RUU PESISIR MASIH MENYIMPAN POTENSI MELANGGAR UUD 1945[1]
OLEH : SUHANA[2]
Berdasarkan Draft Naskah RUU Perubahan Atas UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, terlihat masih terdapat pasal-pasal yang berpotensi melanggar UUD 1945. Dalam Draft RUU Pesisir Pasal 22 disebutkan Ayat (1) dijelaskan bahwa Izin lokasi tidak dapat diberikan pada zona inti di kawasan konservasi, alur laut, kawasan pelabuhan dan pantai umum. Artinya bahwa wilayah hak ulayat perairan dapat diberikan izin lokasi kepada pihak swasta. Keberadaan Pasal 22 tersebut sejalan dengan Pasal 21B Draft RUU pesisir yang menyataakan bahwa pemberian izin lokasi dalam wilayah hak ulayat perairan dapat dilakukan setelah memperoleh persetujuan dari masyarakat hukum adat.
Dengan diberikannya peluang pemberian izin lokasi di wilayah hak ulayat perairan menunjukan bahwa RUU ini tidak berupaya untuk memberikan perlakuan khusus bagi masyarakat adat guna mencapai keadilan seperti yang diamanatkan dalam UUD 1945. Amanat UUD 1945 Pasal 18 B Ayat (2) menyatakan “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”. Sementara itu dalam Pasal 28 H Ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa (1) setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.
Selain itu juga dengan diberikannya peluang pemberian izin dilokasi wilayah hak ulayat perairan berpotensi menimbulkan konflik antara masyarakat adat dengan pemilik izin lokasi tersebut. Kita perlu belajar dari kasus konflik masyarakat adat sasi di Maluku Tenggara dengan salah satu perusahaan perikanan terbesar yang ada di wilayah Tual Maluku Tenggara (Lihat Boks) pada tahun 2009.
|
Selain itu juga yang perlu mendapatkan perlindungan adalah wilayah tangkap nelayan kecil/tradisional. Penelusuran Penulis dengan Tim Ekspedisi Pesisir Jakarta Tahun 2007 yang digagas oleh Harian Umum Sinar Harapan menemukan bahwa adanya nelayan pesisir Jakarta seakan tidak lagi memiliki akses terhadap kawasan yang mereka tempati selama beberapa tahun kebelakang. Untuk mendaratkan perahu serta ikan tangkapannya di beberapa titik pesisir Teluk Jakarta pun sulit. Seperti di sepanjang kawasan industri Tanjungpriok dan Cilincing, para nelayan sama sekali tak dapat menjangkau pantai-pantai yang kini dimiliki pihak swasta tersebut. Dari sepanjang kurang lebih 23 kilometer panjang wilayah pesisir Jakarta (Cilincing hingga Muara Kamal), para nelayan tradisional itu hanya dapat mendarati beberapa pantai yang panjangnya hanya beberapa kilometer. Sisanya harus mereka “relakan” karena penguasaannya telah beralih kepada perorangan, badan swasta ataupun badan usaha milik Negara (BUMN).
Sumber : Harian Umum Sinar Harapan, Selasa, 28 Agustus 2007
Berdasarkan hal tersebut untuk memberikan penguatan dan perlindungan yang optimal terhadap masyarakat adat, Pasal 22 Ayat (1) harusnya berbunyi "Izin lokasi tidak dapat diberikan pada zona inti di kawasan konservasi, alur laut, kawasan pelabuhan, wilayah hukum adat (baik tertulis maupun tidak tertulis), wilayah tangkap nelayan kecil/tradisional dan pantai umum. Sejalan dengan perubahan bunyi Pasal 22 Ayat (1), maka keberadaan Pasal 21B RUU Pesisir perlu dibatalkan.
Stop Peran Asing Di Wilayah Pesisir
Pasal 23 Ayat (4) RUU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil menyatakan bahwa Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan pemanfaatan perairan di sekitarnya oleh orang asing harus mendapat persetujuan Menteri. Artinya bahwa orang asing diberikan peluang untuk “menguasai” perairan pesisir. Ketentuan Pasal 23 Ayat (4) ini bertentangan dengan Pasal 18 RUU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil, dimana izin lokasi hanya diberikan bagi orang warga negara Indonesia atau badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia. Selain itu juga diperbolehkannya orang asing dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir merupakan bentuk penjajahan ekonomi seperti yang terjadi saat ini disektor perikanan dan pariwisata bahari. Berdasarkan hal tersebut keberadaan Pasal 23 Ayat (4) perlu ditiadakan.
Diakhir tulisan singkat ini penulis menegaskan bahwa tanpa adanya perlakuan dan perlindungan khusus bagi masyarakat hak ulayat dan nelayan tradisional, dikhawatirkan RUU Pesisir dan Pulau Kecil ini akan kembali melanggar UUD 1945.
Referensi
Harian Umum Sinar Harapan, 2007. Tempat Berlabuh yang Terenggut Pembangunan. Edisi Selasa, 28 Agustus 2007;
Koalisi Tolak HP-3. Menghidupkan Kembali Konstitusi Kepulauan. Perjuangan Nelayan di Mahkamah Konstitusi. Diterbitkan oleh KIARA, Cetakan Pertama April 2012;
Suhana, 2011. Ekonomi Politik Kebijakan Kelautan Indonesia. Penerbit Intrans Publishing, Cetakan Pertama Mei 2011;
Undang-Undang Dasar 1945
[1]
Disampaikan dalam Konsultasi Publik dan Jaring Pendapat dalam Rangka
Pembahasan RUU Tentang Perubahan Atas UU No 27 Tahun 2007 Tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Kerjasama Direktorat
Kajian Strategis dan Kebijakan Pertanian (Dit. KSKP) IPB dengan Komisi
IV DPR-RI dan Kementerian Kelautan dan Perikanan.
[2] Kepala Riset Pusat Kajian Pembangunan Kelautan Dan Peradaban Maritim. Alamat Kontak : Email : suhanaipb@gmail.com, Blog : http://pk2pm.wordpress.com dan http://suhana-ocean.blogspot.com , HP : 081310858708Link Berita Diskusi Publik bisa di akses di :
http://jogja.antaranews.com/berita/315403/ipb-kompeten-beri-masukan-revisi-uu-pengelolaan-pesisir
Suhana