Rekonstruksi Kebijakan Ekonomi Kelautan dan Perikanan Perikanan Nasional
Oleh : Suhana
Kepala Riset Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim
Kebijakan pembangunan
kelautan dan perikanan sejak awal reformasi sampai saat ini terlihat belum memberikan
hasil yang signifikan terhadap perbaikan ekonomi perikanan dan kesejahteraan
masyarakat, khususnya nelayan dan pembudidaya ikan. Hal ini disebabkan kebijakan pembangunan kelautan dan perikanan yang berkembangan sejak awal
reformasi sampai saat ini hanyalah kebijakan-kebijakan yang terus berulang,
padahal sudah terbukti kebijakan tersebut telah mengalami kegagalan.
Kebijakan-kebijakan tersebut hanya berganti nama saja setiap periode
pemerintahan. Pada periode pemerintahan Gus Dur, Departemen Eksplorasi Laut dan
Perikanan mencanangkan program peningkatan produksi ikan atau yang dikenal
dengan istilah Protekan 2003. Target dari Protekan 2003 tersebut adalah
meningkatkan produksi ikan pada tahun 2003 menjadi 9 juta ton dengan nilai
ekspor yang diharapkan mencapai 10 milyar $ US. Namun demikian, sampai akhir
tahun 2003 target tersebut tidak dapat tercapai. Data FAO (2009) menunjukan
bahwa produksi ikan nasional pada tahun 2003 hanya mencapai sekitar 5,8 juta
ton dengan nilai ekspor dibawah 1,7 milyar $ US.
Memasuki periode
pemerintahan Megawati, pada tanggal 11 Oktober 2003 kembali dicanangkan Program
Gerbang Mina Bahari di Teluk Tomini Provinsi Gorontalo. Target dari program
tersebut adalah peningkatan produksi ikan nasional sebesar 9,5 juta ton pada tahun
2006 dengan target nilai devisa ekspor sebesar 10 milyar $ US. Target program
Gerbang Mina Bahari tersebut sama dengan target Program Protekan 2003, namun
berbeda nama program saja. Kegagalan yang sama terjadi juga pada program
Gerbang Mina Bahari. Data FAO (2009) menunjukan bahwa produksi ikan nasional
pada tahun 2006 hanya mencapai sekitar 6,2 juta ton. Sementara itu nilai ekspor
produk perikanan hanya mampu mencapai 2 miliar $ US.
Periode pemerintahan
Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) jilid I, pemerintah kembali mencanangkan
program serupa dengan nama Revitalisasi Kelautan dan Perikanan. Target dari
program Revitalisasi Kelautan dan Perikanan tersebut adalah peningkatan
produksi ikan pada tahun 2009 sebesar 9,7 juta ton dengan nilai ekspor sebesar
5 milyar $ US. Namun demikian, sampai akhir periode KIB jilid I target
revitalisasi kelautan dan perikanan tersebut kembali tidak tercapai. Data FAO
(2009) memprediksi produksi perikanan nasional tidak akan melebihi 7 juta ton
dan nilai ekspor diperkirakan hanya mencapai 2,1 milyar $ US.
Kegagalan demi
kegagaan program peningkatan produksi perikanan pada tiga periode pemerintahan
sebelumnya ternyata tidak membuat Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP)
untuk berfikir ekstra guna menyusun terobosan baru. Hal ini dapat dilihat dari
kebijakan pembangunan kelautan dan perikanan 2009-2014 yang kembali
mereinkarnasi kebijakan peningkatan produksi perikanan dengan berganti nama
menjadi kebijakan Minapolitan. Target program Minapolitan tersebut adalah
peningkatan produksi ikan sebesar 50 Juta Ton dan nilai ekspor sebesar 11
milyar $ US. Namun demikian, program minapolitan tersebut saat ini
sudah berhenti ditengah jalan, seiring dengan beralihnya Menteri Kelautan dari
Fadel Muhamad ke Sharif Cicip Sutardjo.
Memasuki periode Menteri
Kelautan dan Perikanan Sharif Cicip Sutardjo, arah kebijakan kelautan dan
perikanan berubah dari pendekatan produksi ikan menjadi Industrialisasi
Perikanan berbasiskan Unit Pengolahan Ikan (UPI). Namun demikian, perubahan
kebijakan tersebut terlihat tidak didukung perencanaan yang matang. Hal ini
terlihat dari industrialisasi perikanan yang dikembangkan ternyata basisnya di
Pulau Jawa yang sudah tidak memiliki dukungan bahan baku ikan. Akibatnya KKP
kembali dengan gegap gempita menyakinkan publik dan Dewan Perwakilan Rakyat
akan pentingnya ikan impor untuk memasok kebutuhan bahan baku UPI nasional, dan
akhirnya impor ikan kembali dilegalkan.
Namun demikian publik,
termasuk penulis tidak yakin ikan yang diimpor tersebut hanya untuk kebutuhan
bahan baku UPI nasional, akan tetapi banyak yang langsung masuk ke pasar-pasar
tradisional. Ketidakyakinan penulis tersebut didasarkan pada hasil analisis
terhadap dugaan maraknya impor ikan illegal yang masuk ke Indonesia tahun 2010.
Hasil analisis tersebut menunjukan bahwa dugaan impor ikan illegal Indonesia
dari China pada Tahun 2010 mencapai 51,28 persen dari total nilai impor ikan
Indonesia dari China. Namun demikian walaupun terjadi peningkatan impor ikan
nasional, ternyata tidak berpengaruh signifikan terhadap jumlah kapasitas
terpakai pada Industri pengolahan ikan nasional. Hasil survey Bank Indonesia
menunjukan bahwa pada periode 2010 kapasitas industri perikanan yang terpakai
hanya mencapai dibawah 70 persen, tidak jauh berbeda dengan tahun-tahun
sebelumnya. Artinya bahwa impor ikan tersebut tidak sepenuhnya diperuntukan
bagi pasokan kebutuhan bahan baku UPI, akan tetapi langsung dipasarkan ke
pasar-pasar dalam negeri.
Asing Kuasai Sektor Perikanan
Ketidak jelasan dan
ketidak konsistenannya kebijakan kelautan dan perikanan tersebut telah
berdampak pada investasi sektor perikanan yang semakin dikuasai oleh asing. Kalau kita
kembali melihat dorongan pemangku kepentingan sektor perikanan tahun sejak
tahun 2007 untuk membatasi kepentingan asing di sektor perikanan sangat tinggi,
puncaknya ketika Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi mengesahkan
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen-KP) No 5 Tahun 2008 tentang
izin usaha perikanan tangkap. Dan dipertegas kembali dengan disahkannya revisi
UU No 31 Tahun 2004 tentang Perikanan menjadi UU No 45 Tahun 2009 tentang
Perikanan pada masa akhir periode Pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu jilid
I dan DPR-RI periode 2004-2009. Dimana pada kedua peraturan perundang-undangan
tersebut kepentingan asing di sektor perikanan sangat diperketat dan lebih
mendorong keterlibatan nelayan, pembudidaya ikan, investor dalam negeri dan
pengusaha ikan nasional.
Akibatnya, investasi
asing pada sector perikanan tahun 2008 dan 2009 menurun drastis, dan minat
investasi dalam negeri cenderung meningkat. Data Badan Koordinasi Penanaman
Modal (BKPM 2011) menunjukan bahwa investasi asing (PMA) tahun 2007 mencapai
24,7 juta US $ dan menurun drastic pada tahun 2008 hanya mencapai 2,4 juta US $
dan akhir tahun 2009 kembali meningkat menjadi 5,1 juta US $. Sementara itu
pasca keluarnya Permen KP No 5 Tahun 2008 minat investasi dalam negeri mulai
tumbuh. Data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM 2011) menunjukan bahwa
investasi dalam negeri (PMDN) tahun 2007 hanya sebesar 3,1 milyar rupiah
menjadi 24,7 milyar rupiah pada tahun 2009.
Namun
demikian, memasuki periode Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhamad,
(Permen-KP) No 5 Tahun 2008 tentang izin usaha perikanan tangkap diupayakan
untuk direvisi kembali dengan memasukan kembali kepentingan asing. Akibatnya investasi asing kembali menguasai sektor perikanan. Data BKPM
(2012) menunjukan bahwa 99,89 persen investasi perikanan tahun 2011 bersumber
dari asing (PMA) dan pada triwulan 1 2012 investasi sektor perikanan 100 persen
dari asing. Secara lengkap perkembangan investasi sektor perikanan dapat
dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Perkembangan Persentase Investasi Asing (PMA) di Sektor Perikanan
Tahun 2006-2012
Ekspor Ikan Illegal
Selain itu juga,
ketidakjelasan arah kebijakan sektor perikanan tersebut telah berdampak pada
tingginya aktivitas kejahatan perikanan, terutama aktivitas perikanan yang
tidak dilaporkan (unreforted fishing). Misalnya perdagangan ikan tuna antara
Indonesia dengan Thailan. Data UN-Comtrade (2011) mengindikasikan semakin
maraknya ekspor ikan Tuna illegal dari
Indonesia ke Thailand. Pada Tahun 2000 tercatat dugaan ekspor ikan tuna Albacore secara illegal mencapai 52
persen dari total volume ekspor ikan tuna Albacore
Indonesia ke Thailand, yaitu mencapai 271.419 Kg dengan nilai mencapai 1.070.630 US $. Sementara itu
pada Tahun 2010, dugaan ekspor ikan tuna Albacore
illegal ke Thailand semakin meningkat sampai 69,20 persen dari total volume
ekspor ikan tuna Albacore Indonesia
ke Thailand. Volume ekspor ikan tuna Albacore
illegal dari Indonesia ke Thailand tahun 2010 diperkirakan mencapai 2.352.724
Kg dengan nilai mencapai 8.326.839 US $.
Pasokan bahan baku
illegal tersebut rupanya dimanfaatkan oleh Thailand untuk memasok kebutuhan
bahan baku Industri Pengolahan Ikan yang ada di negara tersebut. Thailand
selama ini terkenal didunia sebagai pemasok utama produk ikan olahan, padahal sekitar
90 persen pasokan bahan bakunya berasal dari Indonesia dan Philipina. Hal ini terbukti
pada Tahun 2010 UN-Comtrade memposisikan Thailand sebagai negara kedua terbesar
dunia sebagai pemasok produk ikan olahan setelah China, sementara Indonesia
hanya puas di posisi ke 10 terbesar dunia.
Total kontribusi Thailand terhadap total ekspor produk ikan olahan mencapai
20,2 persen, sementara Indonesia hanya berkontribusi sebesar 2,7 persen dari
total ekspor produk ikan olahan dunia.
Berdasarkan hal tersebut
sungguh sangat ironis, sumberdaya ikan Indonesia yang memiliki nilai ekonomis tinggi
seperti tuna ternyata tidak dinikmati oleh para nelayan dan Industri Pengolahan
Ikan dalam negeri. Di sisi lain, Unit Pengolahan Ikan Nasional setiap tahunnya
berlomba-lomba terus meningkatkan impor bahan baku ikan pindang dan ikan asin. Kebijakan
pengembangan industri pengolahan ikan pindang dan asin secara besar-besaran
oleh KKP menunjukkan bahwa secara sistematis masyarakat Indonesia akan disuguhi
oleh konsumsi ikan pindang dan ikan asin, dimana nilai kandungan gizi nya sangat
rendah bahkan cenderung tidak ada. Sementara itu ikan segar yang memiliki
kandungan gizi baik, lebih banyak di ekspor baik legal maupun illegal ke pasar
internasional. Sehingga sangat wajar apabila kwalitas sumberdaya manusia
Indonesia sulit untuk dapat berkembangan secara baik karena hanya disediakan
konsumsi ikan pindang dan ikan asin.
Rekonstruksi Kebijakan Kelautan dan Perikanan
Berdasarkan kondisi
tersebut, pemerintah dan para pemangku kebijakan kelautan dan perikanan
hendaknya dapat duduk bersama dalam merekonstruksi kebijakan kelautan dan
perikanan di masa yang akan datang. Keberpihakan kepada kelestarian sumberdaya
ikan dan kepentingan nasional harus menjadi komitmen bersama. Oleh sebab itu
ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam merekonstruksi kebijakan
kelautan dan perikanan nasional, yaitu pertama, perlu ada grand design
industrialisasi perikanan yang berpihak pada pengembangan sumberdaya manusia
Indonesia di masa yang akan datang. Indonesia akan lebih maju kalau didukung
oleh sumberdaya manusia yang baik dan SDM yang baik bisa dibentuk dengan adanya
asupan gizi yang lebih baik. Oleh sebab itu industrialisasi perikanan nasional
harus dapat mendukung pengembangan SDM nasional yang lebih baik. Namun
demikian, kalau industrialisasi perikanan yang digalakan pemerintah saat ini
penulis khawatir SDM nasional kedepan akan semakin terpuruk. Industrialisasi
perikanan yang ada saat ini lebih mementingkan pemgembangan SDM negara lain,
dibandingkan SDM negaranya sendiri. Hal ini terbukti dengan target
industrialisasi perikanan untuk mengekspor ikan-ikan kwalitas baik dari
Indonesia, seperti tuna, cakang, udang, ikan-ikan karang dan ikan-ikan kwalitas
baik lainnya. Sementara itu kebutuhan konsumsi ikan dalam negeri cukup
disediakan ikan asin dengan bahan baku impor dari negara lain. Pertanyaannya
sekarang, ahli gizi mana yang dapat menjelaskan bahwa ikan asin dapat meningkatkan kwalitas
SDM nasional.
Pemerintah harusnya
tetap konsisten dalam menjalankan undang-undang perikanan nasional. Dalam Pasal
25B Ayat (2) UU No 45 Tahun 2009 tentang Perubahan UU No 31 Tahun 2004 Tentang
Perikanan ditegaskan bahwa pengeluaran hasil produksi usaha perikanan ke luar
negeri (ekspor) dilakukan apabila produksi dan pasokan di dalam negeri telah
mencukupi kebutuhan konsumsi nasional. Pasal 25B ini jelas sangat berpihak pada
kepentingan nasional, namun demikian dalam implementasi dilapangan belum
diikuti dengan kebijakan yang nyata. Hal ini terbukti dengan kebijakan
Industrialisasi perikanan yang lebih mementingkan kebutuhan ikan negara lain.
Industrialisasi perikanan jangan hanya dipandang bagaimana meningkatkan nilai
ekspor produk perikanan saja, akan tetapi perlu memiliki agenda pembangunan SDM
nasional yang lebih baik. Oleh sebab itu implementasi Pasal 25B Ayat (2)
tersebut saat ini diperlukan guna meningkatkan kualitas SDM Nasional.
Kedua, industrialisasi
perikanan yang dikembangkan harus berbasiskan bahan baku dalam negeri, jangan
impor, sehingga pengembangan Industri pengolahan ikan jangan dipusatkan di
pulau Jawa, akan tetapi harus dikembangkan di pusat-pusat bahan baku seperti di
kawasan Indonesia Bagian Timur. Oleh sebab itu dukungan infrastruktur seperti
listrik, bahan bakar minyak, air bersih dan transportasi antar pulau di kawasan
Indonesia Bagian Timur perlu segera dibenahi. Sementara itu, untuk menjaga
ketersediaan bahan baku sepanjang tahun, pemerintah perlu secepatnya membentuk
Bulog Perikanan. Hal ini diperlukan mengingat produksi ikan para nelayan sangat
tergantung kondisi cuaca, sehingga keberadaan Bulog Perikanan diperlukan guna
mengatur manajemen ketersediaan bahan baku ikan untuk UPI dan kebutuhan
konsumsi langsung masyarakat.
Ketiga, pengembangan
industrialisasi perikanan hendaknya tidak hanya difokuskan untuk komoditas
ikan, akan tetapi perlu dikembangkan untuk industri pengolahan rumput laut. Hal
ini disebabkan dalam sepuluh tahun terakhir produksi rumput laut terus
menunjukkan peningkatan yang sangat signifikan, bahkan saat ini kontribusinya
sudah diatas 60 persen dari total produksi perikanan budidaya.
Keempat, untuk mencegah
semakin tingginya kasus ekspor ikan illegal dari Indonesia ke negara lain,
Kementerian Kelautan dan Perikanan perlu meningkatkan pengawasan di perairan
Indonesia. Karena dugaan kuat ekspor ikan illegal tersebut dilakukan di tengah
laut oleh para oknum nelayan dan pengusaha perikanan nasional. Alhasil tanpa
adanya perubahan perencanaan pembangunan perikanan yang baik, manajemen
perikanan nasional akan semakin amburadul. Oleh sebab itu KKP perlu segera
mereformulasi kebijakan perikanan nasional.
Sumber : Tabloid Inspirasi, Agustus 2012