Membangun dan Menjaga Pulau Kecil Perbatasan
Suhana* | Jumat, 29 Juni 2012 - 14:37:22 WIB
Dibaca : 70
(dok/antara)Penanganan pulau kecil perlu memperhatikan karakteristik pulau.
Perhatian pemerintah dan masyarakat
kepada pulau kecil perbatasan terus meningkat pascakalahnya Indonesia
dalam perebutan Pulau Sipadan dan Ligitan pada 2002.
Bahkan, dalam 10
tahun terakhir perhatian publik terhadap wilayah perbatasan terus
meningkat, terutama pada perbatasan Indonesia dan Malaysia. Bentuk
keseriusan pemerintah dalam menangani wilayah perbatasan salah
satunya dibentuk badan khusus yang menangani wilayah perbatasan,
yaitu Badan Nasional Pengelola Perbatasan.
Namun, tingginya perhatian pemerintah
dan publik terhadap masalah perbatasan ternyata belum diikuti dengan
kemampuan pengelolaan sumber daya wilayah perbatasan, khususnya pulau
kecil perbatasan.
Selain itu, pengelolaan pulau kecil perbatasan
terlihat belum optimal, bahkan beberapa program pembangunan di
wilayah tersebut terlihat belum mempertimbangkan karakteristik pulau
tersebut. Akibatnya, pembangunan pulau kecil perbatasan cenderung
akan merusak keberadaan pulau dibandingkan dengan menjaga keutuhan
pulau tersebut.
Berdasarkan pengamatan di lapangan
(2012), khususnya di Pulau Fani, Kabupaten Raja Ampat (Titik Dasar
Kepulauan Nomor 066A), terlihat pembangunan yang dilakukan pemerintah
daerah belum sepenuhnya sesuai dengan karakteristik pulau itu.
Misalnya pertama, pembangunan rumah untuk penduduk. Pemerintah daerah
sejak 2009 telah melakukan pembangunan sekitar 42 rumah panggung yang
diperuntukkan penghuni pulau tersebut.
Penduduk yang ada di Pulau Fani
merupakan penduduk dari Desa Reni, yang letaknya sekitar empat jam
perjalanan dari pulau tersebut.
Penduduk tersebut datang ke Pulau
Fani hanya untuk berkebun kelapa dan mengolah kelapa menjadi kopra.
Umumnya para penduduk tersebut berada di Pulau Fani hanya dalam waktu
empat bulan, setelah itu mereka kembali ke Desa Reni.
Kedua, pembangunan tanggul pantai yang
dilakukan pemerintah daerah belum sesuai dengan karakteristik pulau
tersebut.
Tanggul pantai tersebut sudah rusak sebelum dilakukan
peresmian. Bangunan tanggul yang dibentuk seperti dinding yang
memanjang sepanjang garis pantai tersebut ternyata tidak sesuai
dengan kondisi pulau yang terbentuk dari pasir putih, sehingga
tanggul sangat rapuh ketika diterjang ombak Samudra Pasifik yang
sangat besar.
Ketiga, pembangunan jalan lingkar
pulau. Pemerintah daerah terus berupaya melengkapi fasilitas Pulau
Fani dengan membangun jalan tembok selebar 2 meter yang rencananya
akan mengelilingi seluruh pulau tersebut.
Hal ini dimaksudkan agar
masyarakat dan para wisatawan yang berkunjung ke Pulau Fani dapat
dengan mudah berkeliling dan menikmati suasana pulau.
Namun,
keberadaan jalan lingkar pulau tersebut justru cenderung akan merusak
keberadaan hutan pantai yang ada di Pulau Fani, padahal hutan pantai
tersebut merupakan satu-satunya kekuatan yang dibutuhkan dalam
menjaga keutuhan pulau tersebut.
Kelestarian
Berdasarkan ketiga hal itu, pemerintah
belum mempertimbangkan karakteristik pulau kecil perbatasan dalam
melakukan pembangunan di pulau tersebut.
Padahal, pertimbangan
karakteristik sebuah pulau sangat diperlukan guna menjaga kelestarian
dan keberadaan pulau tersebut di masa yang akan datang, terlebih saat
ini pengaruh pemanasan global sangat terasa dampaknya pada
peningkatan muka air laut.
Apabila hal ini tidak diantisipasi,
pembangunan pulau kecil perbatasan yang tidak memperhatikan
karakteristik pulau tersebut akan semakin mempercepat proses
tergenangnya pulau kecil oleh air laut atau dengan kata lain
mempercepat proses tenggelamnya pulau kecil.
Beberapa hal yang perlu mendapatkan
perhatian seluruh pemangku kepentingan, terutama pemerintah dan
pemerintah daerah dalam melakukan pembangunan di pulau kecil
perbatasan, yaitu pertama, memetakan secara detail karakteristik
setiap pulau kecil perbatasan. Karakteristik pulau kecil hendaknya
dijadikan pertimbangan utama dalam melakukan pembangunan di pulau
kecil perbatasan.
Kedua, meningkatkan pengawasan terhadap pulau-pulau kecil perbatasan, terutama di wilayah pulau kecil yang tidak berpenghuni. Berdasarkan catatan para nelayan yang melakukan aktivitas penangkapan ikan di sekitar Pulau Fani, sebelum pulau tersebut dijadikan pos oleh TNI, Pulau Fani dijadikan markas oleh para nelayan Filipina yang melakukan aktivitas pencurian ikan.
Bahkan, jejak aktivitas penangkapan
ikan ilegal tersebut saat ini masih terekam dari banyaknya terumbu
karang di sekitar Pulau Fani yang hancur akibat bom ikan. Saat ini
kondisi terumbu karang tersebut terlihat sudah mulai kembali pulih.
Namun, bongkahan-bongkahan karang yang rusak akibat bom ikan masih
terlihat berserakan di dasar perairan. Oleh sebab itu, pengawasan
terhadap pulau-pulau kecil perbatasan sangat diperlukan guna mencegah
praktik-praktik ilegal yang dapat mengancam keberadaan sumber daya
dan kerugian negara.
Ketiga, dukungan politik anggaran untuk
pengawasan sumber daya yang ada di sekitar pulau kecil perbatasan.
Aktivitas ilegal, seperti pencurian ikan di sekitar pulau kecil
perbatasan sampai saat ini masih kerap terjadi, misalnya di sekitar
Pulau Fani.
Namun, aparat Marinir yang menjaga pulau tersebut tidak
bisa berbuat banyak, karena sampai saat ini mereka tidak dibekali
dengan kapal patroli yang dapat dengan cepat mengejar para pelaku
pencurian ikan tersebut.
Para Marinir saat ini hanya dapat
memandangi aktivitas pencurian ikan dari Pulau Fani tersebut, tanpa
ada kemampuan untuk mengejar para pencuri ikan.
Berdasarkan hal
tersebut, pengawasan pulau kecil perbatasan memerlukan dukungan
anggaran yang sangat besar, terutama dalam pengadaan kapal patroli,
biaya operasional kapal, dan kesejahteraan para aparat di lapangan.
Dengan melihat pentingnya sebuah pulau kecil perbatasan bagi
geopolitik dan geostrategis bangsa Indonesia, maka dukungan politik
anggaran dari pemerintah dan DPR sangat diperlukan.
*Penulis adalah Kepala Riset Pusat
Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim.
(Sinar Harapan)Sumber : http://www.shnews.co/detile-3996-membangun-dan-menjaga-pulau-kecil-perbatasan.html