pernah
mengalami peningkatan. Berhentinya aktivitas menangkap ikan disaat musim panen
cengkeh ternyata berdampak positip bagi kelestarian sumberdaya ikan dan
ekosistem pesisir seperti terumbu karang. Hasil survey (2013) menunjukan bahwa
di sekitar Pulau Lemukutan tersebut masih ditemukan ikan-ikan kerapu dengan
panjang lebih dari satu meter yang berenang bebas di sekitar perairan tersebut.
Selain itu juga kondisi terumbu karang masih sangat terjaga dengan baik,
ikan-ikan karang pun masih cukup banyak. Inilah sistem ekonomi yang berdampak
baik bagi kesejahteraan masyarakat dan kelestarian sumberdaya alam yang ada di
sekitarnya. Oleh sebab itu sistem ekonomi yang sudah berlangsung secara turun
temurun tersebut perlu didukung oleh kebijakan pemerintah dan pemerintah daerah
yang berpihak pada keberlangsungan sistem ekonomi lokal tersebut.
Hal yang sama juga terjadi di masyarakat gugusan Kepulauan Tanimbar Kabupaten Maluku Tenggara Barat, khususnya di desa Autubun
Kecamatan Wertambrian. Masyarakat disana masih memiliki kearifan lokal yang sampai saat ini masih
terjaga secara baik, yaitu sasi. Sasi merupakan aturan adat yang melarang
pengambilan/pemanenan hasil laut atau hasil kebun (kelapa) pada periode
tertentu. Larangan ini akan dicabut oleh
Latupati yang menandai
masa panen atau biasa disebut “buka sasi”. Jika sasi diperlakukan
di pesisir, maka wilayahnya sampai pada meti- istilah lokal untuk daerah
pasang surut. Setiap
wilayah sasi memiliki petuanan, kalau di Saumlaki disebut sebagai
Mangfwaluruk. Sasi yang ada di Desa
Autubun dapat dibagi menjadi dua, yaitu pertama,
sasi darat, yaitu sasi yang dilakukan diwilayah darat, seperti sasi kelapa,
sasi kayu besi, sasi kayu lenggoa, sasi kemiri dan sasi kayu kuning. Kedua,
sasi laut, yaitu sasi yang diterapkan di wilayah perairan laut, seperti sasi
lola, sasi teripang dan sasi batulaga.
Berdasarkan
hal tersebut, perbedaan mendasar dari konservasi berbasis lokal dengan utang
luar negeri adalah dalam sistem lokal, sistem ekonomi yang dibentuk di
masyarakat adalah dual ekonomi. Sehingga masyarakat memiliki aktivitas ekonomi
ganda yang saling mendukung dan selaras dengan upaya melestarikan sumberdaya
ikan dan biota lainnya yang ada disekitar pesisir. Sementara dalam sistem
konservasi yang diusung pemerintah selama ini lebih memfokuskan untuk
mengembangkan Mata Pencaharian Alternatif (MPA) guna mengurangi aktifitas
penangkapan ikan atau biota lainya di wilayah perairan,sehingga wajar hasilnya pun
hanya sebatas alternatif saja. Akibatnya sistem konservasi berbasis MPA
tersebut tidak berdampak terhadap kelestarian sumberdaya ikan dan biota laut
lainnya.
Alhasil, pendekatan pelestarian
sumberdaya pulau-pulau kecil, pesisir dan laut hendaknya mengedepankan
nilai-nilai lokal yang telah berkembang turun temurun diwilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil di seluruh wilayah nusantara. Sementara itu pelestarian
sumberdaya pulau-pulau kecil, pesisir dan laut berbasiskan utang asing hanya
akan mencederai tujuan mulia tersebut dan hanya akan membebani utang
pemerintah.
Catatan :
Tulisan ini dimuat pada Harian Sinar Harapan Edisi Tanggal 19 Juli 2013.
Linknya dapat dilihat di : http://cetak.shnews.co/web/read/2013-07-19/15494/dual.ekonomi.dan.konservasi.berbasis.lokal#.Ufc2rm2CDwU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar